Dasar Hukum Mahkamah Konstitusi

Pasal 24 C ayat 3 Perubahan Ketiga UUD 1945 menyebutkan, Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan anggota hakim konsttusi yang ditetapkan Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Kemudian secara jelas telah disebutkan mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi Hakim Konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 C ayat 5 Perubahan Ketiga UUD 1945, yaitu harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Dan berkaitan dengan susunan hakim konstitusi disebutkan pula bahwa ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipilih oleh hakim konstitusi pasal 24C ayat 4. 25

3. Wewenang Mahkamah Konstitusi

Terkait dengan kewenangan yang melekat pada Mahkamah Konstitusi, hal yang paling utama dari keberadaannya adalah untuk menjaga agar konstitusi dilaksanakan sesuai dengan kehendak rakyat dan cita cita demokrasi. Hal tersebut tidaklah terlepas dari konsteks politis pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR pada tahun 2000 melalui sebuah mekanisme Sidang Istimewa. Proses pembentukan Mahkamah Konstitusi, 25 PIPIH SOPIAN, M.Pd. Sejarah Mahkamah Konstitusi dan Impeachment Terhadap Presiden, Bogor, Cetakan Pertama, PT. Regina Eka Utama, 2010, h. 29-31 dengan harapan agar pemberhentian seorang Presiden dilakkan secara sah sesuai dengan ketentuan hukum dan tidak dilakukan secara semena- mena. Dengan mengacu pada Pasal 24 C ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar 1945 maka fungsi dari Mahkamah Konstitusi tersebut adalah : 1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang purusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. 2. Memutus sengketa kewenanga lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. 3. Memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. 4. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. 26

4. Putusan Mahkamah Konstitusi

Dalam Pasal 32 PMK Nomor 06PMK2005 tentang pedoman beracara dalam perkara Pengujian Undang-Undang hanya diatur bahwa putusan diambil dalam RPH yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 Hakim Konstitusi yang dibacadiucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum yang diharidiri sekurang-kurangnya 7 Hakim Konsttusi. Dalam praktiknya, putusan yang dimaksud tersebut diberi istilah putusan akhir. 26 Janedrji M. Gaffar, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Cetakan Pertama, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, h. 10-11 Perkembangan dalam praktik adalah adanya jenis putusan sela dalam Putusan Mahkamah Konstitusi selain putusan akhir. Walaupun dalam PMK Nomor 06PMK2005 tentang pedoman beracara dalam Pengujian Undang-Undang tidak diatur tentang putusan selaprovisi, akan tetapi pengaturan mengenai putusan sela dapat dilihat dalam penanganan perkara sengketa kewenangan lembaga negara dan perselisihan hasil pemilu. Putusan sela diatur dalam bagian kesembilan tentang sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD dalam Pasal 63 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu “Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon danatau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.” Sedangkan dalam Pasal 1 angka 19 PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang pedoman beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD diatur bahwa “putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan akhir berupa putusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan objek yang dipersengketakan yang hasilnya akan dipertimbangkan dalam putusan akhir. Pada perkara perdata, putusan sela yang dimintakan tidak boleh menyangkut pokok sengketa, sedangkan dalam sengketa kewenagan antara lembaga negara, justru objek putusan sela tersebut merupakan pokok sengketanya. 27 27 Janedrji M. Gaffar, Op.Cit. h. 131-132

Dokumen yang terkait

Status Badan Hukum Yayasan Pendidikan Pasca Pembatalan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009)

0 45 193

Penerapan Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Terhadap Beberapa Putusan Hakim di Pengadilan Negeri Medan)

0 47 117

Analisis politik hukum Islam mengenai putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003

0 14 104

Wacana Pemberlakuan Hukum Pidana Islam Dalam Kompetensi Absolut Peradilan Agama (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/Puu-Vi/2008)

0 27 119

IMPLIKASI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 028/PUU-XI/2013 TENTANG PEMBATALAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN TERHADAP AKTA PENDIRIAN KOPERASI

2 20 71

Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam Peradilan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Studi Kasus Setya Novanto Ketua DPR RI Periode 2014-2019)

2 12 88

ANALISIS HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI YANG MENOLAK PENGUJIAN MATERIL TErHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1992 TENTANG PERFILMAN.

0 0 6

PERBANDINGAN HUKUM TENTANG AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM.

0 0 12

Penerapan Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Terhadap Beberapa Putusan Hakim di Pengadilan Negeri Medan)

0 1 39

KONSEP PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1947 dan KOMPILASI HUKUM ISLAM

0 0 20