Putusan Mahkamah Konstitusi MAHKAMAH KONSTITUSI

Untuk mengakhiri sengketa kewenangan lembaga negara yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi, akan diselesaikan secara permanen dengan putusan tingkat pertama dan terakhir yang mengikat secara umum. Putusan Mahkamah atau putusan Pengadilan pada umumnya didefinisikan perubuatan hakim sebagai pejabat yang berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena sifatnya yang mengakhiri sengketa, maka putusan demikian disebut juga sebagai putusan akhir. Disamping itu selama proses berjalan, sebagaimana telah disinggung dimuka, maka MK juga boleh mengambil putusan sela, yang bersifat sementara, yang memerintahkan kepada pemohon danatau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan, yang berupa tindakan nyata maupun tindakan hukum yang merupakan pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan. Alasan pengambilan putusan sela tersebut, disebutkan 2 macam, yaitu : 1. Terdapat kepentingan yang mendesak, yang apabila pokok permohonan dikabulkan, dapat menimbulkan akibat hukum yang lebih serius. 2. Kewenangan yang dipersoalkan itu bukan merupakan pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan akhir, yang dijatuhkan berdasarkan keyakinan hakim, harus didukung oleh sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah. Putusan tersebut berbunyi : 1. Permohonan tidak dapa diterima 2. Permohonan dikabulkan atau 3. Permohonan ditolak Dalam hal permohonan dikabulkan, maka dalam amar harus juga dinyatakan dengan tegas bahwa dipersengketakan danatau termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan. Jika kalau putusan sela telah pernah dikeluarkan yang memerintahkan penghentian sementara pelaksanaan kewenangan dimaksud, maka dalam putusan akhir harus juga ditegaskan status putusan sela tersebut. Jika putusan sah sedang sebaliknya jika putusan akhir menolak permohonan, maka putusan sela harus dinyatakan tidak sah, dan dinyatakan dicabut. Hal ini berkaitan dengan segala tindakan hukum yang diambil setelah putusan sela tersebut, untuk diketahui apakah perbuatan hukum demikian sah dan mengikat secara hukum, berkenaan dengan ketentuan pasal 58 UU MK yang menentukan bahwa putusan Mahkamah tidak berlaku surut. 28

B. MAJELIS KEHORMATAN HAKIM KONSTITUSI

1. Pengertian Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi

Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan dan prilaku hakim. 29 28 Khairuddin dan Iskandar Muda, Op.Cit. h. 111-113 29 Lihat Pasal 1 Undang-Undang No. 4 tahun 2014 tentang perpu No 1 tahun 2013 atas perubahan kedua Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi Keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat 4 berjumlah 5 lima orang yang terdiri atas unsur : a. 1 satu orang mantan hakim konstitusi b. 1 satu orang praktisi hukum c. 2 dua orang akademisi yang salah satu atau keduanya berlatar belakang di bidang hukum dan d. 1 satu orang tokoh masyarakat. Anggota Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat 5 harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela b. Adil c. Berusia paling rendah 50 lima puluh tahun. Dan d. Tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 5 lima tahun sebelum diangkat menjadi anggota Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Masa jabatan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat 5 selama 5 lima tahun dan tidak dapat dipilih kembali. Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi mempunyai wewenang untuk : a. Memanggil hakim konstitusi yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan. b. Memanggil pelapor, saksi, danatau pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain, dan c. Memberikan sanksi kepada hakim konstitusi yang terbukti melanggar kode etik. Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi bersidang secara terbuka untuk melakukan pemeriksaan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan leh hakim konstitusi. Ketentuan bersidang secara terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat 9 tidak berlaku terhadap pemeriksaan yang dapat mengganggu proses penegakakan hukum yang sedang berjalan. Putusan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi bersifat final dan mengikat. 30

2. Payung Hukum Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. Bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hakim konstitusi harus memiliki 30 Lihat Pasal 27A Undang-Undang No 4 tahun 2014 tentang perpu No 1 tahun 2013 atas perubahan kedua Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi

Dokumen yang terkait

Status Badan Hukum Yayasan Pendidikan Pasca Pembatalan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009)

0 45 193

Penerapan Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Terhadap Beberapa Putusan Hakim di Pengadilan Negeri Medan)

0 47 117

Analisis politik hukum Islam mengenai putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003

0 14 104

Wacana Pemberlakuan Hukum Pidana Islam Dalam Kompetensi Absolut Peradilan Agama (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/Puu-Vi/2008)

0 27 119

IMPLIKASI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 028/PUU-XI/2013 TENTANG PEMBATALAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN TERHADAP AKTA PENDIRIAN KOPERASI

2 20 71

Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam Peradilan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Studi Kasus Setya Novanto Ketua DPR RI Periode 2014-2019)

2 12 88

ANALISIS HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI YANG MENOLAK PENGUJIAN MATERIL TErHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1992 TENTANG PERFILMAN.

0 0 6

PERBANDINGAN HUKUM TENTANG AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM.

0 0 12

Penerapan Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Terhadap Beberapa Putusan Hakim di Pengadilan Negeri Medan)

0 1 39

KONSEP PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1947 dan KOMPILASI HUKUM ISLAM

0 0 20