Film Sebagai Realitas Sosial

Banyak perspekstif yang dikemukakan oleh para ahli saat memandang sebuah film sebagai media massa. Perspektif yang pertama memandang bahwa bila dilihat dari sis pesannya, film sesungguhnya merupakan pencerminan atau refleksi dari sebuah masyarakat, yaitu masyarakat tempat membuat film itu sendiri, dalam arti temat sineas, pendukung dan para kru produksi yang ada didalamnya. Kedua, film dianggap sebagai refleksi atau pencerm,inan dari masyarakat karena didorong oleh sifat komersialnya agar menyajikan isi yang dapat menyedot animo khalayak yang sebanyak-banyaknya. Media massa sudah lama dianggap sebagi media pembentuk masyarakat, demikin halnya dengan film. Film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan message di baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argument bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Karena film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar. Irawanto, 1999 dalam sobur, 2003 : 127

2.1.7. Film Sebagai Realitas Sosial

Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan memproyeksikan ke dalam layar. Irawanto, 1993 : 13 dalam Alex Sobur 2002 : 127. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya, baik realitas dalam bentuk imajinasi maupun realitas dalam arti sebenarnya. Film menunjukkan pada kita jejak jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa kini dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Dalam perkembangannya, film bukan lagi sekedar usaha menampilkan “citra bergerak” moving images namun juba telah diikuti oleh muatan-muatan kepentingan tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup. Film juga sudah dianggap bisa mewakili citra atau identitas komunitas tertentu. Bahkan bisa membentuk komunitas sendiri, karena sifatnya yang universal. Meskipun demikian, film juga tidak hanya menimbulkan dampak negatif. Victor C. Mambor : http:fsituskunci.tripod.comiteksvictorl.htm Istilah kontruksi realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckmann 1996 melalui bukunya The Sosial Constraction of Reality : A Treatise in the sociallogical of knowledge yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia tafsir sosial atas kenyataan : Risalah tentang sosiologi pengetahuan 1990 yang menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama subjektif Sobur, 2002 : 91 Realitas diartikan sebagai semua yang telah dikonsepkan sebagai sesuatu yang mempunya wujud. Karena semua pengalamn hidup sosiokultural manusia itu Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. pada hakikatnya adalah hasil akhir suatu proses konseptual yang imajinatif Sobur, 2003 : 186 Realitas sosial dipisahkan pemahamannya oleh Berger dan Luckmanm menjdai “kenyataan” dan “pengetahuan” realitas Kenyataan diartikan sebagai kualitas yang terdapat didalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan being yang tidak tergantung pada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata real dan meiliki karakter secara spesifik Sobur, 2002 : 91 Berger dan Luckman mengemukakan bahwa realitas terbentuk secara soaial, dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang berkaitan dwengan fenomena yang dianggap berada diluar kemampuan kita. Fenomena adalah real adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari. Berger dan Garfinkel berpendapat bahwa realitas kehidupan yang selama ini diabaikan sesungguhnya merupakan realitas yang lebih penting. Realitas ini dianggap sebagai realitas yang teratur dan terpola, dan biasanya diterima begitu saja karena dalam interaksi yang terpola, realitas sama – sama dimilki orang lain. Sedangkan Garfinkel sendiri mempunyai pandangan berbeda bahwa realitas yang ada memiliki dimensi subyektif dan obyektif dalam menciptakan suatu realitas dalam proses eksternalisasi. Poloma,200 : 301. Realitas sosial yang dimaksud merupakan pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana public sebagai hasil dari konstruksi sosial. Realitas sosial Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivitasi dan internalisasi. Menurut Berger dan Luckman, konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa namun sarat dengan berbagai kepentingan. Sobur 2003 : 186. Bagi Berger, proses dialektis dalam konstruksi realitas sosial terbagi menjadi tiga tahap : pertama eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan, ekspresi manusia didunia. Kedua, objektivikasi yaitu hasil yang telah dicapai baik mental atau fisik dari kegiatan ekternalisasi manusia. Ketiga, internalisasi yakni penyerapan kembali dunia objektif kedalam kesadaran sehingga subjektif individu dipengaruhi struktur dunia sosial. Eriyanto, 2002 :14 Pada intinya realitas sosial yang dimaksud Berger dan Luckman ini terdiri atas realitas objektif, realitas simbolik, dan realitas subjektif. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman didunia objektif yang berada diluar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sementara realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik kedalam individu melalui proses internalisasi. Sobur, 2003 : 186

2.1.8. Konstruksi Gender