REPRESENTASI PEREMPUAN BERPENAMPILAN MASKULIN DALAM FILM GET MARRIED (Studi Semiotika Representasi Perempuan Berpenampilan Maskulin Dalam Film Get Married ).

(1)

MASKULIN DALAM FILM GET MARRIED

(Studi Semiotika Representasi Perempuan Berpenampilan Maskulin Dalam

Film Get Married )

SKRIPSI

Oleh :

MARYO SIMON RISAMBESSY

NPM. 0743010016

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

SURABAYA

2011


(2)

Film “Get Married”)

Oleh :

MARYO SIMON RISAMBESSY

NPM : 0743010016

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

Pada Tanggal 14 Juni 2011

Tim Penguji :

1.

Ketua

JUWITO S.Sos, Msi

NIP. 3 6704 95 00361

Dosen Pembimbing

Dra. Sumardjijati, M.Si

NIP. 19620323 199 3092001

3. Anggota

Dra. Diana Amelia, M.Si

NIP. 19630907 199103 2001

2. Sekretaris

Dra. Sumardjijati, M.Si

NIP. 19620323 199 3092001

Mengetahui,

DEKAN

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


(3)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala

karunia yang diberikan, sehingga Skripsi dengan judul “REPRESENTASI

PEREMPUAN BERPENAMPILAN MASKULIN” dapat penulis selesaikan

dengan baik.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu

Dra Sumardjijati, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu

untuk memberikan bimbingan , nasihat dan masukan motivasi kepada penulis.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si. sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Juwito, S.Sos, M.Si. sebagai Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi

Universitas

Pembangunan

Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Ibu Dra. Sumardjijati, M.Si. sebagai Dosen Pembimbing penulis.

4. Juwito, S.Sos, M.Si. sebagai Dosen Wali penulis.

5. Papa dan Mama Tercinta. Terima kasih atas dukungan, Doa dan Nasehatnya.

6. Buat Sahabatku Daniel F. Tarigan yang selalu membantu nganterin untuk

mencari referensi pembuatan skrkipsi, dan selalu nganterin pulang. Thanks

Banget yach Bang.

7. Semua dosen Program Studi Ilmu Komunikasi yang telah banyak memberikan

ilmu kepada penulis.

8. Teman-Teman seperjuangan : Raisa, Nurul, Riska, Ristin, Fitri, dan semua

teman- teman Ilmu Komunikasi yang tidak dapat disebut satu-satu.


(4)

10. Teman-Temanku serta semua orang yang telah banyak membantu dalam

penyelesaian skripsi yang tidak dapat disebutkan satu-satu. Terima kasih

banyak

atas

bantuannya.

Penulis menyadari bahwa didalam skripsi ini masih banyak kekurangan.

Untuk itu saran ataupun kritikan yang membangun sangat penulis harapkan.

Akhirnya dengan segala keterbatasan yang penulis miliki semoga skripsi ini dapat

bermanfaat.

Surabaya, Juni 2011


(5)

Hal Pengesahan ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi

... v

Abstraksi

... Vii

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah ... 1

1.2.

Perumusan Masalah ... 7

1.3.

Tujuan Penelitian ... 7

1.4.

Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1.

Landasan Teori ... 10

2.1.1.

Prasangka Sosial ... 10

2.1.2.

Karakteristik psikologis laki-laki dan perempuan ... 13

2.1.3.

Androgini ... 14

2.1.4.

Homoseksualitas ... 16

2.1.5.

Identitas Maskulinitas ... 17

2.1.6.

Film Sebagai Komunikasi Massa ... 22

2.1.7.

Film Sebagai Realitas Sosial ... 23

2.1.8.

Konstruksi Gender ... 26

2.1.9.

Representasi... 28

2.1.10Semiotika... 32

2.1.11Shot ... 34

2.1.12Pendekatan Semiotik dalam film-Jhon Fiske... 35

2.2.

Kerangka Berpikir ... 37

BAB III METODE PENELITIAN

3.1.

Metode Penelitian ... 39


(6)

3.2.4 Teknik Analisis Data... 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Objek ... 43

4.1.1 Gambaran Umum Film Get Married... 43

4.2.

Penyajian

Data

...

47

4.3.

Analisis

Data

...

49

4.3.1 Pada Level Realitas ... 49

4.3.1.1 Kostum dan Make-Up ... 49

4.3.1.2

Setting

...

51

4.3.1.3

Dialog

...

53

4.3.1.4 Teknik Pengambilan Gambar ... 54

4.3.1.5

Pencahayaan

...

58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.

Kesimpulan

...

60

5.2.

Saran

...

61

LAMPIRAN


(7)

MARYO SIMON RISAMBESSY, REPRESENTASI PEREMPUAN

BERPENAMPILAN MASKULIN DALAM FILM “GET MARRIED” ( Studi

Semiotika Representasi Perempuan Berpenampilan Maskulin Dalam Film “Get

Married”)

Film sering sekali mengangkat masalah perbedaan gender, ataupun

diskriminasi gender, yang mana telah menjadi ketimpangan dalam kehidupan

berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bahkan di era modern ini.

Kehidupan perempuan dikonstruksikan dalam film sebagai pendamping laki-laki

yang selalu menuruti kehendak laki-laki dan selalu menjadi pemanis (pemeran

tambahan) saja bahkan sampai menjadi objek imajinasi laki-laki. Namun ketika yang

menjadi tokoh utama perempuan dalam sebuah film, perempuan dikonstruksikan

sebagai sosok yang kuat, yang memiliki kekuatan seorang laki-laki, yang mampu

menghadapi segala situasi permasalahannya, bahkan berpenampilan maskulin.

Perempuan Berpenampilan maskulin dapat dikatakan sebagai Androgini,

yang berarti percampuran antara kedua gender perempuan dan laki-laki, atau dapat

juga dijelaskan bahwa androgini adalah pribadi yang tidak sepenuhnya maskulin

maupun feminine. Perempuan androgini adalah mereka yang tidak takut pada tubuh

mereka yang feminin, tetapi feminitas yang mereka perlihatkan bukan lagi feminitas

pasif. Perempuan tidak takut pada bidang yang distereotypekan sebagai dunia

laki-laki. Perempuan androgini seringkali disamakan dengan tomboy, namun terkadang

perempuan tomboy juga seringkali disamakan dengan perempuan lesbian

(Homoseksual). Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka tujuan dari penelitian

adalah untuk mengetahui representasi perempuan berpenampilam maskulin yang

terdapat dalam film Get Married.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan menggunakan

teori yang dikemukakan John Fiske, melalui level Realitas dan level representasi,

yaitu dengan teknik dokumentasi mengamati secara langsung keseluruhan tanda dan

lambang yang terdapat dalam film tersebut, sehingga tipe penelitian ini adalah

deskriptif.

Berdasarkan hasil penelitian, untuk menilai akan kepribadian seseorang tidak

dapat dilihat atau diukur melalui tampilan luarnya, namun dapat melalui kedekatan

yang terjalin sehingga dapat lebih mengenal dan memahami tentang diri seseorang.


(8)

1.1. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial, karena keberadaan manusia tidak terlepas dari keberadaan manusia lainnya, dimana saling berkomunikaksi atau berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan dalam pencapaian tujuannya. Menurut Jhon Thibaut dan Harold Kelley, interaksi akan berlangsung selama pihak-pihak yang terlibat menginginkan atau merasa ada keuntungan yang bisa didapat dari kelangsungan komunikasi dengan pihak lain. (Susanto, 1995 : 35).

Dalam melakukan interaksi baik secara verbal maupun non verbal, diperlukan dua individu atau lebih, dimana komunikasi merupakan suatu proses kegiatan pertukaran pikiran dan mendapatkan respon diantara pihak-pihak yang melakukan interaksi tersebut. Komunikasi atau Interaksi tersebut dapat dikatakan efektif, jika hasilnya sesuai dengan harapan para pesertanya, yaitu individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut. (Mulyana, 2004 : 107).

Thomas M. Scheidel mengemukakan bahwa manusia berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang disekitarnya, dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa berpikir, atau berperilaku seperti yang diinginkan. (Mulyana, 2004 : 4).


(9)

Namun Setiap individu memiliki persepsi yang berbeda mengenai realitas disekelilingnya, dan juga bergantung pada apa yang telah diajarkan oleh budayanya mengenai hal-hal tersebut. Dalam hal ini persepsi dipengaruhi oleh perbedaan pengalaman, budaya, dan suasana psikologis setiap individu atas suatu objek. (Mulyana, 2004 : 175)

Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita. (Mulyana, 2004 : 167). Stereotype adalah bagian dari kesalahan persepsi. Kesalahan persepsi ini merujuk pada fakta bahwa begitu seseorang membentuk suatu kesan menyeluruh mengenai orang lain, akan menimbulkan efek yang kuat atas penilaian orang tersebut akan sifat-sifatnya yang spesifik.

Media Film merupakan salah satu media pembawa pesan yang sangat populer saat ini. Film dapat disebut pula sebagai transformasi kehidupan masyarakat, karena dalam film setiap orang dapat melihat gambaran atau cerminan yang sebennarnya, dan bahkan terkadang setiap orang tidak menyadari sebagai gambar bergerak, film juga sebagai reproduksi dari kenyataan seperti apa adanya. Film memiliki dualisme yaitu sebagai media hiburan dan media pembelajaran (pendidikan). Sebagai media hiburan, film dijadikan alat pelepas kepenatan dan rileks (santai) serta untuk mengisi waktu senggang masyarakat, sedangkan penempatan media pembelajaran (pendidikan) dijelaskan oleh Dennis Mcquail adanya unsur-unsur ideologi dan propoganda yang terselubung dan tersurat dalam banyak fenomena topik film yang berdampak pada ada atau tidaknya kebebasan masyarakat (Mcquail, 1987 : 63), maksudnya media


(10)

pendidikan disini segala sesuatu pesan yang terkandung dalam film mempunyai arti penting bagi penonton untuk membedakan baik buruknya pesan yang disampaikan melalui film.

Sebuah film dualisme ini bisa saja muncul secara bersamaan dalam suatu kemasan, hanya saja dengan kadar yang berbeda. Ada tiga kategori yang menyangkut kadar tersebut yaitu pertama, netral artinya film yang mengisahkan tentang khayalan dan mengutamakan unsur hiburan yang sering kali membungkus lingkungan sosial dalam setting yang penuh unsur kebaikan, sehingga alur cerita berjalan mulus. Penekanannya pada nilai hiburan, kesenangan dan action sebagai daya tarik. Persoalannya benar atau salah disuguhkan secara dangkal dan sedikit tanpa analisis.

Kedua implisit, antara antagonis dan protagonis disajikan dalam sistem nilai yang bertentangan, tapi tidak untuk selamanya. Selama cerita dalam film tersebut, penonton harus menyimpulkan untuk apa karakter film tersebut dihadirkan. Ketiga eksplisit, sebuah film bertujuan untuk mengajar atau mempersuasi penonton yang nilainya sebanding dengan unsur hiburannya, seperti film-film patriotik, film dokumenter, film yang bermuatan politik dan film dengan penekanan sosiologis (Monaco, 2000 : 38).

Seni film dikembangkan dari proses replikasi. Kanvas putih film merupakan perpaduan dari komplesitas sistem yang berasal dari novel, lukisan, drama, dan musik yang bersinergi erta dalam membentuk karya seni ini, meskipun film mempunyai kelebihan dan karakteristik yang unik serta spesifik yang


(11)

membedakan dengan seni lainnya. Lebih mengagumkan lagi, film merangkumnya (Monaco, 2000 : 38). Lain halnya dengan lukisan dan fotografi, film tidak mempunyai keterbatasan dalam menangkap objek visual dari dunia, karena dapat merekam secara langsung gambar hidup yang terjadi didunia nyata, fotografi hanya dapat menangkap stiil images sedangkan lukisan terbatas pada obyek statis hasil torehan tinta pada kanvas, serta keterbatasan lainnya yaitu ketidakmampuannya untuk memproduksi dirinya sendiri.

Film memiliki sejarah panjang dalam perkembangannya, berawal dari pijakan filosofis pertama jauh sebelum masehi yang telah menandakan titik eksistensinya, dan kemudian berkembang pada silent era dengan Charlie Chaplin-nya yang legendaris. Perjalanan film pada tahun-tahun selanjutChaplin-nya mengalami bermacam-macam revolusi, perkembangan dan peristiwa.

Sebagai bagian dari komunikasi massa, film sering kali dicurigai sebagai agen perubahan sosial. Akibatnya dampak pemutaran sebuah film menyebabkan perubahan dalam masyarakat, misalnya secara serentak masyarakat mengikuti gaya berpakaian atau dandanan maupun tingkah laku aktor dan aktris yang ada dalam sebuah film usai menontonnya, sehingga menjadi sebuah trend, karena digemari banyak orang pada jangka waktu tertentu. Perubahan tersebut bisa juga berupa perubahan cara pandang terhadap suatu budaya. Budaya yang dahulu dianggap tabu untuk ditampilkan secara jelas, namun karena ditampilkan dalam sebuah film dan diikuti oleh film lain, maka nilai tabu itu bisa saja bergeser menjadi sesuatu yang dianggap wajar, misalnya budaya berciuman.


(12)

Film sering sekali mengangkat masalah perbedaan gender, ataupun diskriminasi gender, yang mana telah menjadi ketimpangan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bahkan di era modern ini. Kehidupan perempuan dikonstruksikan dalam film sebagai pendamping laki-laki yang selalu menuruti kehendak laki-laki dan selalu menjadi pemanis (pemeran tambahan) saja bahkan sampai menjadi objek imajinasi laki-laki.

Ketika yang menjadi tokoh utama perempuan dalam sebuah film, perempuan dikonstruksikan sebagai sosok yang kuat, yang memiliki kekuatan seorang laki-laki, yang mampu menghadapi segala situasi permasalahannya, bahkan berpenampilan maskulin. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang memiliki jiwa laki-laki. Rambut yang dipotong pendek, celana sobek, badan bertato, sampai menggunakan aksesoris laki-laki. Contohnya film Get Married, Detik Terakhir, Heart, The Best Friend.

Film Get Married, yang mengangkat kehidupan empat anak muda yang mangakui dirinya sebagai anak muda paling frustrasi se-Indonesia, Mae (diperankan Nirina Zubir), Eman (diperankan Aming), Beni (diperankan Ringgo Agus Rahman), dan Guntoro (diperankan Desta Clubeighties). Mae (diperankan

Nirina Zubir) obsesi terbesarnya adalah menjadi seorang polisi wanita tapi justru oleh orangtuanya dimasukkan ke akademi sekretaris dan bergelar sarjana. Mae merupakan sosok perempuan dewasa yang berpenampilan maskulin (tomboy), yang kesehariannya selalu melakukan aktivitas laki-laki di kampungnya, seperti tawuran antar kampung, menjaga pos ronda, dan lain-lain. mereka anak-anak muda yang frustrasi yang mengisi hari-hari mereka dengan bermain gaple


(13)

bersama di sebuah gubug di pinggiran kali. Singkat cerita pada akhirnya Mae menikah dengan Rendy. Pernikahan tersebut merupakan pembuktian bahwa Mae adalah perempuan seutuhnya yang menyukai lawan jenis (dalam hal ini laki-laki), dan dia bukan seorang lesbi.

Film Detik Terakhir menceritakan tentang Kinar seorang wartawati yang hendak mewawancari Regi (Cornelia Agatha), pecandu narkoba yang tinggal di sebuah pusat rehabilitasi. Meski awalnya enggan, Regi akhirnya bersedia juga membeberkan pengalaman hidupnya. Meski ayahnya kaya, Regi tak mendapatkan kebahagian hidup. Sejak kecil, ia kurang kasih sayang. Setiap hari kedua orangtuanya selalu bertengkar dan biasanya berujung pada pemukulan ayahnya pada sang ibu.

Secara kebetulan, di kampus, Regi pun berteman dengan orang-orang yang memiliki kisah hidup sama dengannya. Orangtua selalu bertengkar, ayah selingkuh, ibu pun tak mau kalah main gila dengan pria lain. Regi yang stres, mulai merasa mendapatkan kebahagiaan ketika ia berkenalan dengan narkoba. Narkoba didapat Regi dari seorang pengedar bernama Rajib (Mike Muliadro). Lewat pria tampan itu juga akhirnya Regi bisa kenal dengan seorang perempuan bernama Vela (Sausan) yang kemudian jadi pasangan lesbiannya.

Menurut Judith Waters dan George Ellis (1996), gender merupakan kategori dasar dalam budaya, yaitu sebagai proses dengan identifikasi tidak hanya orang, tetapi juga perbendaharaan kata, pola bicara, sikap dan perilaku, tujuan, dan aktifkitas seperti “maskulinitas” atau “feminitas”. Berbagai perbendaharaan


(14)

itu akhirnya memunculkan stereotipe tertentu yang disebut dengan stereotipe gender (Widyatama, 2006 : 4).

Jalaludin Rahkmat (1986) menuliskan bahwa stereotype seringkali klise, timpang dan tidak selamanya benar. Ia bersumber dari pola pikir manusia. Sedangkan menurut Judith dan Ellis, stereotipe gender sebagai bagan atau schema

(struktur kognitif) tentang sifat dan perilaku yang diterima sebagi tipe rata-rata pria (dalam hal ini laki-laki) dan wanita (Judith Waters dan George Ellis, 1996).

Perempuan yang berpenampilan maskulin juga kerap kali distereotipe oleh masyarakat bahwa mereka adalah lesbi (menyukai sesama jenis), atau biasanya disebut dengan istilah homoseksual yang merupakan ketertarikan orang secara emosional dan seksual kepada sesorang atau orang-orang dari jenis kelamin yang sama (Oetomo, 2001 p.6), walaupun tidak semua wanita yang berpenampilan maskulin adalah lesbi.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka peneliti menarik suatu rumusan masalah yang berhubungan dengan judul skripsi, yaitu “Bagaimana Representasi perempuan berpenampilan maskulin dalam film Get Married”


(15)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini berdasarkan rumusan masalah diatas adalah untuk mengetahui bagaimana representasi perempuan berpenampilan maskulin dalam film Get Married.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah :

1. Menambah literatur penelitian kualitatif dan diharapkan dapat memberikan sumbangan landasan pemikiran pada Ilmu Komunikasi mengenai studi analisi semiotik Jhon Fiski.

2. Pemahaman ilmiah bahwa film sebagai komunikasi akan dipahami secara berbeda sesuai konteks budaya masing-masing individu.

3. Memperkaya wawasan tentang perspektif perempuan dalam film, khususnya film Indonesia.

1.4.2. Manfaat Praktis

1. Dapat menambah wawasan masyarakat dalam memahami konsep gender yang sesungguhnya, bahwa sifat-sifat melekat pada laki-laki dan perempuan yang lebih dipercaya sebagai kodrat Tuhan,


(16)

sebenarnya merupakan hasil konstruksi sosial, dan karenanya sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan.

2. Memberikan pemahaman tentang representasi perempuan berpenampilan maskulin dalam film “Get Married”.


(17)

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Prasangka Sosial

Prasangka sosial merupakan sikap-perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan, kelompok atau yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial terdiri atas attitude-attitude sosial yang negatif terhadap golongan lain dan mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain.

Prasangka sosial pada mulanya merupakan sikap-sikap dan perasaan negatif, namun lambat laun menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan Yang diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golongan yang diprasangkai, tanpa alasan-alasan yang objektif pada pribadi orang yang dikenakan tindakan-tindakan diskriminatif.

Tindakan-tindakan diskriminatif ini diartikan sebagai tindakan-tindakan yang bercorak menghambat-hambat, merugikan perkembangan seseorang bahkan mengancam kehidupan pribadi orang-orang yang kebetulan termasuk dalam golongan yang diprasangkai tersebut.


(18)

Gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang bercorak tindakan-tindakan diskriminatif terhadap segolongan manusia, tanpa terdapat alasan-alasan yang objektif dan membenarkan tindakan diskriminatif menunjukkan dengan jelas bahwa ada prasangka sosial.

Terjadinya prasangka sosial semacam ini dapat juga disebut pertumbuhan prasangka sosial dengan tidak sadar dan yang berdasarkan kepada kekurangan pengetahuan dan pengertian akan fakta-fakta kehidupan yang sebenarnya dari golongan-golongan orang yang dikenakan stereotype-stereotype tersebut. Faktor lain yang lebih sadar dan dapat mempertahankan serta memupuk prasangka sosial dengan gigih adalah faktor kepentingan perseorangan atau golongan tertentu.(Gerungan, 1983 : 175)

Berikut ini beberapa pengertian prasangka yang dituliskan oleh beberapa pakar komunikasi untuk memperjelas pengertian prasangka :

1. Gordon Allport

“Prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau generalisasi yang tidak luwes”

2. Jones

“Prasangka adalah sikap antipati yang berlandaskan pada cara generalisasi yang salah dan tidak fleksibel”


(19)

3. Jhonson

“Prasangka adalah sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotype kita tentang anggota dari kelompok tertentu”

Dari beberapa pengertian diatas, kita dapat mengatakan bahwa prasangka mengandung sikap, pikiran, keyakinan, kepercayaan, dan bukan tindakan. Jadi, prasangka tetap ada di pikiran, sedangkan diskriminasi mengarah ke tindakan sistematis. (Liliweri, 2005 : 201-202) ,

Prasangka sosial erat kaitannya dengan stereotype. Stereotype sudah terbentuk pada orang yang berprasangka, sebelumnya orang tersebut mempunyai kesempatan bergaul sewajarnya dengan orang lain yang dikenakan prasangka itu. Dan biasanya, stereotype terbentuk berdasarkan keterangan-keterangan yang kurang lengkap dan subjektif. (Gerungan, 1983 : 168-169)

Beberapa pakar cenderung menganggap stereotype itu identik dengan prasangka, seperti Donald Edgar dan Joe R. Fagin mengatakan bahwa stereotype merupakan komponen kognitif (kepercayaan) dari prasangka, sedangkan prasangka juga berdimensi perilaku. Jadi prasangka ini konsekuensi dari stereotype, dan lebih teramati daripada stereotype. Lan Robertson juga mengatakan “pikiran berprasangka selalu menggunakan citra mental yang kaku yang meringkas apapun yang dipercaya sebagai khas suatu kelompok. Citra demikian disebut stereotype”. (Mulyana, 2004 : 224)

Secara umum, kita dapat melihat bahwa prasangka mengandung tiga tipe : afektif (berkaitan dengan perasaan yang negatif), kognitif (selalu berpikir tentang


(20)

se buah stereotype), dan behavioral (tindakan dalam bentuk diskriminasi). Secara umum dapat pula disimpulkan bahwa prasangka antar ras atau etnik merupakan sikap negatif yang diarahkan kepada kelompok antar ras atau etnik tertentu dan difokuskan pada ciri-ciri negatif. (Liliweri, 2005 : 203).

2.1.2. Karakteristik Psikologis Laki-Laki dan Perempuan

Aspek psikologis yang mencakup intelegensi dan emosi dalam proses perkembangannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Hal ini berbeda dengan aspek biologis yang mengalami pertumbuhan secara otomatis-tanpa harus dipelajari. Kondisi intelegensi dasarnya memang biologis, yaitu pusat susunan syaraf otak yang mengandung pusat-pusat kemampuan yang diperoleh individu sejak dalam Kandungan sampai tiga tahun pertama sesudah lahir. Ada perkembangan selanjutnya tentang kondisi psikhis bagi lelaki dan perempuan sama hanya saja mana yang dominan satu dengan yang lain berbeda. Ini juga dipengaruhi adanya perlakuan yang berbeda terhadap lelaki dan perempuan sesuai dengan keinginan orang tua masing-masing. Apabila anak lelaki dan perempuan mempunyai potensi yang sama, diperlakukan dan diberi kesempatan yang sama, diperlukan dan diberi kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri semaksimal mungkin akan mencapai yang sama.

Nampaknya apa yang berkembang di masyarakat tidaklah demikian, perlu disadari bahwa faktor budaya akan mempengaruhi pola pengasuhan orang tua terhadap anaknya. Misalnya: sistem partiarkhi yang telah berkembang dalam


(21)

kehidupan masyarakat bahwa laki-lakilah yang berkuasa sehingga muncullah pemikiran androgini. Kondisi ini dipolakan sejak bayi baru lahir dan dimapankan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga terkesan bahwa yang demikian itu tidak dapat ditolak akan tetapi harus diterima dan dilakukan.

2.1.3. Androgini

Kata androgini berasal dari bahasa Yunani, andras (yang berarti laki-laki) dan gyne (berarti perempuan). Androgini berarti percampuran antara kedua gender perempuan dan laki-laki atau dapat juga dijelaskan bahwa androgini adalah pribadi yang tidak sepenuhnya maskulin maupun feminin. Androgini dapat pula dimaknai sebagai pertukaran nilai-nilai gender dan biasanya semua yang dikatakan androgini menunjukkan karakteristik atau melakukan aktivitas yang secara tradisional diasosiasikan terhadap gender yang lain.

Androgini adalah seseorang yang tidak selalu memenuhi tipe nilai gender maskulin dan feminin dalam masyarakat (http://en.wikipedia.org,/wiki/ Androgyny). Androgini sendiri dimunculkan ketika nilai gender maskulin dan feminin dirasakan tidak memiliki kecocokan dalam perkembangannya. Androgini dimaksudkan sebagai jalan tengah dimana ideologi maskulin dan feminin tidak lagi dianggap sebagai kodrat melainkan sebagai dua bagian yang terpisah. Seseorang dapat menjadi salah satunya atau mempunyai keduanya bersamaan, dan seseorang juga dapat mengkombinasikannya beragam komponen maskulin dan feminin dalam berbagai hal, tergantung pada keinginan, kebutuhan, dan


(22)

lingkungan individu tersebut. (httn:/,/heirn.ifi.uio.no/~thomas/gnd/androgyny-html). Androgini kemudian dianggap sebagai suatu Pemecahan untuk mengatasi kegilaan budaya dan sosial menyangkut nilai-nilai gender yang berbeda.

Perempuan androgini adalah mereka yang tidak takut pada tubuh mereka yang feminin, tetapi feminitas yang mereka perlihatkan bukan lagi feminitas pasif. Perempuan tidak takut pada bidang yang distereotypekan sebagai dunia laki-laki. Perempuan androgini seringkali disamakan dengan tomboy.

Menurut Dra. Hasta, Dosen Psikologi Undip, tomboi adalah perempuan yang mempunyai sifat, tingkah laku, cara berpakaian dan pola pikir seperti laki-laki. Walau begitu, tomboy tetaplah perempuan yang punya dasar, perasaan, dan naluri seorang perempuan. (http:/hayamwuruk-online.blogspot.com/2006/06/ada-tomhoi-di-fakultas-sastra.html) tomboy adalah rambut cepak, tidak dandan, cara berjalan dan bersikap beda dari yang lain, sporti, maskulin, cuek, serta berpakaian seperti lakilaki.

Sebagai perempuan androgini, kecenderungan aspek maskulin yang sebenarnya melekat pada pria, terdapat pula pada dirinya. Seperti cara berpikir logis, cara berbicara yang tegas, asertif atau memiliki kemampuan mengungkapkan perasaannya secara lugas, itulah ciri perempuan androgini.


(23)

2.1.4. Homoseksualitas

Homoseks adalah ketertarikan seseorang dengan jenis kelamin yang sama. Lelaki tertarik dengan lelaki, perempuan tertarik dengan perempuan. Faktor penyebab seseorang menjadi homoseks sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, tapi banyak ahli yang mengatakan bahwa faktor utamanya adalah gen.

Dalam mengorientasi gairah seksnya, seseorang mempunyai ‘chip’ yang terdapat di otak memiliki beberapa program, antara lain heteroseks, homoseks, dan biseks. Karena sudah terprogram, maka sulit untuk dihilangkan akibat sudah menempel dengan gen. (http://www.caprius.or.id/swara/article) .

Beberapa penelitian menunjukan bahwa pada orang homoseksual terdapat gen-gen khusus, pada sebagian homoseks terdapat kelenjar dibatang otaknya dengan ukuran sepertiga lebih kecil dari oarng heteroseks. Menurut teori Sigmund Freud, homoseksual murni sedikit jumlahnya, Sama halnya dengan heteroseks, yang banyak justru biseks. Tapi karena adanya standar social harus heteroseks, maka para biseks ini merubah diri menjadi heteroseks

Ada beberapa klasifikasi homoseksual yang dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya yang dikemukakan oleh McConel (1992:218) membagi homoseks menjadi beberapa jenis yaitu:

1. Pseudohomosexual

Bentuk homoseks hanya muncul untuk menggantikan perilaku heteroseks yang normal.


(24)

2. Bisexual

Kekuatan homoseksual dan heteroseksual seimbang, dimana individu berada diantara dua dunia tetapi tidak sepenuhnya masulc dalam salah satunya. 3. Pelacuran

Para homoseks yang memilih perilaku homaseksual karena mereka bisa mendapat uang dengan melakukan kegiatan tersebut.

4. Homoseksual yang murni

Orang yang memang berjiwa homoseksual, isi impian mereka yang menyertai mimpi basah sekalipun dalam bentuk homoseksual.

Mengubah perilaku seks seseorang memang tidak mudah, bahkan tidak bias karena sudah melekat. Terapi seks yang intensif memang cukup berhasil, namun hanya mengurangi hasrat, bukan menyembuhkan secara total atau menghentikannya. Seseorang homoseks yang menikah bila suatu saat terjadi kekecewaan dengan lawan jenisnya, maka besar kemungkinan dia akan kembali ke dunianya (http://www.caprius.or.id/swara/article).

2.1.5 Indentitas Maskulinitas

Beruntung atau tidak, laki-laki selalu dianggap menempati posisi p[aloing tinggi dari perempuan. Konsep budaya yang menempatkan posisi laki-laki lebih sempurna dari perempuan, dan yang mengharuskan lalki-laki dan perempuan bertindak sehari-hari menurut garis tradisi sedemikian rupa sehingga perempuan


(25)

berada pada posisi “pelengkap” laki-laki, semuanya berakar pada buadaya patriarki. Juliet Mitchel (1994) mendeskripsikan patriarki dalam suatu term prikoanalisis yaitu “The Law Of Father” yang masuk dalam kebudayaan lewat bahasa atau proses simbolik lainnya.

Lain halnya dengan yang dijelaskan oleh Heidi Hartmann (1992) salah seorang feminis sosialis, dimana patriarki adalah relasi hirarkis antara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki lebih dominan dan perempuan menempati posisi subordinat. Menurutnya, patriarki adalah suatu relasi hirarkis dan semacam forum solidaritas antar laki-laki yang mempunyai landasan material serta memungkinkan mereka untuk mengontrol perempuan. Sedangkan menurut Nancy Chodorw (1992), perebedaan fisik secara sistematis antara laki-laki dan perempuan mendukung laki-laki untuk menolak feminitas untuk secara emosional berjarak dari perempuan dan memisahkan laki-laki dan perempuan. Konsekuensi sosialnya adalah laki-laki mendominasi perempuan.

Identitas jenis kelamin merupakan soal pilihan. Orang meyakini bahwa dirinya pria atau wanita, namun terdapat perbedaan derajat yang mencolok tentang persepsi individu terhadap diri mereka sendiri sebagai pemilik sejumlah cirri-ciri maskulin dan feminine. Orang yang sangat maskulin adalah oarng yang menganggap dirinya memiliki cir-ciri minat, kegemaran, dan ketrampilan bermasyarakat yang secara khusus dikaitkan dengan sifat kejantanan.

Dalam kehidupan sosialnya, laki-laki dibentuk untuk tumbuh menjadi mahkluk yang kuat dan keras sedangkan perempuan adalah makhluk yang lemah, bahkan kata-kata maskulin sangat dekat artinmya dengan kata-kata otot (musele).


(26)

Laki-laki tidak diperkenankan untuk menangis, bekeluh kesah, atau menunjukan sikap-sikap lemah lemubut yang identik dengan perempuan, begitupun sebaliknya dengan perempuan. Mereka dituntup untuk memnuhi apa yang disebut dengan “Manhoodí” atau kode etik etik maskulinitas.

Sedari kecil laki-laki diberikan hak istimewah oleh masyarakat, mereka didahulukan dalam banyak hal dan diberikan kebebasan untuk melakukan apa saja sedangkan bagi perempuan dilarang atau dianggap sebagai suatu kewajaran . mereka diajarkan bahwa mereka adalah mahkluk yang lebih berkuasa disbanding lawan jenisnya, dituntut untuk selalu tampil kuat, tidak terliaht lemah (www.indomedia.com).

Maskulinatas adalah karakteristik tubuh laki-laki yang gagah, jantan, keras, dan kuat sehingga bertanggung jawab dalam memimpin, berpolitik dan urusan sejenisnya yang menggambrkan superioritas laki-laki dalam segenap aspek kehidupan sehari-hari. Sedang maskulinats pada perempuan, adal;ah sosok yang tangguh, kuat, dan mampu melakukan apa yang dikerjakan laki-laki. Maskulinitas sering diwarnbai dengan mengacu pada cirri-ciri yang melekat pada laki-laki. Maka muncul imaji maskulinats seperti tubuh yang gagah, berkeringat, pemberani, petualang dan sebagainya. Maskulinitas juga diidentikkan dengan mobilitas, gerak, gairah berkompetisi atau bertanding.

Maskulinitas merupakan karakter gender yang secara sosial memang dianggap layak dilekatkan dengan sosok laki-laki. Semakin masklulin seorang remaja pria, semakin mudah dia diterima dalam kelompoknya. Sebagai produk konstruksi sosial, maskulinitas bahkan telah ditanamkan sangat kokoh dalam


(27)

lingkup keluarga inti (www.kompas.com). Namun perlu diketahui juga bahwa maskulinitas sebenarnya hanyalah sebuah konstruksi sosial hasil bentukan kebudayaan masyarakat itu sendiri.

Maskulinitas dalam hubunganya dengan konstruksi sosial laki-laki dan perempuan diatas secara tersirat erat berkaitan dengan permasalahan gender. Menurut Zimmerman yang dikutip oleh Ritzer dan Goodman menjelaskan bahwa gender (yaitu perilaku yang memenuhi harapan sosial untuk laki-laki dan perempuan) tidak melekat dalam diri seseorang, tetapi dicapai melalui interaksi dalam situasi tertentu.

Dengan demikian konsepsi individu tentang perilaku nlaki-laki dan perempuan yang tepat adalah diaktifkan secara situasional. Dalam arti seseorang melaksanakan peran jenis kelamin karena situasi memungkinkan seseorang berperilaku sebagai laki-laki dan perempuan dan sejauh orang mengakui perilakunya. Sehingga ada kemungkinan orang dengan kultur yang berbeda tidak bisa memahami perilaku orang lain dilihat dari sudut identitas jenis kelamin, dimana perilaku tersebut tidak diakui sebagai perilaku laki-laki dan perempuan yang tepat. Tak jarang, pembagian kerja dalam rumah tangga yang tampaknya tak seimbang dilihat dari luar situasi rumah tangga, mungkin dilihat adil dan seimbang baik oleh laki maupun perempuan dam situasi tersebut karena laki-laki dan perempuan dan menyesuaikan diri terhadap harapan normative untuk berperan menurut jenis kelamin dalam rumah tangga.

Maskulinitas juga dapat dimaknai dengan mengacu pada watak yang melekat pada laki-laki seperti jantan, perkasa, agresif, rasional, dan dominan. Maskulinats


(28)

sendiri bukan merupakan sebuah pemberian dari Tuhan dan sudah dimilki sejak lahir, melainkan sebuah konstruksi sosial budaya yang melekatkan cirri maskulinitas pada sosok laki-laki. Maskulinitas dapat diartikan bukan sebagai keadaan biologis seperti seks yaitu laki-laki memiliki penis dan perempuan tidak berpenis, namun sebagai bagian dari gender yang merupakan bentuk pengkategorian laki-laki dan perempuan dalam identitas, relasi dan peran dalam kehidupan sosial.

Seperti pendapat Harding (1968) dan Siva (1989), feminitas dan maskulinitas sebagai sebuah konsep nilai yang kontradiktif pada dasarnya dapat saling dipertukarkan, artinya feminitas tidak mesti hanya dimiliki oleh kaum perempuan dan juga maskulinitas tidak serta-merta hanya dimiliki oleh laki-laki (Fakih, 2001 : 101). Namun karena pemahaman gender telah dilegitimasi melalui nilai-nilai dan norma-norma budaya masyarakat maka citra ideal telah dilekatkan pada laki-laki dengan ciri maskulin dan perempuan dengan cirri feminine.

Stereotype maskulinitas senantiasa dilekatkan pada kaum laki-laki dalam bentuk konsepsi sifat-sifat yang selalu bermakna positif, diantaranya, yakni; rasional, tegar, kuat, mandiri, tegas, dan dominan (Kasiyan, 2008 : 52) singkatnya maskulinitas telah disepakati secara sosial sebagai citra ideal bagi kaum laki-laki dan kemudian diwariskan dalam masyarakat.


(29)

2.1.6 Film Sebagai Komunikasi Massa

Pengertian film menurut Undang-Undang nomor 8 tahun 1992 (8/1992), Tanggal 30 Maret 1992 (Jakarta), tentang : perfilman, pasal I. Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas senemaotografi dengan direkam pada pita seluloid, pita, video, dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik dan/atau lainnya. (http:/www.theceli.com/dokumen/produk/ 1992/uu8-19992.htm)

Film cerita adalah jenis film-film yang menganuung suatu cerita yaitu lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan para bintang filmnya yang tenar. Film ini di distribusikan sebagai barang perdagangan dan diperuntukkan bagi masyarakat dimana saja. (Onong, 2000 : 211).

Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang telah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. (McQuail, 1994: 13).

Film berperan sebagai sarana baru yang dipergunakan untuk menyebarkan hiburan yang telah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, music, drama. Lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum (Mc. Quail, 1994 :13)


(30)

Banyak perspekstif yang dikemukakan oleh para ahli saat memandang sebuah film sebagai media massa. Perspektif yang pertama memandang bahwa bila dilihat dari sis pesannya, film sesungguhnya merupakan pencerminan atau refleksi dari sebuah masyarakat, yaitu masyarakat tempat membuat film itu sendiri, dalam arti temat sineas, pendukung dan para kru produksi yang ada didalamnya. Kedua, film dianggap sebagai refleksi atau pencerm,inan dari masyarakat karena didorong oleh sifat komersialnya agar menyajikan isi yang dapat menyedot animo khalayak yang sebanyak-banyaknya.

Media massa sudah lama dianggap sebagi media pembentuk masyarakat, demikin halnya dengan film. Film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) di baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argument bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Karena film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar. (Irawanto, 1999 dalam sobur, 2003 : 127)

2.1.7. Film Sebagai Realitas Sosial

Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan memproyeksikan ke dalam layar. (Irawanto, 1993 : 13 dalam Alex Sobur 2002 : 127).


(31)

Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya, baik realitas dalam bentuk imajinasi maupun realitas dalam arti sebenarnya. Film menunjukkan pada kita jejak jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa kini dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang.

Dalam perkembangannya, film bukan lagi sekedar usaha menampilkan “citra bergerak” (moving images) namun juba telah diikuti oleh muatan-muatan kepentingan tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup. Film juga sudah dianggap bisa mewakili citra atau identitas komunitas tertentu. Bahkan bisa membentuk komunitas sendiri, karena sifatnya yang universal. Meskipun demikian, film juga tidak hanya menimbulkan dampak negatif. (Victor C. Mambor : http:f/situskunci.tripod.comiteks/victorl.htm)

Istilah kontruksi realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckmann (1996) melalui bukunya The Sosial Constraction of Reality : A Treatise in the sociallogical of knowledge yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia tafsir sosial atas kenyataan : Risalah tentang sosiologi pengetahuan (1990) yang menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama subjektif (Sobur, 2002 : 91)

Realitas diartikan sebagai semua yang telah dikonsepkan sebagai sesuatu yang mempunya wujud. Karena semua pengalamn hidup sosiokultural manusia itu


(32)

pada hakikatnya adalah hasil akhir suatu proses konseptual yang imajinatif (Sobur, 2003 : 186)

Realitas sosial dipisahkan pemahamannya oleh Berger dan Luckmanm menjdai “kenyataan” dan “pengetahuan” realitas (Kenyataan) diartikan sebagai kualitas yang terdapat didalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung pada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan meiliki karakter secara spesifik (Sobur, 2002 : 91)

Berger dan Luckman mengemukakan bahwa realitas terbentuk secara soaial, dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang berkaitan dwengan fenomena yang dianggap berada diluar kemampuan kita. Fenomena adalah real adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari.

Berger dan Garfinkel berpendapat bahwa realitas kehidupan yang selama ini diabaikan sesungguhnya merupakan realitas yang lebih penting. Realitas ini dianggap sebagai realitas yang teratur dan terpola, dan biasanya diterima begitu saja karena dalam interaksi yang terpola, realitas sama – sama dimilki orang lain. Sedangkan Garfinkel sendiri mempunyai pandangan berbeda bahwa realitas yang ada memiliki dimensi subyektif dan obyektif dalam menciptakan suatu realitas dalam proses eksternalisasi. (Poloma,200 : 301).

Realitas sosial yang dimaksud merupakan pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana public sebagai hasil dari konstruksi sosial. Realitas sosial


(33)

dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivitasi dan internalisasi. Menurut Berger dan Luckman, konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa namun sarat dengan berbagai kepentingan. (Sobur 2003 : 186).

Bagi Berger, proses dialektis dalam konstruksi realitas sosial terbagi menjadi tiga tahap : pertama eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan, ekspresi manusia didunia. Kedua, objektivikasi yaitu hasil yang telah dicapai baik mental atau fisik dari kegiatan ekternalisasi manusia. Ketiga, internalisasi yakni penyerapan kembali dunia objektif kedalam kesadaran sehingga subjektif individu dipengaruhi struktur dunia sosial. (Eriyanto, 2002 :14)

Pada intinya realitas sosial yang dimaksud Berger dan Luckman ini terdiri atas realitas objektif, realitas simbolik, dan realitas subjektif. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman didunia objektif yang berada diluar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan.

Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sementara realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik kedalam individu melalui proses internalisasi. (Sobur, 2003 : 186)

2.1.8. Konstruksi Gender

Proses konstruksi yang berlangsung secara mapan dan lama inilah yang mengakibatkan masyarakat kita sulit untuk membedakan apakah sifat-sifat gender


(34)

tersebut dibentuk oleh masyarakat atau kodrat biologis yang ditetapkan dari Tuhan. Namun, Mansour Fakih menegaskan bahwa setiap sifat melekat pada jenis kelamin tertentun dan sepanjang sifat itu bisa dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat dan sama sekali bukan kodrat. (Fakih, 1999 : 10)

Menurut Wijaya, keberadaan konstruksi sosial gender yang berlangsung dalam masyarakat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain :

1. Adat kebiasaan 2. Kultur

3. Lingkuan dan pranata membesarkan dan mendidik anak

4. Lingkungan dan pranata gender, diferensiasi (perbedaan gender) 5. Struktur yang berlaku

6. Kekuasaan

Dari beberapa hal diatas, kemudian terjadi pembentukan stereotype yaitu pelabelan atau penandaan yang dilekatkan pada jenis kelamin, antara lain stereotype laki-laki adalah amskulinitas dan perempuan adalah feminitas. Secara objektif terdapat butir-butir stereotype maskulin yang bernilai positif, yaitu mandiri, agresif, tidak emosional, sangat objektif, tidak mudah dipengaruhi, aktif, lugas, logis, tahu bagaimana bertindak, tegar, pandai membuat keputusan, percaya


(35)

diri, ambisius, dan sebagainya. Dan terdapat pula butir-butir stereotype feminine yang bernilai positif seperti tidak suka bicara kasar, halus, lembut, peka terhadap perasaan orang lain, bicara pelan, mudah mengekspresikan diri, dan sebagainya (Wijaya, 1991 : 156-157).

Stereotype gender adalah keyakinan yang membedakan sifat dan kemampuan antara peran perempuan dan laki-laki untuk peren-peren yang berbeda. Gender sebagai konsep merupakan hasil pemikiran atau hasil rekayasa manusia, sehingga sama sekali tidak bisa disebut sebagai kodrat Tuhan karena sifat-sifat yang ada didalamnya bisa dipertukarkan. (Fakih, 1999 : 72)

2.1.9 Representasi

Menurut John Fiske, yang dimaksud dengan representasi adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra atau kombinasinya (Fiske, 2004 : 282)

Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia yakni dialog, tulisan, video, film, fotografi dan sebagainya. Konsep representasi bisa perubahan ada pemakaian baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri Juga tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru.


(36)

Intinya adalah makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, dan produksi, lewat proses representasi. la adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu (Juliastuti; 2000 dalam http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm).

Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam 'bahasa' yang sama dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.

Bahasa adalah media yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena la. beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu.

Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita ‘merepresentasikannya’. Dengan mengamati kata-kata yang kita gunakan dan

image-image yang kita gunakan dalam merepresentasikan sesuatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada sesuatu tersebut.

Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja, kita bisa memakai tiga teori representasi yang dipakai sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan: darimana suatu makna berasal ? bagaimana kita


(37)

membedakan antara makna yang sebenarnya dari sesuatu atau suatu image dari sesuatu ? Yang pertama adalah pendekatan reflektif. Di sini bahasa berfungsi sebagai cermin, yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua adalah pendekatan intensional, dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan konstruksionis. Dalam pendekatan ini kita percaya bahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai. (http://www.fathurin-zen.com)

Menurut Stuart Hall, ada dan proses representasi. Pertama, representasi mental. Yaitu konser, tentang `sesuatu' yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, `bahasa', yang berperan penting dalam proses konstruksi makna.

Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam `bahasa' yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu

Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem `peta konseptual' kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara `peta konseptual' dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara 'sesuatu'. `peta konseptual' dan `bahasa/simhol' adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa (http://www.fathurin-zen.com)


(38)

Representasi dalam film merupakan penggambaran suatu objek yang ditampilkan dalam film. Penggambaran ini ditampilkan melalui serangkaian tanda-tanda. Tanda-tanda yang dimaksudkan berarti tanda yang menjadi unsure sebuah film. Unsur tersebut berupa dialog, sikap pemain, angel, kamera hingga music. Tanda dan unsure-unsur film ini akan dianalisis dan dicari maknanya sehingga makna dibalik tanda tersebut dapat diungkap.

Konsep representasi bisa berubah-ubah selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Intinya adalah makna akan inheren dalam suatu dunia ini, ia selalu di konstruksikan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.

Konsep representasi pada penelitian ini merujuk pada pengertian tentang bagaimana seseorang, sebuah kelompok atau sebuah gagasan ditujukan dalam media massa (Eriyanto, 2001 : 113). Dalam Film, alat-alat representasi itu sebuah narasi besar, cara bercerita, scenario, penikohan, dialog dan beberapa unsure lain didalamnya.

Menurut Graeme Turner (1991 : 128), makna film sebagai representasi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar memindah layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvoi-konvoi ada ideology kebudayaannya. (Irawanto, 1999 : 15)


(39)

2.1.10Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani, semeion, yang berarti tanda (Sobur, 2006 : 15). Studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja dinamakan semiotika (Fiske, 2006 : 60).

Oleh Saussure, ilmu tentang tanda dinamainya semiology, sementara oleh Peirce, yang lebih berkembang di Amerika, menghadirkannya dalam peristilahan semiotic. Keduanya merujuk pada kata semiion dalam bahasa Yunani yang berarti tanda Saussure (1974 dalam Kress & Hodge, 1988 : 1) mendaulat semiology sebagai, “the science of the life of signs in society,” sementara Peirce sendiri, mendefinisikan semiotic sebagai, “is something which stands tom somebody for something in some respect or capacity.” (Pateda, 2001 dalam Sobur, 2004 : 41).

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda - tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia (Sobur, 2003 : 15). Pada dasarnya semiotika hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).

Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate), dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi system terstruktur dari tanda (Barthes dalam Alex Sobur, 2003 : 15).

Didalam sejarah perkembangan semiotika, berasal dari dua. induk yang memiliki dua tradisi dasar berbeda. Pertama, Charles Sanders Pierce, seorang ahli


(40)

filsuf yang hidup di peralihan abad lalu (1839-1914). Sebagai seorang filsuf dan ahli logika, Pierce berkehendak untuk menyelidiki apa dan bagaimana proses bernalar manusia.

Teori Pierce tentang tanda dilandasi oleh tujuan besar ini sehingga tidak mengherankan apabila dia menyimpulkan bahwa semiotika tidak lain dan tidak bukan adalah sinonim bagi logika (Budiman, 2005 : 33). Disisi lain, kedua terdapat pula tradisi semiotik yang dibangun berdasarkan teori kebahasaan Ferdinand de Saussure (1857-1973) sebagai seorang sarjana linguistic di Perancis. Sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat. Akan tetapi bagian di psikologi sosial, sebagai konsekuensinya, psikologi general. Dan diberi nama semilogi akan menunjukkan hal-hal apa yang membentuk tanda-tanda, kaidah-kaidah apa yang mengendalikannya (Saussure, 1966 : 16 dalam Budiman, 2005 : 35).

Semiotika mempunyai tiga bidang studi nama, yaitu : (Fiske dalam buku terjemahan Iriantara dan Subandy, 2007 : 60)

1. Tanda itu sendiri. Hat ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya.

2. Kode atau system yang mengorganisasikan tanda Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.


(41)

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini giliranya bergantung pada pengguna kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

2.1.11Shot

Para pembuat film mempergunakan amat banyak istilah dalam hubungan dengan Shot, factor-faktornya yaitu jarak focus, sudut pengambilan, gerak dengan sudut pandang. Shot normal meliputi : Full Shot (shot keseluruhan), shot tiga seperempat, shot menengah (medium shot). Semuanya dirumuskan menurut jumlah bagian dari subyek yang tampak close up, long shot, extreme shot melengkapi lingkungan bebagai jarak.

Shot adalah kata-kataa dalam film, adegan sama dengan kalimat, dengan scene merupakan paragraph. Dengan pengertian peraangkat pembagian ini disusun sesuai dengan urutan meningkat. Shot secara teknis dapat dirumuskan dengan cukup baik sebagai sepotong film.

Sebuah shot bisa berisi informasi sebanyak yang mau kita baca didalamnya dengan satuan-satuan manapun yang kita rumuskan, dalam shot itu bersifat menurut kehendak hati sendiri. Dalam hal ini shot yang ada dalam penelitian ini meliputi shot atau pengambilan gambar dari tokoh utama Mae (Nirina Zubir). (Monaco, 1977 : 156)


(42)

2.1.12Pendekatan Semiotik Dalam Film – John Fiske

Menurut John Fiske (2004: 282), semiotika adalah studi tentang pertandaan dan makna dari sistem tanda, ilmu tentang tanda, tentang bagaimana makna dibangun dalam “teks” media; atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkomunikasikan makna.

Metode analisis semiotika ini menurut Fiske (1990: 189) tidak hanya dipusatkan pada transmisi pesan, melainkan pada penurunan dan pertukaran makna. Penekanan di sini bukan pada tahapan proses, melainkan teks dan interaksinya dalam memproduksi dan menerima suatu kultur/budaya; difokuskan pada peran komunikasi dalam memantapkan dan memelihara nilai-nilai dan bagaimana nilai-nilai tersebut memungkinkan komunikasi memiliki makna. Di sisi lain, semiotika melihat bahwa pesan merupakan konstruksi tanda-tanda, yang pada saat bersinggungan dengan penerima akan memproduksi makna (Fiske, 1990: 2).

Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural And Communication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari, ilmu komunikasi. Perspektif yang pertanda melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Sedangkan perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran maka. Berkaitan dengan penelitian ini, maka peneliti hanya akan menggunakan perspektif yang kedua, yaitu dari sisi produksi dan pertukaran makna.


(43)

Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam budaya. Perspektif ini seringkali menimbulkan kegagalan dalam berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dan penerima pesan. meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinva dan bukan kejelasan sebuah pesan disampaikan untuk itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik. (Fiske, 2006 :9)

Fiske (Fiske, 1987 : 5). kemudian memilahnya ke dalam tiga level pengkodean tayangan di televisi, yang dalam kasus penelitian ini juga diberlakukan pada film antara lain:

1. Level Pertama

adalah reality (realitas), kode sosialnva antara lain, appearance (penampilan), dress (kostum), make-up (riasan), environment (lingkungan), behaviour (kelakuan), speech (gaya bicara), gesture (gerakan), expression (ekspresi), sound (suara).

2. Level kedua

adalah representation (repi-esentasi); kode sosialnyn antara lain, camera (kamera), lighting (pencahayaan), editing (perevisian), music (musik), sound (suara)


(44)

adalah ideology (ideologi), kode sosialnya antara lain, narrative (narasi), conflict (konflik), character (karakter), action (aksi), dialogue (dialog), setting (latar), casting (pemeran). Selain itu analisis semiotik yang dilakukan pada sinema atau film layar layar (wide screen) menurut Fiske disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan oleh televisi.

Film pada umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda itu termasuk sebagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam film adalah gambar dan suara, kata yang diucapkan, ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar dan musik film. Sistem semiotika yang lebih penting dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu (Sobur, 2004 : 128).

2.1 Kerangka Berpikir

Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan, maka dapat diketahui bahwa untuk mengerti dan memahami beberapa visual yang memrepresentasikan perempuan berpenampilan maskulin dalam film “Get Married”, peneliti menggunakan teori analisis semiotik film oleh John Fiske, analisis semiotik pada sinema atau film layar lebar (wide screen) disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televisi yang dikemukakan oleh John Fiske. Analisis ini terbagi menjadi level realitas, level representasi dan level ideology.


(45)

Dalam pengembangan kerangka berpikir peneliti menggunakan analisis berupa representasi terhadap scene-scene yang menunjukan karakteristik perempuan berpenampilan maskulin, dalam hal ini lebih khusus kepada pemeran utama yaitu Mae. Pertama film akan dipilah penanda-penandanya ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun. Pada tahap kedua film “Get Married” scene-scene yang telah dipilah tersebut akan dianalisa secara mendalam dan dimaknai, yang menunjukan adegan menurut level realitas dan representasi menurut John Fiske.


(46)

3.1 Metode Penelitian

Menurut Kirk dan Miller, penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental, bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan langsung dengan orang-orang tersebut dalam bahasa dan istilahnya. Sedangkan analisis semiologi merupakan analisis mengenai tanda dan segala hubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungan dengan tanda-tanda lain, pengiriman dan penerimaannya untuk mereka yang menggunakan.

Dengan menggunakan metode penelitian semiologi yang bersifat kualitatif, peneliti berusaha menggali realitas yang didapatkan melalui interpretasi simbol-simbol dan tanda-tanda yang ditampilkan sepanjang film. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi perempuan berpenampilam maskulin dalam film “Get Married” .

3.2 Kerangka Konseptual

3.2.1 Corpus Penelitian

Di dalam penelitian kualitatif, diperlukan suatu pembahasan masalah yang disebut dengan Corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada perkembangannya oleh analisis keesemenaan. Corpus haruslah cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa unsur-unsur akan


(47)

memelihara sebuah sistem kemiripan dan perbedaan yang lengkap, dan corpus juga bersifat sehomogen mungkin (Kuriawan, 2000 : 70). Corpus dalam penelitian ini bersifat terbuka terhadap konteks yang beraneka ragam.

Pada penelitian kualitatif ini memberikan peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi alternatif. Corpus dalam penelitian ini adalah tokoh Mae yang adalah sosok perempuan berpenampilan maskulin namun memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis dalam film yang berjudul “Get Married” yang ditonton dalam versi VCD (Video Compect Disc). Film Get Married merupakan film layar lebar yang diproduksi secara khusus untuk dipertunjukan di gedung-gedung bioskop Indonesia.

3.2.2 Unit Analisis

Unit anlisis pada penelitian ini adalah scene-scene yang ada dalam film “Get Married”. Total scene pada film ini sebanyak 105, namun yang diambil sebanyak 11 scene yang menunjukan adegan yang mengandung perempuan berpenampilan maskulin pada tokoh Mae.

Keseluruhan tanda dan lambang berdasarkan pembagian level analisis dan representasi oleh John Fiske, yang menunjukan adanya unsur-unsur perempuan berpenampilan maskulin, kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan teori semiotika film Jhon Fiske.


(48)

Analisis semiotik pada sinema atau film layar lebar (wide screen)

disertakan dengan analisis film yang ditayangkan di televisi. Fiske mengkategorikan dalam tiga level yakni level Realitas, level Representasi, dan level Ideologi. Hal ini untuk mengetahui representasi perempuan berpenampilan maskulin dalam film tersebut.

3.2.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam setiap penelitian harus melakukan kegiatan pengumpulan data. Dimana kegiatan pengumpulan data ini adalah prosedur yang sangat menentukan baik tidaknya suatu penelitian. Teknik pengumpulan data merupakan instrument dalam setiap penelitian kuantitatif maupun kualitatif, sehingga jika kegiatan pengumpulan data ini tidak dirancang dengan baik, maka data yang diperoleh pun tidak sesuai dengan permasalahan penelitian. Dalam artian bahwa seorang peneliti harus memperoleh data-data yang relevan, artinya data yang ada kaitannya langsung dengan masalah yang diteliti(Kriyanto, 2006 : 91).

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini didapatkan dari data primer dan sekunder, antara lain :

1. Data primer berasal dari corpus penelitian yakni gambar dalam film Get Married.

2. Data sekunder yang diperoleh dari kumpulan-kumpulan literatur seperti buku baik primer maupun pengantar, berita-berita dari surat


(49)

kabar dan majalah serta artikel-artikel dari internet yang tentunya disesuaikan dengan kebutuhan dalam penelitian ini.

3.2.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis data secara kualitatif dengan menggunakan percetakan semiotik John Fiske. Sesuai dengan pendapat John Fiske, analisis semiotik pada film akan dibagi menjdai tiga level yaitu level realitas, level representasi, dan level ideologi.

Pada level relaitas, dianalisis bebrapa kode-kode sosial yang merupakan realitas, dapat berupa penampilan, ekspresi kostum dan make-up yang digunakan oleh pemain dalam film “Get Married”, latar yang ditampilkan dari cerita pemeran serta gesture para pemain film “Get Married”.

Pada level representasi, yang akan diamati meliputi kerja kamera yaitu

Long Shot, Medium Shot, dan Close-Up. Pada teknik editing digunakan untuk memilih scene yang ada hubungannya dengan unsur-unsur dan pencahayaan untuk mengetahui karakter pemain yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional.

Pada level Ideologi, yang akan diamati meliputi narasi (naraative),konflik

(conflict),dialog (dialogue), pemeran (casting) dari tiap scene yang mencakup pembahasan representasi perempuan berpenampilan maskulin dalam film “Get Married”.


(50)

4.1. Gambaran

Umum

Objek

4.1.1 Gambaran Umum Film Get Married

Film “Get Married” ini diproduksi oleh PT. Kharisma Starvisionplus.

Starvisionplus telah memproduksi film bergenre komedi seperti “Jomblo”,

“Kamulah satu-satunya”. Ditengah maraknya film horor, film garapan Sutradara

Hanung Bramantyo ini hadir berbeda dari film komedi lainnya, drama satir ini

sangat sangat sarat dengan sentilan-sentilan atas kritik terhadap pemerintah

Indonesia. Hal ini tak lepas dari si penulis naskah film ini Musafir Yasin, yang

juga adalah penulis film “Naga Bonar Jadi 2”.


(51)

keadaan Indonesia. Film yang dirilis tanggal 11 Oktober 2007 ini telah menyabet

beberapa penghargaan yaitu pada ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2007 untuk

kategori pemeran pendukung wanita (Marriam Bellina), Editing terbaik (Cesa

David Luckmansyah) dan Sutradara terbaik (Hanung Bramantyo). Tidak hanya

itu, pada ajang Indonesia Movie Awards 2008 mendapatkan penghargaan pada

nominasi pemeran utama terfavorit yang diterima oleh Nirina Zubir (Mae). Film

yang berdurasi 105 menit ini adalah obat kerinduan para penikmat film Indonesia,

terutama yang diluar remaja, yang jenuh akan genre yang ditawarkan para sineas

negeri sendiri. Terlebih dengan setting serta cerita yang ditawarkan, jauh dari

glamor serta mimpi yang banyak ditampilkan di film-film ataupun sinetron.

Setting yang ditampilkan adalah perkampungan kumuh di daerah Jakarta, tepatnya

di pinggir situ atau sungai. Rumah yang disetting pun sangat jauh dari kesan kaya.

Tidak sekdar jadi drama komedi, film ini menyuguhkan adegan tawuran

masal yang langka, disuguhkan dalam film nasional satu dekade ini. Untuk

merekam bagian ini produser Chand Parwez menyebutkan bahwa kameramen

Faozan Rizal sampai menggunakan tiga buah kamera. Dan hasilnya memang

lumayan. Boleh jadi, pertaruhan produser Chand Parwez untuk film ini memang

cukup besar. Cerita dengan isu urban seperti ini memang rawan untuk

dilemparkan ke pasar, apalagi mengingat kasus amblasnya “Kamulah

satu-satunya” di pasaran.


(52)

terbesarnya adalah menjadi seorang polisi wanita, namun oleh orangtuanya

disekolahkan ke akademi sekretaris dan bergelar sarjana. Eman (diperankan

Aming) yang ingin mengabdikan dirinya di dunia politik, dan menjadi politikus

sejati, malah dimasukkan ke pesantren oleh orang tuanya. Anak muda yang tidak

beruntung selanjutnya adalah Beni (diperankan Ringgo Agus Rahman) yang

bercita-cita jadi petinju tetapi masuk sekolah pertanian. Sedangkan Guntoro

(diperankan Desta Clubeighties) yang selalu berangan-angan jadi seorang pelaut

dan bisa keliling dunia, malah selalu berurusan dengan komputer, karena ia

mengikuti kursus komputer. Jadilah mereka anak-anak muda yang frustrasi yang

mengisi hari-hari mereka dengan bermain gaple bersama di sebuah gubug yang

dijadikan markas mereka di pinggiran kali.

Tiba-tiba saja ada kesadaran pada orang tua Mae (diperankan Jaja

Mihardja dan Meriam Bellina), bahwa setiap manusia harus memiliki keturunan.

Sedangkan satu-satunya penerus yang mereka miliki hanyalah Mae. Tapi Mae

yang tomboy yang tak pernah merawat diri sebagai perempuan sejati, tak tersentuh

kosmetik pasti tidak akan dilirik pria, baik pria satu kampung atau dari luar. Dan

lebih parahnya lagi setiap harinya ia bergaul dengan tiga pemuda tidak jelas dan

sewaktu-waktu bisa mengganggu keselamatan pria yang mendekat padanya.


(53)

ternyata yang berminat adalah seorang anak muda bermotor bebek. Sementara

selera Mae sangat tinggi, ingin punya suami yang gagah dan mentereng. Terbesit

keinginan untuk dijodohkan dengan seorang olahragawan bertubuh kekar. Tapi

sayangnya Mae tetap saja menolak, dan akhirnya ketiga sahabatnya turun tangan

untuk menjauhkan Mae dari pria kekar itu. Sampai akhirnya muncullah sang

pangeran, Rendy (diperankan Richard Kevin) seorang pemuda yang tampan dan

kaya yang mampu membuat Mae jatuh cinta pada pandangan pertama, Rendy

yang tak lain adalah Bos dari Bodyguard yang pernah melamar Mae.

Tidak beda dengan Mae, Rendy juga sedang di kejar-kejar oleh Mamanya

untuk segera mencari istri. Rendy yang sedang mencari gadis unik, beda dengan

gadis-gadis lainpun juga jatuh cinta pada Mae. Tapi ulah ketiga sahabatnya,

Eman, Beni, dan Guntoro, yang belum sanggup berpisah dengan Mae membuat

hari-hari bahagia yang ada di depan mata Mae hancur berantakan, karena setiap

pria yang menyukai Mae jika tidak sesuai dengan pilihan atau keinginan mereka,

maka pria tersebut akan dihabisi.

Bu Mardi, ibu Mae, jatuh sakit karena memikirkan anaknya yang tak juga

berjodoh. Bila ia mati dan Mae belum kawin maka ia mengancam akan jadi hantu.

Mae pun panik dan berusaha untuk menyelamatkan nyawa ibunya. Karena tidak

tahu harus menikah dengan siapa maka calon yang ada hanya tiga sahabatnya itu.

Bagi Eman, Beni, dan Guntoro, ini amat menggelikan. Tapi akhirnya mereka

menyadari ini merupakan ujian persahabatan bagi mereka.


(54)

beberapa hari menjelang pernikahan tiba-tiba saja Guntoro sakit. Perundingan

kembali dilakukan dan pilihan jatuh pada Eman. Senada dengan Guntoro, Eman

pun tiba-tiba sakit. Tinggallah Ben yang tersisa. Mau tak mau Ben yang menjadi

pendamping Mae.

Pesta pernikahan pun digelar, tapi dari pihak luar tidak terima Mae direbut

oleh Ben. Rendy membawa pasukan Harley-nya menyerbu kampung Mae dan

terjadilah tawuran tak terkendali. Pada akhirnya yang menjadi pengantin pria dan

menikah dengan Mae adalah Rendy.

4.2 Penyajian

Data

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada film Get Married, maka

dapat disajikan hasil pengamatan terhadap film tersebut. Objek penelitian dalam

film ini adalah Mae (Nirina Zubir) yang menjadi tokoh utama dalam. Pengamatan

data dalam penelitian ini difokuskan pada representasi perempuan berpenampilan

maskulin, dalam hal ini Mae.


(55)

Scene 3 : Mae mengambil jualan penjual gorengan 

Scene 7 : Mae sedang bermain Gaple bersama sahabat-sahabatnya 


(56)

tidak terawat (scene 7 dan scene 3), serta sikap yang apa adanya (scene 5) dan

sering melakukan aktifitas atau kebiasaan laki-laki, Contohnya bermain gaple,

tawuran. Kebiasaan Mae yang tidak seperti kebanyakan perempuan adalah

kebiasaan pada saat makan, kakinya selalu dinaikan, bahkan saat makan bersama

orang tuanya, dan selalu berkumpul atau bergaul dengan laki-laki di kampungnya

serta melakukan tawuran. Mae juga memilki kebiasaan mengambil jualan penjual

gorengan di kampungnya.

4.3 Analisis

Data

4.3.1 Pada Level Realitas

4.3.1.1 Kostum dan Make-Up

Pakaian dapat dijadikan identitas dari sebuah keadaan yang

menggambarkan diri seseorang. Sebagai seorang perempuan Mae dikategorikan

sebagai perempuan Tomboy (berpenampilan maskulin), tidak pernah menyentuh

make-up dan tidak suka berdandan serta apa adanya. Cirinya Mae suka sekali

memakai kaos oblong (T-shirt) atau kaos laki-laki tanpa lengan, celana jeans yang

dipotong pendek serta sobek, serta gaya rambut yang acak-acakan dan tidak

terawat.


(57)

   

Scene 6 : Mae sedang bermain Gaple bersama ke tiga sahabatnya

Scene 11 : Mae memukul temannya pada saat kesal

Analisis :

Mae dapat dikategorikan sebagai perempuan androgini yang adalah

seseorang yang tidak selalu memenuhi tipe nilai gender maskulin dan feminin

dalam masyarakat. Mae adalah perempuan yang apa adanya, acuh dan tidak

terawat seperti perempuan-perempuan pada umumnya yang selalu memperhatikan

penampilan.

Gaya berpakian dan tingkahnya yang tomboy merupakan ciri khasnya,

karena itu dikesehariannya Mae selalu bergaul dengan ketiga laki-laki yang

menjadi sahabatnya sejak kecil dan dianggap sama dengan ketiga sahabatnya


(58)

4.3.1.2 Setting

1.

Mae

a.

Kamar

Mae

Analisis :

Pada gambar diatas (Scene 12) menunjukan ikon kamar penuh dengan

barang, dinding kamar yang dicoret-coret, dan beberapa poster. Suatu kebiasaan

atau karakter seorang laki-laki yang pada dasaranya memiliki kamar yang

berantakan, namun Mae sebagai seorang perempuan memiliki kamar yang seperti

itu. Karakter perempuan seperti Mae merupakan suatu karakter perempuan

anndrogini, dimana perempuan yang memiliki sifat, tingkah laku, cara berpakaian


(59)

dasar, perasaan, dan naluri sebagai seorang perempuan.

(http:/hayamwuruk-online.blogspot.com/2006/06/ada-tomhoi-di-fakultas-sastra.html)

.

4.3.1.3 Dialog

Dalam penelitian ini yang dibahas adalah dialog yang mempresentasikan

perempuan berpenampilan maskulin yang ada dalam film “Get Married”.

Long Shot (LS) karena gambar yang tampak adalah objek manusia dan

menampakan latar belakang disekitar obejk serta memberikan informasi mengenai

penampilan tokohnya.

Scene 5 : Sikap Mae saat makan dan ekspresi yang tidak memperdulikan

perkataan ibunya

Dialog :

Ibu Mae

: Mae kamu tuh perempuan, Duduk jangan kaya begini !

Mae

: Ya biarin aje napa sih ?


(60)

Penggalan dialog diatas merupakan pendirian atau prinsip Mae, ketika

setiap kali ditegur oleh ibunya tentang kebiasaan Mae pada saat makan. Bahkan

pada saat ibunya Mae mengatakan bahwa anak perempuan harus bersikap manis

jika ingin mendapatkan laki-laki, Mae tetap mempertahankan sikapnya.

Hal ini merupakan simbol sebagai asumsi penandaan bahwa Mae adalah

sosok perempuan yang memiliki prinsip dan sangat percaya diri, serta mampu

melakukan tindakan-tindakan yang sering dilakukan laki-laki.

4.3.1.4 Teknik pengambilan gambar

Teknik pengambilan gambar yang digunakan dalam pembuatan film dapat

dipergunakan untuk membantu penonton dalam mendeskripsikan cerita, perilaku,

setting, action, dan lainnya. Ada tiga jenis Shot gambar yang paling dasar yakni :

1.

Long Shot (LS)

LS atau Long Shot merupakan Shot gambar yang diambil jika objeknya

adalah manusia, maka dapat diukur antara lutut kaki hingga sedikit ruang

diatas kepala, dan pengambilan Long Shot ini dapat menampakkan latar

belakang disekitar objek, serta memberikan informasi kepada penonton

mengenai penampilan tokohnya (termasuk pada bahasa tubuhnya, ekspresi

tubuh, gerak, cara berjalan, dan sebagainya dari ujung rambut hingga kaki)


(61)

pada adegan tersebut. Pengambilan Long Shot dapat dilihat pada Scene 24

dan scene 56.

Scene 56 : Mae sedang bertengkar dengan ketiga sahabatnya terutama

dengan Eman yang dikarenakan kesalahpahaman dan terjadinya

pemukulan terhadap Rendy

Shot pada gambar tersebut merupakan adegan saat Mae marah dan

mendorong Eman, karena kesalahan Eman yang salah melihat tanda yang

Scene 24 : Mae sedang melakukan perjalan menuju temapat dukun

dengan berjalan kaki


(62)

Mae marah dan mengamuk kepada ketiga sahabatnya terutama

Eman. Long Shot juga digunakan pada saat adegan Mae melakukan

perjalanan menuju tempat dukun dengan berjalan kaki yanbg cukup jauh.

Dengan pengambilan gambar Long Shot seperti diatas , maka penonton

akan dapat menginterpretasikan bagaimana sikap Mae saat dia sedang

marah serta ketangguhan seorang Mae.

Selain menunjukan penampilan atau kostum yang digunakan,

teknik Long Shot juga dapat menunjukan secara keseluruhan

perilaku-perilaku dari tokoh utama dalam film ini yang dapat dijadikan suatu

karakter atau symbol

2.

Medium Shot (MS)

Yakni Shot gambar yang jika objeknya adalah manusia, maka dapat diukur

dari atas kepala sampai lutut. Pengambilan gambar dengan cara ini dapat

memberikan informasi kepada penonton mengenai ekspresi dan karekter

tokoh tersebut secara lebih dekat. Medium Shot dapat terilaht pada Scene

91.


(63)

   

Scene 91 : Dengan masih memakai baju pengantinnya, Mae ikut

tawuran melawan kelompok Rendy yang ingin mengacaukan

pesta pernikahannya

                   

Scene 94 : Mae sedang melawan salah satu teman Rendy

Pada Scene 91 menggambarkan salah satu kebiasaan yang dilakukan Mae jika terjadi tawuran dikampungnya, yaitu Mae juga ikut terlibat dalam tawuran tersebut. Ini merupakan salah satu ciri atau karakter seorang Mae yang Tomboy, walaupun pada saat itu Mae sedang mengenakan baju perempuan (baju pengantin).

Dengan menggunakan Medium Shot, pembuat film (sutradara) ini ingin menunjukan karakter atau sikap dari seorang Mae yang tidak dapat mengendalikan diri ketika terjadi tawuran dikampungnya. Sudut pengambilan gambar menggunakan normal angle, hal ini menunjukan bahwa posisi kamera sejajar dengan objek yang diambil, sehingga dapat dengan jelas menunjukan bahwa Mae adalah sosok perempuan Tomboy.


(64)

Yaitu Shot gambar yang jika tokohnya manusia maka akan diukur mulai

dari bahu hingga sedikit ruang diatas kepala, seperti pada Scene 64.

Pengambilan gambar dengan shot ini dapat memberikan informasi kepada

penonton mengenai penguatan ekspresi mimik wajah ataupun dialog agar

mendapatkan perhatian yang lebih dari penonton.

             

Scene 64 : Mae sedang melawan salah satu laki-laki yang berada

di rumah sakit, ketika tidak sengaja menginjak kaki Mae

Pada shot ini menunjukan bahwa salah satu kebiasaan Mae adalah

ketika ada seseorang yang tidak sengaja menyentuhnya maka Mae akan

segera melabrak orang tersebut. Ini merupakan salah satu faktor yang

membentuk karakter seorang Mae. Karena disamping faktor dari dalam


(1)

4.3.1.5 Pencahayaan

Dalam film, pencahayaan menjadi salah satu unsur terpenting yang perlu diperhatikan dalam media visual, sebab suatu informasi dapat dilihat dan ditemukan dari pencahayaan. Cahaya merupakan unsur teknis agar benda dapat dilihat dengan jelas terutama adegan pada malam hari. Pada film Get Married rata-rata pengambilan gambar dilakukan pada siang hari karena setiap adegan yang ditampilkan merupakan kebiasaan yang dilakukan masyarakat kampung pada siang hari, namun ada beberapa adegan yang diambil pada malam hari yang membutuhkan pencahayaan yang baik seperti yang telihat pada Scene 13.

Scene 13 : Mae sedang merenung memikirkan ibunya yang sakit

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(2)

 

  59

Pada scene ini, Tokoh Mae ditampilkan dengan pencahayaan yang redup pada malam hari, sehingga karakter Mae terlihat bahwa dibalik sikap dan ketegarannya serta jiwanya yang kuat, Mae juga merupakan sosok perempuan yang rapuh. Itu terlihat dari situasi Mae yang drop ketika Ibunya masuk rumah sakit, dikarenakan Mae yang belum menemukan jodohnya. Pembuat film ini ingin menampilkan dan menunjukan kepribadian Mae sebagai sosok yang kuat namun tetap memiliki jiwa yang rapuh sebagai seorang perempuan.


(3)

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi terhadap representasi perempuan berpenampilan maskulin dalam film Get Married, melalui pemeran utama Nirina Zubir yang berperan sebagai Mae, peneliti menarik kesimpulan bahwa tidak semua perempuan yang berpenampilan maskulin adalah seorang homoseksual atau lesbi, seperti yang ditampilkan dalam bebarapa film yang menggambarkan sosok perempuan berpenampilan maskulin adalah lesbi, serta pandangan masyarakat yang selama ini berkembang.

Representasi ini hadir melalui keseluruhan dari adegan-adegan yang ditampilkan dalam film “Get Married” sehingga dapat diambil makna yang terkandung dalam film ini. Dari setiap adegan yang ditampilkan dalam film ini peneliti dapat menyimpulkan bahwa untuk menilai seseorang tidak dapat diukur atau dilihat dari penampilan luarnya saja, namun dapat melalui kedekatan yang terjalin.

Dari uraian diatas, peneliti mengambil keseluruhan kesimpulan bahwa film Get Married Menampilkan suatu fenomena tentang perempuan berpenampilan maskulin, namun tidak meninggalkan kodrat atau dasar naluri sebagai seorang perempuan. Adegan-adegan yang ditampilkan menjadi representasi perempuan berpenampilan maskulin namun tetap pada kodrat dan naluri.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(4)

 

  61

5.2 Saran

Penggambaran akan sosok perempuan berpenampilan maskulin dalam film ini, menurut peneliti sudah sangat baik, dimana sosok yang ditampilkan merupakan salah satu gambaran realitas dari kehidupan masyarakat saat ini. Ketika ada sosok perempuan muda yang belum menikah dan berpenampilan seperti seorang laki-laki, maka perempuan tersebut dipandang oleh masyarakat bahwa dia adalah penyuka sesama jenis (lesbi).

Oleh karena itu saran dari peneliti yaitu yang pertama untuk masyarakat agar lebih menggunakan akal sehat dan logika serta jangan pernah untuk menilai seseorang dari penampilan luarnya saja. Kemudian yang kedua, untuk penulis atau sutradara film agar lebih banyak lagi membuat film-film seperti ini, yang dapat membuka mata penonton atau masyarakat untuk lebih realistis dalam menilai seseorang.


(5)

Grafindo Persada.

Gerungan, Pshychologi Sosial, Suatu Ringkasan, Bandung : PT. Eresco. Hariyono, P, 1998. Kultur Cina dan Jawa (Pemahaman Menuju Asimilasi

Kultur), Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Liliweri, Alo, 2003. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Liliweri, Alo, 2005. Prsangka dan Konflik, Yogyakarta : PT. LKIS Pelangi Aksara.

Mulyana, Deddy, 2004. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung : Rodakarya.

Narwoko, 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Rahkmat, Jalaludin, 2004. Psikologi Komunikasi, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.

Rahkmat, Jalaludin, 2006. Riset Komunikasi : Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.

Sobur, Alex, 2004. Semiotika Komunikasi, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya Mc. Quail, Daniel, 1994. Komunikasi Massa, Jakarta.

Oetomo, Dede, 2001. Memberi Suara Pada Yang Bisu, Yogyakarta : Galg Press RM, Ary, 1996. Gay Dunia Ganjil Kaum Homofil, Jakarta : Pustaka Utama. Widyatama, Rendra, 2006. Bias Gender Dalam Iklan Televisi, Yogyakarta : Media Pressindo.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(6)

Non Buku :

www.Amazon.com/htr

http:f/situskunci.tripod.comiteks/victor1.htm

http:/www.theceli.com/dokumen/produk/1992/uu8-19992.htm http://www.caprius.or.id/swara/article 

http://hayamwuruk-online.blogspot.com/2006/06/ada-tomboi-di-fakultas-sastra.html 

http://heim.ifi.uio.no/~thomas/gnd/androgyny.html  http://en.wikipedia.org/wiki/Androgyny 

http://olapsyche.multiply.com/journal/item/34 

http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_content&view=ca tegory&layout=blog&id=52&Itemid=117