Etiologi Stomatitis Aftosa Rekuren

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stomatitis Aftosa Rekuren

Stomatitis aftosa rekuren SAR adalah salah satu kelainan yang paling umum terjadi di rongga mulut. SAR mempunyai nama lain cancer sores. 1

2.1.1 Etiologi

Sampai saat ini, etiologi SAR masih belum diketahui secara pasti. SAR terjadi bukan disebabkan oleh satu faktor saja tetapi multifaktorial. Faktor yang diduga dapat memicu terjadinya SAR antara lain defisiensi nutrisi, trauma, alergi, herediter, stres, menstruasi, defisiensi hematologi dan berhenti merokok. 2,3 1. Defisiensi Nutrisi Pasien defisiensi nutrisi memiliki hubungan dengan terjadinya SAR. Sebagian penderita SAR diperkirakan mengalami defisiensi vitamin B 12. 9-10 Laporan kasus Volkov 2005 terhadap tiga pasien SAR menyatakan bahwa SAR dapat disebabkan oleh defisiensi vitamin B 12 karena kurangnya asupan nutrisi dari produk hewani seperti daging yang menyebabkan rendahnya kadar serum vitamin B 12 , tetapi hal ini masih belum jelas. Para ahli memperkirakan bahwa ada hubungan antara SAR dengan penekanan imunitas selular cell-mediated immunity pada sel mukosa. 11 2. Trauma Trauma pada mukosa mulut terjadi akibat suntikan anestesi lokal, gigi yang tajam, dan cedera disebabkan oleh sikat gigi dapat terjadi sebagai predisposisi perkembangan ulserasi aftosa berulang. Wray tahun 1981 cit. Preeti menyatakan bahwa cedera mekanik dapat membantu dalam mengidentifikasi dan mempelajari pasien rentan terhadap stomatitis aftosa. 12 3. Alergi SAR dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut terhadap beberapa bahan pokok yang ada dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik, permen karet, bahan gigi tiruan atau bahan tambalan, serta bahan makanan. Setelah kontak dengan bahan tersebut terjadi iritasi terhadap mukosa, maka mukosa akan meradang. Gejala ini disertai rasa panas, kadang timbul gatal, dapat juga didahului dengan vesikel yang sifatnya sementara kemudian berkembang menjadi SAR. 12 4. Herediter Faktor herediter cenderung mempengaruhi pasien SAR. Menurut penelitian Safadi 2009, pada 684 pasien yang diteliti terdapat 408 64,4 penderita SAR yang mempunyai riwayat keluarga menderita SAR. 14 Pasien dengan riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak usia muda dan lebih berat dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga SAR. 12 5. Stres Stres dinyatakan merupakan salah satu faktor yang berperan secara tidak langsung terhadap SAR. 12 Stres dapat menyebabkan trauma pada jaringan lunak rongga mulut dikaitkan dengan kebiasaan parafungsional seperti mengigit bibir atau mukosa pipi dan trauma ini dapat menyebabkan mukosa rongga mulut rentan terhadap terjadinya ulserasi. 12,15 Pada kondisi stres, hipotalamus memicu aktivitas sepanjang aksis HPA hypothalamus-pituitary-adrenal. Aderenal korteks mengeluarkan kortisol yang menghambat komponen dari respon imun. 13 Stres mempengaruhi aktivitas imun dengan meningkatkan jumlah leukosit pada tempat terjadinya inflamasi. 15 6. Menstruasi Keadaan hormonal wanita yang sedang menstruasi dapat dihubungkan dengan terjadinya SAR. Hormon yang dianggap berperan penting adalah estrogen dan progestron. 13 Pada sebagian wanita, SAR dilaporkan lebih parah terjadi selama fase luteal dari siklus menstruasi, yang terkait dengan peningkatan tingkat progesteron dan menurunnya estrogen. Penurunan estrogen mengakibatkan terjadinya penurunan aliran darah sehingga suplai darah utama ke perifer menurun yang menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan sel termasuk sel rongga mulut, memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi SAR. Sebaliknya peningkatan hormon progesteron dianggap berperan dalam mengatur pergantian epitel mukosa mulut. 16 7. Defisiensi Hematologi Penelitian Wray 1975 menyatakan bahwa 17,7 pasien yang mengalami SAR disebabkan oleh defisiensi hematologi terutama zat besi, vitamin B 12 , dan asam folat. Oleh karena itu, pertimbangan adanya defisiensi hematologi mengharuskan pasien menjalani pemeriksaan hematologi. 10 8. Berhenti Merokok Penderita SAR biasanya bukan perokok. Prevalensi dan keparahan SAR pada perokok berat lebih rendah dibandingkan dengan perokok sedang. Beberapa pasien melaporkan bahwa terjadinya SAR setelah berhenti merokok. Penggunaan tembakau tanpa asap juga terkait dengan prevalensi yang lebih rendah dari SAR. Tablet yang mengandung nikotin juga dikatakan dapat digunakan untuk mengontrol frekuensi terjadinya SAR. 17

2.1.2 Gambaran Klinis dan Klasifikasi