33
tumpukan kompos selama masa termofilik. Pada suhu tinggi yang sampai pada 60
o
C, pathogen yang ada pada tumpukan kompos akan lebih cepat mati.
Peningkatan suhu erat hubungannya dengan stabilisasi material kompos untuk menentukan kelayakan suatu material digunakan sebagai kompos pada tanah. Telah
diketahui sebelumnya bahwa penggunaan praktis kompos pada pertanian membutuhkan pengetahuan yang baik mengenai kematangan dan level stabilisasi material organik yang
dapat dicapai pada akhir pengomposan. Penggunaan material dengan kandungan material organik yang tidak stabil pada tanah dapat menyebabkan kompetisi dalam pengambilan
oksigen antara mikroorganisme dan akar tanaman Grigatti et al., 2011. Jika hanya dilihat melalui perubahan suhu yang terjadi, proses pengomposan dapat dikatakan terjadi
dengan baik. Penelitian ini menunjukkan bahwa setelah melalui 60 hari pengomposan, semua parameter yang diamati mengalami penguraian dan mencapai tingkat yang relatif
stabil yang mencerminkan stabilitas dan kematangan produk akhir. Hal ini mengungkapkan bahwa biodegradasi komponen yang dapat dengan mudah dibaur oleh
mikroorganisme. Hal yang sama juga dialami dan diuraikan oleh Haroun et al., 2009 pada penelitiannya. Pada masa akhir pengomposan juga terlihat bahwa suhu mencapai
suhu yang stabil dan mendekati suhu ambien, sehingga kompos yang dihasilkan dapat dikatakan telah matang dan mencapai kestabilan.
Pada Gambar 4.2, suhu kompos mengalami penurunan setelah kompos mengalami suhu tertinggi, namun penurunan suhu yang terjadi tidak terlalu tajam. hal ini mungkin
disebabkan oleh metode pengomposan yang digunakan. Berbeda dengan proses pengomposan konvensional yang juga menyertakan proses pembalikan atau pengadukan
sebagai usaha sirkulasi oksigen yang baik dan merata pada semua bagian kompos, metode natural static pile composting ini mendapatkan suplai oksigen hanya dari celah pada
konstruksi bak yang berfungsi sebagai ventilasi. Namun, hasil yang didapatkan perubahan suhu, memenuhi proses yang perlu dilalui sebagaimana umumnya. Hasil ini
menyatakan bahwa, metode natural static pile composting merupakan metode yang mudah namun dengan proses yang cukup baik.
4.2.3 Kualitas Hara Kompos
Tabel 4.3 menunjukkan kualitas kompos yang dihasilkan dari proses pengomposan lumpur residu pengolahan air dengan jerami dan kotoran kambing. Untuk
menjustifikasi apakah sebuah material yang telah melewati proses pengomposan dapat dikatakan sebagai kompos, perlu dilakukan komparasi kualitas material dengan kualitas
34
kompos menurut SNI yang berlaku. Perbandingan kualitas kompos yang dihasilkan dengan SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik
dilakukan untuk mengetahui apakah kompos memenuhi baku mutu nasional yang telah ditentukan. Dapat dilihat bahwa parameter Mg, Al, dan Mn pada semua sampel serta Fe
pada kompos buaran memiliki konsentrasi di atas baku mutu. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingginya konsentrasi awal dari parameter-paramter tersebut. Untuk parameter Mg
dan Mn pada semua kompos dan Fe pada kompos buaran, konsentrasi yang dihasilkan masih dapat ditoleransi karena perbedaannya tidak terlalu besar. Perbedaan tertinggi
hanya mencapai 0,54 lebih tinggi dari baku mutu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kompos jerami memenuhi syarat dan menunjukkan kualitas kompos yang cukup
baik. Tabel 4.3 menunjukkan sebagian besar kualitas kompos yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan SNI. Namun, untuk lebih mengetahui pengaruh pengomposan
terhadap lumpur residu pengolahan air, maka dilakukan perbandingan kualitas sebelum dan sesudah proses pengomposan seperti pada Gambar 4.5 sampai 4.7 dan Gambar 4.9
sampai 4.16.
Tabel 4.3 Perbandingan Kualitas Kompos dengan SNI 19-7030-2004
No. Parameter
Satuan Kompos
Bogor Kompos
Cibinong Kompos
Buaran SNI
1 N
0,93 0,84
1,11 0,4
2 C
12,46 10,28
12,85 9,8 - 32
3 CN
- 13
12 12
10 - 20 4
P 0,39
0,51 0,5
0,1 5
K 0,52
0,72 0,83
0,2 6
Mg 0,82
1,09 1,14
0,6 7
Fe 1,57
1,3 2,46
2 8
Al 6,71
4,28 7,25
2,2 9
Mn 0,16
0,17 0,17
0,1 10
Zn ppm
28 31
82 500
11 Pb
ppm td
Td td
150
Keterangan : td tidak terdeteksi, limit deteksi Pb : 0,8 ppm tidak sesuai SNI
Gambar 4.5 sampai 4.7 dan Gambar 4.9 sampai 4.16 menunjukkan bahwa hampir semua parameter mengalami perubahan konsentrasi, baik meningkat maupun menurun
dari kualitas lumpur awal sebelum dikomposkan. Hanya nilai CN yang nilainya cukup stabil dari lumpur sampai menjadi kompos. Namun yang membedakan adalah konsentrasi
35
C dan N yang terkandung pada lumpur dan kompos jauh berbeda. Seperti terlihat pada gambar, konsentrasi C dan N meningkat tajam setelah menjadi kompos. Hal ini
menunjukkan bahwa proses pengomposan lumpur dengan jerami dan kotoran kambing memberikan masukan atau tambahan bahan organik pada lumpur dalam bentuk kompos.
Peningkatan konsentrasi C dan N ini kemungkinan disebabkan oleh tercampurnya hara yang dikandung jerami dan kotoran kambing dengan lumpur, sehingga terjadi reaksi
antara ketiganya dan menghasilkan kompos dengan kandungan hara yang baik, stabil, dan memenuhi standar kompos yang disyaratkan.
Gambar 4.4 Perubahan Konsentrasi N Gambar 4.5 Perubahan Konsentrasi C
Gambar 4.6 Perubahan Rasio CN
0.2 0.4
0.6 0.8
1 1.2
Bogor Cibinong
Buaran
K o
n se
n tr
as i
Lumpur Kompos
2 4
6 8
10 12
14
Bogor Cibinong
Buaran
K o
n se
n tr
as i
Lumpur Kompos
10 11
12 13
14
Bogor Cibinong
Buaran
R as
io
Lumpur Kompos
36
Perubahan nilai C dan N ketiga kompos merefleksikan dekomposisi material organik dan proses stabilisasi selama proses pengomposan berlangsung. Nitrogen
dibutuhkan oleh mikroorganisme sebagai sumber makanan untuk pembentukan sel-sel tubuhnya dan karbon sebagai sumber tenaga bagi mikroorganisme untuk berkembang
biak dengan baik dan mampu menghasilkan panas yang lebih tinggi Cahaya dan Nugroho, 2008. Perubahan rasio CN disebabkan oleh pembentukan dan kehilangan CO
2
seperti juga yang disebutkan oleh Haroun et al., 2007 pada penelitiannya. Salah satu parameter kompos yang penting adalah rasio CN yang biasa digunakan sebagai indikator
baik atau tidaknya suatu kompos. Nilai CN yang terlalu tinggi dapat menghambat mobilisasi N dan dapat mengurangi kandungan unsur hara tanah jika diaplikasikan.
Sedangkan nilai CN yang terlalu rendah dapat memicu volatilisasi N. Seperti yang disampaikan oleh Grigatti et al., 2011, nilai CN erat hubungannya
dengan mineralisasi karbon dan nitrogen, hal ini menunjukkan bahwa material yang digunakan pada campuran kompos akan mempengaruhi nilai N organik dan secara tidak
langsung akan mempengaruhi nilai CN. Hubungan ini terlihat dari nilai N-organik pada lumpur awal dan kompos yang dihasilkan mengalami peningkatan, tetapi dengan
peningaktan yang berbeda-beda. Hal ini berhubungan dengan material lumpur yang digunakan berasal dari sumber yang berbeda, sehingga berbeda pula tingkat mineralisasi
material organiknya dan merefleksikan terjadinya penurunan nilai CN yang juga hampir mirip dengan yang disampaikan oleh Grigatti et al., 2011 dan Rashad et al., 2010.
Gambar 4.7 Proses Pengomposan
37
Selain daripada nilai N-organik, keberadaan karbon juga memegang peran penting pada imobilisasi N seperti yang tercatat sebelumnya oleh Barrington et al., 2002.
Konsentrasi C umumnya menurun selama periode pengomposan berlangsung sedangkan N total stabil setelah minggu 4. Hal ini menunjukkan fase pendinginan curing yang
terjadi setelah fase pengomposan aktif, ketika ketersediaan bahan organik labil membatasi laju mineralisasi mikroba dan pembentukan lambat material humus terjadi Tognetti et
al., 2007. Barington et al., 2002 menyebutkan bahwa kehilangan dari N dengan volatilisasi
tidak terpengaruh oleh kelembaban atau adanya aerasi, tetapi dengan hilangnya C selama proses pengomposan. Tingkat C tersedia dalam kompos memiliki korelasi yang lemah
dengan kehilangan N, menunjukkan bahwa faktor, seperti ukuran partikel, mempengaruhi ketersediaan C. Sebuah analisis regresi antara kehilangan N dan C menunjukkan bahwa
85 dari semua bulking agent dari N tersedia untuk degradasi selama pengomposan. Selanjutnya, mikroba menyebabkan immobilisasi C dan N memiliki C N rasio sebesar
8,6 dan hilangnya C dengan penguapan sebagai CO
2
mewakili 133 dari yang bergerak. Peningkatan total nitrogen selama pengomposan disebabkan oleh berkurangnya
substrat karbon yang menyebabkan kehilangan CO
2
. Nitrogen anorganik N–NH
4
dan N– NO
3
bisanya dipengaruhi oleh kegaitan proteolytic bakteria dan sebagian juga terbentuk menjadi bentuk organik yang stabil. Material organik terdekomposisi dan berubah
menjadi material humus yang stabil. Haroun et al., 2009. Hal ini berbeda dari hasil yang disampaikan Barington et al., 2002. Material humus memiliki kapasitas untuk
berinteraksi dengan ion logam, dan memiliki kemampuan penyangga pH dan untuk berperan sebagai sumber nutrien yang potensial untuk tanaman. Keberadaan P, Ca, K,
Mg, dan Na serta Fe dan Mn merupakan material yang lebih penting untuk digunakan sebagai mineral pada pupuk Soumare et al., 2003. Maka dari itu, aplikasi material
kompos akan meningkatkan nilai N organik dan karbon humus dan meningkatkan elemen mineral yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Perbedaan pada hasil untuk elemen
dan beberapa sampel dimungkinakan oleh karena hasil dari pelindian. Peningkatan konsentrasi hara juga terjadi pada paramter P dan K yang juga
merupakan parameter penting untuk material pupuk ataupun soil conditioner. Makirim et al., 2007 menyebutkan bahwa di Indonesia rata-rata kadar hara jerami padi adalah 0,4
N; 0,02 P; 1,4 K; dan 5,6 Si. Untuk setiap 1 ton gabah tanaman padi, akan dihasilkan sekitar 1,5 ton jerami yang mengandung 9 kg N, 2 kg P, 25 kg K, dan 2 kg Mg. Dari hasil
38
yang didapatkan dan berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa jerami memberikan kontribusi pada peningkatan P dan K yang dimiliki oleh kompos. Pada
grafik terlihat bahwa konsentrasi K jauh lebih tinggi peningkatan konsentrasinya dibandingkan dengan peningkatan yang dialami oleh P. Hal ini berbanding lurus dengan
pernyataan Makirim et al., 2007 yang menyebutkan bahwa jika dilihat pada kandungan hara jerami seperti yang telah disebutkan di atas, jerami padi tidak efektif dan tidak
efisien bila diandalkan sebagai sumber hara P, tetapi cukup efektif sebagai sumber K. Penurunan atau tidak adanya peningkatan P pada kompos yang dihasilkan pada
kompos Bogor dan Buaran juga mungkin disebabkan oleh unsur P lebih banyak digunakan oleh mikroorganisme dalam proses pengomposan. Seperti yang disebutkan
oleh Cahaya dan Nugroho 2008, kotoran kambing merupakan penyedia unsur P bagi mikroorganisme, sehingga mikroorganisme yang terdapat dalam tumpukan kompos
Bogor dan Buaran dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga proses dekomposisi dan penstabilan unsur-unsur pada kompos dapat berjalan dengan baik pula.
Gambar 4. 8 Perubahan Konsentrasi P Gambar 4. 9 Perubahan Konsentrasi K
4.2.4 Kualitas Logam Kompos