15
3. Habitat
Menurut Raymont 1980, dari total 70 species planktonik yang hidup di perairan 5 diantaranya adalah kopepoda siklopoida. Siklopoida tersebar hampir di
seluruh perairan mulai dari kedalaman laut sampai pada ketiggian di gunung Himalaya Gambar 8. Peta penyebaran kopepoda siklopoida di laut, menurut
Shuvalov 1975 dalam Raymont 1980 terdapat di seluruh perairan, dimulai dari laut Atlantik Utara, Pasifik Utara, Artic, Mediteranian, Laut Hitam, Laut Merah, dan
wilayah lautan tropis, serta wilayah perairan laut bagian selatan bumi. Siklopoida dapat di temukan diseluruh lapisan air, sedangkan harpatikoida umumnya terdapat di
dasar perairan dan kalanoida di bagian lapisan atas atau permukaan air.
4. Ekologi kopepoda Apocyclops sp.
Apocyclops sp. merupakan jenis kopepoda siklopoida yang banyak dijumpai di
perairan tropis, khususnya tambak-tambak air payau di wilayah Kota Bitung sekitar 30 km arah Manado Sulawesi Utara Rumengan et al. 1998. Kondisi suhu perairan
tambak berkisar antara 26 -27
o
C di pagi hari pukul 02.00 WITA dan 32
o
C – 34
o
C di siang hari pukul 14.00 WITA. Sedangkan salinitas perairan berkisar antara 20 – 42
ppt Mogea 1995. Selanjutnya dikatakan oleh Mogea 1995, bahwa tingginya dataran tinggi
sungai estuari
Permukaan laut
Laut dalam
Gambar 8. Habitat kopepoda siklopoida Raymont, 1980
16 salinitas pada saat bulan mati disebabkan karena penguapan yang tinggi. Perbedaan
kepadatan tertinggi kopepoda di lokasi perairan tersebut terjadi pada bulan November dan Desember yakni pada perbani akhir dan kepadatan terendah pada saat bulan mati.
Kepadatan yang berbeda kopepoda di perairan muara Manembo-nembo Kota Bitung tersebut diduga disebabkan oleh faktor-faktor ketersediaan makanan, kondisi
lingkungan perairan, dan kehadiran predator. Jenis-jenis fitoplankton yang umum ditemukan adalah dari jenis diatom dan dinoflagellata.
Mikroalga Tetraselmis sp., Chlorella sp., dan Nannochloropsis oculata
Mikroalga umumnya diproduksi masal sebagai pakan untuk zooplankton rotifer, kopepoda, Artemia dan lain-lain dan sebagai pakan alami pada tahap awal
masa perkembangan larva ikan dan udang Coutteau dalam Lavens Sorgeloos 1996. Disamping penggunaannya dalam metode “green-water” untuk pemeliharaan larva
dalam wadah tangki terkontrol, yang diyakini oleh para ahli memiliki kemampuan dalam mempertahankan kualitas air, penyumbang nutrisi bagi larva dan kontrol
mikroba. Brown 2001 melaporkan bahwa di Australia penggunaan mikroalga menjadi
faktor kunci dalam produksi larva tiram mutiara dan pasifik, udang, ‘barramundi’, dan juvenile abalone, serta species-species penting lainya. Selama bebrapa tahun terakhir,
lebih dari seratus jenis mikroalga telah diuji coba sebagai pakan alami untuk larva, namun tidak lebih dari 20 jenis saja yang diketahui baik sebagai pakan dan secara luas
digunakan pada pembenihan hatchery di seluruh dunia. Selanjutnya dikatakan oleh Brown 2001, bahwa mikroalga sebagai pakan memiliki syarat harus dapat dicerna
paling tidak berukuran 1 – 15 mikron untuk jenis ‘filter feeder, mudah diserap, cepat bertumbuh, gampang dikultur masal, dan juga stabil dalam situasi fluktuasi suhu,
cahaya dan faktor-faktor lainnya pada kondisi sistem atau model kultur yang dipakai di hatchery. Pada akhirnya, mikroalga pakan tersebut harus memiliki komposisi nutrisi
atau zat gizi yang baik dan tidak mengandung atau membawa toksin racun. Sementara menurut Coutteau dalam Lavens Sorgeloos 1996, sampai saat ini
telah lebih dari 40 jenis mikroalga yang telah dikultur secara intensif pada usaha pembenihan. Dari sekian banyak jenis mikroalga tersebut yang banyak digunakan
sebagai pakan alami dalam skala usaha budidaya air laut komersil diantaranya adalah dari jenis diatom, dinoflagelata dan alga hijau Tabel 3.