TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Kopepoda Sebagai Pakan Alami
Salah satu faktor penunjang dalam teknologi pembenihan adalah penyediaan pakan alami yang berkualitas. Pakan alami berkualitas merupakan syarat utama bagi
keberlangsungan dan kualitas hidup larva disamping memiliki harga yang terjangkau, mudah didapat, dan tersedia dalam jumlah yang memadai. Hal ini karena pakan alami
merupakan salah satu input penting dalam akuakultur, terutama pada usaha pembenihan yang digunakan sebagai sumber pakan untuk larva dan benih udang ikan.
Keberadaan pakan alami sangat menentukan kualitas, kuantitas dan kesinambungan benih yang dihasilkan. Oleh karena itu, pemilihan jasad pakan alami
dari berbagai jenis fitoplankton ataupun zooplankton yang cocok untuk larva ikanudang yang dikembangbiakan tidaklah mudah. Proses untuk mendapatkan jasad
pakan tersebut memerlukan penelitian yang cukup panjang dan berkesinambungan. Menurut Isnansetyo Kurniastuty 1995 untuk mendapatkan calon organisme
sebagai pakan alami yang baik memerlukan beberapa persyaratan tertentu antara lain adalah :
1. Syarat Fisik dan Biologi
Suatu organisme yang digunakan sebagai pakan alami harus tidak membahayakan bagi kehidupan larvaudang yang dipelihara, tidak mengandung bahan racun dan
logam berat, serta tidak berperan sebagai inang patogen maupun parasit. Persyaratan lainnya adalah harus sesuai bukaan mulut larva, warna yang cerah
sehingga mudah dilihat oleh larva, dan bergerak berenang aktif yang merangsang larva untuk memakannya.
2. Syarat Kandungan Gizi Nutrisi
Nilai nutrisi zooplankton banyak dipengaruhi oleh sumber pakan fitoplankton. Selain itu, daya cerna dan daya serap zat gizi juga harus diperhatikan. Karena,
bagaimanapun tingginya kandungan zat gizi suatu organisme pakan alami apabila tidak dapat dicerna dan diserap oleh larva, zat gizi tersebut tidak dapat diman-
faatkan untuk kelangsungan hidupnya. Pada Tabel 1 diperlihatkan perbandingan nilai nutrisi DHA EPA beberapa jenis kopepoda dan naupli Artemia yang telah
diperkaya dengan vitamin dan zat gizi lainnya.
6
Tabel 1 Perbandingan DHA EPA pada kopepoda dengan naupli Artemia yang diperkaya Dhert 1999
Jenis Kopepoda Berat Kering
DHA mgg
Berat Kering EPA
mgg DHA:EPA
Pseudocalanus acuspes 24.3
21.5 1.1
Pseudocalanus acuspes 25.8
31.6 0.8
Acartia longiremis 20.6
17.5 1.2
Calanus glacialis 24.4
20.0 1.2
Calanus finmarchicus 30.9
23.1 1.3
Pseudocalanus sp. 31.8
22.1 1.4
Temora longicornis 31.9
18.4 1.7
Zooplankton liar temperate 32.9
21.1 1.6
Centropages hamatis 37.7
17.2 2.2
Zooplankton liar tropic 32.0
13.0 2.5
Rata-rata 29
21 1.5
Naupli Artemia
16–28 10–28
0.5–1.4
3. Syarat Operasional Pengelolaan
Persyaratan ini menyangkut aspek kemudahan-kemudahan terutama apabila pembenihan tersebut akan diusahakan secara masal. Karena, segi operasional
menuntut ketersediaan kultur yang konsisten, mudah melakukan pembudidayaannya secara masal melalui prosedur yang sederhana dengan biaya
murah, dan mudah dalam pengelolaannya. Ketertarikan para peneliti untuk mengkultur kopepoda dalam skala besar sebagai
pakan alami diawali dengan penelitian di laboratorium tentang berbagai aspek biologinya. Penelitian terhadap kopepoda pertama kali dilakukan adalah oleh Marshall
Orr di tahun 1972 pada species Calanus finmarchicus yang populasinya sangat melimpah di Atlantik Utara. Penelitian tersebut lebih lanjut dikembangkan oleh Kinne
1977, serta Paffenhöfer Harris 1979. Penelitian kopepoda di luar negeri sudah berkembang sedemikian jauh, antara lain
di Eropa dan Jepang yang memfokuskan pada jenis harpaktikoid seperti Tisbe spp. dan Tigriopus
spp., serta kalanoid seperti Eurytemora dan Acartia. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa penggunaan naupli kopepoda sebagai pakan alami ternyata mampu
meningkatkan kelangsungan hidup ikan ‘turbot’ Scophthalmus maximus dan
7 ‘seabream’ Pagrus major. Di Hawai kopepoda Euterpina acutifrons telah sukses
dikultur dan di pakai sebagai pakan alami untuk larva ikan ‘mahi-mahi’ Coryphaena hippurus
. Dari percobaan diketahui bahwa larva ikan ternyata lebih memilih naupli kopepoda Kraul 1990. Namun, tingkat kelangsungan hidup larva masih rendah pada
minggu pertama. Diduga hal ini disebabkan adanya toksisitas media, kualitas air yang rendah atau kehadiran kontaminan berupa mikroorganisme yang merugikan.
Para akuakulturis Thailand berhasil membesarkan larva “red snapper” Lutjanus argentimaculatus
dan kepiting bakau Scylla serrata dengan menggunakan teknik “green-water” dan pemberian pakan alami berupa kopepoda Singhagraiwan Doi,
1993. Pada awalnya usaha untuk membesarkan jenis ikan dan kepiting bakau tersebut menggunakan rotifers sebagai pakan alami, namun mengakibatkan tingkat mortalitas
larva mencapai 100. Melalui serangkaia n percobaan dengan menggunakan kopepoda dari alam seperti Acartia, Pseudodiaptomus, Oithona, dan Longipedia yang
diberikan pada larva saat mencapai umur 3 - 8 hari dalam tangki yang mengandung media “Green-water”, kemudian rotifer diberikan pada saat umur larva mencapai 6
hari, sedangkan naupli Artemia diberikan pada umur 10 hari, diketahui bahwa dalam kandungan usus larva ikan mengandung 88 naupli kopepoda saat larva mencapai
umur 15 hari. Selanjutnya, Doi et al. 1994 mengembangkan kopepoda Acartia dengan
mengkulturnya secara masal di luar ruangan, dan diberikan pada larva Lutjanus argentimaculatus.
Dari penelitiannya didapatkan hasil bahwa, naupli Arcatia merupakan pakan lami yang ideal pada masa perkembangan awal larva umur 4 hari.
Lebih lanjut Doi et al. 1994 melaporkan, bahwa pemeliharaan larva Kerapu di Taiwan dilakukan dengan dua metode, yaitu metode indoor, dan metode outdoor.
Pada metode outdoor, larva trochopore moluska diberikan pada hari keempat selama dua hari, kemudian diberikan zooplankton liar yang dikultur pada kolam kecil yang
terlebih dahulu dipupuk dengan sisa-sisa ikan yang telah membusuk. Sementara itu kopepoda dipanen dari dalam kolam kecil tersebut dengan menggunakan jaring
plankton dan diberikan kepada larva yang berumur 1 sampai 10 hari. Dari percobaan pemberian pakan alami dengan kopepoda di Thailand tersebut, diperoleh bahwa
tingkat mortalitas larva kurang dari 7.
8 DAbramo Lovell 1991 dalam penelitiannya melaporkan bahwa defisiensi
pakan terhadap nutrisi esensial merupakan penyebab utama tingginya tingkat mortalitas pada larva dan juvenile ikan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Moreno et al.
1979 diketahui bahwa kopepoda memiliki kelengkapan nutrisi yang dibutuhkan oleh larva pada masa awal perkembangannya, terutama sekali kaya akan asam lemak 16:0,
16:1, 20:5n-3 dan 22:6n-3. Kemampuan larva dalam mensintesis nutrient tersebut terutama 22:6n-3, membuat larva ikan lebih menyukai naupli kopepoda sebagai
makanan Nanton Castell 1999. Dari beberapa penelitian juga diketahui, bahwa kopepoda memiliki pergerakan
aktif yang mampu menarik perhatian larva dan benih ikan untuk memakannya, mudah dicerna oleh ikan, dan relatif kaya akan zat gizi seperti asam-asam amino, vitamin-
vitamin vitamin C dan asam-asam lemak terutama asam ikosapentanoat C
20
:5 ω
3 dan asam dekoheksanoat C
22
:6 ω
3 yang berguna bagi ikan Poulet William 1991. Di samping itu kopepoda juga memiliki berbagai macam ukuran naupli-kopepodit-
dewasa yang cocok untuk pakan larva pada berbagai stadia, sehingga hanya diperlukan satu kultur zooplankton saja untuk berbagai ukuran larva ikan udang. Disamping itu
kopepoda juga banyak mengandung nutrisi lainnya seperti enzim dan karotenoid tergantung pada jenis yang juga dibutuhkan oleh larva dalam masa perkembangannya
Toledo et al. 1999. Menurut Treece Davis 2000, di alam larva dan juvenil ikan krustase laut
mengkonsumsi telur-telur dan naupli kopepoda pada awal kehidupannya. Hal ini karena beberapa spesies kopepoda memiliki ukuran naupli yang sangat kecil lebih kecil
daripada rotifer. Di samping itu kopepoda mengandung asam lemak esensial seperti PUFA dan HUFA, serta nutrisi esensial lainnya yang dapat menunjang perkembangan
dan pertumbuhan larva ikan dan udang laut. Kenyataan tersebut telah diujikan oleh Ludwig 1999, Marte 2000, Treece Davis 2000, Semmens Knuckey 2001
dan ADC 2001 dalam suatu penelitian terhadap larva ikan “red-snapper”, “turbot”, “grouper” dan “dhufish”.
Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa, larva-larva ikan tersebut lebih banyak mengkonsumsi naupli kopepoda dibanding rotifer. Mereka menduga bahwa,
kelebihan naupli kopepoda dari rotifer adalah karena ukurannya yang bervariasi dan memiliki karakteristik gerakannya yang menghentak-hentak jerky movement
9 sehingga merangsang larva-larva ikan tersebut untuk memangsanya, serta memiliki
kandungan nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya. Keistimewaan lain yang dimiliki oleh kopepoda adalah ditemukannya kandungan n-3 HUFA dua kali lebih
besar dari rotifers Tabel 2. Tabel 2 Komposisi asam lemak beberapa jenis pakan alami yang biasa diberikan
pada stadium awal larva ikan Epinephelus coioides Toledo et al. 1999 dalam Marte 2000.
Jenis Asam Lemak Pseudodiaptomus
harpatikoida Acartia
kalanoida Oithona
siklopoida Brachionus
rotifer
∑ Jenuh
∑ Tak jenuh
∑ n-6
∑ n-3
∑ n-3 HUFA
n—3n-6 DHAEPA
14:0 16:0
16:1 18:0
18:1 18:2n-6
18:3n-6 18:3n-3
18:4n-3 20:1
20:2n-6 20:4n-6
20:4n-3 20:5n-3
22:0 22:1
22:5n-6 22:5n-3
22:6n-3 24:0
42.86 15.33
7.72 29.55
23.75 3.83
1.37 8.97
24.33 8.22
4.94 5.15
2.15 0.46
3.45 1.97
0.46 0.41
1.71 0.57
9.24 0.33
0.23 1.79
0.89
12.70 0.36
44.17 8.84
8.14 36.01
34.48 4.42
2.64 4.54
26.68 2.85
8.26 4.53
2.35 0.32
0.99 0.43
0.26 0.37
2.33 0.20
5,32 0.41
0,27 1,07
0,77
10,14 0,54
63.01 15.95
1.60 12.18
10.74 2.65
1.28 10.88
32.49 6.43
12.45 7.30
1.28 0.37
0.47 0.67
1.50 0.24
1.35 0.22
4.22 0.48
0.13 0.33
0.69 5.42
0.75 39.94
29.76 10.50
13.88 13.35
1.11 0.02
4.34 28.38
13.28 5.10
12.22 6.07
0.50 0.16
0.17 2.61
0.12 3.64
0.46 8.26
0.10 0.59
- 4.39
0.17 0.23
Namun demikian, kultur masal kopepoda hingga saat ini masih terdapat beberapa kendala. Secara alami, kepadatan kopepoda tidak seperti pada rotifer atau mikroalgae,
dan disamping itu kopepoda lebih sensitif pada penanganan dan persyaratan kualitas airnya. Kopepoda ’filter-feeding’ seperti Acartia tonsa membutuhkan volume air yang
besar dan mampu menghasilkan 530 telur tiap liter, sedangkan Tisbe holothuriae menghasilkan 100.000 nauplii perliter yang dikultur dalam skala kecil dalam wadah
berukuran 3 liter Støttrup Norsker 1997; Støttrup et al. 1998. Upaya-upaya penelitian dan pengembangan kopepoda sebagai organisme pakan
alami alternatif di luar negeri tersebut ternyata membutuhkan waktu relatif lama
10 sehingga ditemukan jenis yang tepat cocok sebagai pakan alami, khususnya dalam
budidaya laut marikultur. Di Indonesia dari sekian banyak jenis kopepoda, Apocyclops
sp. memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai organisme pakan alami bagi usaha pembenihan. Sebagaimana penelitian yang dilakukan beberapa negara
tersebut di atas, obyek yang perlu diteliti adalah menyangkut struktur dan pola reproduksi biologi reproduksi. Hal ini dikarenakan kedua aspek tersebut merupakan
aspek mendasar langkah awal dalam mengungkap potensi Apocyclops sp. sebagai alternatif pakan alami di masa mendatang.
Biologi Kopepoda Apocyclops sp.
1. Sistematika kopepoda Apocyclops sp.