6
Tabel 1 Perbandingan DHA EPA pada kopepoda dengan naupli Artemia yang diperkaya Dhert 1999
Jenis Kopepoda Berat Kering
DHA mgg
Berat Kering EPA
mgg DHA:EPA
Pseudocalanus acuspes 24.3
21.5 1.1
Pseudocalanus acuspes 25.8
31.6 0.8
Acartia longiremis 20.6
17.5 1.2
Calanus glacialis 24.4
20.0 1.2
Calanus finmarchicus 30.9
23.1 1.3
Pseudocalanus sp. 31.8
22.1 1.4
Temora longicornis 31.9
18.4 1.7
Zooplankton liar temperate 32.9
21.1 1.6
Centropages hamatis 37.7
17.2 2.2
Zooplankton liar tropic 32.0
13.0 2.5
Rata-rata 29
21 1.5
Naupli Artemia
16–28 10–28
0.5–1.4
3. Syarat Operasional Pengelolaan
Persyaratan ini menyangkut aspek kemudahan-kemudahan terutama apabila pembenihan tersebut akan diusahakan secara masal. Karena, segi operasional
menuntut ketersediaan kultur yang konsisten, mudah melakukan pembudidayaannya secara masal melalui prosedur yang sederhana dengan biaya
murah, dan mudah dalam pengelolaannya. Ketertarikan para peneliti untuk mengkultur kopepoda dalam skala besar sebagai
pakan alami diawali dengan penelitian di laboratorium tentang berbagai aspek biologinya. Penelitian terhadap kopepoda pertama kali dilakukan adalah oleh Marshall
Orr di tahun 1972 pada species Calanus finmarchicus yang populasinya sangat melimpah di Atlantik Utara. Penelitian tersebut lebih lanjut dikembangkan oleh Kinne
1977, serta Paffenhöfer Harris 1979. Penelitian kopepoda di luar negeri sudah berkembang sedemikian jauh, antara lain
di Eropa dan Jepang yang memfokuskan pada jenis harpaktikoid seperti Tisbe spp. dan Tigriopus
spp., serta kalanoid seperti Eurytemora dan Acartia. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa penggunaan naupli kopepoda sebagai pakan alami ternyata mampu
meningkatkan kelangsungan hidup ikan ‘turbot’ Scophthalmus maximus dan
7 ‘seabream’ Pagrus major. Di Hawai kopepoda Euterpina acutifrons telah sukses
dikultur dan di pakai sebagai pakan alami untuk larva ikan ‘mahi-mahi’ Coryphaena hippurus
. Dari percobaan diketahui bahwa larva ikan ternyata lebih memilih naupli kopepoda Kraul 1990. Namun, tingkat kelangsungan hidup larva masih rendah pada
minggu pertama. Diduga hal ini disebabkan adanya toksisitas media, kualitas air yang rendah atau kehadiran kontaminan berupa mikroorganisme yang merugikan.
Para akuakulturis Thailand berhasil membesarkan larva “red snapper” Lutjanus argentimaculatus
dan kepiting bakau Scylla serrata dengan menggunakan teknik “green-water” dan pemberian pakan alami berupa kopepoda Singhagraiwan Doi,
1993. Pada awalnya usaha untuk membesarkan jenis ikan dan kepiting bakau tersebut menggunakan rotifers sebagai pakan alami, namun mengakibatkan tingkat mortalitas
larva mencapai 100. Melalui serangkaia n percobaan dengan menggunakan kopepoda dari alam seperti Acartia, Pseudodiaptomus, Oithona, dan Longipedia yang
diberikan pada larva saat mencapai umur 3 - 8 hari dalam tangki yang mengandung media “Green-water”, kemudian rotifer diberikan pada saat umur larva mencapai 6
hari, sedangkan naupli Artemia diberikan pada umur 10 hari, diketahui bahwa dalam kandungan usus larva ikan mengandung 88 naupli kopepoda saat larva mencapai
umur 15 hari. Selanjutnya, Doi et al. 1994 mengembangkan kopepoda Acartia dengan
mengkulturnya secara masal di luar ruangan, dan diberikan pada larva Lutjanus argentimaculatus.
Dari penelitiannya didapatkan hasil bahwa, naupli Arcatia merupakan pakan lami yang ideal pada masa perkembangan awal larva umur 4 hari.
Lebih lanjut Doi et al. 1994 melaporkan, bahwa pemeliharaan larva Kerapu di Taiwan dilakukan dengan dua metode, yaitu metode indoor, dan metode outdoor.
Pada metode outdoor, larva trochopore moluska diberikan pada hari keempat selama dua hari, kemudian diberikan zooplankton liar yang dikultur pada kolam kecil yang
terlebih dahulu dipupuk dengan sisa-sisa ikan yang telah membusuk. Sementara itu kopepoda dipanen dari dalam kolam kecil tersebut dengan menggunakan jaring
plankton dan diberikan kepada larva yang berumur 1 sampai 10 hari. Dari percobaan pemberian pakan alami dengan kopepoda di Thailand tersebut, diperoleh bahwa
tingkat mortalitas larva kurang dari 7.