Analisis viskositas adonan tepung, metode amilograf AACC, 1983.

Sementara itu, filtrat yang didapat diberikan perlakuan yang sama seperti analisis SDF. Berat filtrat setelah dikeringkan dan diabukan digunakan sebagai Blanko 2 . IDF = D 1 -I 1 -Blanko 1 x 100 Berat Sampel SDF = D 2 -I 2 -Blanko 2 x 100 Berat Sampel TDF = SDF + IDF c. Analisis Derajat Putih dengan Kett Photoelectric Tube Whiteness Meter for Powder Model C-1 Sebelum pengukuran perlu dilakukan kalibrasi alat dengan menggunakan standar yang tersedia. Tempat untuk pengukuran sampel dibersihkan dari kotoran dan debu yang ada. Setelah itu sampel dimasukkan ke dalam tempat tersebut. Permukaan sampel diratakan dan dipadatkan, kemudian secara perlahan dimasukkan ke dalam lubang nomor 2, 3, 4, atau 5 dari putaran lubang yang ada. Sedangkan lubang nomor 1 digunakan sebagai tempat standar. Selanjutnya dilakukan pengukuran derajat putih. Nilai derajat putih sampel terbaca pada angka yang ditunjukkan oleh jarum pengukuran. d. Analisis Sifat Rheologi Tepung Sukun

1. Analisis viskositas adonan tepung, metode amilograf AACC, 1983.

Analisis dilakukan dengan menggunakan alat Brabender Amylograph . Disiapkan 450 ml aquades dan ditimbang 45 g tepung, kemudian dilarutkan kedalam bowl amilograf. Lengan sensor dipasang dan dimasukkan ke dalam bowl. Suhu awal termoregulator diatur pada suhu 30 o C dan switch pada posisi nol. Switch pengatur diatur pada posisi bawah 97 o C. Mesin amilograf dihidupkan dan suhu akan meningkat 1.5 o C setiap menit. Setelah 40 menit, switch dipindahkan pada posisi atas 20 o C. Berdasarkan kurva yang dihasilkan alat, parameter uji amilograf yang ditentukan adalah : • Suhu awal gelatinisasi : suhu pada saat kurva mulai menaik. • Suhu puncak gelatinisasi : suhu pada puncak maksimum viskositas dicapai. Perhitungan suhu = suhu awal + waktu dalam menit x 1.5 • Viskositas maksimum : viskositas pada puncak gelatinisasi, dinyatakan dalam Brabender Unit BU. 2. Analisis ketahanan adonan dan kemampuan penyerapan air pada tepung, metode farinograf AACC, 1983. Analisis dilakukan dengan menggunakan Brabender Farinograph . Air dalam water bath diperiksa dan bila jumlah air sudah cukup, maka termostat diset pada suhu 30 o C. Pemanas dan pompa dihidupkan. Ditimbang 300 g tepung dan dimasukkan ke dalam bowl farinograf. Dihidupkan mesin dan setelah 1 menit ditambahkan air dari buret yang harus selesai dalam 1.5 menit. Penambahan air diatur sehingga kurva maksimum berpusat pada 500 BU. Sisi bowl dibersihkan dengan spatula, lalu tutup bowl dipasang. Mesin dihentikan setelah 12 menit melalui puncak atau telah meninggalkan 500 BU. Adonan dikeluarkan dan bagian bowl dibersihkan dengan lap basah, kemudian dikeringkan dengan lap kering. Parameter uji ini adalah : • Penyerapan air : jumlah air yang diperlukan untuk membentuk adonan dengan konsistensi maksimum 500 BU. • Arrival Time : waktu yang dibutuhkan untuk bagian atas kurva mencapai garis 500 BU. • Waktu puncak dough development time : waktu dari mulai ditambahkan air hingga mencapai konsistensi maksimum. • Stabilitas : waktu mulai dari arrival time hingga bagian atas kurva turun meninggalkan garis 500 BU. • Indeks toleransi terhadap pengadukan : diukur dari puncak kurva hingga bagian tepi atas kurva pada saat 5 menit setelah mencapai puncak. Dinyatakan dalam satuan Brabender Unit BU. 3. Analisis kekuatan adonan dan ketahanan terhadap peregangan, metode ekstensograf AACC, 1983. Analisis dilakukan dengan menggunakan Brabender Ekstensograph . Air pada water bath diperiksa dan bila sudah cukup maka termostat diset pada suhu 30 o C. Pemanas dan pompa dihidupkan. Ditimbang 300 g tepung dan dimasukkan ke bowl farinograf. Buret diisi dengan aquades hingga penuh, ditimbang 6 g NaCl, kemudian dimasukkan kedalam gelas piala. Ditambahkan air dari buret yang cukup untuk membentuk konsistensi 500 BU. Mesin farinograf dihidupkan dan ditambahkan larutan garam NaCl. Setelah 1 menit, adonan diistirahatkan selama 5 menit. Mesin dihidupkan kembali selama 3 menit. Rounder, molderm dan sampel holder disiapkan dan diolesi dengan minyak parafin. Adonan dari bowl farinograf ditimbang 150 g, dibulatkan dalam rounder, dan digulung dalam molder. Lonjoran adonan diletakkan dan dijepit pada tempat sampel ekstensograf yang distel pada 30 o C. Ekstensibilitas adonan diukur 3 kali dengan selang waktu 45 menit. Parameter uji ekstensograf adalah : • Resistensi terhadap peregangan Dw : resistensi adonan setelah peregangan 5 cm. • Resistensi maksimum Dm : resistensi paling tinggi yang dicapai kurva ekstensogram Brabender Unit. • Ekstensibilitas Db : panjang kurva dinyatakan dalam milimeter. • Rasio resistensi terhadap ekstensisbilitas DwDb • Energi : luas area kurva dinyatakan dalam cm 2 . IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. STATUS PENELITIAN TEPUNG-TEPUNGAN. Studi pustaka tepung-tepungan meliputi penelusuran komoditi yang digunakan untuk pembuatan tepung-tepungan. Hal yang menjadi titik berat dari studi pustaka ini adalah mengenai proses penepungan, karakteristik tepung, aplikasi, potensi dan peluang serta kepercayaan dalam masyarakat. Studi pustaka dilakukan untuk menyediakan data yang cukup memadai bagi penelitian yang akan dilakukan. Diharapkan hasil yang diperoleh dari studi pustaka ini dapat menggambarkan potensi dan peluang dari beberapa bahan pangan di Indonesia untuk dikembangkan dalam menunjang program diversifikasi pangan. Data hasil studi pustaka dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Berdasarkan data tersebut terdapat beberapa komoditi yang memiliki potensi cukup tinggi untuk dikembangkan dilihat dari komposisi nilai gizinya, ketersediaannya, pemanfaatannya sampai saat ini maupun karakteristiknya. Pada penelitian ini dipilih buah sukun Artocarpus altilis untuk diteliti lebih lanjut. Ada beberapa alasan pemilihan sukun sebagai bahan pangan untuk diversifikasi diantaranya adalah jika dilihat dari komposisi gizinya, buah sukun mengandung karbohidrat, mineral dan vitamin yang cukup lengkap. Setiap 100 g buah sukun mengandung karbohidrat 27,12 g, serat 4.9 g, lemak 1.07, protein 1.3 g, kalsium 17 mg, fosfor 0.12 mg, besi 0.54 mg, vitamin B1 0.11 mg, vitamin B2 0.03 mg, vitamin C 29 mg, asam amino yang cukup lengkap dan nilai energi 108 kalori data dapat dilihat pada Tabel 3. Sedangkan menurut FAO 1972 seperti yang diacu oleh Pitojo 1992, tepung sukun memiliki kadar karbohidrat sebanyak 78.9 g, lemak 0.8 g, protein 3.6 g, vitamin B1 0.34 mg, vitamin B2 0.17 mg, vitamin C 47.6 mg, fosfor 165.2 mg,kalsium 58.8 mg dan zat besi 1.1 mg. Jika dilihat dari ketersediaannya di Indonesia, daerah penghasil buah sukun antara lain di kepulauan Seribu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, kepulauan Sangir Talaut, Sumatra Utara, dan Lampung Widowati, 2004. Produksi buah sukun dapat mencapai 50-150 buahtanaman. Produktivitas tanaman tergantung daerah dan iklimnya. Paling sedikit setiap tanaman dapat menghasilkan 25 buah per tanaman dengan rata-rata 200-300 buah per musim musim panen sukun biasanya dua kali setahun, yaitu bulan Januari-Februari dan Juli-September. Untuk setiap hektar lahan dapat menghasilkan buah sukun sebanyak 16-32 ton Widowati, 2004. Selanjutnya dilakukan studi pustaka lebih spesifik terhadap penelitian- penelitian yang telah dilakukan pada buah dan tepung sukun. Tujuannya adalah untuk mengetahui status penelitian mengenai tepung dan buah sukun sampai saat ini. Selain itu juga untuk mengetahui “celah” dari rangkaian penelitian- penelitian tersebut yang perlu dikaji lebih lanjut. Data hasil studi pustaka pemetaan penelitian buah dan tepung sukun dapat dilihat pada Tabel 5. Berikut ini merupakan beberapa informasi yang diperoleh berdasarkan data tersebut : a. Teknik penepungan yang telah diteliti mulai dari cara tradisional sampai cara modern. Pada penepungan dengan cara tradisional, buah sukun dikeringkan dengan cara dijemur di panas matahari dan usaha untuk mencegah pencoklatan hanya dengan direndam dalam air saja Pitojo, 1992. Seiring dengan berjalannya waktu dilakukan berbagai usaha untuk mendapatkan hasil tepung sukun yang maksimal sehingga menimbulkan banyak metode baru dalam pembuatan tepung sukun. Teknik penepungan tersebut diantaranya adalah teknik penepungan pramasak dengan pengeringan drum Winata, 2001, tanpa pramasak dengan pengeringan drum Purba, 2002, pramasak dengan pengeringan kabinet Wincy, 2001, dan tanpa pramasak dengan pengeringan kabinet Ekawidiasta, 2003. Perlakuan pramasak yang dimaksud dalam hal ini adalah pengukusan buah sukun sebelum dilakukan pengeringan. Perlakuan ini bertujuan untuk mencegahmengurangi terjadinya reaksi pencoklatan. b. Umur panen buah sukun yang paling optimal untuk diolah menjadi tepung sukun adalah pada umur panen 2.5-3 bulan Noviarso, 2003. Hal ini dikarenakan komposisi kimia dan rendemen tepung yang dihasilkan paling baik diantara tiga tingkat umur panen lainnya 2-2.5 bulan, 3-3.5 bulan dan lebih dari 3 bulan. Oleh karena itu pada penelitian ini umur buah sukun yang digunakan dijaga pada kisaran 2.5-3 bulan. c. Komposisi kimia dan sifat rheologi tepung sukun dari keempat teknik penepungan data dapat dilihat pada pembahasan karakteristik tepung sukun. Pada penelitian ini dilakukan analisis komposisi kimia proksimat dan sifat rheologi tepung sukun untuk membandingkan dengan penelitian sebelumnya. d. Aplikasi dari buah dan tepung sukun yang sudah diteliti. Diantaranya adalah irisan tape sukun kering beku, makanan berkalori tinggi pangan darurat yang berupa dodol dan kue satu, bubur instan, kue kering, keripik simulasi, roti manis, roti tawar, kukis, dan biskuit. Penelitian ini memfokuskan pada pengaplikasian tepung sukun. Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan, pengaplikasian tepung sukun ini belum disesuaikan dengan karakteristiknya melainkan bersifat trial and error. Oleh karena itu pada penelitian ini akan direkomendasikan aplikasi tepung sukun yang paling sesuai berdasarkan karakteristik fisik dan kimianya. Dari ke empat teknik penepungan yang sudah diujikan dapat disimpulkan bahwa teknik penepungan yang lebih aplikatif adalah teknik penepungan metode Ekawidiasta 2003 yaitu tanpa pramasak dengan pengeringan kabinet. Karena berdasarkan studi literatur yang dilakukan, untuk mencegahmengurangi terjadinya reaksi pencoklatan tidak perlu dilakukan perlakuan pramasak. Perendaman dalam larutan Natrium metabisulfit 0.3 serta blansir uap 80 o C selama 7 menit sudah cukup untuk mencegahmengurangi terjadinya reaksi pencoklatan. Selain itu, pengeringan dengan pengering tipe kabinet menghasilkan tepung sukun yang lebih baik jika dibandingkan dengan pengering tipe drum karena komponen zat gizi tepung sukun lebih terjaga. Warna tepung yang dihasilkan juga lebih baik pada tepung yang dikeringkan dengan pengering kabinet. Hal ini dapat dilihat dari nilai derajat putih tepung yang dihasilkan. Nilai derajat putih tepung sukun yang dikeringkan dengan pengering kabinet adalah 64.88 Wincy, 2001 dan 63.90 Ekawidiasta, 2003. Sedangkan nilai derajat putih tepung sukun yang dikeringkan dengan pengering drum adalah 39 Winata, 2001 dan 35.96 Purba, 2002. Namun kendala yang dihadapi adalah waktu pengeringan yang cukup lama yaitu sekitar 7-8 jam. Selain itu, pengeringan dengan menggunakan pengering kabinet kurang praktis apabila diaplikasikan untuk skala yang lebih besar industri. Untuk itu perlu dicari alternatif pengering tipe lain untuk menanggulangi kendala yang dihadapi. Maka berdasarkan data tersebut ”celah” yang perlu dikaji lebih lanjut adalah mengenai teknik pengeringan yang lebih optimal namun tetap memperhatikan kualitas tepung sukun yang dihasilkan. Oleh karena itu penelitian yang dilakukan selanjutnya adalah optimasi pengeringan buah sukun dengan menggunakan pengering tipe bed bed dryer. Pemilihan pengering tipe ini dikarenakan kemudahannya untuk dikontrol dan dioptimasi. Menurut Jayaraman dan Das Gupta 1995 keuntungan menggunakan pengering tipe ini adalah intensitas pengeringan yang tinggi; suhu yang seragam dan secara keseluruhan dapat dikontrol; efisiensi pemanasan tinggi; durasi waktu pengeringan dapat diubah-ubah; waktu pengeringannya lebih cepat dibandingkan tipe pengering lain; operasi dan perawatan alat yang relatif mudah; proses dapat diotomatisasi. Lebih lanjut menurut Devahastin 2001, pengeringan dengan cara ini menjanjikan cara pengeringan yang kontinu, terkontrol otomatis, dan skala operasi yang besar dengan penanganan yang mudah terhadap input dan produk. Tabel 5. Data penelitian-penelitian mengenai buah dan tepung sukun Tahun Judul penelitian Referensi 1982 Mempelajari penggunaan tepung sukun Artocarpus altilis Park Fosberg sebagai bahan pembuat roti. Triwiyono 1982 1988 Proses dekstrinasi pati sukun secara hidrolisis. Ghapar 1988 1991 Studi pembuatan irisan tape sukun Artocarpus communis kering beku. Pasaribu 1991 1994 Mempelajari karakteristik pengeringan buah sukun. Sumarmata 1994 1995 Ekstraksi dan analisis polisakarida buah sukun Artocarpus altilis. Yohani 1995 2001 Karakterisasi tepung sukun Artocarpus altilis pramasak hasil pengeringan drum serta aplikasinya untuk subtitusi tepung terigu pada pembuatan roti manis. Winata 2001 2001 Karakterisasi tepung sukun Artocarpus altilis pramasak hasil pengeringan kabinet dan aplikasinya untuk substitusi tepung terigu pada pembuatan kukis. Wincy 2001 2002 Karakterisasi tepung sukun Artocarpus altilis hasil pengering drum dan aplikasinya untuk substitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit. Purba 2002 2002 Karakteristik bubur instan dari buah sukun Artocarpus Doni 2002 altilis yang diolah dengan pengering drum. 2003 Pengembangan buah sukun Artocarpus altilis menjadi keripik simulasi dalam rangka diversifikasi pangan pokok lokal. Meilianti 2003 2003 Pengembangan produk kue kering dari buah sukun Artocarpus altilis dalam rangka diversifikasi pangan pokok lokal. Kurnia 2003 2003 Formulasi produk makanan berkalori tinggi pangan darurat dari buah sukun Artocarpus altilis. Sukmaningru m 2003 2003 Pengaruh umur panen dan masa simpan buah sukun terhadap kualitas tepung sukun artocarpus altilis yang dihasilkan. Noviarso 2003 2003 Karakterisasi tepung sukun Artocarpus altilis dengan pengering kabinet dan aplikasinya untuk substitusi tepung terigu pada pembuatan roti tawar. Ekawidiasta 2003 2005 Mempelajari potensi sukun Artocarpus altilis Park. Fosberg dan pati garut Maranta arundiace L untuk mendukung pertumbuhan asam laktat. Widayanti 2005 Informasi yang belum terdapat pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan adalah mengenai kadar serat makanan tepung sukun. Informasi ini cukup diperlukan untuk mengetahui nilai lebih lain yang dimiliki oleh tepung sukun sehingga dapat memperluas pemanfaatan dan pengaplikasiannya. Untuk itu pada penelitian ini juga dilakukan analisis kadar serat makanan tepung sukun. B. REKAYASA PROSES PENGERINGAN MENGGUNAKAN BED DRYER.

1. Pembuatan Sawut Buah Sukun