HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis kualitas air sumur sekitar wilayah tempat pembuangan akhir sampah (studi kasus di TPA Galuga Cibungbulang Bogor)

49

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KUALITAS AIR SUMUR GALI WILAYAH SEKITAR TPA GALUGA Kualitas air khususnya untuk air minum dan keperluan rumah tangga lainnya mandi, cuci dan kakus, secara ideal harus memenuhi standar, baik sifat fisik, kimia maupun mikrobiologinya. Jika kualitas air melampaui ambang batas maksimum yang diperbolehkan berdasarkan Peraturan maupun Keputusan Pemerintah, maka kualitas air tersebut menurun sesuai peruntukkannya, sehingga digolongkan sebagai air tercemar Fardiaz, 1992. Wilayah Desa Galuga sebagai Tempat Pembuangan Akhir TPA sampah, terletak di Kabupaten Bogor bagian barat. Sekitar wilayah ini merupakan pemukiman dengan penduduknya sebagian besar memanfaatkan air sumur gali untuk keperluan minum, masak, mandi, cuci, kakus MCK dan juga keperluan rumah tangga lainnya. Oleh karena itu kualitas airnya ditetapkan berdasarkan Baku Mutu Lingkungan air minum. Baku Mutu air minum ditetapkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001. Limpasan air hujan run off yang masuk ke TPA sampah dapat melarutkan zat organik dan anorganik dengan konsentrasi tinggi yang disebut sebagai lindi leachate. Lindi tersebut timbul akibat adanya perombakan sampah oleh mikroorganisme secara aerob. Lindi akan mudah terangkut bersama-sama limpasan air hujan dan dapat merembes masuk ke sumur-sumur penduduk yang di sekitarnya. Perembesan lindi yang bersifat toksik, mengakibatkan menurunnya kualitas air sumur sesuai dengan peruntukannya. Hasil penelitian kualitas air sumur gali di wilayah sekitar TPA Galuga baik sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi dapat dilihat pada Tabel 8 dan 9. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13. 50 Tabel 8. Hasil Pengukuran Kualitas Air Sumur Gali, Wilayah Sekitar TPA Sampah Galuga No Parameter Satuan Titik Sampling Kriteria Mutu Air Kelas I PP No. 822001 S1 S2 S3 S4 I 1 2 3 4 5 II 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 III 20 21 FISIKA Suhu Bau Rasa Zat Padat Terlarut Zat Padat Tersuspensi KIMIA pH DO BOD 5 COD Amonia N-NH 3 Nitrit N-NO 2 Nitrat N-NO 3 Fosfat PO 4 3- Besi Fe Timbal Pb Tembaga Cu Krom Cr Kadnium Cd Seng Zn MIKROBIOLOGI Fecal Coli E. Coli Coliform o C - - mgl mgl - mgl mgl mgl mgl mgl mgl mgl mgl mgl mgl mgl mgl mgl MPN 100 ml MPN 100 ml 27,6 - Agak asam 183,33 1 4,74 1,96 317 952 1,13 0,001 0,21 0,0005 ttd ttd 0,014 ttd ttd ttd - - 27,8 - - 116,67 1,8 5,11 2,35 83,2 208,25 4,08 0,009 0,001 0,0005 ttd ttd 0,012 ttd ttd 0,002 1500 7000 27,3 busuk Agak pahit 270 6 6,24 0,98 214 646 6,88 0,014 0,001 0,503 ttd ttd 0,018 ttd ttd 0,129 3500 10000 27,6 - - 586,67 2,67 5,13 2,00 29,7 119 4,15 0,375 0,042 0,0005 ttd ttd ttd ttd ttd ttd 120 300 Suhu air normal - - 1000 50 6-9 ≥6 2 10 0,5 0,06 10 0,2 0,3 0,03 0,02 0,05 0,01 0,05 100 1000 Keterangan : S1 : Pengambilan sample air sumur jarak 5 m dari TPA S2 : Pengambilan sample air sumur jarak 400 m dari TPA S3 : Pengambilan sample air sumur jarak 700 m dari TPA S4 : Pengambilan sample air sumur jarak 600 m dari TPA ttd : tidak terdeteksi 51 Tabel 9. Rata-rata Hasil Pengukuran Kualitas Air Sumur Wilayah Sekitar TPA Sampah Galuga No Parameter Satuan Nilai Rata-rata Kriteria Mutu Air Kelas I PP No. 822001 I 1 2 3 4 5 II 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 III 20 21 FISIKA Suhu Bau Rasa Zat Padat Terlarut Zat Padat Tersuspensi KIMIA pH DO BOD 5 COD Amonia N-NH 3 Nitrit N-NO 2 Nitrat N-NO 3 Fosfat PO 4 3- Besi Fe Timbal Pb Tembaga Cu Krom Cr Kadnium Cd Seng Zn MIKROBIOLOGI Fecal coli E. coli Coliform o C - - mgl mgl - mgl mgl mgl mgl mgl mgl mgl mgl mgl mgl mgl mgl mgl MPN 100 ml MPN 100 ml 27,58 - - 289,17 2,87 5,31 1,82 160,98 481,31 4,06 0,10 0,06 0,13 - - 0,01 - - 0,07 1706 5766 Suhu air normal - - 1000 50 6-9 ≥6 2 10 0,5 0,06 10 0,2 0,3 0,03 0,02 0,05 0,01 0,05 100 1000 Keterangan : : Nilai yang melampaui ambang batas Baku Mutu Air Baku 52

1. Sifat Fisik

1.1. Suhu

Suhu mempengaruhi reaksi kimia perairan dan juga kelarutan dari berbagai zat di dalam air, oleh karena itu pengukuran suhu diperlukan. Hasil pengukuran suhu secara langsung di lapangan in situ untuk keseluruh lokasi pengambilan sampel didapat bahwa perbedaan fluktasi suhu sangat rendah. Dari keempat lokasi pengambilan sampel didapat rata-rata suhu 27,6 o C dengan waktu pengukuran jam 8 – 10 wib. Hasil pengukuran secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 13. Berdasarkan baku mutu air Kelas I PP No 82 Tahun 2001 , suhu rata-rata air sumur masih berada pada kisaran suhu maksimum yang diperbolehkan 26 – 29 o C dan tergolong suhu air normal, sehingga dari parameter ini tidak terlihat adanya indikasi pencemaran air. Menurut Odum 1971 dalam Sundra 1997, fluktuasi suhu perairan diakibatkan oleh komposisi substrat, kekeruhan, curah hujan, angin dan reaksi-reaksi kimia dari penguraian sampah di dalam air.

1.2. Bau dan Rasa

Bau dan rasa merupakan parameter penting dalam kualitas air minum. Kedua parameter tersebut merupakan sifat fisik yang secara langsung berpengaruh terhadap konsumen. Hasil analisis secara langsung in situ terhadap beberapa lokasi secara kualitatif ada yang berbau busuk yakni pada lokasi sampel ke tiga. Demikian pula rasa air secara kualitatif, pada lokasi pertama berasa agak asam dan lokasi ke tiga rasanya agak pahit Tabel 8. Hasil analisis tersebut memperlihatkan bahwa pada lokasi tersebut bau dan rasa air sumur gali telah melampaui ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut PP RI Nomor 82 tahun 2001 untuk air Kelas I yang seharusnya tidak berbau dan tidak berasa. Bau yang timbul pada air sumur adalah akibat adanya hasil perombakan sampah yang menghasilkan H 2 S yang berbau busuk, dan dapat meresap ke air sumur bersama-sama dengan air hujan. 53

1.3. Zat Padat Terlarut

Zat padat terlarut merupakan padatan yang terdiri dari senyawa- senyawa organik dan anorganik yang larut dalam air, mineral dan garam-garamnya Fardiaz, 1992. Zat padat terlarut dapat dihasilkan dari penguraian sampah oleh mikroorganisme, sehingga fluktuasi kegiatan mikroorganisme mengakibatkan fluktuasi zat padat di dalam air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa zat padat terlarut air sumur sekitar wilayah TPA berkisar antara 116 - 586 mgl, nilai ini masih di bawah ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut Baku Mutu Air Kelas I PP RI Nomor 822001 ≤ 1000 mgl. Dari parameter ini, air sumur gali wilayah Galuga masih layak dikonsumsi untuk air minum dan keperluan rumah tangga lainnya.

2. Sifat Kimia

2.1. Oksigen Terlarut DO

Semua organisme hidup termasuk manusia sangat memerlukan oksigen dalam berbagai bentuk untuk memelihara proses metabolisme yang menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan reproduksi. Oksigen yang larut dalam air tergantung dari suhu air, difusi gas dari udara dan hasil fotosintesis organisme berklorofil yang hidup di perairan Sundra, 1997. Semua gas di atmosfir larut dalam air, tetapi oksigen dikelompokkan sebagai gas yang mempunyai tingkat kelarutan rendah, karena secara kimia tidak bereaksi dengan air dan kelarutannya sebanding dengan tekanan parsial Fardiaz, 1992. Mahida 1997 menambahkan bahwa oksigen susah dilarutkan dalam air; ia tidak bereaksi dengan air secara kimiawi. Dapat tidaknya oksigen larut di dalam air berbeda banyak sesuai dengan keadaan suhu. Faktor-faktor lain yang menguasai kadar oksigen larut dalam air alamiah ialah : pergolakan di permukaan air, luasnya daerah permukaan air yang 54 terbuka bagi atmosfer, tekanan atmosfer dan prosentase oksigen dalam udara di sekelilingnya. Berdasarkan kriteria mutu air PP RI Nomor 82 Tahun 2001, bahwa oksigen terlarut tidak tercantum pada ketentuan air tanah air sumur, tetapi persyaratan untuk air permukaan dianjurkan ≥ 4 mgl. Jika air sumur di wilayah penelitian memiliki kedalaman 2 – 7 m atau meningkat 0,5 – 1 m pada musim hujan, maka dapat dikategorikan sebagai air permukaan. Hasil pengukuran secara langsung di lapangan in situ untuk semua lokasi pengamatan menunjukkan kadar oksigen terlarut yang rendah, yaitu berkisar antara 0,98 – 2,35 mg O 2 l Gambar 3. Rata-rata kandungan oksigen terlarut untuk semua wilayah penelitian adalah 1,82 mg O 2 l. Nilai ini masih di bawah ambang batas yang dianjurkan atau tidak memenuhi standar air minum. Gambar 3. Kandungan Oksigen Terlarut Rata-rata Dari gambar terlihat bahwa meski air sumur berada semakin jauh dari TPA, namun parameter DO tidak meningkat seiring dengan bertambahnya jarak. Rendahnya kandungan oksigen terlarut pada air sumur terutama pada lokasi pengamatan ke-3 akibat tingginya kekeruhan maupun zat padat terlarut dalam air, sehingga kedua parameter ini dapat menghambat penetrasi cahaya. Cahaya matahari merupakan sumber energi bagi kehidupan algae, yang mampu mencukupi kebutuhan 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 Lokasi pengamatan Ni la i DO Rata-rata Kriteria Mutu Air Kelas III PP RI No 822001 55 oksigen untuk organisme lain di dalam air Riyadi, 1984. Kondisi ini ditambah karena tidak ada arus yang mengalir sehingga mengurangi difusi oksigen pada permukaan air. Ditinjau dari segi higiene, air dengan tingkat oksigen terlarut yang rendah, kurang atau tidak baik dipakai sebagai bahan baku air minum, serta kurang efisien, karena memerlukan biaya banyak untuk proses purifikasi pemurnian.

2.2. pH

pH, menyatakan intensitas kemasaman atau alkalinitas dari suatu cairan encer, dan mewakili konsentrasi hidrogen ionnya. pH merupakan parameter penting dalam analisis kualitas air karena pengaruhnya terhadap proses-proses biologis dan kimia di dalamnya Chapman, 2000. Air yang diperuntukkan sebagai air minum sebaiknya memiliki pH netral + 7 karena nilai pH berhubungan dengan efektifitas klorinasi. Air dengan pH tinggi basa mengakibatkan daya bunuh klor terhadap mikroba berkurang, dan sebaliknya air dengan pH rendah cenderung meningkatkan korosi Yani et al., 1994. pH pada prinsipnya dapat mengontrol keseimbangan proporsi kandungan antara karbon dioksida, karbonat dan bikarbonat Chapman, 2000. Lebih jauh Wardoyo 1982 menambahkan perubahan nilai pH sebesar 0,3 unit seringkali diikuti dengan perubahan yang besar dari parameter mutu air yang lain, misalnya tingkat kelarutan Fe, Cu, Ca, Mg dan proporsi kandungan karbon dioksida, bikarbonat dan karbonat. Hasil pengukuran pH air sumur dari lokasi pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar nilainya berada di bawah ambang batas kriteia mutu air yang ditentukan, yakni berkisar antara 4,74 – 6,24 dengan pH rata-rata 5,31. Gambar 4 memperlihatkan perbedaan nilai-nilai pH dari air sumur wilayah penelitian. 56 2 4 6 8 10 1 2 3 4 Titik sampling nila i pH Kriteria Mutu Air Kelas III PP RI No 822001 Gambar 4. Nilai pH Nilai pH yang rendah pada lokasi pengamatan 1 sumur dengan jarak 5 m dari TPA menyebabkan minimnya kehidupan mikroorganisme sehingga pada lokasi ini tidak ditemukan adanya kandungan bakteri coliform tinja. Hal ini menyebabkan meningkatnya nilai Indeks Kualitas Air sehingga air sumur pada lokasi ini termasuk sedang. Rendahnya nilai pH diduga lebih disebabkan karena faktor geologis dari lokasi yang bersangkutan, karena karakteristik lindi sendiri yang dianggap sebagai sumber pencemar pada air sumur yang ada di sekitarnya memiliki nilai pH yang berada pada kisaran yang netral Tabel 4. Namun secara umum berdasarkan parameter pH, air sumur di wilayah penelitian termasuk tidak layak untuk air minum dan keperluan rumah tangga lainnya.

2.3. Kebutuhan Oksigen Biokimia BOD

5 Kebutuhan Oksigen Biokimia Biochemical Oxygen Demand merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasi zat-zat organik menjadi bentuk anorganik yang stabil Chapman, 2000. BOD adalah suatu analisa empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses mikrobiologis yang benar-benar terjadi di dalam air. Angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan mengoksidasi hampir semua zat organis yang terlarut dan sebagian zat-zat organik yang tersuspensi dalam air. Pengukuran BOD diperlukan untuk menentukan beban pencemaran akibat air buangan penduduk atau Rata-rata 57 50 100 150 200 250 300 350 1 2 3 4 Lokasi pengam atan BO D 5 industri, dan untuk mendesain sistem-sistem pengolahan biologis bagi air yang tercemar tersebut. Penguraian zat organik adalah peristiwa alamiah; kalau sesuatu badan air dicemari oleh zat organis, bakteri dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air selama proses oksidasi tersebut yang bisa mengakibatkan kematian ikan-ikan dalam air dan keadaan menjadi anaerobik dan dapat menimbulkan bau busuk pada air tersebut Alaerts dan Santika, 1987. Kandungan BOD dalam air sangat berkaitan dengan kandungan oksigen terlarut DO dan bahan-bahan organik yang ada dalam air, yaitu semakin tinggi kandungan DO maka semakin rendah kandungan BOD, sehingga limbah dan sampah yang masuk ke perairan akan semakin cepat diuraikan oleh mikroba Wuryadi, 1981. Hasil pengukuran BOD 5 untuk seluruh contoh air sumur berkisar antara 29,7 – 317 mgl dengan nilai rata-rata 160,98 mgl. Nilai ini sangat jauh di atas ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut kriteria mutu air Kelas III PP RI Nomor 822001. Perbedaan serta dinamika nilai BOD 5 dan hubungannya dengan Kriteria Mutu Air menurut PP RI Nomor 822001 dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Kebutuhan Oksigen Biokimia BOD 5 Kriteria Mutu Air Kelas III PP RI No 822001 Rata-rata 58

2.4. Amonia, Nitrit dan Nitrat

Nitrogen adalah nutrien penting dalam sistem biologis mahluk hidup. Nitrogen akan berupa nitrogen organik dan nitrogen amonia dalam air limbah, proporsinya tergantung degradasi bahan organik yang berlangsung. Senyawa nitrogen organik dapat ditransformasi menjadi nitrogen amonium dan dioksidasi menjadi nitrogen nitrit dan nitrat dalam sistem biologis mahluk hidup Saeni, 1989. Amonia NH 3 , nitrit NO 2 - dan nitrat NO 3 - merupakan senyawa-senyawa yang mengandung unsur nitrogen N. Unsur N sebagai salah satu unsur makro yang penting dibutuhkan untuk petumbuhan suatu organisme. Di dalam perairan, kebanyakan senyawa-senyawa nitrogen dijumpai dalam bentuk organik dan anorganik Mahida, 1997. Hasil pengukuran kandungan amonia pada seluruh lokasi pengamatan didapat kisaran nilai 1,13 – 6,88 mgl dengan nilai rata- rata 4,06 mgl. Nilai ini melampaui ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut Baku Mutu Air Kelas I berdasarkan PP RI Nomor 82 Tahun 2001. Tingginya kandungan amonia hingga melebihi ambang batas karena kelebihan bahan organik hasil penguraian sampah oleh bakteri yang tidak dapat teroksidasi menjadi nitrit dan nitrat, sehingga bersama-sama air hujan senyawa amonia ini terangkut dan meresap ke lapisan tanah atas mencemari air sumur yang ada di sekitarnya. Konsentrasi amonia yang tinggi pada permukaan air akan menyebabkan kematian biota air. Hal ini dikarenakan amonia menyebabkan keadaan kekurangan oksigen pada perairan, konversi amonia menjadi nitrat membutuhkan oksigen 4,5 bagian oksigen untuk setiap bagian amonia, sehingga mengakibatkan kadar oksigen terlarut turun Saeni, 1989. Senyawa nitrit dalam jumlah tertentu 1 mgl , sangat berguna untuk pertumbuhan tubuh, terutama untuk mahluk nabati perairan. Kandungan nitrit dalam jumlah berlebihan, maka di dalam tubuh dapat 59 sebagai racun yang dapat membentuk methemoglobin hemoglobin yang tidak mampu mengikat oksigen, sehingga hemoglobin di dalam darah tidak dapat mengedarkan oksigen yang diperlukan oleh jaringan tubuh. Pembentukan methemoglobin dapat mengakibatkan methemoglobinemia. Methemoglobin yang terjadi pada bayi akan tampak tubuhnya berwarna biru, disebut sebagai blue baby disease Melanby, 1972 di dalam Sundra, 1997. Nitrit merupakan turunan dari amonia. Dari amonia ini, oleh bantuan bakteri Nitrosomonas sp, diubah menjadi nitrit. Nitrit biasanya tidak bertahan lama dan biasanya merupakan keadaan sementara proses oksidasi antara amonia dan nitrat. Keadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik dengan kadar oksigen terlarut sangat rendah. Kadar nitrit pada perairan relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat Eilbeck, WJ dan Mattock, 1992. Hasil pengukuran kandungan nitrit pada lokasi penelitian berkisar antara 0,001 – 0,375 mgl dengan kandungan nitrit rata-rata 0,1 mgl. Nilai ini melampaui ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut Kriteria Mutu Air Kelas I. Hal ini menandakan bahwa aktivitas proses biologis dalam perombakan bahan organik cukup tinggi dan kandungan nitrit yang melebihi 0,05 mgl dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sangat sensitif Saeni, 1989, meski menurut Hammer 1986 kandungan nitrit sebesar 0,06 ppm dianggap tidak membuat kualitas air tercemar. Tinggi rendahnya nilai kandungan nitrit ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti kandungan oksigen terlarut, suhu, pH, konsentrasi amonianitrat itu sendiri dan waktu retensi. Waktu retensi menunjukkan waktu yang dibutuhkan bakteri untuk merombak amonia. Semakin banyak jumlah bakteri nitrifikasi maka semakin banyak kandungan nitrit yang terbentuk. Begitu juga dengan kandungan O 2 terlarut, suhu, pH dan konsentrasi amonianitrit. 60 Semakin optimum faktor-faktor tersebut maka kandungan nitrit yang terbentuk akan semakin bertambah Hammer, 1986. Senyawa nitrat NO 3 - merupakan produk akhir hasil oksidasi zat bernitrogen. Nitrat dibutuhkan dalam jumlah lebih besar dari nitrit untuk keperluan biologis dan nutrien tubuh Dahuri et al., 1993. Menurut PP RI Nomor 82 Tahun 2001, batas maksimum nitrat diperbolehkan dalam air minum adalah ≤ 10 mgl. Tood 1980 menambahkan, kadar nitrat dalam air minum lebih dari 45 mgl dapat mengakibatkan methemoglobinemia. Kandungan nitrat berdasarkan hasil analisis laboratorium dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Kandungan Nitrat Kandungan nitrat rata-rata pada air sumur di wilayah penelitian 0,06 mgl. Nilai ini masih berada dalam kisaran ambang batas maksimum yang diperbolehkan berdasarkan kriteria mutu air.

2.5. Fosfat

Senyawa fosfat merupakan salah satu senyawa esensial untuk pembentuk protein, pertumbuhan algae dan pertumbuhan organisme biologi perairan lainnya. Kelebihan unsur fosfat dalam perairan dapat menyebabkan eutrofikasi dan dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut. Akibat eutrofikasi akan memacu pertumbuhan populasi algae, mengakibatkan kondisi perairan bersifat anaerob. Kondisi ini 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 1 2 3 4 lok as i pe ngam atan Ni tr a t Rata-rata 61 mengakibatkan terjadinya kematian masal organisme perairan, yang diikuti terbentuknya senyawa-senyawa beracun, seperti H 2 S berbau tengik dan amonia NH 3 Saeni, 1991 Kandungan senyawa-senyawa tersebut mengakibatkan menurunnya kualitas air sumur, sehingga tidak layak diperuntukkan sebagai air sumur. Kandungan senyawa fosfat pada air sumur di wilayah penelitian berkisar antara 0,0005 – 0,503 mgl Gambar 7. Secara umum air sumur di wilayah penelitian memiliki kandungan senyawa fosfat di bawah ambang batas maksimum, namun pada lokasi pengamatan S3 terdapat kandungan senyawa fosfat yang melebihi ambang batas maksimum yakni 0,503 mgl. Kondisi ini menyebabkan air sumur tersebut berbau tengik akibat terbentuknya senyawa H 2 S. Gambar 7. Kandungan Senyawa Fosfat

3. Sifat Mikrobiologis

Bakteri Coliform dan Fecal coli Escherichia coli Analisa mikrobiologi dilakukan berdasarkan organisme petunjuk indicator organism terhadap pencemaran air. Dalam hal ini yang sering digunakan adalah bakteri. Jika dalam air minum ditemukan adanya bakteri, hal ini mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh bakteri coliform tinja E. coli, atau kemungkinan mengandung bakteri patogen Alaerts dan Santika, 1987. 0 .1 0 .2 0 .3 0 .4 0 .5 0 .6 1 2 3 4 Rata-rata Kriteria Mutu Air Kelas I PP RI No 822001 62 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 1 2 3 4 Bakteri coliform adalah jenis bakteri coli yang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu coliform fecal, yaitu bakteri yang hidup secara normal pada usus manusia dan hewan, contohnya Escherichia coli, dan coliform non fecal yaitu bakteri yang hidup pada hewan dan tanaman yang sudah mati, contohnya Enterobacter aerogenes Fardiaz, 1992. Air sumur pada wilayah penelitian memiliki kandungan bakteri Fecal coli yang sangat tinggi seperti terlihat pada Gambar 14. Selengkapnya pada Lampiran 13. Hasil pengamatan terhadap sampel air sumur dari wilayah penelitian kandungan Fecal coli berkisar antara 0 – 3500 MPN100 ml dengan kandungan rata-rata 1706,67 MPN100 ml. Sementara kandungan total coliformnya berkisar antara 0 – 10000 MPN100 ml rata-rata kandungan 5766,67 MPN100 ml. Kandungan bakteri coliform dan fecal coli rata-rata untuk seluruh wilayah penelitian menunjukkan telah melampaui ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut kriteria mutu air berdasarkan PP RI Nomor 82 Tahun 2001 seperti terlihat pada Gambar 8. Gambar 8. Kandungan Bakteri Fecal coli Hasil analisis menunjukkan, kandungan bakteri coliform pada air sumur lebih tinggi daripada bakteri fecal coli. Kondisi ini mengindikasikan pada lokasi pengamatan lebih banyak sampah yang Kriteria Mutu Air Kelas I PP RI No 822001 Rata-rata Kriteria Mutu Air Kelas III PP RI No 822001 63 bersumber dari sisa-sisa tumbuhan, sisa-sisa makanan, dan bangkai- bangkai hewan, merupakan substrat utama tumbuhnya bakteri coliform Enterobacter aerogenes. Bakteri ini bersama dengan air hujan dapat secara langsung atau meresap masuk ke lapisan tanah atas dan akhirnya masuk dan terakumulasi dalam air sumur. Sumber pencemar mikrobiologis dari sistem pembuangan sampah dapat meresap ke dalam air tanah secara vertikal maupun horizontal. Bouwer dan Chaney dalam Wuryadi 1981 menemukan bahwa bakteri dapat bergerak sejauh 830 meter dari sumber kontaminan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sumur penduduk di wilayah TPA Galuga yang berjarak 400 – 700 m dari TPA telah tercemar oleh bakteri E. coli sehingga air sumur tersebut tidak layak dimanfaatkan sebagai air minum maupun kebutuhan sehari-hari lainnya. Kualitas suatu air dapat ditentukan dengan melakukan suatu pengukuran terhadap intensitas parameter fisik, kimia, dan biologi atau mikrobiologi. Dalam penentuan status kualitas air, nilai parameter tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, oleh karena itu semua nilai parameter tersebut harus ditransformasikan ke dalam suatu nilai tunggal yang dapat mewakili. Nilai tunggal tersebut dikenal dengan Indeks Kualitas Air. Indeks Kualitas Air merupakan suatu indeks yang berguna untuk mengevaluasi tingkat pencemaran lingkungan perairan. Untuk mengetahui kualitas suatu lingkungan perairan sesuai dengan peruntukannya, maka mengacu pada pedoman Indeks Mutu Lingkungan Perairan IMLP yang berdasarkan National Sanitation Foundation - Water Quality Index NSF – WQI Suprihatin, 1992 dibuat berdasarkan Metode Delphi dikembangkan oleh Rand Corporation 1968, dengan menggabungkan pendapat-pendapat panel para ahli kualitas air. Hasil analisis Indeks Kualitas Air pada seluruh lokasi pengamatan seperti tercantum pada Tabel 10 memperlihatkan bahwa nilai indeks berkisar antara 41,03 – 57,98 rata-rata 48,65. 64 Tabel 10. Indeks Kualitas Air sumur Wilayah Sekitar TPA Galuga Parameter IKA S1 IKA S2 IKA S3 IKA S4 DO E. Coli pH BOD 5 NO 3 - PO 4 3- Suhu Kekeruhan Padatan total 2,72 15 1,92 9,5 10 7 5,92 5,92 3,23 2,25 3,6 9,9 10 6,9 4,96 6,4 1,19 1,8 8,4 9,9 5,5 7,2 2,56 4,48 2,89 6,15 3,84 0,6 9,8 10 7 6 2,08 Jumlah 57,98 47,24 41,03 48,36 Keterangan : IKA S1 – S4 : IKA sumur jarak 5, 400, 600, dan 700 m dari TPA : Nilai IKA sedang : Nilai IKA buruk Tabel 11. Indeks Kualitas Air Sumur Rata-rata Wilayah Sekitar TPA Galuga Parameter Satuan IKA Rata-rata DO E. Coli pH BOD 5 NO 3 - PO 4 3- Suhu Kekeruhan Padatan total mgl MPN100 ml - mgl 2,51 6,3 4,44 0,15 9,78 8,88 7,02 4,86 4,72 Jumlah 48,65 Keterangan : : Nilai IKA buruk 65 Berdasarkan kriteria mutu lingkungan perairan NSF – WQI; Suprihatin, 1992, seperti tercantum pada Tabel 11, Indeks Kualitas Air sumur rata-rata tergolong buruk 26 – 50. Buruknya IKA sumur wilayah Galuga menunjukkan kualitas air sumur rendah dan tidak layak dikonsumsi sebagai air minum. Hal ini terjadi karena peningkatan suhu udara, mengakibatkan turunnya kelembaban udara, diikuti penguapan air permukaan evaporasi. Kondisi ini berakibat penurunan air tanah, termasuk air sumur di wilayah penelitian Sundra, 1997. Fardiaz 1992 menambahkan, kenaikan suhu air akan menurunkan oksigen terlarut DO, mengakibatkan BOD air meningkat. Rendahnya DO air juga berakibat kematian mikroorganisme, sehingga terjadi perubahan rasa dan bau busuk pada air sumur. Buruknya kondisi kualitas air sumur sekitar wilayah TPA merupakan indikasi adanya pencemaran air tanah akibat rembesan air lindi yang masuk ke sumur bersama-sama air hujan. Kondisi ini didukung oleh konstruksi sumur yang sangat sederhana tanpa pelapis beton sehingga memudahkan peresapan lindi masuk ke sumur, menyebabkan kualitas air sumur buruk dan tidak layak sebagai air minum. Selain konstruksi sumur yang sangat sederhana, konstruksi saluran pembuangan lindi pun masih sangat sederhana berupa paritselokan tanpa lapisan beton dan terbuka sehingga akan sangat mudah meresap ke lingkungan sekitar yang terlewati. Kondisi ini akan lebih parah jika terjadi musim hujan dimana debit air lindi menjadi besar sehingga bisa meluap keluar dari saluran pembuangan yang terbuka. Dari hasil penelitian didapat fakta yang menarik untuk kemudian diteliti lebih jauh. Indeks Kualitas Air sumur yang lebih dekat ke sumber pencemaran yaitu TPA ternyata lebih tinggi dibandingkan air sumur di wilayah sekitar TPA yang jaraknya lebih jauh. Hal ini berarti berdasarkan Indeks Kualitas Air, kualitas air sumur gali yang berjarak 5 m dari TPA lebih baik dibandingkan dengan air sumur yang terletak lebih jauh dari TPA. Dari pengamatan lapangan yang dilakukan terhadap lokasi penelitian memperlihatkan bahwa kondisi demikian dimungkinkan terjadi berdasarkan beberapa faktor. Pertama, adanya perbedaan yang sangat signifikan dilihat dari parameter mikrobiologis dimana pada lokasi 66 penelitian air sumur S1 tidak ditemukan adanya kandungan bakteri coliform tinja. Hal ini memberikan peran yang sangat besar terhadap meningkatnya nilai indeks kualitas air sumur karena tingginya nilai sub indeks untuk parameter mikrobiologis ini. Dari lokasi ini tidak ditemukan adanya kandungan bakteri coliform tinja yang merupakan salah satu indikator adanya pencemaran air karena lokasi ini memiliki derajat keasaman yang rendah sebagai air sumur yaitu 4,74. Pada kisaran pH demikian menyebabkan mikroorganisme E. coli tidak tumbuh karena kondisi air yang asam. Dari parameter pH, meski pada lokasi ini berada di luar ambang batas baku mutu air serta nilai pH-nya paling ekstrim di antara nilai pH air sumur lokasi pengamatan yang lain, namun dari faktor empiris nilai sub indeks untuk parameter pH tidak berperan sebesar parameter mikrobilogis dalam penentuan Indeks Kualitas Air. Faktor kedua adalah geografis, ketinggian lokasi pengamatan S1 letak tanahnya lebih tinggi dari TPA serta kedalaman sumur yang dangkal yaitu sekitar 2 m. Kondisi ini menyebabkan lokasi ini tidak terkena resapan air lindi sebesar lokasi pengamatan yang lain meskipun jaraknya lebih dekat. Sumber mata air di lokasi ini juga berasal dari resapan air dari tebing-tebing di sekitarnya, bukan bersumber dari air tanah yang ada di bawahnya sehingga derajat kontaminasi sumber air oleh resapan air lindi tidak begitu besar. Adapun rendahnya derajat keasaman air pH di lokasi ini diduga lebih besar karena pengaruh geologis karena dari analisis karakteristik lindi, pH air lindi berada pada kisaran pH normal. Faktor ketiga adalah konstruksi pembatas antara wilayah TPA dengan daerah sekitarnya, serta konstruksi sumur itu sendiri. TPA dibatasi oleh dinding berkonstruksi beton dan tembok semen di luarnya. Jadi ada dua dinding pembatas antara TPA dengan tanah di luarnya Gambar 9. Sementara celah besar antara dua dinding pembatas tersebut adalah saluran pembuangan air lindi. Konstruksi ini sementara baru dibangun hanya sampai tempat pengolahan air lindi sistem aerasi, sementara saluran pembuangan dari bak pengolahan sampai ke sungai masih menggunakan saluran terbuka. Konstruksi sumur sendiri juga cukup baik, karena dilapisi dinding semen pada sisi yang berbatasan dengan TPA sehingga hal ini dapat menghambat proses merembesnya air lindi ke sumur Gambar 10. 67 Gambar 9. Konstruksi Dinding Pembatas Areal TPA dengan Wilayah Sekitarnya Kualitas air sumur penduduk di sekitar wilayah penelitian terutama yang dekat dengan saluran pembuangan air lindi juga dipengaruhi oleh konstruksi saluran pembuangan air lindi itu sendiri. Sementara ini saluran yang digunakan untuk membuang air lindi dari bak aerasi sampai ke sungai masih berupa saluran terbuka tanpa lapisan anti kedap sehingga kondisi ini akan memudahkan menyebarnya air lindi ke tanah-tanah sepanjang saluran, termasuk ke sumur- sumur yang ada di sekitarnya. Kondisi saluran pembuangan air lindi dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 10. Konstruksi Sumur Gali Lokasi Pengamatan S1 68 Gambar 11. Kondisi Saluran Pembuangan Air Lindi Buruknya kualitas air sumur wilayah sekitar TPA terutama di tiga lokasi pengamatan juga sangat dipengaruhi oleh sifat dan perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap kebersihan lingkungan. Hal ini terlihat dari persepsi masyarakat yang menganggap bahwa bau, kotor karena timbunan sampah, serta kerubungan lalat bukan merupakan pencemaran dan mereka menganggap kondisi demikian adalah biasa. Selain itu banyak juga masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pemulung, sehingga hal ini memacu terkumpulnya banyak sampah yang mereka ambil dari TPA. Sampah-sampah tersebut mereka kumpulkan dan mereka timbun di halaman atau belakang rumah masing-masing untuk kemudian mereka jual. Di halaman atau belakang rumah, sampah-sampah mereka pilah sesuai dengan jenisnya selama 2 – 3 minggu sampai akhirnya mereka jual kepada pengumpul Gambar 12. Keadaan lingkungan akan lebih buruk ketika turun hujan, sehingga sampah-sampah ikut terbawa genangan air dan akan mempercepat proses penguraiannya. Lindi yang dihasilkan bersama-sama dengan tinja manusia dan kotoran hewan, akan terangkut bersama-sama air hujan meresap ke sumur-sumur terdekat. Hal ini mengakibatkan buruknya mutu lingkungan perairan di wilayah penelitian. 69 Gambar 12. Timbunan Sampah di HalamanBelakang Rumah Pengumpul 70

V. KESIMPULAN DAN SARAN