Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa Barat

(1)

ANALISIS PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN DI

SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH

GALUGA KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

LISANATUL HIFDZIYAH

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

RINGKASAN

LISANATUL HIFDZIYAH. Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa Barat. Dibimbing Oleh NINDYANTORO.

Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Galuga yang merupakan satu-satunya TPAS Kota Bogor dan sekaligus TPAS Kabupaten Bogor telah mengalami peningkatan volume sampah dari tahun ke tahun, sehingga terdapat gunungan sampah yang menimbulkan dampak negatif di sekitar TPAS tersebut. Dampak negatif tersebut berupa penurunan kualitas lingkungan yang berdampak pada masyarakat di sekitar TPAS tersebut. Peningkatan volume sampah juga berimplikasi terhadap peningkatan kebutuhan lahan untuk pengelolaan TPAS tersebut serta peningkatan kebutuhan lahan untuk tempat tinggal akibat peningkatan jumlah penduduk.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penilaian responden mengenai kondisi lingkungan di sekitar TPAS Galuga dengan menggunakan skala perbedaan semantik (semantic differential), menghitung besarnya nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga menggunakan metode biaya kesehatan (cost of illness) dan biaya pengganti (replacement cost), dan mengetahui apakah faktor penurunan kualitas lingkungan mempengaruhi harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) karena di daerah tersebut terdapat TPAS Galuga yang diduga menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2011.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar TPAS Galuga secara umum menilai keberadaan TPAS Galuga menurunkan kualitas lingkungan, hal ini dapat ditunjukkan dengan hasil perhitungan nilai rata-rata semantic differential yang lebih rendah setelah adanya TPAS Galuga.

Hasil perhitungan menggunakan metode cost of illness dan replacement cost menunjukkan bahwa penurunan kualitas lingkungan untuk biaya kesehatan sebesar Rp 15.019.248.000,00 per tahun, sedangkan biaya pengganti air minum sebesar Rp 1.230.828.000,00 per tahun. Total nilai penurunan kualitas lingkungan adalah sebesar Rp 16.250.076.000,00 per tahun. Nilai ini merupakan biaya kerugian yang dirasakan masyarakat dalam waktu satu tahun terakhir.

Faktor penurunan kualitas lingkungan tidak berpengaruh terhadap harga lahan. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel kualitas lingkungan yang berpengaruh nyata terhadap harga lahan di sekitar TPAS Galuga adalah jarak tempat tinggal dengan TPAS Galuga. Variabel karakteristik lahan yang berpengaruh nyata adalah status lahan, sedangkan variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah biaya kesehatan, luas lahan, dan biaya konsumsi air bersih. Faktor penurunan kualitas lingkungan ditunjukkan dengan pendekatan biaya kesehatan dan biaya konsumsi air bersih.

Kata kunci : harga lahan, semantic differential, cost of illness, replacement cost, analisis regresi


(3)

ANALISIS PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN DI

SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH

GALUGA KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

LISANATUL HIFDZIYAH H44070005

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

Lisanatul Hifdziyah H44070005


(5)

Judul Skripsi : Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa Barat

Nama : Lisanatul Hifdziyah

NIM : H44070005

Disetujui Dosen Pembimbing

Ir. Nindyantoro, MSP NIP.19620323 1990021 1 001

Diketahui Ketua Departemen

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Suami penulis (Syaihul Umam), orangtua, dan seluruh keluarga besar atas

segala do’a dan dukungannya.

2. Ir. Nindyantoro, MSP atas bimbingan dan arahan yang diberikan selama proses penyusunan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Ahyar Ismail, M. Agr. selaku dosen penguji utama dan Adi Hadianto, SP, M.Si selaku dosen penguji wakil departemen untuk pertanyaan, saran, dan kritiknya.

4. Bapak Dani, Staf Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor atas bantuan data yang mendukung penelitian ini.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, FEM IPB. Terima kasih atas ilmu dan jasa yang telah diberikan selama ini.

6. Febri, Heni, Putri, Nisa, Fiandra, dan Norita atas kebersamaan dan dukungannya.

7. Teman-teman ESL 44 atas dukungannya selama ini.

8. Keluarga Cendana 53 (Ayu, Tati, Aini, Ayang, Lida, Icha, Fitrah, Mbak Alin, dan Mbak Ita) atas kebersamaan dan dukungannya selama ini.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar

Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa Barat.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi lingkungan permukiman di sekitar TPAS Galuga berdasarkan penilaian responden, mengestimasi besarnya nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga, serta mengetahui apakah penurunan kualitas lingkungan dicerminkan juga oleh harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis maupun bagi pihak-pihak yang memerlukan informasi terkait dengan skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

Lisanatul Hifdziyah H44070005


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Pengertian Sampah ... 8

2.1.1 Timbulan Sampah ... 8

2.1.2 Tempat Pembuangan Akhir Sampah ... 10

2.1.2.1 Tempat Pembuangan Akhir Sampah sebagai Barang Publik ... 11

2.1.2.2 Metode Pengolahan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sampah ... 12

2.1.3 Dampak yang Ditimbulkan Sampah ... 15

2.1.4 Potensi Ekonomi Tempat Pembuangan Akhir Sampah ... 17

2.1.5 Konsep Ideal Tempat Pembuangan Akhir Sampah ... 18

2.2 Aspek Sumberdaya Lahan ... 20

2.2.1 Harga Lahan ... 20

2.2.2 Permintaan dan Penawaran Lahan ... 21

2.2.3 Hubungan Harga Lahan dengan Kondisi Lingkungan... 23

2.3 Skala Perbedaan Semantik (Semantic Differential) ... 24

2.4 Cost of Illness dan Replacement Cost ... 24

2.5 Penelitian Terdahulu ... 26

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 29

3.1 Kerangka Pemikiran Operasional ... 29

IV. METODE PENELITIAN ... 32

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 32

4.3 Penentuan Jumlah Sampel ... 32

4.4 Pengumpulan Data ... 33

4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 33

4.5.1 Persepsi Masyarakat terhadap Kondisi Lingkungan Permukiman di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga ... 34 4.5.2 Estimasi Besarnya Nilai Ekonomi dari Penurunan Kualitas


(9)

x

Sampah Galuga ... 35

4.5.3 Analisis Pengaruh Faktor Penurunan Kualitas Lingkungan terhadap Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga ... 40

4.6 Uji Kesesuaian Model ... 42

4.6.1 Kriteria Ekonomi ... 42

4.6.2 Kriteria Statistika... 43

4.6.3 Kriteria Ekonometrika ... 45

V. GAMBARAN UMUM ... 47

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 47

5.1.1 Kondisi Umum Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga 48 5.1.2 Gambaran Pengendalian Pemerintah terhadap Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga ... 50

5.1.3 Gambaran Kondisi Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga ... 51

5.2 Karakteristik Responden... 51

5.2.1 Usia ... 52

5.2.2 Jumlah Tanggungan... 52

5.2.3 Pendidikan Formal ... 52

5.2.4 Jenis Pekerjaan ... 53

5.2.5 Sumber dan Tingkat Pendapatan ... 53

5.2.7 Kategori Penduduk ... 54

5.2.8 Lama Tinggal ... 54

5.2.9 Waktu Tinggal ... 55

5.2.10 Status Lahan ... 55

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN... ... 56

6.1 Deskripsi Lingkungan Pemukiman Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Berdasarkan Penilaian Responden ... 56

6.1.1 Penilaian Responden terhadap Kebersihan Desa Galuga ... 56

6.1.2 Penilaian Responden terhadap Kondisi Air ... 57

6.1.3 Penilaian Responden terhadap Kondisi Udara ... 59

6.1.4 Penilaian Responden terhadap Pengelolaan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga ... 60

6.1.5 Tingkat Gangguan Responden ... 61

6.2 Estimasi Nilai Penurunan Kualitas Lingkungan ... 62

6.2.1 Analisis Biaya Kesehatan ... 63

6.2.2 Analisis Biaya Pengganti ... 66

6.2.3 Nilai Ekonomi Penurunan Kualitas Lingkungan ... 66

6.3 Analisis Pengaruh Faktor Penurunan Kualitas Lingkungan terhadap Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga 67 6.3.1 Harga Lahan ... 67

6.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga ... 68

6.4 Upaya Meminimalisir Dampak Negatif Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga ... 72


(10)

xi

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

7.1 Kesimpulan ... 75

7.2 Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

LAMPIRAN ... 79


(11)

xii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Timbulan dan Sampah Terangkut Kota Bogor Tahun 2006-2010 .... 2

2 Kesesuaian Lahan untuk Tempat Pembuangan Akhir Sampah Secara Terbuka ... 15

3 Matriks Keterkaitan Tujuan, Sumber Data, dan Metode Analisis Data ... 34

4 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Galuga Tahun 2009 ... 48

5 Dokumen UKL/UPL dan Pelaksanaannya ... 50

6 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 53

7 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 53

8 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 54

9 Dampak Negatif Adanya Sampah yang Dialami Responden ... 61

10 Biaya Pengobatan Responden Akibat Pencemaran Air ... 64

11 Biaya Pengobatan Responden Akibat Pencemaran Udara ... 65

12 Biaya Pengganti untuk Sumber Air Minum Akibat Pencemaran Air 66 13 Total Nilai Ekonomi Penurunan Kualitas Lingkungan ... 67


(12)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Hubungan Harga Lahan dengan Faktor Lingkungan ... 24 2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 31 3 Peta Orientasi TPAS Galuga ... 49 4 Penilaian Responden terhadap Kebersihan Lingkungan di sekitar

TPAS Galuga ... 56 5 Penilaian Responden terhadap Kondisi Air ... 58 6 Penilaian Responden terhadap Kondisi Udara ... 59 7 Penilaian Responden terhadap Pengelolaan Sampah di Tempat

Pembuangan Akhir Sampah Galuga ... 60 8 Tingkat Gangguan Responden Akibat Keberadaan TPAS Galuga ... 62 9 Distribusi Harga Lahan Responden ... 68


(13)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Data Analisis Regresi Berganda ... 80

2 Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan di Sekitar TPAS Galuga... 82

3 Hasil Uji Heteroskedastisitas Faktor-Faktor yang mempengaruhi Harga Lahan di Sekitar TPAS Galuga... 83

4 Hasil Uji Normalitas Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan di Sekitar TPAS Galuga ... 84

5 Data Biaya Pengobatan ... 85

6 Data Biaya Pengganti ... 88


(14)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kehidupan manusia sehari-hari tidak terlepas dari kebutuhannya terhadap lingkungan. Manusia memperoleh daya dan tenaga serta pemenuhan kebutuhan primer, sekunder, tersier, maupun segala keinginan lainnya dari lingkungan. Aktivitas manusia berjalan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, dimana penduduk dengan segala aktivitasnya merupakan salah satu komponen penting dalam timbulnya permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan yang terkait dengan aktivitas manusia adalah sampah. Aktivitas manusia baik produksi maupun konsumsi akan menghasilkan sisa (buangan) yang dinamakan sampah. Sampah yang berasal dari aktivitas produksi dikenal dengan limbah pabrik, sedangkan sampah yang ditimbulkan dari aktivitas konsumsi masyarakat dikenal dengan limbah domestik. Kedua sumber sampah tersebut memiliki potensi yang sangat besar terhadap pencemaran lingkungan.

Permasalahan sampah merupakan tantangan bagi para pengelola perkotaan. Febriani dan Sukarjaputra (2004) dalam Sutjahjo et al. (2007) mengungkapkan bahwa hingga tahun 2020, volume sampah perkotaan di Indonesia diperkirakan akan meningkat lima kali lipat. Sampah yang dihasilkan setiap penduduk Indonesia rata-rata 0.8 kg per kapita per hari pada tahun 1995, dan meningkat menjadi 1 kg per kapita per hari pada tahun 2000, sedangkan pada tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 2,1 kg per kapita per hari.

Kota Bogor adalah salah satu kota di Indonesia yang mengalami pertambahan jumlah penduduk yang pesat. Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota Bogor mencapai 950,334 jiwa


(15)

2 dengan laju pertumbuhan sebesar 2,39 % (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, 2011). Pertambahan jumlah penduduk yang diikuti semakin bertambahnya tingkat produksi dan konsumsi serta aktivitas lainnya berakibat semakin bertambahnya pula buangan (sampah) yang dihasilkan. Sampah tersebut diangkut dan dibuang di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Galuga yang berlokasi di wilayah Kabupaten Bogor.

Berdasarkan data Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, timbulan sampah yang dihasilkan Kota Bogor mengalami peningkatan dari tahun 2006 hingga tahun 2010. Volume sampah yang dihasilkan Kota Bogor pada tahun 2006 rata-rata sebesar 2.185 m3 per hari dan meningkat menjadi 2.337 m3 per hari pada tahun 2010. Setiap harinya sampah yang mampu diangkut berjumlah 1.636 m3, yaitu sebesar 70 persen dari besarnya timbulan sampah pada tahun 2010. Sampah tersebut diangkut dengan menggunakan 91 truk pengangkut sampah. Sampah yang tidak terangkut biasanya dimusnahkan dengan cara dibakar atau dijadikan kompos oleh masyarakat atau pihak swasta. Lebih lanjut, data timbulan sampah yang dihasilkan Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Timbulan dan Sampah Terangkut Kota Bogor Tahun 2006-2010

Tahun Timbulan Sampah (m3/hari)

Sampah Terangkut (m3/hari)

Sampah Terangkut (%)

2006 2.185 1.497 68,50

2007 2.210 1.515 69,00

2008 2.224 1.542 69,30

2009 2.294 1.602 69,83

2010 2.337 1.636 70,00

Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor (2011)

Sampah yang diangkut ke TPAS Galuga tidak hanya berasal dari Kota Bogor, tetapi juga berasal dari Kabupaten Bogor. Sampah yang diangkut dari Kabupaten Bogor pada tahun 2010 sebesar 16.174 m3 dengan menggunakan 78


(16)

3 truk pengangkut sampah (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor, 2011). Pengelolaan TPAS Galuga dilakukan secara bersama oleh pemerintah Kota Bogor dan pemerintah Kabupaten Bogor.

Pengelolaan sampah di TPAS Galuga masih berpegang pada paradigma lama, yaitu mengumpulkan, mengangkut, dan membuang sampah. Sampah yang telah diangkut ke TPAS Galuga hanya diratakan dan ditindih dengan alat berat lalu ditutup dengan tanah. Mobil pengangkut sampah yang melebihi kapasitasnya menyebabkan sampah tercecer serta kerusakan jalan yang dilalui kendaraan tersebut.

Keberadaan TPAS Galuga dapat memberikan dampak positif diantaranya menghasilkan lapangan pekerjaan dan menjadi sumber pendapatan masyarakat, sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan yaitu terjadinya penurunan kualitas lingkungan berupa pencemaran air tanah, pencemaran udara, pemandangan yang tidak indah, serta berjangkitnya berbagai penyakit. Menurut Hadiwiyoto (1981), sampah dapat menimbulkan gangguan keseimbangan lingkungan, kesehatan dan keamanan, serta pencemaran. Gangguan tersebut meliputi : (1) pencemaran udara dan bau yang tidak sedap, (2) sampah bertumpuk-tumpuk dapat menimbulkan kondisi physicochemis yang dapat mengakibatkan kenaikan suhu dan perubahan pH, (3) kekurangan oksigen pada daerah pembuangan sampah, (4) gas-gas yang dihasilkan selama dekomposisi sampah dapat membahayakan kesehatan, bahkan kadang-kadang beracun dan dapat mematikan, (5) penularan penyakit yang ditimbulkan oleh sampah, dan (6) secara estetika, pemandangan yang tidak indah untuk dinikmati.


(17)

4 Peningkatan volume sampah yang dibuang akan menimbulkan dampak pada peningkatan kebutuhan lahan untuk mengelola sampah seperti untuk Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, serta tanah penimbun sampah di TPA. Hal tersebut akan sulit dipenuhi karena kebutuhan lahan untuk keperluan lainnya seperti permukiman dan aktivitas ekonomi juga akan meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.

Bersamaan dengan peningkatan volume sampah akibat meningkatnya jumlah penduduk, maka pertumbuhan penduduk juga berimplikasi terhadap kebutuhan lahan untuk tempat tinggal. Jumlah ketersediaan lahan bersifat tetap namun kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan diabaikannya persyaratan lingkungan permukiman.

Adapun fokus penelitian ini adalah mendeskripsikan kondisi lingkungan permukiman di sekitar TPAS Galuga, mengestimasi nilai ekonomi penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga, serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan di sekitar TPAS tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah nilai penurunan kualitas lingkungan dicerminkan juga oleh harga lahan permukiman di sekitar TPAS tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Karakteristik permukiman yang berbeda-beda menyebabkan adanya pilihan seseorang dalam menentukan lokasi tempat tinggal. Sebuah tempat tinggal akan dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria tersebut disesuaikan dengan kondisi individu yang tinggal di tempat tersebut. Beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan untuk memilih tempat tinggal adalah harga, fasilitas yang disediakan, aksesibilitas, dan kesesuaian tata ruangnya. Harga menjadi persoalan


(18)

5 utama, namun ditentukan juga oleh faktor lainnya. Semakin lengkap fasilitas yang ditawarkan, maka seseorang cenderung untuk memilihnya, demikian halnya dengan aksesibilitas dan kesesuaian tata ruang.

Harga lahan juga tidak terlepas dari faktor lingkungan, perbedaan lokasi lahan dengan atribut lingkungan yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam harga lahan. Semakin baik kualitas lingkungan maka harga lahan semakin meningkat. Faktor lingkungan tersebut dapat berupa kebersihan lingkungan. Kebersihan lingkungan dapat ditunjukkan dengan tempat tinggal yang bersih dari polusi udara maupun pencemaran air. Jika suatu tempat tinggal tidak bersih maka akan rentan terhadap berbagai penyakit, sehingga dapat mengganggu kenyamanan seseorang yang tinggal di tempat tersebut.

King dan Marissa (2000) memberikan definisi harga lahan dilihat dari kualitasnya. Ada empat faktor yang menentukan harga lahan tersebut yaitu : (1) lokasi, (2) karakteristik propertinya : luas, jumlah dan luas kamar, dan jumlah kamar mandi, (3) karakteristik lingkungan sekitar : pajak properti, angka kejahatan, (4) karakteristik aksesibilitas : jarak ke tempat kerja, pusat perbelanjaan, dan adanya transportasi umum.

Desa Galuga merupakan desa di Kabupaten Bogor yang sebagian wilayahnya digunakan sebagai lokasi TPAS. Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) tersebut dikelola bersama oleh pemerintah Kota Bogor dan pemerintah Kabupaten Bogor. Dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya TPAS Galuga adalah bau yang tidak sedap dan timbulnya penyakit akibat pencemaran lingkungan. Semakin banyak volume sampah yang diangkut ke TPAS Galuga mengakibatkan semakin tingginya tingkat pencemaran lingkungan. Akan tetapi,


(19)

6 tingginya tingkat pencemaran tersebut tidak menghalangi masyarakat untuk tetap bermukim di daerah tersebut.

Pencemaran lingkungan di sekitar TPAS Galuga yang semakin meningkat dapat mengganggu kenyamanan masyarakat yang tinggal di sekitar TPAS tersebut. Peningkatan volume sampah dan pertambahan jumlah penduduk menyebabkan semakin meningkatnya permintaan lahan. Selain itu, pencemaran lingkungan yang terjadi juga dapat menyebabkan masyarakat harus mengeluarkan sejumlah biaya, seperti biaya pengobatan dan biaya pembelian air minum.

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana persepsi masyarakat mengenai kondisi lingkungan permukiman di sekitar TPAS Galuga?

2. Berapa besar nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga?

3. Apakah faktor penurunan kualitas lingkungan mempengaruhi harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan kondisi lingkungan permukiman di sekitar TPAS Galuga berdasarkan persepsi masyarakat

2. Mengestimasi besarnya nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga


(20)

7 3. Mengetahui apakah faktor penurunan kualitas lingkungan tersebut

mempengaruhi harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi peneliti diharapkan penelitian ini dapat berguna dalam pengembangan

ilmu pengetahuan.

2. Bagi akademisi diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dalam mengkaji nilai penurunan kualitas lingkungan.

3. Bagi pemerintah Kota Bogor dan pemerintah Kabupaten Bogor diharapkan dapat menjadi masukan dalam mengelola TPAS Galuga dengan baik sehingga dapat meminimalisir dampak negatif yang terjadi.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup dan batasan-batasan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Lokasi penelitian adalah daerah yang berada di sekitar TPAS Galuga.

2. Harga lahan yang dimaksud adalah harga pasar yang diperoleh dari harga transaksi jual beli atau harga penawaran.

3. Lahan yang dinilai adalah lahan yang berada di kawasan permukiman.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan yang dihitung adalah jarak lahan dengan TPAS Galuga, biaya kesehatan, luas lahan, biaya konsumsi air bersih, dan status lahan.

5. Estimasi nilai penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga menggunakan metode cost of illness dan replacement cost dan hanya dilakukan pada wilayah Desa Galuga dalam waktu satu tahun terakhir.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sampah

Sampah (waste) pada dasarnya adalah zat-zat atau benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi, baik berupa buangan domestik (rumah tangga) maupun buangan pabrik sebagai sisa proses industri. Sampah yang berasal dari daerah pemukiman umumnya merupakan sampah organik yang cepat lapuk (garbage), yaitu sisa sayuran, nasi basi, berbagai jenis kertas, daun, air larutan deterjen bekas cucian, tinja (faeces), dan urin. Sampah industri umumnya merupakan sampah organik yang lambat lapuk (rubish), misalnya limbah pabrik berupa kertas karton, ampas, limbah sisa gergajian dan serpihan kayu, serbuk besi dan logam lainnya, karton, plastik, kaca, mika, dan sebagainya. Secara kimiawi, sampah-sampah tersebut dibedakan sebagai sampah organik dan sampah anorganik (Kastaman dan Kramadibrata, 2007).

2.1.1 Timbulan Sampah

Peningkatan jumlah penduduk merupakan faktor penting yang menyebabkan meningkatnya volume sampah perkotaan dari waktu ke waktu. Meskipun terdapat perbedaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi sampah perkotaan, banyak peneliti sepakat bahwa jumlah penduduk merupakan faktor dominan dan menentukan. Hal tersebut sangat logis mengingat semakin banyak jumlah penduduk maka volume sampah juga semakin meningkat akibat peningkatan produksi dan konsumsi.

Sumber sampah utama dari suatu kota adalah perumahan, pasar, industri, serta jalan-jalan dan tempat umum/tempat rekreasi. Sampah sebagian besar terdiri dari bahan organik, kertas, logam, kaca, dan plastik. Komposisi sampah yang


(22)

9 berasal dari industri berbeda dengan komposisi sampah yang berasal dari perumahan. Sampah yang berasal dari perumahan mempunyai jumlah zat organik yang jauh lebih besar. Kastaman dan Kramadibrata (2007) menjelaskan bahwa sampah dapat berasal dari berbagai sumber. Jenis sampah berdasarkan penggolongan tersebut :

a. Sampah rumah tangga, umumnya terdiri atas sampah organik dan sampah anorganik yang ditimbulkan dari aktivitas rumah tangga, seperti buangan dari dapur, debu, buangan taman, alat-alat rumah tangga, tang sudah usang, dan lain-lain.

b. Sampah dari daerah komersial, yaitu sampah yang dihasilkan dari pertokoan, restoran, pasar perkantoran, hotel, dan lain-lain. Biasanya terdiri atas bahan-bahan pembungkus sisa-sisa makanan, kertas dari perkantoran, dan lain-lain. c. Sampah dari institusi, berasal dari sekolahan, rumah sakit, dan pusat

pemerintahan. Khusus sampah yang berasal dari rumah sakit merupakan aspek penting untuk diperhatikan karena sampah tersebut mengandung kuman penyakit yang dapat membahayakan kesehatan, sehingga perlu dilakukan penanganan lebih lanjut sebelum di buang ke TPA.

d. Sampah dari sisa-sisa konstruksi bangunan, yaitu sampah yang berasal dari sisa-sisa pengembangan bangunan, perbaikan jalan, pembongkaran jalan, jembatan, dan lain-lain.

e. Sampah dari fasilitas umum, berasal dari taman umum, pantai, tempat rekreasi, dan lain-lain.

f. Sampah dari hasil pengelolaan air buangan serta sisa-sisa pembakaran (insinerator).


(23)

10 g. Sampah industri, berasal dari proses produksi industri. Mulai dari pengolahan

bahan baku, sampai dengan hasil produksi.

h. Sampah pertanian, berasal dari sisa-sisa pertanian yang tidak dapat dimanfaatkan lagi.

Menurut Apriadji (2002) sampah digolongkan ke dalam empat kelompok. Penggolongan tersebut antara lain meliputi : (1) human excreta, merupakan bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia, meliputi tinja (feces) dan air kencing (urine), (2) sewage, merupakan air limbah yang dibuang oleh pabrik maupun rumah tangga, (3) refuse, merupakan bahan sisa proses produksi atau hasil sampingan kegiatan rumah tangga, dan (4) industrial waste, merupakan bahan-bahan buangan dari sisa proses industri.

2.1.2 Tempat Pembuangan Akhir Sampah

Sutjahjo et al. (2007) menyatakan bahwa pengelolaan sampah di Indonesia merupakan issue nasional, terutama di kota-kota besar, yang sampai saat ini masih belum terpecahkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : (1) ketersediaan lahan yang terbatas dan tidak seimbang dengan peningkatan volume timbunan sampah, (2) pemerintah belum mempunyai sistem perencanaan pengelolaan sampah yang professional. Hal tersebut tercermin pada rencana umum tata ruang perkotaan di Indonesia yang belum memasukkan secara rinci rencana lokasi TPA sampah, (3) partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah masih rendah dan, (4) belum tersedia teknologi tepat guna untuk kondisi di Indonesia dalam mengolah sampah menjadi bahan bernilai tambah.


(24)

11

2.1.2.1 Tempat Pembuangan Akhir Sampah sebagai Barang Publik

Penyediaan barang dan jasa dalam setiap sistem perekonomian, tidak semuanya dapat disediakan oleh sistem pasar. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya kegagalan pasar. Beberapa jenis barang atau pelayanan sangat dibutuhkan oleh masyarakat tetapi pasar tidak mampu menyediakannya sehingga harus ada campur tangan dari pemerintah. Mangkoesoebroto (2000) menjelaskan bahwa barang publik merupakan barang yang tidak dapat disediakan oleh sistem pasar. Sistem pasar tidak dapat menyediakan barang atau jasa tetentu karena manfaat dari adanya barang tersebut tidak hanya dirasakan secara pribadi akan tetapi dinikmati juga oleh orang lain. Barang atau jasa tersebut tidak mempunyai sifat pengecualian, yaitu pengecualian oleh orang yang memiliki suatu barang terhadap orang lain dalam menikmati barang tersebut. Karakteriristik barang publik murni antara lain biaya pengecualian besar, dihasilkan oleh pemerintah, disalurkan oleh pemerintah, serta dijual melalui pasar atau langsung oleh pemerintah.

Tempat Pembuangan Akhir Sampah merupakan salah satu barang publik yang disediakan oleh pemerintah. Barang publik ini termasuk dalam barang publik campuran (Quasi Public) atau yang biasa disebut common property resource. Mangkoesoebroto (2000) juga menjelaskan bahwa beberapa karakteristik dari barang publik ini yaitu barang yang manfaatnya dirasakan bersama dan dikonsumsikan bersama tetapi dapat terjadi kepadatan serta dapat dijual melalui pasar atau langsung oleh pemerintah.

Penyediaan TPAS membutuhkan biaya investasi yang sangat besar sehingga skala ekonomi yang efisien baru tercapai pada tingkat produksi yang


(25)

12 besar. Hal ini menyebabkan terjadinya monopoli secara alami atau sering disebut dengan monopoli alamiah karena pemerintah merupakan satu-satunya pengelola TPAS. Mangkoesoebroto (2000) menjelaskan bahwa monopoli dalam suatu masyarakat dapat terjadi secara alami karena pasar akan barang/jasa terlalu kecil atau investasi yang dibutuhkan sangat besar sehingga skala ekonomi yang efisien baru terjadi pada tingkat produksi yang besar. Hal ini menyebabkan produsen swasta tidak mau menyediakan barang tersebut.

Keberadaan TPAS Galuga dapat menimbulkan eksternalitas negatif. Eksternalitas juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan pasar. Mangkoesoebroto (2000) menjelaskan bahwa selain barang publik, masalah lain yang menyebabkan terjadinya kegagalan pasar dalam mengalokasi faktor-faktor produksi secara efisien adalah adanya apa yang disebut dampak sampingan atau eksternalitas. Eksternalitas timbul karena tindakan produksi atau konsumsi dari satu pihak mempunyai pengaruh terhadap pihak yang lain dan tidak ada kompensasi yang dibayar oleh pihak yang menyebabkan atau tidak adanya kompensasi yang diterima oleh pihak yang terkena dampak tersebut.

Eksternalitas negatif dari adanya TPAS tersebut dapat berupa timbulnya pencemaran udara dan pencemaran air. Pengadaan retribusi sampah merupakan salah satu cara untuk mengatasi ekternalitas tersebut. Namun retribusi ini belum dapat mencerminkan biaya yang sebernarnya karena besarnya retribusi tidak sebesar biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat akibat eksternalitas tersebut.

2.1.2.2 Metode Pengolahan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sampah

Pembuangan akhir sampah merupakan proses terakhir dalam siklus pengelolaan persampahan formal. Fase ini dapat menggunakan berbagai metode


(26)

13 dari yang sederhana hingga tingkat teknologi tinggi. Suryanto (1988) dalam Yudianto (2007) menjelaskan bahwa metode pembuangan akhir yang banyak dikenal adalah :

1. Open dumping

Metode ini merupakan cara pembuangan akhir yang sederhana karena sampah hanya ditumpuk di lokasi tertentu tanpa perlakuan khusus.

2. Control landfill

Metode ini merupakan peralihan antara teknik open dumping dan sanitary landfill. Pada metode ini sampah ditimbun dan diratakan. Pipa-pipa ditanam pada dasar lahan untuk mengalirkan air lindi dan ditanam secara vertikal untuk mengeluarkan metan ke udara. Setelah timbunan sampah penuh lalu dilakukan penutupan terhadap hamparan sampah tersebut dengan tanah dan dipadatkan.

3. Sanitary landfill

Teknik sanitary landfill adalah cara penimbunan sampah padat pada suatu hamparan lahan dengan memperhatikan keamanan lingkungan karena telah ada perlakuan terhadap sampah. Pada teknik ini, sampah dihamparkan hingga mencapai ketebalan tertentu lalu dipadatkan, kemudian dilapisi tanah dan dipadatkan kembali, di atas lapisan tanah penutup tadi dapat dihamparkan lagi sampah yang kemudian ditimbun lagi dengan tanah. Demikian seterusnya berselang-seling antara lapisan tanah dan sampah. Metode ini lebih baik dari metode lainnya. Konsekuensi dari pembuangan sampah di tempat pembuangan akhir sampah ini adalah dibutuhkannya lahan yang luas serta biaya pengelolaan yang besar.


(27)

14 Sehubungan dengan teknik sanitary landfill dalam pengolahan sampah, terdapat beberapa jenis bahan pencemar di lahan penimbunan sampah yaitu: a. Air lindi

Air lindi keluar dari dalam tumpukan sampah karena masuknya rembesan air hujan ke dalam tumpukan sampah lalu bersenyawa dengan komponen-komponen hasil penguraian sampah.

b. Pembentukan gas

Penguraian bahan organik secara aerobik akan menghasilkan gas karbondioksida, sedangkan penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik akan menghasilkan gas metana, H2S, dan NH3. Gas metana perlu ditangani

karena merupakan salah satu gas rumah kaca yang sifatnya mudah terbakar, sedangkan gas H2S, dan NH3 merupakan sumber bau yang tidak enak.

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah membutuhkan ruang/tempat yang luas dan disyaratkan jauh dari permukiman penduduk. Dengan adanya keterbatasan lahan di berbagai kota besar, maka tempat penampungan sampah akhir lambat laun menjadi masalah. Oleh karena itu, adanya upaya mengurangi beban penumpukan sampah di TPA dengan berbagai metode pengelolaan sampah yang lebih baik merupakan langkah yang perlu terus dikembangkan agar tidak menimbulkan banyak masalah. Lahan untuk TPAS harus memiliki kesesuaian dengan sifat lahan tersebut, sehingga dapat meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkannya. Menurut USDA (1983) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), ada beberapa sifat lahan yang sesuai sebagai Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) secara terbuka. Kesesuaian lahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.


(28)

15 Tabel 2 Kesesuaian Lahan untuk Tempat Pembuangan Sampah Secara Terbuka

No Sifat Tanah Kesesuaian Lahan

Baik Sedang Buruk

1 Ancaman Banjir Tanpa Jarang Sering

2 Kedalaman sampai hamparan batuan (cm)

>150 100-150 <100 3 Kedalaman sampai padas keras (cm) >150 100-150 <100 4 Permeabilitas (cm/jam) (50-100 cm) - - >5 5 Muka air tanah

 Apparent

 Perched

>150 >90

100-150 100-150

<100 <45

6 Lereng % <8 45-90 >15

7 Longsor - - Ada

Sumber : USDA (1983) dalam Hardjowigeno et al. (2007)

Penggunaan lahan untuk TPAS di Desa Galuga sesuai dengan Rencana Tata Ruang Kabupaten Bogor yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor tahun 2002 dan diperkuat oleh Keputusan Bupati Bogor Nomor 591/131/kpts/Huk/2002 tentang Penetapan Lokasi untuk Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah. Pengelolaan sampah di TPAS tersebut masih menggunakan metode controll landfill (Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor, 2010). Metode ini masih dilakukan karena adanya keterbatasan dana dan lahan untuk pengelolaan sampah tersebut, sedangkan penerapan metode sanitary landfill membutuhkan lahan yang luas serta biaya pengelolaan yang besar.

2.1.3 Dampak yang Ditimbulkan Sampah

Sampah dapat memberikan dampak positif dan negatif baik bagi manusia (terutama kesehatan) maupun terhadap lingkungan. Dampak yang ditimbulkan sampah dapat langsung dirasakan dan dapat juga dirasakan secara tidak langsung (Suprihatin et al. 1999) dalam Utari 2006.

1) Dampak Terhadap Kesehatan

Lokasi pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan sampah tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme dan


(29)

16 menarik bagi berbagai macam binatang seperti lalat dan nyamuk yang dapat menjangkit penyakit. Potensi yang ditimbulkan adalah sebagai berikut :

a. Penyakit diare, kolera, dan tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari sampah yang dikelola dengan cara yang tidak tepat dapat bercampur dengan air minum. Penyakit demam berdarah dapat juga meningkat dengan cepat di daerah yang pengelolaan sampahnya kurang memadai.

b. Penyakit jamur, misalnya jamur kulit.

c. Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Misalnya penyakit yang dijangkit oleh cacing pita.

d. Penyakit yang diakibatkan oleh sampah beracun. Misalnya sampah yang sudah terkontaminasi air raksa.

2) Dampak Terhadap Lingkungan

Cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan akan mati sehingga beberapa spesies akan lenyap dan menyebabkan perubahan ekosistem biologis perairan. Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik dan gas cair organik seperti gas metana. Gas cair organik ini memiliki bau yang tidak sedap dan dapat meledak pada suhu yang tinggi.

3) Dampak Terhadap Sosial Ekonomi

a. Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan bagi masyarakat antara lain dengan bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buruk karena sampah yang menumpuk dan berserakan.


(30)

17 b. Memberikan dampak negatif bagi kepariwisataan.

c. Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan efek rendahnya tingkat kesehatan masyarakat dan menimbulkan pembiayaan secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak masuk kerja).

d. Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akan memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan, drainase, dan lain-lain.

2.1.4 Potensi Ekonomi Tempat Pembuangan Akhir Sampah

Pengolahan sampah yang baik dapat memberikan manfaat bagi manusia yaitu memiliki potensi ekonomi dan lingkungan dengan meminimalisir pencemaran yang terjadi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendaur ulang sampah padat, pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos, maupun pengolahan terhadap air lindi.

Hadiwiyoto (1981) mengungkapkan bahwa sampah memiliki dampak positif dalam kehidupan manusia, terutama yang tinggal di sekitar tempat pembuangan sampah. Dampak positif tersebut adalah sebagai berikut :

a. Sampah dapat dipakai unuk menimbun tanah.

b. Dapat digunakan untuk pupuk sebagai penyubur tanah dan mempercepat pertumbuhan tanaman.

c. Dapat digunakan sebagai pakan ternak.

d. Gas-gas yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi karena dapat dikonversi menjadi tenaga listrik.


(31)

18

2.1.5 Konsep Ideal Tempat Pembuangan Akhir Sampah

Penentuan lokasi TPA sampah berdasarkan SNI 03-3241-1994 tentang tata cara pemillihan lokasi TPA sampah dengan beberapa pertimbangan (Dardak, 2007), antara lain yaitu TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai, dan laut. Pertimbangan tersebut disusun berdasarkan tiga tahapan. Tahap pertama adalah tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan. Kedua, tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional. Ketiga, tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh instansi yang berwenang.

Selain itu, pemilihan lokasi perlu mempertimbangkan aspek-aspek penataan ruang sebagai berikut :

1. Lokasi TPA sampah diharapkan berlawanan arah dengan arah perkembangan daerah perkotaan (Urbanized Area)

2. Lokasi TPA sampah harus berada di luar dari daerah perkotaan yang didorong pengembangannya (Urbanized Promotion Area)

3. Diupayakan transportasi menuju TPA sampah tidak melalui jalan utama menuju perkotaan/daerah padat.

Berdasarkan PP 16 tahun 2005 tentang pengembangan sistem penyediaan air minum yang didalamnya mengatur masalah persampahan (bagian ketiga pasal 19-22), bahwa penanganan sampah yang memadai perlu dilakukan untuk perlindungan air baku air minum dan secara tegas dinyatakan bahwa TPA sampah wajib dilengkapi dengan zona penyangga dan metoda pembuangan akhirnya


(32)

19 dilakukan secara sanitary landfill untuk kota besar dan metropolitan dan controlled landfill untuk kota kecil dan sedang. Selain itu perlu juga dilakukan pemantauan kualitas hasil pengolahan leachate secara berkala.

Menurut Soedradjat (2005) dalam Suhan (2009) kawasan sekitar TPA dibagi menjadi dua zona, yaitu :

1. Zona Penyangga

Zona penyangga diukur mulai dari batas terluar tapak TPA sampai pada jarak tertentu sesuai dengan pedoman pengoperasian dan pemeliharaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sistem Controlled landfill dan Sanitary Landfill, yakni 500 meter, dengan pemanfaatan sebagai berikut :

a. 0 – 100 meter harus berupa sabuk hijau. b. 101 – 500 meter pertanian non pangan, hutan. 2. Zona Budidaya Terbatas

Zona budidaya terbatas ditentukan mulai dari batas terluar zona penyangga sampai pada jarak yang telah aman dari pengaruh dampak TPA yang berupa :

a. Bahaya meresapnya lindi ke dalam mata air dan badan air lainnya yang dipakai penduduk untuk kehidupan sehari-sehari.

b. Bahaya ledakan gas metan.

c. Bahaya penyebaran vektor penyakit melalui lalat.

Zona budidaya terbatas ditentukan pada jarak 501 – 800 meter dari batas terluar TPA. Pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut :

a. Rekreasi dan RTH, misalnya rekreasi pendidikan dan penghijauan di sekitar lokasi TPA.


(33)

20 b. Industri terkait sampah, misalnya industri daur ulang sampah anorganik

dan pembuatan pupuk kompos.

c. Pertanian non pangan, misalnya penggunaan lahan untuk budidaya pohon jati, sengon, dan lain-lain.

d. Permukiman yang telah ada sebelumnya harus memperhatikan persyaratan-persyaratan teknis dalam penggunaan air tanah. Khususnya untuk air minum disarankan untuk tidak menggunakan air tanah.

2.2 Aspek Sumberdaya Lahan

Lahan merupakan sumberdaya fisik wilayah utama yang sangat penting untuk diperhatikan dalam perencanaan tataguna lahan. Lahan termasuk sumberdaya alam yang multifungsi dalam aktivitas dan kegiatan manusia baik untuk kegiatan fasilitatif atau penggunaan tempat seperti untuk permukiman, perkantoran, lokasi industri dan jalan maupun untuk kegiatan ekstraktif seperti pertanian dan pertambangan. Lahan sebagai obyek dari aktivitas manusia, ketersediaannya relatif tetap dari waktu ke waktu.

Lahan memiliki jumlah yang terbatas dan merupakan sumberdaya yang hampir tak terbarui (non renewable), sedangkan jumlah permintaan lahan terus bertambah. Kelangkaan dari sumberdaya lahan ini akan berpengaruh terhadap harga lahan itu sendiri. Peningkatan permintaan lahan tidak hanya terjadi pada penggunaan lahan untuk permukiman, tetapi juga penggunaan lain seperti penggunaan lahan untuk sektor perekonomian.

2.2.1 Harga Lahan

Alonso (1970) menggunakan istilah harga lahan (land price) sebagai pengganti istilah nilai lahan (land value) dalam menganalisis masalah ekonomi


(34)

21 lahan perkotaan. Istilah harga lebih dapat mencerminkan nilai pasar (market expression) atas harga kontrak (contract rent), harga jual (sales prices), dan biaya kepemilikan (cost of ownership). Harga jual adalah harga yang disanggupi pembeli (willingness to pay) setelah mempertimbangkan berbagai alternatif dan merupakan nilai diskonto dari total nilai sewa di masa mendatang sedangkan biaya pemilikan lahan ialah fungsi dari harga jual dan harga kontrak.

Alonso (1970) juga mendefinisikan harga lahan sebagai sejumlah uang yang dibayar kepada pemilik lahan atas hak menggunakan suatu unit lahan pada periode waktu tertentu. Definisi tersebut belum secara jelas membedakan antara harga lahan dengan nilai lahan. Akan tetapi harga lahan sudah mengaitkan dengan dimensi pasar sebagai wahana transaksi dan merupakan kumulatif nilai dari beberapa jenis rente Ricardian, rente lokasi atau rente sosial.

Menurut Suparmoko (1989) harga lahan yang berlokasi dekat fasilitas umum akan meningkat. Maka dengan adanya kegiatan pembangunan, khususnya pembangunan prasarana umum, akan meningkatkan kegunaan dan kepuasan yang dapat diberikan oleh satuan luasan lahan, yang diikuti pula oleh meningkatnya pendapatan masyarakat sehingga harga lahan akan meningkat. Lahan yang dekat pasar oleh masyarakat digunakan untuk daerah pusat kegiatan ekonomi yang akan memberikan pendapatan dan harga sewa yang tinggi untuk berbagai alternatif penggunaan, seperti industri atau penggunaan lain yang menguntungkan.

2.2.2 Permintaan dan Penawaran Lahan

Barlowe (1972) dalam Nuryanti (2006) menjelaskan permintaan terhadap lahan secara fisik berarti keinginan, kebutuhan atau persyaratan terhadap fasilitas tertentu, seperti perumahan, rekreasi, sekolah, dan merupakan ruang publik.


(35)

22 Secara ekonomi, permintaan lahan merupakan keinginan dan minat masyarakat untuk membeli suatu lahan. Penawaran secara fisik adalah keberadaan fisik sumberdaya tanah, seperti fisik hutan, deposit mineral, tambang atau area dengan permukaan tanah yang tertutup, unit kepemilikan, dan wilayah administrasi. Penawaran secara ekonomi adalah porsi atau bagian dari penawaran fisik lahan yang digunakan oleh manusia dan secara aktual dimanfaatkan, dibutuhkan sehingga ada nilai (value) di atasnya serta menunjukkan keinginan atau minat untuk menanggung biaya pengembangannya.

Daniel (2002) mengungkapkan bahwa ada dua faktor dalam menentukan harga lahan yaitu dilihat dari faktor penawaran dan faktor pemintaan lahan tersebut. Berdasarkan faktor penawaran yaitu kualitas dan lokasi lahan tersebut. Kualitas lahan dilihat dari segi kualitas air atau fasilitas air, kesuburan dan kandungan mineral di dalam lahan tersebut. Berdasarkan perbedaan lokasi lahan, dapat dilihat aksesibilitas lahan tersebut seperti tersedianya sarana angkutan umum, lembaga perkreditan, pasar, kondisi jalan, dan keamanan dari bahaya banjir.

Permintaan lahan juga mempengaruhi harga lahan. Penentuan permintaan lahan tersebut adalah selera dan preferensi konsumen, jumlah penduduk, pendapatan, dan ekspektasi konsumen terhadap harga dan pendapatan di masa yang akan datang. Keempat penentu permintaan lahan tersebut berhubungan positif dengan harga lahan. Semakin meningkat penentu permintaan lahan tersebut maka harga lahan juga akan semakin mahal (Harcrow,1992).

Ketika penawaran bertemu unsur lain seperti harga dan permintaan, maka akan terjadi fenomena seperti kelangkaan (scarcity) atau kelimpahan. Penawaran


(36)

23 sangat dipengaruhi oleh harga, tingkat ketergantungan terhadap harga mengakibatkan elastisitas harga terhadap penawaran (supply). Bila harga lahan meningkat secara relatif terhadap biaya, maka orang akan berlomba-lomba untuk memanfaatkan lahan, dan sebaliknya jika harga lahan turun, maka lahan akan dibiarkan saja. Hal yang sama akan terjadi pada permintaan lahan (Rony, 1996) dalam Nuryanti (2006).

Penetapan harga lahan juga dapat ditetapkan secara : (1) land rent berdasarkan tingkat kesuburan lahan maupun besarnya surplus yang didapat dari lahan tersebut, (2) ekonometrika berdasarkan karakeristik lingkungan yang mempengaruhi di sekitar lokasi lahan, (3) Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) berdasarkan harga lahan di pasaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan kategori letak lahan (Hasanah, 2004) dalam Nuryanti (2006).

2.2.3 Hubungan Harga Lahan dengan Kondisi Lingkungan

Nilai suatu lahan berkaitan dengan aliran penerimaan bersih (benefit) yang diturunkan dari lahan tersebut. Hasil pertanian dan penyewaan perumahan merupakan manfaat yang sangat jelas, tetapi akses dari tempat kerja ke pusat perbelanjaan yang nyaman dan fasilitas-fasilitas lingkungan seperti taman dan kualitas lingkungan yang baik juga menumbuhkan manfaat penting bagi orang yang mempunyai hak untuk menggunakan lahan tersebut. Perbedaan lokasi lahan dengan atribut lingkungan yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam nilai atau harga yang bersangkutan. Lebih konkritnya bahwa semakin bertambah baiknya lingkungan maka harga lahan akan semakin meningkat (Pearce dan Turner, 1990). Hal ini dapat ditunjukkan pada Gambar 1.


(37)

24

Sumber : Pearce dan Turner, (1990)

Gambar 1 Hubungan Harga Lahan dengan Faktor Lingkungan

2.3 Skala Perbedaan Semantik (Semantic Differential)

Menurut Nazir (1999) dalam skala perbedaan semantik responden diminta untuk menilai suatu konsep atau objek dalam suatu skala bipolar. Skala bipolar adalah skala yang berlawanan seperti baik buruk, cepat lambat, dan sebagainya. Skala perbedaan semantik ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana pandangan seseorang terhadap suatu konsep atau objek. Prinsip sifat positif diberi nilai paling besar dan sifat negatif diberi nilai paling kecil tetap dipertahankan dalam penetapan skala perbedaan semantik. Skala perbedaan semantik biasanya digunakan dalam menilai sikap konsumen terhadap suatu produk. Misalnya skor satu untuk menilai produk yang mempunyai kualitas yang sangat buruk sampai dengan skor lima untuk menilai produk yang sangat bagus.

2.4 Cost of Illness dan Replacement Cost

Metode yang digunakan untuk mengestimasi penurunan kualitas lingkungan di sekitar TPAS Galuga adalah dengan menggunakan metode cost of illness (biaya kesehatan) dan replacement cost (biaya pengganti). Kedua metode tersebut dinilai dapat mengestimasi kerugian yang diderita masyarakat berupa

Property Price

p’

Slope pp

p

Environmental Quality Pollution level


(38)

25 biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat baik untuk mengganti kebutuhan mereka dengan bahan alternatif maupun biaya untuk pengobatan.

Menurut Champ P. A. (2003) metode biaya kesehatan tidak mengestimasi surplus konsumen atau harga marginal. Metode biaya kesehatan secara sederhana berusaha untuk mengukur biaya kesehatan secara penuh, termasuk biaya perawatan. Biaya perawatan didasarkan kepada keputusan individu atau masyarakat mengenai level dari kepedulian individu atau masyarakat tersebut akan kesehatan.

Biaya kesehatan terdiri dari dua jenis, yang pertama adalah biaya langsung dan kedua adalah biaya tidak langsung. Biaya langsung itu sendiri terbagi menjadi medical cost dan non-medical cost. Biaya yang termasuk medical cost adalah biaya perawatan medis pasien itu sendiri yang besarnya dapat berbeda setiap pasiennya, sedangkan yang termasuk non-medical cost antara lain biaya perjalanan pasien untuk menempuh perjalanan sampai kepada tempat pengobatan, biaya logistik, dan akomodasi pasien yang besarnyapun dapat bervariasi. Biaya tidak langsung terkait dengan hilangnya sumberdaya yang hilang akibat penyakit tersebut, antara lain opportunity cost akibat hilangnya produktivitas pasien (pendapatan) yang terkena penyakit tersebut.

Biaya pengganti adalah nilai aset yang didasari oleh biaya untuk mengganti aset tersebut apabila dibutuhkan pada saat sekarang. Biaya pengganti dapat digunakan untuk menentukan nilai suatu aset pada saat ini, atau diaplikasikan dengan menggunakan faktor inflasi.

Metode biaya pengganti memiliki beberapa keunggulan antara lain dapat mengatasi kesalahan perhitungan akutansi yang menggunakan nilai saat ini,


(39)

26 berpotensial untuk digunakan secara transparan, sangat cocok digunakan untuk menilai suatu aset saat terjadi inflasi yang tinggi, dan dapat menjadi dasar penentuan keputusan untuk memasuki suatu pasar. Kekurangan yang dimiliki oleh biaya pengganti adalah menjadi subjektif dikarenakan nilai saat ini sulit untuk ditentukan, membutuhkan penghitungan yang akurat apabila menggunakan nilai sekarang karena jika tejadi pergantian teknologi, mengabaikan sifat keoptimalan, dapat terjadi overestimate dari suatu aset yang dinilai.

2.5 Penelitian Terdahulu

Effendy (2005) melakukan penelitian tentang polutan gas dari berbagai lokasi TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah. Berdasarkan hasil analisis dan perbandingan dengan ambang batas yang ditetapkan pemerintah, didapatkan nilai gas polutan dari ke empat TPA (TPA Galuga, Pondok Rajeg, Waru dan Bantar Gebang) berada diwilayah ambang batas menurut (Kep-13/MENLH/3/1995) dan (Kep-50/MENLH/11/1996) kecuali untuk gas amonia (NH3) di TPA Bantar

Gebang pada titik 2 yaitu sebesar 0,52 mg/m3 atau 0,02 mg/m3 diatas ambang baku mutu emisi. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga, Pondok Rajeg, Waru dan Bantar Gebang mengemisikan gas yang berada dibawah Ambang Batas Baku Mutu Emisi. Hal tersebut disebabkan standar baku mutu yang digunakan adalah standar untuk industri karena belum adanya Keputusan Pemerintah mengenai Standar Baku Mutu khusus sampah.

Sutjahjo et al. (2007) melakukan penelitian mengenai pengelolaan TPAS

dengan pendekatan ‘Zero Waste’ (nir limbah) berbasis partisipasi masyarakat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari hasil rekonstruksi TPA Galuga terdapat dua sistem akuifer yaitu akuifer air tanah tertekan dan akuifer air tanah


(40)

27 tidak tertekan. Pola aliran air bawah tanah pada akuifer tersebut membentuk pola pengaliran dari selatan ke utara. Di sekitar wilayah TPA sampah membentuk pola cekungan, berfungsi sebagai tempat akumulasi air bawah permukaan termasuk lindi dari TPA. Kecepatan dan debit aliran kecil, sehingga polutan dapat tertahan lebih lama di dalam sistem cekungan tersebut.

Sistem PAL TPA Galuga yang ada tidak berfungsi secara optimum. Status

tingkat pencemaran dinyatakan dengan tingkat ‘tercemar ringan’ pada skala 1.

Kandungan bahan pencemar di sekitar TPA bukan disebabkan oleh kontaminasi langsung lindi TPA Galuga, melainkan oleh rembesan air lindi melalui sistem drainase/parit pembuangan lindi. Pecemaran wilayah sekitar TPA ditentukan oleh besarnya jarak (52%) dan oleh faktor lain yaitu sifat fisik dan kimia batuan, lingkungan binaan dan akivitas manusia serta kondisi masyarakat (48%).

Kurniawan (2006) melakukan penelitian mengenai analisis kualitas air sumur di sekitar wilayah TPAS dengan melihat Indeks Kualitas Air (IKA) sumur sebagai pengaruh pengelolaan TPAS (studi kasus di TPAS Galuga Cibungbulang Bogor). Hasil pengukuran fisik, kimia, dan mikrobiologi air sumur di wilayah sekitar TPAS Galuga menunjukkan ada 11 parameter yang telah melampaui ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut persyaratan Baku Mutu Air Kelas 1, yaitu bau, rasa, pH, DO, BOD5, COD, amonia, nitrit, seng, bakteri

coliform, dan fecal coli (E. Coli). Indeks Kualitas Air (IKA) sumur yang berada pada jarak 400 m, 600 m, dan 700 m tergolong buruk dengan kisaran indeks 41,03-48,36. Nilai IKA rata-rata untuk seluruh lokasi pengamatan adalah 48,65 yang tergolong buruk. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa secara umum kualitas air sumur wilayah sekitar TPA tergolong buruk dan tidak layak


(41)

28 dikonsumsi untuk air minum namun masih bisa digunakan untuk keperluan perikanan dan pertanian.

Hasil penelitian Silalahi (2008) menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata dengan variabel tak bebasnya nilai lahan memakai model linear dan model double-log adalah luas lahan, kepadatan pnduduk, jarak lahan ke kantor pemerintahan daerah Kabupaten Bogor, status lahan, sumber lahan, dan NJOP. Faktor yang berpengaruh nyata dengan variabel tak bebasnya harga lahan pada model linear dan model double-log adalah luas lahan, jarak lahan ke jalan yang sering dilalui kendaraan roda empat, kepadatan penduduk, fasilitas air, dan NJOP.


(42)

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Operasional

Peningkatan jumlah penduduk Kota Bogor mengakibatkan semakin meningkatnya aktivitas produksi dan konsumsi yang berimplikasi terhadap semakin banyaknya volume sampah yang dihasilkan. Peningkatan volume sampah berasal dari sampah perumahan atau permukiman, fasilitas umum (sapuan jalan, terminal, rumah sakit, pasar, dan lain-lainnya), dan industri.

Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh pemerintah Kota Bogor merupakan salah satu kendala dalam penyediaan TPAS, sehingga melibatkan kota/kabupaten lain untuk dijadikan TPAS yaitu Kabupaten Bogor. Pengolahan sampah Kota Bogor dilaksanakan di TPAS Galuga yang berada di wilayah Kabupaten Bogor. Volume sampah yang semakin meningkat menyebabkan peningkatan permintaan terhadap lahan untuk pengolahan sampah. Bersamaan dengan peningkatan volume sampah akibat meningkatnya jumlah penduduk, maka pertumbuhan penduduk juga berimplikasi terhadap kebutuhan lahan untuk tempat tinggal. Jumlah ketersediaan lahan bersifat tetap namun kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan diabaikannya persyaratan lingkungan permukiman, sehingga terdapat lingkungan permukiman yang kurang memperhatikan persyaratan kenyamanan bagi penduduknya. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang memilih untuk tetap tinggal di sekitar TPAS Galuga walaupun timbul dampak negatif berupa pencemaran lingkungan di sekitar TPAS tersebut.

Penelitian ini mendeskripsikan kondisi lingkungan di sekitar TPAS Galuga bedasarkan penilaian responden dengan menggunakan analisis deskriptif, mengestimasi besarnya nilai penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan


(43)

30 TPAS Galuga dengan metode cost of illness dan replacement cost. Selanjutnya, dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan di sekitar TPAS Galuga menggunakan model regresi berganda dengan bantuan Microsoft Office Excel 2007 dan minitab 14. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah penurunan kualitas lingkungan juga dicerminkan oleh harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi besarnya nilai ekonomi akibat keberadaan TPAS Galuga, sehingga dapat memberikan rekomendasi upaya yang dapat diambil oleh pemerintah Kota Bogor dan pemerintah Kabupaten Bogor dalam meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan TPAS tersebut. Berdasarkan uraian diatas maka dapat digambarkan kerangka pemikiran yang dilaksanakan peneliti untuk mencapai tujuan penelitian yang tersaji pada Gambar 2.


(44)

31 Gambar 2 Kerangka Pemikiran Operasional

Penurunan kualitas lingkungan

Rekomendasi upaya meminimalisir dampak negatif TPAS Galuga

Estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi

harga lahan permukiman di

sekitar TPAS Galuga Estimasi besarnya

nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS

Galuga Deskripsi kondisi

lingkungan permukiman sekitar TPAS

Galuga

Peningkatan populasi

Timbulan sampah

Peningkatan volume sampah di TPAS Galuga Meningkatnya

kebutuhan lahan sebagai permukiman Pemerintah

Kota Bogor

Pencemaran lingkungan


(45)

IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) dikarenakan di daerah tersebut terdapat TPAS Galuga yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan/pencemaran di sekitar TPAS Galuga. Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2011.

4.2 Jenis dan Sumberdata

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data skunder. Sumber data primer diperoleh melalui wawancara kepada responden. Adapun yang termasuk data primer dalam penelitian ini adalah data mengenai kondisi lingkungan permukiman di sekitar TPAS Galuga, besarnya nilai ekonomi penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga, serta faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan di sekitar TPAS Galuga.

Data sekunder yang digunakan adalah data-data yang terkait dengan daerah penelitian dan data lainnya yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Data skunder ini berupa data timbulan sampah TPAS Galuga, data Desa Galuga, serta literatur-literatur yang relevan dengan penelitian. Data sekunder diperoleh dari kantor Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor serta kantor pemerintahan lain yang terkait dengan daerah penelitian.

4.3 Penentuan Jumlah Sampel

Metode pengambilan sampel dilakukan secara acak (random sampling), yaitu sebanyak 60 responden (kepala keluarga) dengan jumlah populasi sebanyak 1.615 kepala keluarga. Metode random sampling dilakukan karena sampel yang


(46)

33 dipilih sesuai dengan data lokasi permukiman yang dekat dengan lokasi TPAS. Menurut Agung (2005), ukuran sampel berdasarkan teorema limit sentral ditetapkan minimal sebanyak 30 responden.

4.4 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan studi literatur, observasi, dan wawancara terhadap responden. Syarat responden (frame sampling) yaitu, 1) Responden merupakan kepala keluarga atau yang bertanggung jawab dalam suatu rumah tangga yang tinggal di sekitar TPAS Galuga, 2) Masyarakat yang menjadi responden telah tinggal di tempat tersebut lebih dari tiga tahun, berkeluarga, dan dapat berkomunikasi dengan baik. Hal ini dilakukan agar mendapat responden yang berpengalaman sehingga mendapat informasi yang mendalam mengenai dampak penurunan kualitas lingkungan terhadap harga lahan di sekitar TPAS serta, 3) Responden yang dipilih adalah responden yang berada di Kampung Cimangir (RT 04 dan RT 05), Kampung Sinarjaya (RT 09), dan Kampung Moyan (RT 10 dan RT 11) karena wilayah tersebut berbatasan langsung dengan TPAS Galuga.

4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kualiatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excel 2007 dan minitab 14. Pada Tabel 3 diuraikan matriks keterkaitan antara sumber data dan metode analisis data yang digunakan untuk menjawab tujuan-tujuan dalam penelitian ini.


(47)

34 Tabel 3 Matriks Keterkaitan Tujuan, Sumber Data, dan Metode Analisis Data

No Tujuan Penlitian Sumber Data Metode Analisis Data

1 Deskripsi kondisi lingkungan pemukiman di sekitar TPAS Galuga berdasarkan penilaian responden

Data Primer (wawancara menggunakan kuisioner)

Analisis Deskriptif

2 Estimasi besarnya nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga

Data Primer (wawancara menggunakan kuisioner)

Analisis Regresi linier berganda dengan Microsoft Office Excel dan minitab 14 3 Mengkaji faktor-faktor yang

mempengaruhi harga lahan di sekitar TPAS Galuga

Data sekunder dan data primer (wawancara menggunakan kuisioner)

Metode Cost of

Illness dan

Replacement Cost

4.5.1 Persepsi Masyarakat terhadap Kondisi Lingkungan Permukiman di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga

Analisis data yang digunakan untuk mengetahui kondisi lingkungan permukiman di sekitar TPAS Galuga dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, aktual dan akurat, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 1999).

Data dan informasi yang berasal dari kuisioner diolah dan disajikan dalam bentuk diagram pie sederhana dan dikelompokkan berdasarkan jawaban yang sama. Hasil yang diperoleh kemudian dipersentasekan berdasarkan jumlah responden. Persentase terbesar dari setiap hasil merupakan faktor dominan dari masing-masing variabel yang dianalisis.


(48)

35 Selain itu dihitung nilai rata-rata skala perbedaan semantik (semantic differential) untuk menyimpulkan hasil penilaian responden. Skala perbedaan semantik untuk penilaian responden terhadap kebersihan digunakan lima nilai skala, yaitu nilai satu untuk kategori sangat kotor, nilai dua untuk kategori kotor, nilai tiga untuk kategori biasa saja, nilai empat untuk kategori bersih, dan nilai lima untuk kategori sangat bersih. Skala perbedaan semantik untuk penilaian responden terhadap kondisi air digunakan dua nilai skala, yaitu nilai nol untuk kategori tercemar dan nilai satu untuk kategori tidak tercemar. Skala perbedaan semantik untuk penilaian responden terhadap pengelolaan TPAS Galuga digunakan tiga nilai skala, yaitu nilai satu untuk kategori tidak baik, nilai dua untuk kategori cukup, dan nilai tiga untuk kategori baik. Skala perbedaan semantik untuk penilaian responden terhadap tingkat gangguan digunakan lima nilai skala, yaitu nilai satu untuk kategori sangat tidak terganggu, nilai dua untuk kategori terganggu, nilai tiga untuk kategori biasa saja, nilai empat untuk kategori terganggu, dan nilai lima untuk kategori sangat mengganggu.

4.5.2 Estimasi Besarnya Nilai Ekonomi dari Penurunan Kualitas Lingkungan Akibat Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga

Penurunan kualitas lingkungan di sekitar TPAS Galuga diestimasi berdasarkan biaya kesehatan (cost of illness) dan biaya pengganti (replacement cost), maka dilakukan analisis terhadap data-data yang dikumpulkan. Biaya-biaya tersebut dilihat dari asumsi pertama yaitu, biaya kesehatan akan dikeluarkan oleh masyarakat di sekitar TPAS Galuga akibat dari mengkonsumsi air sumur dan menghirup udara di sekitar TPAS Galuga. Kedua, biaya pengganti akan dikeluarkan oleh masyarakat sebagai akibat dari penggantian konsumsi air karena air sumur mereka sudah tercemar akibat keberadaan TPAS Galuga.


(49)

36

1) Cost of Illness

Menurut Dwight et al. (2004) dalam Gita (2010) pendekatan cost of illness atau biaya penyakit dapat digunakan untuk mengukur nilai dari kerugian kesehatan karena pencemaran, pendekatan ini didasarkan kepada keterkaitan fungsi kerusakan yang berhubungan dengan tingkat pencemaran dan pengaruhnya terhadap kesehatan fisik. Metode ini digunakan untuk memperkirakan biaya morbiditas akibat perubahan yang menyebabkan orang menderita sakit.

Cost of illness dari opporunity cost, mencakup peluang orang sakit untuk bekerja tidak dapat direalisasikan, dan currative cost atau biaya pengobatan atau penyembuhan. Total biaya dihitung baik secara langsung maupun tidak langsung. Biaya langsung, yaitu mengukur biaya yang harus disediakan untuk perlakuan penderita lain meliputi perawatan pada rumah sakit, perawatan selama penyembuhan, obat-obatan, serta biaya transportasi.

Biaya tidak langsung mengukur nilai kehilangan produktivitas akibat seseorang menderita sakit. Biaya tidak langsung di ukur melalui penggandaan upah oleh kehilangan waktu karena tidak bekerja. Dengan kata lain, besarnya biaya penyakit dapat dihitung dengan model sebagai berikut :

= +� … … … …. .…. (1) dimana :

= biaya penyakit

= hilangnya pendapatan


(50)

37

a. Nilai Pendapatan yang Hilang

Nilai pendapatan responden yang hilang karena sakit dihitung berdasarkan cost of time. Cost of time adalah kerugian yang ditanggung oleh seseorang karena hilangnya waktu untuk bekerja. Kerugian responden yang tidak masuk kerja pada saat terkena sakit sama dengan nilai hilangnya pendapatan per hari. Nilai ini diperoleh dari jumlah hari tidak bekerja responden dikali dengan tingkat pendapatan responden per hari. Selanjutnya nilai kerugian responden tidak masuk kerja dapat dihitung dengan rumus :

= �� .� … … … …. .… … … …(2)

� �=1

dimana :

= nilai kerugian responden tidak masuk kerja (Rp)

�� = jumlah hari tidak kerja responden ke-i (hari)

� = tingkat pendapatan responden ke-i per hari (Rp)

� = jumlah responden

� = responden ke-i (1, 2, 3,....,n)

b. Biaya Pengobatan

Biaya pengobatan yang ditanggung oleh responden dihitung dari jumlah uang yang dikeluarkan untuk berobat, terdiri dari biaya kunjungan ke dokter atau puskesmas dan atau biaya pembelian obat yang dikeluarkan. Biaya pengobatan responden merupakan biaya yang dikeluarkan responden untuk mengobati sakit pada saat responden atau anggota keluarga yang menjadi tanggungan responden menderita sakit. Biaya pengobatan yang dikeluarkan responden dapat dilihat pada rumus berikut :


(51)

38

� =

� �=1

. + + … … … … …. .… … … …(3)

dimana :

� = biaya pengobatan per responden per penyakit (Rp) = jumlah kunjungan ke dokter

= biaya kunjungan ke dokter (Rp) = biaya pembelian obat (Rp)

= biaya perawatan rumah sakit (Rp)

� = jumlah responden

� = responden ke-i (1, 2, 3,...., n)

c. Nilai Kerugian Ekonomi dari Biaya Kesehatan

Dari persamaan (2) dan (3) maka, persamaan (1) dapat dirubah menjadi sebagai berikut :

= +�

= �� .� + . + +

� �=1

… … … …(4)

dimana :

= biaya penyakit

�� = jumlah hari tidak kerja responden ke-i (hari)

� = tingkat pendapatan responden ke-i per hari (Rp) = jumlah kunjungan ke dokter

= biaya kunjungan ke dokter (Rp) = biaya pembelian obat (Rp)


(52)

39 Setelah memperoleh biaya kesehatan yang dikeluarkan responden, selanjutnya total biaya pengobatan dikali dengan jumlah populasi yang berpeluang terkena penyakit. Hal ini dilakukan untuk memperoleh biaya kerugian yang dikeluarkan oleh masyarakat. Populasi yang berpeluang terkena penyakit diduga proporsinya dengan tingkat morbiditas pada skala kota maupun nasional. Tingkat morbiditas untuk penyakit diare adalah1

3 × jumlah penduduk. Pada

penelitian ini diasumsikan tingkat morbiditas semua penyakit sama yaitu 1

3 ×

jumlah penduduk, sehingga diperoleh tingkat morbiditas sebesar 1.884.

2) Replacement Cost

Pencemaran yang terjadi menyebabkan adanya biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk menggantikan atau mengembalikan sumberdaya setelah adanya TPAS Galuga. Keberadaan TPAS Galuga menyebabkan air sumur masyarakat tercemar sehingga masyarakat harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk mendapatkan air bersih. Menurut Garrod dan Willis (1999) pendekatan biaya pengganti (replacement cost) merupakan perhitungan nilai suatu sumberdaya yang telah mengalami kerusakan. Informasi yang dibutuhkan untuk menghitung kerugian yang terjadi adalah data mengenai kerusakan dan kehilangan sumberdaya. Formula untuk perhitungan kerugian yang dialami adalah :

= ×

dimana :

= biaya pengganti (Rp/Unit) = harga barang (Rp)


(53)

40

4.5.3 Analisis Pengaruh Faktor Penurunan Kualitas Lingkungan terhadap Harga Lahan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan dilakukan untuk mengetahui apakah faktor penurunan kualitas lingkungan mempengaruhi harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan dilakukan dengan model regresi linier berganda. Analisis ini dibuat untuk membuat model pendugaan terhadap nilai parameter-parameter yang menjelaskan hubungan antar variabel penjelas dan variabel respon. Metode analisis berganda merupakan metode analisis yang didasarkan pada metode Ordinary Least Square (OLS). Adapun sifat-sifat OLS adalah (Gujarati, 1997) : (1) penaksir OLS tidak bias, (2) penaksir OLS mempunyai varian yang minimum, (3) konsisten, (4) efisien, (5) linier. Menurut Gujarati (2003) analisis regresi beganda digunakan unuk membuat model pendugaan terhadap nilai suatu parameter (variabel penjelas yang diamati). Model yang dihasilkan dapat digunakan sebagai penduga yang baik jika asumsi-asumsi berikut dapat dipenuhi :

1. E (ui) = 0, untuk setiap i, dimana i = 1, 2,...., n, artinya rata-rata galat adalah

nol yaitu nilai yang diharapkan bersyarat dari ui tergantung pada variabel

bebas tertentu adalah nol.

2. Cov (ui, uj) = 0, i ≠ j, artinya covarian (ui, uj) = 0, dengan kata lain tidak ada

autokorelasi antara galat yang satu dengan galat yang lain.

3. Var (ui) = 2, untuk setiap i, dimana i = 1, 2,...., n, artinya setiap galat memiliki varian yang sama (asumsi homoskedastisitas).

4. Cov (ui, X1i) = cov (ui, X2i) = 0, artinya kovarian setiap galat memiliki varian


(54)

41 5. Tidak ada multikolinearitas, yang berarti tidak terdapat hubungan linier yang

pasti antar variabel yang menjelaskan atau variabel penjelas saling bebas. Bentuk model regresi linier berganda yang digunakan adalah:

= �0 + �1 1� + �2 2� + �3 3� + �4 4� + �5 5� +� … … … … …. . . (4.1)

estimasi parameter adalah �> 0;�1,�3,�5,�6, > 0;�2 < 0

dimana :

= harga lahan (Rp/m2)

1 = jarak tempat tinggal dengan TPAS Galuga (meter) 2 = biaya kesehatan per bulan (Rp/bulan)

3 = luas lahan (m2)

4 = biaya konsumsi air bersih (Rp/bulan)

5 = status lahan (bernilai 0 jika tidak bersertifikat dan bernilai 1 jika

bersertifikat)

�0 = konstanta

�1 − �5 = koefisien

i = responden ke i (i = 1,2,3,...,60) = galat

Variabel jarak tempat tinggal dengan TPAS Galuga diduga akan berpengaruh positif (+) terhadap harga lahan karena semakin jauh jarak tempat tinggal dengan TPAS Galuga, maka harga lahan akan semakin tinggi. Variabel biaya kesehatan diduga akan berpengaruh negatif (-) terhadap harga lahan, dimana semakin besar biaya kesehatan maka harga lahan akan semakin murah. Variabel luas lahan diduga akan berpengaruh positif (+) terhadap harga lahan, dimana semakin besar luas lahan maka harga lahan semakin mahal. Biaya konsumsi air


(55)

42 bersih diduga akan berpengaruh negatif (-) terhadap harga lahan, dimana semakin besar biaya konsumsi air bersih maka harga lahan akan semakin murah.

Variabel status lahan diduga akan berpengaruh positif (+) terhadap harga lahan karena lahan yang bersertifikat mempunyai harga jual yang lebih mahal. Variabel karakteristik lahan terdiri dari biaya kesehatan, luas lahan, status lahan, dan biaya konsumsi air bersih, sedangkan variabel jarak lahan dengan TPAS Galuga merupakan variabel kualitas lingkungan.

4.6 Uji Kesesuaian Model

Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan bahwa model yang telah dihasilkan adalah baik. Menurut Bappenas, model baik haruslah memenuhi kriteria teori ekonomi (theoritically meaningful), kriteria statistika yang dilihat dari suatu derajat ketepatan (goodness of fit) yang dikenal dengan koefisien determinasi (R2) serta nyata secara statistik (statistically significant) sedangkan kriteria ekonometrika menetapkan apakah suatu taksiran memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan seperti unbiasedness, consistency, sufficiency, efficiency. Umumya digunakan tiga kriteria kesesuaian model seperti berikut :

4.6.1 Kriteria Ekonomi

Model yang di uji berdasarkan kriteria ekonomi akan dilihat tanda dan besaran tiap koefisien dugaan yang telah diperoleh. Kriteria ekonomi mensyaratkan tanda dan besaran yang terdapat pada setiap koefisien dugaan sesuai dengan teori ekonomi. Apabila model tersebut memenuhi kriteria ekonomi, maka model tersebut dapat dikatakan baik secara ekonomi.


(56)

43

4.6.2 Kriteria Statistika

Ada beberapa uji yang dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian model regresi yang telah didapatkan secara statistika. Uji tersebut adalah sebagai berikut :

1) Uji Koefisien Determinasi (R2) dan Adj-R2

Uji koefisien determinasi menerangkan seberapa besar variabel dependent (Y) mampu dijelaskan variabel independent (X). Koefisien determinasi mengukur persentase atau proporsi total variasi dalam variabel dependent yang dijelaskan model regresi. Secara verbal, yang paling sering digunakan untuk mengukur goodness of fit garis regresi bisa menggunakan besaran R2.

Sifat dari R2 adalah besarannya yang selalu bernilai positif namun lebih kecil dari satu. Jika R2 bernilai satu berarti variabel bebas memiliki kecocokan sempurna dengan variabel endogen. Sedangkan jika R2 bernilai nol berarti model tersebut tidak terdapat kesesuaian. Rumus untuk menghitung R2 adalah :

2 =

dimana :

R2 = Koefisien Determinasi JKR = Jumlah Kuadrat Regresi JKT = Jumlah Kuadrat Total

Uji adj-R2 digunakan pula untuk melihat sejauh mana variabel-variabel yang terdapat di dalam model dapat menjelaskan variasi yang terjadi pada variabel tak bebasnya. Semakin besar nilai adj-R2 menunjukkan bahwa model yang didapat semakin baik. Penggunaan adj-R2 lebih disarankan daripada R2, karena R2 cenderung untuk memberikan gambaran yang terlalu baik terhadap hasil regresi.


(1)

87

42 0 0 0 ISPA 5000 12 60000

43 0 0 0 0 0 0

44 0 0 0 0 0 0

45 0 0 0 0 0 0

46 0 0 0 0 0 0

47 0 0 0 0 0 0

48 0 0 0 ISPA 25000 12 300000

49 0 0 0 0 0 0

50 0 0 0 flek paru 60000 9 540000

51 0 0 0 0 0 0

52 0 0 0 0 0 0

53 0 0 0 0 0 0

54 0 0 0 0 0 0

55 0 0 0 0 0 0

56 0 0 0 0 0 0

57 0 0 0 ISPA 25000 12 300000

58 0 0 0 0 0 0

59 0 0 0 ISPA 13000 12 156000

60 0 0 0 0 0 0

Total 2856000 Total 5116000

Total Biaya Pengobatan 7972000

Morbiditas Pencemaran Air dan Udara 1884


(2)

88 Lampiran 6. Data Biaya Pengganti

No

Biaya Pengganti Biaya untuk Mendapatkan Sumber Air

Minum Pengganti (Rp/bulan)

Biaya Trasportasi Pembelian Air Pengganti (Rp/bulan)

1 0 0

2 0 0

3 24000 80000

4 0 0

5 0 0

6 104000 40000

7 0 0

8 0 0

9 0 0

10 0 0

11 0 0

12 0 0

13 0 0

14 0 0

15 0 0

16 0 0

17 0 0

18 0 0

19 0 0


(3)

89

21 0 0

22 275000 250000

23 0 0

24 0 0

25 0 0

26 0 0

27 0 0

28 48000 80000

29 0 0

30 0 0

31 0 0

32 0 0

33 0 0

34 0 0

35 0 0

36 0 0

37 0 0

38 0 0

39 0 0

40 0 0

41 0 0

42 0 0

43 0 0


(4)

90

45 0 0

46 0 0

47 0 0

48 0 0

49 0 0

50 0 0

51 0 0

52 30000 10000

53 0 0

54 0 0

55 0 0

56 0 0

57 0 0

58 0 0

59 0 0

60 0 0

Total 481000 460000

Biaya Pengganti Per Bulan (Rp/bulan) 941000

Biaya Pengganti Per Tahun (Rp/tahun) 11292000

Populasi RT 09 109

Total Biaya Pengganti Per Tahun

(Rp/tahun) 1230828000

Total Nilai Ekonomi Penurunan


(5)

91 Lampiran 7. Dokumentasi penelitian

Kondisi Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga

Sarana dan Prasarana TPAS Galuga


(6)

RINGKASAN

LISANATUL HIFDZIYAH. Analisis Penurunan Kualitas Lingkungan di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor Jawa Barat. Dibimbing Oleh NINDYANTORO.

Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Galuga yang merupakan satu-satunya TPAS Kota Bogor dan sekaligus TPAS Kabupaten Bogor telah mengalami peningkatan volume sampah dari tahun ke tahun, sehingga terdapat gunungan sampah yang menimbulkan dampak negatif di sekitar TPAS tersebut. Dampak negatif tersebut berupa penurunan kualitas lingkungan yang berdampak pada masyarakat di sekitar TPAS tersebut. Peningkatan volume sampah juga berimplikasi terhadap peningkatan kebutuhan lahan untuk pengelolaan TPAS tersebut serta peningkatan kebutuhan lahan untuk tempat tinggal akibat peningkatan jumlah penduduk.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penilaian responden mengenai kondisi lingkungan di sekitar TPAS Galuga dengan menggunakan skala perbedaan semantik (semantic differential), menghitung besarnya nilai ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan akibat keberadaan TPAS Galuga menggunakan metode biaya kesehatan (cost of illness) dan biaya pengganti

(replacement cost), dan mengetahui apakah faktor penurunan kualitas lingkungan

mempengaruhi harga lahan permukiman di sekitar TPAS Galuga.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) karena di daerah tersebut terdapat TPAS Galuga yang diduga menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2011.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar TPAS Galuga secara umum menilai keberadaan TPAS Galuga menurunkan kualitas lingkungan, hal ini dapat ditunjukkan dengan hasil perhitungan nilai rata-rata semantic

differential yang lebih rendah setelah adanya TPAS Galuga.

Hasil perhitungan menggunakan metode cost of illness dan replacement

cost menunjukkan bahwa penurunan kualitas lingkungan untuk biaya kesehatan

sebesar Rp 15.019.248.000,00 per tahun, sedangkan biaya pengganti air minum sebesar Rp 1.230.828.000,00 per tahun. Total nilai penurunan kualitas lingkungan adalah sebesar Rp 16.250.076.000,00 per tahun. Nilai ini merupakan biaya kerugian yang dirasakan masyarakat dalam waktu satu tahun terakhir.

Faktor penurunan kualitas lingkungan tidak berpengaruh terhadap harga lahan. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel kualitas lingkungan yang berpengaruh nyata terhadap harga lahan di sekitar TPAS Galuga adalah jarak tempat tinggal dengan TPAS Galuga. Variabel karakteristik lahan yang berpengaruh nyata adalah status lahan, sedangkan variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah biaya kesehatan, luas lahan, dan biaya konsumsi air bersih. Faktor penurunan kualitas lingkungan ditunjukkan dengan pendekatan biaya kesehatan dan biaya konsumsi air bersih.

Kata kunci : harga lahan, semantic differential, cost of illness, replacement cost, analisis regresi