dimaksud dalam ayat 1, memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.
Adapun pengaturan lebih lanjut tentang prosedur bantuan hukum dibahas dalam Bab VII KUHAP dimana pada Pasal 69 dan 74 mengatur tentang
hubungan hak penasihat hukum dengan kliennya.
C. Mekanisme Pemberian Bantuan Hukum
Pemberian bantuan hukum diselenggarakan berdasarkan asas keadilan dimana menempatkan hak dan kewajiban setiap orang miskin secara proporsional bebas dari
diskriminasi dalam menghadapi masalah hukum. Undang-Undang Bantuan Hukum sebagai pedoman penyelenggaraan bantuan hukum di seluruh wilayah Indonesia
diharapkan mampu menjamin kepastian hukum secara adil dan merata dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi Penerima Bantuan Hukum.
Pendapat tentang adil dan merata, maka berhubungan dengan asas kesebandingan oleh Kranenburg, Asas kesebandingan telah dijadikan prinsip dalam
GBHN pada BAB II sub C point 4 yang menyebutkan bahwa azas adil dan merata, ialah bahwa hasil-hasil materiil dan spirituil yang dicapai dalam pembangunan harus
dapat dinikmati merata oeh seluruh bangsa dan tiap-tiap warga negara berhak menikmati hasil-hasil pembangunanitu sesuai dengan nilai dharma bhakti yang
diberikannya kepada Bangsa dan Negara.
92
Bantuan hukum diselenggarakan oleh menteri dan dilaksanakan oleh Pemberi Bantuan Hukum sesuai dengan aturan yang berlaku. Pemberi Bantuan Hukum yang
memenuhi syarat sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum Pasal 1 ayat 3 adalah Lembaga Bantuan Hukum atau
Organisasi Kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan
92
Badan Kontak Profesi Hukum Lampung, Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, Bandung: Alumni, 1977, hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
undang-undang ini. Pelaksanaan pemberian bantuan hukum dimulai dari pengajuan permohonan
bantuan hukum oleh setiap orang miskin kepada Pelaksana Bantuan Hukum, permohonan bantuan hukum yang diajukan harus memenuhi persyaratan sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang Bantuan Hukum Pasal 14 dan Pasal 15. Dalam Pasal 14 dijelaskan bahwa orang atau kelompok orang miskin dapat mengajukan
permohonan bantuan hukum secara tertulis yang memuat isi paling sedikit identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang sedang dihadapi beserta
dokumen yang berkenaan dengan masalah yang dimohonkan, pemohon bantuan hukum tersebut dapat meminta formulir yang disediakan oleh lembaga atau organisasi
Pelaksana Bantuan Hukum. Identitas diri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Bantuan
Hukum Pasal 14 harus melampirkan fotokopi kartu tanda penduduk atau dokumen pengganti keterangan domisili yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, surat
keterangan miskin dari lurah, kepala desa atau pejabat yang berwenang di tempat tinggal pemohon.
Sebagai tujuan keadilan dalam masyarakat miskin di Indonesia yang masih terdapat banyak buta huruf dan buta hukum dimana terdapat orang yang tidak
memiliki identitas kependudukan, untuk mengatasi hal tersebut maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan
Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum dalam Pasal 8 yang berbunyi dalam hal pemohon bantuan hukum tidak memiliki surat
keterangan miskin maka pemohon bantuan hukum dapat melampirkan Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat, Bantuan Langsung Tunai, Kartu Beras Miskin, atau dokumen
penunjang lainnya yang membuktikan keterangan miskin. Selanjutnya dalam Pasal 9
Universitas Sumatera Utara
menyebutkan lurah, kepala desa atau pejabat setingkat sesuai dengan domisili Pemberi Bantuan Hukum wajib mengeluarkan surat keterangan miskin atau dokumen
lain untuk keperluan penerimaan bantuan hukum. Masyarakat miskin yang dalam hal ini kebanyakan gelandangan dan tidak
menutup kemungkinan masyarakat yang tempat tinggalnya terpencil dengan permasalahan tidak memiliki identitas, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013
mewajibkan Pelaksana Bantuan Hukum yang dimohonkan bantuan hukum dapat membantu dalam memperoleh surat keterangan alamat sementara danatau dokumen
lainnya dari instansi yang berwenang sesuai dengan domisili Pemberi Bantuan Hukum yang diketahui oleh lurah atau kepala desa. Instansi yang ditunjuk wajib
mengeluarkan surat keterangan alamat sementara atau dokumen penunjang lainnya untuk keperluan penerimaan bantuan hukum. Pengeluaran Surat keterangan alamat
sementara oleh pejabat daerah yang berwenang akan banyak menimbulkan polemik, misalnya tentang seberapa kuat dasar hukum berlakunya surat keterangan alamat
sementara tersebut. Pemerintah seharusnya lebih mempertajam tentang pemberlakuan penggunaan surat keterangan alamat sementara, ini dikhawatirkan akan menjadi suatu
masalah urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa menuju kota dimana masalahnya Penerima Bantuan Hukum tersebut akan menjadikan surat keterangan
alamat sementara tersebut sebagai landasan hukum status kependudukannya dikota. Keistimewaan selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 dalam
Pasal 10 memberikan kemudahan kepada pemohon bantuan hukum yang buta huruf dengan mengajukan permohonan secara lisan dimana Pelaksana Bantuan Hukum
membantu dengan menulis keterangan pemohon sebagai administrasi. Surat kuasa yang diberikan kepada pemohon buta hukum dan buta huruf tidak harus dengan tanda
tangan, namun dapat berupa cap jempol oleh pemohon bantuan hukum.
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa dokumen yang berkaitan dengan masalah hukum yang dimohonkan juga harus disertakan karena merupakan alat bukti yang
digunakan dalam setiap proses beracara guna terciptanya advokasi yang mencerminkan
keadilan terhadap
pemohon sesuai
dengan peraturan
perundang-undangan. Dokumen tersebut diserahkan secara langsung oleh pemohon atau boleh dengan
surat kuasa pemohon ke kantor Pelaksana Bantuan Hukum pada hari dan jam kerja. Setelah menerima dokumen permohonan, Pelaksana Bantuan Hukum wajib
memeriksa dengan cara mendengarkan uraian dan menganalisis dokumen yang diajukan oleh pemohon. Setelah memeriksa dokumen, Pelaksana Bantuan Hukum
harus menjelaskan tentang masalah hukum beserta resiko yang mungkin akan dihadapi pemohon bantuan hukum.
Tahapan selanjutnya bila dokumen dinyatakan lengkap maka Pelaksana Bantuan Hukum dalam waktu tiga hari kerja harus memutuskan untuk menerima atau menolak
permohonan bantuan hukum tersebut. Dalam hal permohonan bantuan hukum ditolak maka harus diberikan penjelasan dalam bentuk tertulis alasan penolakan pemberian
bantuan hukum tersebut, alasan penolakan harus berdasarkan pertimbangan dalam kasus yang diajukan pemohon bantuan hukum tersebut, yaitu tidak sesuai dengan visi
dan misi Pemberi Bantuan Hukum, persyaratan pemohon untuk menerima bantuan hukum sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya tidak terpenuhi, dalam perkara
perdata kerugian materiil lebih sedikit dari pada biaya penyelesaian perkara misalnya kerugian pemohon perkara perdata kurang dari satu juta rupiah. Apabila alasan
penolakan pemberian bantuan hukum oleh Pemberi Bantuan Hukum tidak berdasar, maka pemohon bantuan hukum dapat mengajukan keberatan kepada Panitia Pengawas
Daerah. Panitia Pengawas Daerah dalam hal bantuan hukum dibentuk oleh Menteri
Universitas Sumatera Utara
Hukum dan Hak Asasi Manusia yang terdiri atas wakil dari unsur Kantor Wilayah Kementerian dan biro hukum pemerintah daerah provinsi. Adapun penjelasan Panitia
Pengawas Daerah akan dibahas lebih lanjut dalam Bab IV Huruf D nomor 4 yang membahas tentang pengawas bantuan hukum.
Permohonan yang diterima oleh Pemberi Bantuan Hukum dapat memberikan bantuan hukumnya sesuai dengan surat kuasa khusus dari Penerima Bantuan Hukum.
Pelaksanaan pemberian bantuan hukum wajib memberitahukan dasar hukum terhadap penangan kasus yang akan diselesaikan, jam pelayanan dalam pemberian bantuan
hukum, personalia dan struktur organisasi, dan jenis layanan yang diberikan. Pemberi Bantuan Hukum haruslah mampu menjamin keadilan yang akan diberikan kepada
Penerima Bantuan Hukum lewat advokasinya dengan memperhatikan sumber daya manusia Pemberi Bantuan Hukum berupa petugas yang berkompeten dan profesional
ditambah sarana pelayanan hukum yang layak untuk menghindari adanya rasa diskriminasi Penerima Bantuan Hukum.
D. Pemberian Bantuan Hukum Dalam Proses Hukum Pidana.