4
tajuk yang bervariasi khusunya pada komunitas vegetasi yang membentuk ekosistem setempat.
Indonesia telah memiliki beberapa sistem agroforestri yang terkenal seperti repong damar di Lampung Barat, tembawang di Kalimantan Barat, pelak di
Jambi, parak di Sumatera Barat, lembo di Kalimantan Timur, talun di Jawa Barat, kebun kemenyan di Sumatera Utara, kebun karet campuran di Jambi dan
Sumatera Selatan, kebun durian campuran di Kalimantan Barat, dan kebun pepohonan campuran di sekitar Bogor. Istilah yang melekat di masyarakat tentang
agoforestri adalah kebun campuran, karena pada umumnya lahan masyarakat ditanam dengan berbagai jenis tanaman.
2.2 Pola Tanam
Pertumbuhan tanaman pertanian maupun kehutanan pada sistem agroforestri dipengaruhi oleh pola tanam. Pola tanam ini akan mempengaruhi pertumbuhan
tanaman pada tegakan, karena pada sistem agroforestri terjadi persaingan unsur hara dan cahaya. Oleh karena itu, perlu diadakan beberapa cara untuk
pemanfaatan ruang dan waktu yang optimal. Pemanfaatan ruang secara optimal dapat dilakukan dengan cara pengaturan jarak tanam, tata letak tanaman, dan
perkembangan lapisan tajuk dan perakaran. Adapun pemanfaatan waktu secara optimal dapat dilakukan dengan pengaturan waktu tanam dan panen.
Pada sistem agroforestri, pola tanam diatur sedemikian rupa, sehingga pada tahap awal saat penutupan tajuk belum menjadi masalah. Beberapa komponen
dapat tumbuh bersama dalam satu tajuk. Pada tahap selanjutnya, sistem agroforestri akan menyerupai ekosistem hutan yang terdiri dari banyak lapisan
tajuk. Lapisan tajuk bagian atas ditempati oleh jenis-jenis dominan, strata di bawahnya ditempati jenis-jenis yang kurang dominan semi toleran, kemudian
lapisan bawah ditempati jenis-jenis yang tahan naungan Sukandi 2002.
2.3 Pemilihan Jenis
Sistem agroforestri terdiri dari beberapa komponen jenis tanaman, seperti pohon, perdu, liana, maupun tanaman semusim. Pemilihan jenis sangat
dipengaruhi oleh kondisi biofisik, ekonomi, dan budaya masyarakat sekitar.
5
Aspek biofisik seperti iklimcurah hujan, topografi, ketinggian tempat, dan kondisi lahan.
Kondisi Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa dan kondisi bentang alamnya menjadikan Indonesia mempunyai curah hujan yang relatif tinggi.
Adanya kondisi tingginya curah hujan tentu akan mempengaruhi kondisi tanah seperti pencucian tanah leaching maupun aliran permukaan yang membawa top
soil surface run off. Oleh karena itu, sangat diperlukan jenis yang mampu mengikat agregat tanah atau dapat berperan sebagai cover crops sebagai upaya
konservasi tanah dan air. Pada topografi miring, peluang terjadinya surface run off akan lebih besar,
karenanya diperlukan jenis yang memiliki perakaran dalam seperti mahoni, khaya, atau nangka. Pemilihan jenis ini tentu tidak melihat faktor topografi saja, tetapi
kondisi curah hujan, lahan, maupun budaya masyarakat. Faktor lain yang tidak kalah penting mengenai pemilihan jenis adalah
ketinggian tempat. Pada daerah yang lebih tinggi, jumlah oksigen rendah, suhu semakin menurun, dan radiasi lebih tinggi. Untuk itu, pemilihan jenisnya harus
tepat. Adapun contoh dari tanaman dataran tinggi adalah manglid, suren, pinus, puspa, kopi, alpukat, aren, rasamala, mahoni, dan gmelina. Selain itu, fase
perkembangan agroforestri perlu diperhatikan. Saat fase awal, dapat dipilih jenis tanaman yang membutuhkan intensitas cahaya matahari banyak sampai dua atau
tiga tahun pertama, seperti padi, jagung, dan kacang-kacangan. Pada fase selanjutnya, saat penutupan tajuk mulai mendominasi, maka diperlukan jenis yang
tahan terhadap naungan seperti kunyit, laos, temulawak, ubi jalar, bengkuang, dan lainnya Sukandi 2002.
Faktor biofisik tersebut harus diimbangi oleh budaya masyarakat sekitar. Pemilihan jenis tidak hanya memperhatikan kondisi biofosik, tetapi juga
kebutuhan masyarakat dan budaya masyarakat, karena masyarakat yang berperan langsung terhadap sistem agroforestri.
6
2.4 Gmelina