Latar Belakang Masalah PENUTUP

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan dini, yaitu pernikahan laki-laki atau perempuan yang belum baligh. Apabila batasan baligh itu ditentukan dengan hitungan tahun, maka pernikahan dini adalah pernikahan di bawah usia 15 tahun menurut mayoritas ahli figh, dan di bawah usia 1718 tahun menurut Abu Hanifah. Mayoritas besar ulama Fiqh Ibnu Mundzir bahkan menganggap sebagai ijma’ konsensus ulama Fiqh mengesahkan penikahan dini. Menurut mereka untuk masalah pernikahan, kriteria baligh dan berakal bukan merupakan persyaratan bagi keabsahannya. Beberapa argumen yang dikemukakan antara lain adalah : Al-Qur’an, surat ath-Thalaq 4 :               Artinya : “Bagi mereka yang telah putus haidnya, iddahnya adalah 3 bulan. Demikian juga bagi bagi mereka yang belum haid”. 1 Sebagai contohnya adalah pernikahan Nabi Saw dengan Siti Aisyah yang masih belia. Nabi Saw juga mengawinkan anak perempuan pamannya Hamzah dengan anak laki-laki Abu Salamah, keduanya ketika itu masih berusia muda. Selain itu para sahabat Nabi Saw ada yang menikahkan putera-puterinya atau keponakannya. Ali bin Abi Thalib mengawinkan anak perempuannya yang bernama Ummi Kultsum dengan Umar bin Khathab. Ummi Kultsum ketika itu juga masih muda. Urwah bin Zubair juga menikahkan anak perempuan saudaranya yang lain, kedua keponakan itu sama-sama masih di bawah umur. Tetapi beda halnya dengan kasus pernikahan Nabi Saw dengan Siti Aisyah. Ibnu Syubrumah berpendapat bahwa hal itu merupakan perkecualian atau suatu kekhususan bagi Nabi Saw sendiri yang tidak bisa diberlakukan bagi umatnya. Pendapat Ibnu Syubrumah dewasa ini diikuti oleh undang-undang Negara syaria. Beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan ketentuan ini adalah prinsip istishlah atau kemaslahatan, realitas sosial, dan memperhatikan beratnya tanggung jawab perkawinan. 2 Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan Indonesia No.1 Tahun 1974 bab II pasal 7 ayat 1 1 KH. Husein Muhammad, Fiqih Perempuan, Yogyakarta : LKiS, 2002. Hal. 68. 2 Ibid, hal. 72 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 enam belas tahun tahun. 3 Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental. Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan di atas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita, atau menurut psikolog usia terbaik menikah adalah antara 19 sampai dengan 25 tahun. 4 Hukum pernikahan dini menurut Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan hifdzu al nasl. Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang 3 UU Perkawinan di www. depag.go.id 4 Mohammad Fauzi Adhim, Indahnya Pernikahan Dini, Jakarta : Gema Insani, 2002. Hal. 46 mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi jalur keturunan akan semakin kabur. Agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai pernikahan dini. Pernikahan yang dilakukan melewati batas minimal Undang-undang Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah. Istilah pernikahan dini menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama, pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh.Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara para sarjana Islam klasik dalam merespon kasus tersebut. Isu pernikahan dini saat ini marak dibicarakan. Hal ini dipicu oleh pernikahan Pujiono Cahyo Widianto, seorang hartawan sekaligus pengasuh pesantren dengan Lutviana Ulfah. Pernikahan antara pria berusia 43 tahun dengan gadis belia berusia 12 tahun ini mengundang reaksi keras dari Komnas Perlindungan Anak. Bahkan dari para pengamat berlomba memberikan opini yang bernada menyudutkan. Umumnya komentar yang terlontar memandang hal tersebut bernilai negatif. Di sisi lain, Syeh Puji, begitu ia akrab disapa berdalih untuk mengader calon penerus perusahaannya. Dia memilih gadis yang masih belia karena dianggap masih murni dan belum terkontaminasi arus modernitas. Lagi pula dalam pandangan Syeh Puji, menikahi gadis belia bukan termasuk larangan agama. Pada hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Kita tahu, saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Hemat penulis, pernikahan dini merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Dari pada terjerumus dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’ kenapa tidak ? Sebenarnya kalau kita mau menelisik lebih jauh, fenomena pernikahan dini bukanlah hal yang baru di Indonesia, khususnya daerah Jawa. Penulis sangat yakin bahwa mbah buyut kita dulu banyak yang menikahi gadis di bawah umur. Bahkan jaman dulu pernikahan di usia ”matang” akan menimbulkan preseden buruk di mata masyarakat. Perempuan yang tidak segera menikah justru akan mendapat tanggapan miring atau lazim disebut perawan tua. Namun seiring perkembangan zaman, image masyarakat justru sebaliknya. Arus globalisasi yang melaju dengan kencang mengubah cara pandang masyarakat. Perempuan yang menikah di usia belia dianggap sebagai hal yang tabu. Bahkan lebih jauh lagi, hal itu dianggap menghancurkan masa depan wanita, memberangus kreativitasnya serta mencegah wanita untuk mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas. Desa Tajur Halang adalah salah satu Desa di wilayah Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor, dengan luas wilayah 390,527 Ha yang terdiri dari 3 Dusun, 6 Rukun Warga RW dan 22 Rukun Tetangga RT. Jumlah penduduk Desa Tajur Halang Bogor sampai dengan akhir Desember 2009 tercatat 6.085. Lokasi yang diteliti adalah Rt 02Rw 03, dengan jumlah jiwa 110 LK dan 100 P. Jumlah penduduk Desa Tajur Halang Bogor khususnya Rt 02 Rw 03 sampai dengan akhir Desember 2009 tercatat 210 jiwa. Oleh karena itu hal ini menarik untuk diteliti. Secara umum penulis ingin mengetahui Respon Warga Desa Tajur Halang Bogor Terhadap Pernikahan Dini. Selain rasa keingintahuan penulis akan hal yang telah dikemukakan di atas penulis merasa memiliki tanggung jawab lebih karena penulis pernah melaksanakan KKN di Desa Tajur Halang selama satu bulan. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, semoga penelitian yang penulis garap sebagai topik penelitian skripsi dengan judul “Respon Warga Desa Tajur Halang Bogor Terhadap Pernikahan Dini”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah