Pengetahuan Petani Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kecamatan Tajur Halang Bogor

(1)

PENGETAHUAN PETANI

DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT

di Kecamatan Tajur Halang Bogor

YUDHISTIRA APRIYANTO

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

ABSTRAK

YUDHISTIRA APRIYANTO (E14061821). Pengetahuan Petani Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kecamatan Tajur Halang Bogor. Dibimbing oleh DIDIK SUHARJITO.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan pengetahuan petani dalam pengelolaan hutan rakyat. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor pada bulan Januari sampai Februari 2011. Metode penelitian yang digunakan adalah survei. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, observasi dan pengumpulan data sekunder. Hasil analisis disajikan secara deskriptif dalam teks narasi dan tabulasi.

Tindakan dalam pengelolaan hutan rakyat mencakup kegiatan pemilihan jenis, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Kegiatan pemilihan jenis dilakukan agar pohon yang dipilih tepat untuk menjamin keberhasilan usaha hutan rakyat. Kegiatan persiapan lahan merupakan usaha petani agar lahan siap ditanami dan tanaman yang ditanam dapat tumbuh dengan baik. Kegiatan penanaman dilakukan agar bibit pohon dapat tertanam di tanah dengan baik. Kegiatan pemeliharaan dilakukan untuk memperoleh hasil produksi yang optimal, sebab semua tanaman memerlukan pemeliharaan yang intensif agar tumbuh dengan baik. Kegiatan pemanenan dilakukan untuk mengeluarkan hasil hutan berupa kayu agar dapat dimanfaatkan. Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan petani sudah cukup baik untuk keberhasilan usaha hutan rakyat yang dilakukan petani.


(3)

ABSTRACT

YUDHISTIRA APRIYANTO (E14061821). Farmer’s Knowledge on Private Forest Management in Sub District of Tajur Halang Bogor. Under supervision of DIDIK SUHARJITO.

The purpose of this research is to know and to describe the farmer’s knowledge in private forest management. This research was conducted in Sub District of Tajur Halang, District of Bogor during January to February 2011. Research method used in this research is survey. Data were collected by using interview, observation, and secondary data. The result of analysis is presented using descriptive method in narrative text and tabulation.

Private forest management activities are including tree species selection, land preparation, planting, maintenance and harvesting. The purpose of tree species selection is to define the right species to ensure their private forest success. The purpose of land preparation activities is to make the land ready for planting and the plant can grow well. The purpose of planting is to ensure the seedling planted well in the ground and to ensure the well grown of newly planted seedlings. The purpose of plant cultivation is to obtain the optimal production results, because all plants need intensive cultivation to get optimal results. The purpose of harvesting activity is to get timber from the forest to be utilized. These results show that farmer’s knowledge is good enough to succeed the private forest work.


(4)

PENGETAHUAN PETANI

DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT

di Kecamatan Tajur Halang Bogor

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

YUDHISTIRA APRIYANTO E14061821

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pengetahuan Petani Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kecamatan Tajur Halang Bogor adalah benar-benar karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tingggi atau lembaga manapun. Sumber dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

Yudhistira Apriyanto NRP E14061821


(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pengetahuan Petani Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kecamatan Tajur Halang Bogor

Nama Mahasiswa : Yudhistira Apriyanto

NRP : E14061821

Departemen : Manajemen Hutan

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP 19630401 199403 1001

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP 19630401 199403 1001


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Jakarta, pada tanggal 12 April 1987 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Swigiyarto (Alm.) dan Shofiah. Penulis memulai pendidikan di SDN Cipayung IV pada tahun 1994 dan menyelesaikannya pada tahun 2000, kemudian penulis melanjutkan ke SMPN 1 Depok pada tahun 2000 dan menyelesaikannya pada tahun 2003, dan melanjutkan di SMA Sejahtera 1 Depok pada tahun 2003 dan menyelesaikannya pada tahun 2006. Pada Tahun 2006 penulis masuk Institut Pertanian Bogor melaui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), pada tahun 2007 penulis masuk program Mayor Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Intitut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahaan di Fakultas Kehutanan penulis merupakan anggota FMSC (Forest Management Student Club) dan IFSA (International Forestry Student Accociation) pada tahun 2008. Penulis telah melaksanakan Prakrek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Cilacap dan Baturraden, Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008 dan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Kabupaten Sukabumi, dan KPH Cianjur Unit III Jawa Barat pada tahun 2009. Pada tahun 2010, penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK-HA PT Indowana Arga Timber, Kalimantan Timur.

Sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Institut Pertanian Bogor, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul ’’Pengetahuan Petani Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kecamatan Tajur Halang Bogor’’, di bawah bimbingan Dr. Ir. Didik Suharjito, MS.


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan rangkaian kegiatan pekuliahan sampai terselesaikannya skripsi ini dengan baik. Pada Kesempatan ini penulis mengucapakan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Orang tua penulis Bapak Swigiyarto (Alm.) dan Ibunda Shofiah yang senantiasa melantunkan do’anya dan tanpa keluh kesah mencari rizki untuk kesuksesan anak tercinta.

2. Adik tercinta Rizki Fitri Astuti, dan Astri Puji Rahayu yang tak henti-henti dengan ikhlas memberikan semangat, senyum, dan do’anya kepada penulis. 3. Bapak Dr. Ir. Didik Suharjito, MS selaku dosen pembimbing yang dengan

ketulusan dan keikhlasan beliau dalam membimbing, memberikan ilmu, dan nasehat kepada penulis dalam penyelesaian skripisi.


(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta karunia-Nya sehingga karya tulis ini berhasil diselesaikan. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW, kepada sahabat, keluarga dan umatnya. Tema yang dipilih dalam penelitian ini berjudul “Pengetahuan Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kecamatan Tajur Halang Bogor”

Karya ilmiah ini merupakan hasil dari penelitian mengenai pengetahuan petani dalam pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan di Kecamatan Tajur Halang. Pengetahuan petani yang dimaksud adalah pengetahuan pengelolaan hutan rakyat yang meliputi pengetahuan budi daya hutan. Pengetahuan petani dapat diketahui melalui praktek budi daya hutan yang dilakukannya, karena petani melakukan praktek budi daya hutan dengan mengandalkan pengetahuan yang dimilikinya. Sehingga dengan mendeskripsikan kegiatan budi daya hutan yang dilakukan petani dapat diketahui pengetahuan yang dimilikinya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya, serta dapat menjadi dokumentasi pengetahuan petani yang bermanfaat. Semoga juga dapat memperbaiki pengetahuan petani dalam pengelolaan hutan rakyat.

Bogor, Agustus 2011


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... ii

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR LAMPIRAN... v

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah... 2

1.3 Tujuan Penelitian... 2

1.4 Manfaat Penelitian... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1 Pengetahuan Lokal... 4

2.2 Pengelolaan Hutan Rakyat... 5

2.2.1 Pemilihan Jenis... 5

2.2.2 Persiapan Lahan... 6

2.2.3 Penanaman... 6

2.2.4 Pemeliharaan... 7

2.2.5 Pemanenan... 8

BAB III METODE PENELITIAN... 9

3.1 Kerangka Pemikiran... 9

3.2 Definisi Operasional... 10

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian... 11

3.4 Metode Penentuan Responden... 12

3.5 Jenis Data... 13

3.6 Metode Pengumpulan Data... 13


(11)

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN... 15

4.1 Letak Geografis dan Administrasi Pemerintahan... 15

4.2 Topografi, Tanah dan Iklim... 15

4.3 Tutupan Lahan... 17

4.4 Kependudukan... 19

4.5 Infrastruktur Transportasi dan Komunikasi... 20

4.6 Karakteristik Rumah Tangga Responden... 21

4.6.1 Umur... 21

4.6.2 Tingkat Pendidikan... 23

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN... 25

5.1 Penguasaan Lahan Hutan Rakyat... 25

5.1.1 Asal-usul Lahan Hutan Rakyat... 25

5.1.2 Luas Lahan Hutan Rakyat... 26

5.2 Pengetahuan Petani Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat... 27

5.2.1 Pemilihan Jenis... 29

5.2.2 Persiapan Lahan... 34

5.2.3 Penanaman... 37

5.2.4 Pemeliharaan... 39

5.2.5 Pemanenan... 47

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 51

6.1 Kesimpulan... 51

6.2 Saran... 52

DAFTAR PUSTAKA... 53

LAMPIRAN... 56 iii


(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Jumlah responden berdasarkan desa asal... 12 2. Formasi tutupan lahan Kecamatan Tajur Halang pada tahun 2010... 19 3. Mata pencaharian penduduk Kecamatan Tajur Halang pada tahuan 2010... 20 4. Distribusi kelompok umur responden petani hutan rakyat... 22 5. Asal-usul lahan hutan rakyat responden... 26 6. Luas penguasaan lahan responden petani hutan rakyat... 27


(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Bagan pemerincian wujud kebudayaan kedalam unsur yang lebih kecil .. 9

2. Formasi tutupan lahan Kecamatan Tajur Halang ... 18

3. Jenis hutan rakyat ... 28

4. Kegiatan Penyiangan ... 40

5. Kegiatan Pemupukan ... 41


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penanaman pepohonan di tanah milik masyarakat oleh pemiliknya, yang sekarang dikenal sebagai hutan rakyat, merupakan salah satu bentuk usaha petani untuk memenuhi berbagai kebutuhan rumah tangganya. Hutan rakyat sudah berkembang di kalangan masyarakat sejak lama yang dilakukan oleh masyarakat di lahan-lahan miliknya. Hal ini dapat dilihat dari adanya hutan rakyat tradisional yang diusahakan oleh masyarakat itu sendiri tanpa campur tangan pemerintah (swadaya murni), baik berupa tanaman satu jenis, maupun dengan pola tanaman campuran. Namun mayoritas pengelolaan hutan rakyat ini masih dilakukan secara sederhana, tergantung pada pengetahuan pribadi masyarakat tersebut. Padahal pengetahuan tentang teknik budi daya hutan merupakan faktor yang menentukan keberhasilan usaha hutan rakyat.

Penelitian mengenai hutan rakyat sudah cukup banyak dilakukan. Diantaranya tentang analisis ekonomi, ekologi, dan sosial (Wijiadi 2007), hubungan aspek sosial-ekonomi dan ekonomi (Widianingsih 2008), sistem pengelolaan (Handoko 2007), studi pengambilan keputusan pemilihan jenis (Nurmaulana 2005), analisis finansial (Sari 2010), dan pengetahuan lokal (Hudin 2010). Dari penelitian yang ada, masih sedikit penelitian yang mengangkat mengenai pengetahuan petani dalam pengelolaan hutan rakyat. Berlatar belakang hal ini, maka peneliti mengangkat judul penelitian Pengetahuan Petani Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kecamatan Tajur Halang Bogor.

Penelitian mengenai pengetahuan petani dalam pengelolaan hutan rakyat penting untuk dilakukan, karena pengetahuan dapat membantu petani menentukan cara yang harus dilakukan, agar pengelolaan hutan rakyat dapat berjalan dengan baik serta memperoleh hasil yang optimal. Hal ini penting karena dapat membantu petani dalam memilih cara yang baik dan tepat untuk digunakan dalam rangka mewujudkan tujuan pengelolaan hutan rakyat yang lestari. Pengetahuan petani dapat menentukan keputusan petani dalam hal ekonomi, ekologi, dan sosial. Secara ekonomi pengetahuan petani berperan dalam pengambilan cara terbaik


(15)

pada pengelolaan hutan rakyat agar hasil produksinya meningkat. Secara ekologi pengetahuan petani berperan dalam menentukan cara-cara yang harus dilakukan petani untuk mengelola hutan rakyat menjadi lestari. Secara sosial pengetahuan petani berperan dalam rangka menjaga kebersamaan dan sikap saling menghargai serta saling menolong antar petani, dan untuk mempertahankan kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat.

Penelitian ini difokuskan pada pengelolaan hutan rakyat yang lebih dikenal oleh petani dengan istilah kebon. Berbagai jenis kebon yang diusahakan antara lain kebon campuran dan kebon monokultur. Kebon campuran yaitu kebon yang ditanami dengan berbagai kombinasi tanaman yaitu tanaman pokok berupa sengon, jati atau mahoni, tanaman kombinasinya yaitu pisang, jagung, singkong, ubi jalar, dsb. Kebon monokultur yaitu kebon yang ditanami satu jenis tanaman pokok saja yaitu sengon, jati atau mahoni.

1.2 Perumusan Masalah

Petani yang mengusahakan hutan rakyat sangat tergantung pada pengetahuan dan kemampuannya dalam mengelola hutan rakyat miliknya. Penelitian ini akan mendeskripsikan pengetahuan petani dalam mengelola hutan rakyat, yang diperinci menurut kegiatan-kegiatan budi daya secara teknis yaitu pemilihan jenis, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Pengetahuan petani tersebut diuraikan ke dalam gagasan, tindakan, dan peralatan yang digunakan dalam pengelolaan hutan rakyat.

1.3 Tujuan Penelitian

a. Mengetahui pengetahuan petani dalam mengelola hutan rakyat. b. Mendeskripsikan pengetahuan petani dalam pengelolaan hutan rakyat

mencakup gagasan, perilaku sosial, dan peralatan.


(16)

1.4Manfaat penelitian

a. Memberikan informasi kepada para pembaca dan menjadi salah satu sumber informasi bagi Dinas Kehutanan dan instansi lain yang memerlukan dalam melakukan penyuluhan kepada petani hutan rakyat agar hasil yang diperoleh bisa lebih baik.

b. Untuk mengetahui dan mendokumentasikan pengetahuan petani pengelola hutan rakyat agar tidak hilang sehingga dapat dipelajari oleh orang-orang yang memerlukannya dan dapat memotivasi untuk mengembangkan hutan rakyat.

c. Bagi instansi pendidikan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan dokumentasi ilmiah yang bermanfaat untuk kepentingan akademik maupun untuk penelitian serupa lainnya.


(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan Lokal

Menurut Arafah (2002), pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan indera atau akal budinya untuk menggali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Selanjutnya menurut Soekanto (2001), pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran seseorang sebagai hasil penggunaan panca indera.

Koentjaraningrat (1981) menyebutkan bahwa pengetahuan adalah unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seseorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Artinya bahwa pengetahuan berhubungan dengan jumlah informasi yang diterima seseorang.

Menurut Koentjaraningrat (1981), uraian mengenai pokok-pokok khusus yang merupakan isi dari sistem pengetahuan dalam suatu kebudayaan, akan merupakan suatu uraian tentang cabang-cabang pengetahuan. Cabang-cabang itu sebaiknya dibagi berdasarkan pokok perhatiannya. Dengan demikian tiap suku bangsa di dunia biasanya mempunyai pengetahuan tentang:

1. Alam sekitarnya.

2. Alam flora di daerah tempat tinggalnya. 3. Alam fauna di daerah tempat tinggalnya.

4. Zat-zat, bahan mentah, dan benda-benda dalam lingkungannya. 5. Tubuh manusia.

6. Sifat-sifat dan tingkah laku sesama manusia. 7. Ruang dan waktu.

Pengetahuan merupakan kapasitas manusia untuk memahami dan menginterpretasikan baik hasil pengamatan maupun pengalaman, sehingga bisa digunakan untuk meramalkan ataupun sebagai dasar pertimbangan dalam keputusan. Pengetahuan merupakan keluaran dari proses pemahaman dan interpretasi yang masuk akal. Namun pengetahuan bukanlah merupakan kebenaran yang bersifat mutlak. Pengetahuan sendiri tidak mengarah ke suatu


(18)

tindakan nyata (Sunaryo dan Joshi 2003). Pengetahuan lokal secara umum diartikan sebagai pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang khusus (Warre 1991 dalam Sunaryo dan Joshi 2003).

Istilah pengetahuan lokal digunakan secara berkelanjutan dan dirancukan dengan pengetahuan teknis, pengetahuan lingkungan tradisional, pengetahuan pedesaan, dan pengetahuan indigenous. Pengetahuan indigenous adalah sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam. Pengetahuan seperti ini berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan 10 kebutuhan masyarakat. Pengetahuan ini juga merupakan hasil kreativitas dan uji coba secara terus-menerus dengan melibatkan inovasi internal dan pengaruh eksternal dalam usaha untuk menyesuaikan dengan kondisi baru. Karenanya salah jika kita berpikir bahwa pengetahuan indigenous itu kuno, terbelakang, statis atau tak berubah (Sunaryo dan Joshi 2003).

2.2 Pengelolaan hutan rakyat

Pengelolaan hutan rakyat merupakan bagian dari seluruh aktivitas petani di lahannya. Teknik silvikultur yang banyak diterapkan masyarakat pada umumnya masih silvikultur tradisional dan kegiatannya bervariasi pada tiap periode perkembangannnya. Kegiatan silvikultur hutan rakyat terdiri dari pemilihan jenis, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan dan pemanenan (Windawati 2005).

2.2.1 Pemilihan jenis

Salah satu faktor penting dalam tahap perencanaan pembangunan hutan adalah pemilihan jenis atau penetapan jenis pohon yang akan dibudiyakan. Suatu jenis pohon yang tepat untuk ditanam di suatu daerah pengelolaan hutan harus memenuhi persyaratan ekologi, teknis kehutanan, dan ekonomi (Mangundikoro dan Arisman 1986).


(19)

Berdasarkan Indriyanto (2008) secara ringkas faktor penentu dalam pemilihan jenis pohon yang akan ditanam pada suatu lokasi tertentu meliputi:

a. Aspek silvikultur yang meliputi kesesuaian tempat tumbuh dan penguasaan teknologi penanamannya;

b. Kualitas kayu sesuai dengan tujuan penggunaannya; c. Kemudahan pemasaran hasil produksinya;

d. Fungsi keindahan pohon untuk lingkungan hidup.

2.2.2 Persiapan lahan

Persiapan areal tanam merupakan kegiatan untuk mempersiapkan tempat tumbuh sebaik mungkin terhadap bibit yang akan ditanam sehingga kegiatan itu juga disebut sebagai manipulasi faktor tempat tumbuh agar layak dan menguntungkan untuk pertumbuhan bibit yang ditanam (Indriyanto 2008; Baker et al.1979; Smith 1986).

Menurut Indriyanto (2008), ajir merupakan suatu tanda tempat bagi pohon yang akan ditanam. Ajir dapat dibuat dari dari bambu yang dibelah-belah selebar 1 cm-2 cm dan panjangnya 1 meter, dapat juga dibuat dari cabang-cabang kayu. Ajir dipasang sesuai jarak tanam yang digunakan. Agar posisi atau letak lubang tanam mudah dicari dan ditentukan sesuai dengan rencana penanaman yang telah ditetapkan.

2.2.3 Penanaman

Menurut Indriyanto (2008), penanaman sebaiknya dilakukan pada musim hujan, agar bibit yang ditanam mendapat siraman air hujan. Jika tidak terjadi pergeseran musim hujan, idealnya penanaman dilakukan pada bulan November-Januari. Bibit dengan wadah terbuat dari bahan plastik (polybag), pada saat akan ditanam wadah tersebut harus dibuka dan diambil.

Berdasarkan Indriyanto (2008) penanaman bibit pot, yaitu menanam bibit yang disemai terlebih dahulu dalam kontiner atau wadah media tumbuh bibit. Kontiner dapat berupa kantong plastik, polybag, keranjang bambu, ruas bambu, pelepah batang pisang, dan dari tanah gambut. Kontiner atau wadah media 6


(20)

tumbuh bibit berupa plastik, harus dibuka dan diambil pada saat bibit ditanam, sedangkan kontiner berupa keranjang bambu, ruas bambu, pelepah batang pisang, dan dari tanah gambut langsung ikut ditanam tanpa dibuka atau diambil.

2.2.4 Pemeliharaan

Keberhasilan hidup tanaman dan pertumbuhannya dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan yang terdapat pada tempat tumbuhnya. Faktor-faktor lingkungan pada tempat tumbuh yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dapat mencakup faktor biotik dan faktor abiotik (Indriyanto, 2008).

Menurut Darjadi dan Hardjono (1976) untuk meningkatkan peran positif dan menekan peran negatif dari semua faktor lingkungan tersebut, maka pemeliharaan tanaman sangat diperlukan agar keberhasilan hidup dan pertumbuhan tanaman menjadi baik. Beberapa kegiatan pemeliharaan tanaman, antara lain penyulaman, penyiangan, pendangiran, pemupukan, pemangkasan cabang, penjarangan tanaman, dan pengendalian hama dan penyakit.

Menurut Kosasih (2002), pemangkasan cabang merupakan kegiatan membuang cabang bagian bawah untuk memperoleh batang bebas cabang yang panjang dan bebas dari mata kayu. Pelaksanaan pemangkasan cabang harus dilakukan pada musim kemarau dan dikerjakan pada waktu cabang pohon mempunyai garis tengah sekecil mungkin. Hal itu menghindari terjadinya luka yang terlalu lebar dan untuk mencegah terjadinya benjolan besar pada kayu. Intensitas pemangkasan cabang setiap kali melakukan pemangkasan sebesar 30% dari tajuk dengan menggunakan peralatan, antara lain pisau pangkas, gunting pangkas cabang, atau gergaji pangkas. Kemudian luka bekas pemangkasan sebaiknya ditutup dengan ter atau parafin.

Menurut Kosasih (2002); dalam Indriyanto (2008), pendangiran merupakan kegiatan penggemburan tanah di sekitar tanaman dalam upaya memperbaiki sifat fisik tanah. Pendangiran tanaman diutamakan untuk tanah-tanah yang bertekstur berat, dilakukan pada akhir musim kemarau, dan dilakukan jika tanaman sudah berumur 1-3 tahun.

Menurut Kosasih (2002) penyiangan tanaman merupakan kegiatan pengendalian gulma atau tumbuhan pengganggu untuk mengurangi kepadatan


(21)

populasi gulma agar tidak mengganggu pertumbuhan tanaman. Sementara itu berdasarkan Indriyanto (2008) penyiangan diprioritaskan terhadap gulma yang sangat mengganggu pertumbuhan tanaman, misalnya alang-alang, rumput, semak, dan liana. Kegiatan penyiangan dilakukan pada saat musim kemarau atau musim hujan dengan frekuensi 3-4 bulan sekali dalam setahun untuk tanaman umur 1-2 tahun, frekuensi 6-12 bulan sekali untuk tanaman umur lebih dari 2 tahun hingga tampak ada kepastian bahwa pohon tidak akan terkalahkan dalam bersaing dengan gulma.

2.2.5 Pemanenan

Penebangan pohon yang dilakukan oleh petani umumnya bervariasi dari umur tegakan 5-10 tahun sesuai dengan kebutuhan dan pasar. Tanaman kayu-kayuan ditanam sebagai investasi atau tabungan masa depan kecuali untuk perabaikan rumah sendiri atau dijual antar tetangga yang membutuhkan (Windawati 2005).

Kegiatan pemanenan kayu pada hutan rakyat dilakukan sesuai dengan kebutuhan petani pemilik hutan rakyat. Kayu yang dipanen adalah kayu yang sudah cukup umur dan sudah laku di pasaran, sedangkan bentuk dan ukuran kayu dijadikan faktor penentu harga, sehingga makin baik kualitas kayu maka harga kayu makin mahal. Kayu dijual oleh petani kepada pengumpul dalam keadaan kayu berdiri. Pada umumnya kegiatan penebangan dilakukan oleh pembeli yang merupakan pedagang pengumpul (Sumedi 2000).


(22)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Menurut Koentjaraningrat (1981), sistem pengetahuan merupakan salah satu unsur pokok dari tiap kebudayaan universal. Wujud dari kebudayaan mencangkup sistem budaya (adat), sistem sosial dan kebudayaan fisik (artefak). Wujud kebudayaan tersebut dapat dirinci ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil sampai beberapa kali. Menurut Linton (1936) diacu dalam Koentjaranigrat (1981), pemerincian kebudayaan universal dapat diperinci sampai empat kali, yaitu unsur kebudayaan yang berwujud sistem budaya (adat) dapat diperinci ke dalam beberapa komplek budaya, tiap komplek budaya dapat diperinci lebih lanjut ke dalam beberapa gagasan. Unsur kebudayaan yang berwujud sistem sosial dapat diperinci lagi ke dalam beberapa komplek sosial, tiap komplek sosial dapat diperinci lebih lanjut ke dalam beberapa pola sosial dan akhirnya pada tahap keempat diperinci ke dalam perilaku sosial. Unsur kebudayaan yang berwujud kebudayaan fisik (artefak) dapat diperinci ke dalam benda-benda kebudayaan, tiap benda kebudayaan tersebut diperinci lagi menjadi peralatan yang digunakan. Pemerincian wujud kebudayaan kedalam unsurnya yang lebih kecil, dapat dilihat pada Gambar 1.

Kebudayaan universal

Sistem budaya (adat) Sistem sosial (aktivitas sosial) Kebudayaan fisik

Komplek budaya Komplek sosial Benda-benda kebudayaan

Tema budaya Pola sosial Peralatan yang dipakai

Gagasan Perilaku sosial


(23)

3.2 Definisi Operasional

Pengetahuan merupakan salah satu wujud kebudayaan universal (Koentjaraningrat 1981). Hutan rakyat merupakan salah satu bentuk pertanian, yang merupakan mata pencaharian petani. Sistem mata pencaharian adalah unsur kebudayaan universal yang menaungi pertanian sebagai sistem budaya yang akan kita sebut adatnya. Wujudnya sebagai sistem sosialnya yang akan kita sebut aktivitas sosialnya, dan wujudnya yang fisik yang berupa berbagai peralatan yang digunakan dalam pengelolaan hutan rakyat. Selanjutnya adalah pemerincian adat pertanian ke dalam kompleks budaya yaitu pertanian lahan kering, beserta aktivitas sosialnya ke dalam kompleks sosial. Berikutnya adalah pemerincian kompleks budaya pertanian lahan kering ke dalam tema budaya hutan rakyat, beserta kompleks sosialnya ke dalam pola sosial. Dari tema budaya hutan rakyat diperinci ke dalam lima sub-tema hutan rakyat yang merupakan kegiatan utama dalam pengelolaan hutan rakyat, yaitu pemilihan jenis, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Dari kelima sub-tema hutan rakyat tadi diperinci ke dalam gagasan, beserta pola sosialnya ke dalam tindakan, dan peralatan yang digunakan.

Gagasan sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau difoto, lokasinya ada didalam alam pikiran. Gagasan memberi arah kepada tindakan yang dilakukan petani dalam mengelola hutan rakyat. Tindakan sifatnya konkret, dapat diobservasi, difoto, dan didokumentasi. Tindakan adalah aktivitas-aktivitas petani dalam melakukan pengelolaan hutan rakyat. Peralatan bersifat paling konkret, berupa benda-benda atau alat-alat yang digunakan dalam pengelolaan hutan rakyat.

Pengelolaan hutan rakyat sebagai tema budaya terdiri dari lima sub-tema kebudayaan, yaitu pemilihan jenis, persiapan lahan, penananaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Definisi operasional dari masing-masing sub-tema kebudayaan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pemilihan jenis adalah salah satu upaya petani yang dilakukan untuk menentukan jenis pohon yang akan ditanamnya pada lahan hutan rakyatnya. Pemilihan jenis ialah langkah awal yang sangat menentukan keberhasilan program penanaman. Pemilihan jenis tanaman harus 10


(24)

memenuhi seluruh persyaratan baik secara biofisik, teknis, ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Dengan demikian keputusan yang dihasilkan memberikan jaminan keberhasilan tumbuh tanaman, mudah diterima masyarakat, dan produknya mudah dipasarkan.

2. Persiapan lahan ialah salah satu upaya yang dilakukan petani untuk mempersiapkan lahan yang akan ditanami, agar lahan tersebut terhindar dari berbagai hama dan penyakit serta terjamin kesuburan tanahnya. Tindakan yang dilakukan dalam persiapan lahan berupa pembersihan lahan dan pengolahan tanah.

3. Penanaman ialah kegiatan menanam tanaman ke lahan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Tindakan penanaman adalah kegiatan pemasukan bibit ke dalam tanah.

4. Pemeliharaan ialah kegiatan yang dilakukan untuk menjaga dan memelihara tanaman tanaman agar pertumbuhannya baik. Pemeliharan terdiri dari berbagai tindakan berupa pemupukan, penyiangan, pendangiran, pemangkasan cabang, dan penjarangan.

5. Pemanenan ialah kegiatan pengambilan hasil dari tanaman yang diusahakan baik berupa buah, getah, daun, dan kayu. Pemanenan terdiri dari berbagai kegiatan berupa penebangan, pembagian sortimen, dan penyaradan.

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan selama dua bulan pada bulan Januari sampai dengan bulan Februari 2011 di Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian ditetapkan secara sengaja dikarenakan belum pernah ada penelitian hutan rakyat yang dilakukan sebelumnya di Kecamatan Tajur Halang. Total desa yang ada di Kecamatan Tajur Halang adalah sebanyak 7 desa, yaitu Desa Citayam, Sasakpanjang, Kalisuren, Tonjong, Tajurhalang, Sukmajaya, dan Nanggerang. Namun yang dijadikan lokasi penelitian hanya 5 desa, yaitu Desa Citayam, Sasakpanjang, Kalisuren, Tajurhalang, dan Sukmajaya. Hal ini dikarenakan sangat sedikit hutan rakyat yang ada di Desa Tonjong dan Desa Nanggerang, selain itu akses menuju dua desa tersebut yang sulit. Mayoritas 11


(25)

responden berasal dari Desa Tajurhalang yaitu sebanyak 9 orang responden, sebesar 30,00% dari total responden. Jumlah responden paling sedikit berjumlah 5 orang responden (16,67%) yang berada di 3 desa yaitu Desa Citayam, Sasakpanjang, dan Sukmajaya. Jumlah responden berdasarkan desa asal disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jumlah responden berdasarkan desa asal

Desa Jumlah responden (orang) Frekwensi (%)

Citayam 5 16,67

Sasakpanjang 5 16,67

Kalisuren 6 20,00

Tajurhalang 9 30,00

Sukmajaya 5 16,67

Jumlah 30 100,00

3.4 Metode Penentuan Responden

Populasi contoh dalam penelitian ini adalah petani yang mengusahakan hutan rakyat dan buruh tani yang merawat hutan rakyat. Pengambilan contoh dilakukan dengan metode pengambilan contoh purposive sampling. Purposive sampling menurut Patton (1990), Cochran (1991) dan Iskandar (2008) merupakan teknik pengambilan contoh secara sengaja berdasarkan penilaian subyektif peneliti atas dasar karakteristik tertentu yang dianggap memiliki sangkut paut dengan karakteristik populasi yang telah diketahui sebelumnya. Total jumlah populasi contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 responden yang dibagi ke dalam kelompok petani pemilik lahan sebanyak 19 responden, dan kelompok buruh tani sebanyak 11 responden.

Populasi petani dan buruh tani hutan rakyat yang ada di Kecamatan Tajur Halang adalah sebanyak 46 orang, didapatkan melalui observasi yang dilakukan peneliti. Oleh karena itu peneliti memutuskan untuk mengambil populasi contoh sebanyak 30 orang responden atau sebesar 65,22 % dari total petani responden yang menurut peneliti sudah mewakili petani dan buruh tani hutan rakyat di Kecamatan Tajur Halang. Pemilihan 30 responden ini juga atas dasar hutan rakyat yang dikelolanya, hutan rakyat yang dikelola 30 responden ini terlihat telah dikelola dengan baik sementara itu 16 hutan rakyat lainnya terlihat tidak terawat dengan baik.


(26)

3.5 Jenis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer pada penelitian ini adalah data yang diperoleh melalui wawancara langsung dan observasi lapang yang terdiri dari :

a. Nama, umur, pendidikan, dan mata pencaharian responden. b. Kepemilikan lahan.

c. Kegiatan dan cara petani dalam melakukan pengelolaan hutan rakyat. d. Jenis tanaman pokok yang dikembangkan, dan teknik budidaya hutan

yang diterapkan.

Data sekunder diperoleh dari laporan-laporan yang tersedia di tingkat kecamatan maupun instansi-instansi terkait lainnya. Data sekunder terdiri dari :

a. Keadaan umum lokasi penelitian, meliputi : luas areal, letak, keadaan fisik lingkungan.

b. Keadaan umum penduduk, meliputi : jumlah penduduk dan mata pencaharian penduduk.

c. Data penggunaan lahan.

3.6 Metode Pengumpulan Data 1. Wawancara

Data primer yang diperoleh dengan melakukan wawancara langsung dengan responden. Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang didasarkan pada percakapan secara intensif dengan suatu tujuan tertentu (Soehartono 1999). Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi mengenai masalah yang diajukan dalam penelitian. Wawancara dilakukan kepada responden yang dianggap menguasai masalah penelitian. Alat dan bahan yang digunakan pada wawancara ini adalah pedoman wawancara, alat perekam, dan peralatan tulis.

2. Observasi lapang

Data dikumpulkan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Harapan peneliti agar dapat merasakan, melihat, dan memahami kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan sehingga 13


(27)

mendapatkan pengetahuan dari objek penelitiannya. Alat yang digunakan dalam observasi ini adalah alat dokumentasi yaitu kamera dijital.

3. Pengumpulan data sekunder

Data sekunder dikumpulkan dari Pemerintah Daerah Kecamatan Tajur Halang, berupa keadaan umum lokasi penelitian, meliputi : luas areal, letak, keadaan fisik lingkungan. Keadaan umum penduduk, meliputi : jumlah penduduk dan mata pencaharian penduduk, serta data penggunaan lahan. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis baik secara kuantitatif maupun deskriptif kualitatif.

3.7 Metode Analisis dan Pengolahan Data

Data yang terkumpul dianalisis untuk mencapai tujuan peneliti. Hasil analisis disajikan secara deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis karakteristik dan praktek pengelolaan hutan rakyat berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapang. Peubah-peubah yang dianalisis adalah sistem pengelolaan yang diterapkan meliputi pemilihan jenis, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis data penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Pengumpulan informasi hasil wawancara dan observasi lapang. b. Pemilahan informasi sesuai dengan kategori-kategorinya. c. Penyajian dalam bentuk uraian penjelasan dan tabel. d. Penarikan kesimpulan.


(28)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak Geografis dan Administrasi Pemerintahan

Kecamatan Tajur Halang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah seluas 3383,17 Ha. Secara geografis, Kecamatan Tajur Halang berbatasan dengan Kota Depok di sebelah utara, Kecamatan Kemang di sebelah selatan, Kecamatan Parung di sebelah barat, dan Kecamatan Bojonggede di sebelah timur. Jarak tempuh dari kantor Kecamatan Tajurhalang ke ibukota pemerintahan adalah sebagai berikut: jarak ke Ibukota Kabupaten Bogor ± 12 km, Ibukota Propinsi Jawa Barat ± 165 km dan Ibukota Negara ± 49 km. Kecamatan Tajur Halang memiliki jumlah desa sebanyak 7 desa, yaitu Desa Citayam, Desa Sasakpanjang, Desa Kalisuren, Desa Tonjong, Desa Tajurhalang, Desa Nanggerang, dan Desa Sukmajaya. Jumlah dusun yang dimiliki adalah sebanyak 24 dusun, dengan jumlah RW sebanyak 76 RW, serta jumlah RT sebanyak 331 RT (Monografi Kecamatan Tajur Halang 2010).

4.2 Topografi, Tanah dan Iklim.

Ketinggian wilayah Kecamatan Tajur Halang dari permukaan laut adalah 229 hingga 239 mdpl. Berdasarkan kelerengan lahan, wilayah Kecamatan Tajur Halang dibedakan ke dalam 2 satuan morfologi utama yaitu morfologi dataran dan morfologi perbukitan. Sebagian besar (67%) dari wilayah Kecamatan Tajur Halang tergolong ke dalam morfologi dataran, yang dicirikan oleh dominasi lahan berkelerengan datar sampai landai. Satuan morfologi perbukitan yang dicirikan oleh dominasi lahan berkelerengan agak curam sampai curam, menempati kurang lebih 13% dari luas wilayah Kecamatan Tajur Halang (Monografi Kecamatan Tajur Halang 2010).


(29)

Gambar 2 Sketsa lokasi penelitian Kecamatan Tajur Halang.


(30)

Jenis tanah dominan yang terdapat pada wilayah Kecamatan Tajur Halang adalah tanah jenis Latosol. Tanah Latosol berwarna merah (sebagai cirinya) yang disebabkan oxidasi dan besi yang ada. Pencucian larutan cenderung didasari pH lebih tinggi sehingga menyebabkan silikanya hilang dan besinya tertinggal (Hakim et al. 1986). Tanah latosol memiliki sifat-sfat sebagai berikut:

a. Bahan induk Tuf volkan dan batu volkan. b. pH agak masam sampai masam.

c. Kejenuhan basa sedang sampai rendah. d. Kadar unsur hara sedang sampai rendah. e. Tekstur halus.

f. Struktur remah.

g. Konsistensi gembur sampai agak keras.

Kecamatan Tajur Halang termasuk wilayah beriklim tropis dengan interval temperatur normal rata-rata antara 28 oC sampai 30 oC. Rata-rata curah hujan selama tahun 2010 sebesar 1500 mm/tahun, dengan curah hujan tertinggi tercatat pada bulan Februari mencapai 300 mm, dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 50 mm. Jumlah bulan basah yang tercatat di Kecamatan Tajur Halang adalah sebanyak 6 bulan, artinya adalah jumlah bulan kering yang tercatat juga sebanyak 6 bulan (Monografi Kecamatan Tajur Halang 2010).

4.3 Tutupan Lahan

Tutupan lahan di Kecamatan Tajur Halang didominasi oleh tutupan lahan kering berupa pemukiman, pekarangan, tegalan, dan ladang dengan luas 2785,30 Ha atau sekitar 82,33% dari total luas wilayah Kecamatan Tajur Halang. Formasi tanah sawah, lahan basah, dan fasilitas umum masing-masing memiliki luasan 14,34%, 2,63%, dan 0,69% dari total luas wilayah Kecamatan Tajur Halang (Monografi Kecamatan Tajur Halang 2010).

Berdasarkan hasil observasi, vegetasi yang banyak dijumpai di Kecamatan Tajur Halang adalah tanaman pertanian seperti padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, cabai, kacang tanah, dan kacang panjang. Tanaman perkebunan yang banyak dijumpai adalah kelapa, karet, mangga, jambu batu, jambu air, rambutan, pisang, belimbing, pepaya, dsb. Tanaman kayu keras yang banyak dijumpai diantaranya 17


(31)

adalah sengon, jati, dan mahoni. Lahan kosong yang tidak digunakan banyak ditumbuhi oleh semak belukar dan alang-alang. Lahan kosong ini adalah lahan milik pemerintah yang dulunya merupakan kebun karet. Pada tahun 2000 kebun karet tersebut dibersihkan sehingga tidak ada pohon karetnya lagi dan menjadi lahan kosong yang terlantar. Tutupan lahan pada lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2 dan Tabel 2.

A B

C D

Gambar 2 Formasi tutupan lahan Kecamatan Tajur Halang. Ket: (A) Formasi tutupan lahan kebun singkong; (B) Formasi tutupan lahan kolam ikan; (C) Formasi tutupan lahan kebun pepaya; (D) Formasi tutupan lahan kebun kacang panjang.


(32)

Tabel 2 Formasi tutupan lahan Kecamatan Tajur Halang pada tahun 2010

Tutupan lahan Luas (ha) Persentase (%)

Pemukiman 1043,30 30,84

Pekarangan 779,20 23,03

Tegalan 317,70 9,39

Ladang/Tanah Huma 645,10 19,07

Sawah Irigasi Teknis 226,90 6,71

Sawah Irigasi Setengah Teknis 36,17 1,07

Sawah Irigasi Sederhana 83,80 2,48

Sawah Tadah Hujan 138,40 4,09

Rawa 1,90 0,06

Situ 16,30 0,48

Kolam/Empang 70,80 2,09

Lapangan Olah Raga 8,30 0,25

Jalur Hijau 3,10 0,09

Pemakaman 12,20 0,36

Total 3383,17 100,00

Sumber: Data Monografi Kecamatan Tajur Halang, 2010. 4.4 Kependudukan

Sampai dengan tahun 2010, Kecamatan Tajur Halang memiliki jumlah penduduk sebanyak 89 995 jiwa, yang terdiri dari 45 805 jiwa penduduk berjenis kelamin laki-laki dan 44 190 jiwa penduduk berjenis kelamin perempuan. Persentase jumlah penduduk laki-laki sebesar 50,89% dari total penduduk di Kecamatan Tajur Halang, sedangkan jumlah penduduk perempuan sebesar 49,10% dari total penduduk di Kecamatan Tajur Halang, sehingga sex ratio yang tercatat di Kecamatan Tajur Halang adalah sebesar 1,04.

Kecamatan Tajur Halang mempunyai pola kehidupan masyarakat yang pada umumnya berbudaya Betawi pinggiran yang dipengaruhi oleh pola kehidupan Kota Jakarta, Depok, Bogor, dan Tangerang. Mayoritas penduduk Kecamatan Tajur Halang berprofesi sebagai petani dengan persentase sebesar 55,31% dari total penduduk. Ada data yang sepertinya kurang masuk diakal, yaitu penduduk yang berprofesi sebagai nelayan, seperti diketahui bahwa Kecamatan Tajur Halang berada jauh dari laut, sehingga profesi nelayan sepertinya kurang masuk diakal untuk penduduknya (Monografi Kecamatan Tajur Halang 2010).


(33)

Tabel 3 Mata pencaharian penduduk Kecamatan Tajur Halang pada tahun 2010

Mata pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)

Petani pemilik tanah 10.409 35,64

Petani penggarap tanah 3.195 10,94

Buruh tani 2.549 8,73

Nelayan 432 1,48

Pengusaha 735 2,52

Pengrajin 549 1,88

Pedagang 4.302 14,73

Jasa 3.215 11,01

Pegawai negeri sipil 2.278 7,80

TNI / POLRI 1.539 5,27

Total 29.203 100,00

Sumber: Data Monografi Kecamatan Tajur Halang, 2010. 4.5 Infrastruktur Transportasi dan Komunikasi

Keberadaan sarana transportasi dan komunikasi memiliki peranan penting dalam mendukung perkembangan usaha dan roda perekonomian di suatu wilayah. Transportasi dan komunikasi yang baik akan memperlancar arus keluar masuk barang dari suatu wilayah dan secara langsung akan mempengaruhi perluasan akses pasar oleh pelaku usaha.

Total panjang jalan di Kecamatan Tajur Halang pada tahun 2010 adalah sebesar 119 km, dengan panjang jalan teraspal sebesar 29,5 km. Status jalan di Kecamatan Tajur Halang adalah sepanjang 25,40 km merupakan jalan kabupaten, dan sepanjang 93,6 km merupakan jalan desa. Kondisi jalan teraspal diantaranya, sebesar 19,5 km baik, dan sebesar 10 km rusak. Kondisi jalan desa diantaranya, sebesar 33,6 km baik, dan sebesar 60 km rusak. Jumlah jembatan yang ada di Kecamatan Tajur Halang adalah sebanyak 18 unit, dengan kondisi jembatan 12 unit dalam keadaan baik, dan 6 unit dalam keadaan sedang (Monografi Kecamatan Tajur Halang 2010).

Walau telah didukung oleh panjang jalan dan kondisi jalan yang terus meningkat, akan tetapi masyarakat terutama penduduk yang bertempat tinggal dan berusaha pada daerah yang jauh dari pusat ekonomi masih merasakan hambatan transportasi. Hal ini disebabkan karena terbatasnya sarana dan trayek angkutan umum maupun angkutan barang untuk daerah-daerah yang jauh dari pusat


(34)

pemerintahan. Masalah tersebut terutama dirasakan oleh penduduk di Desa Citayam dan Sasakpanjang.

Selain infrastruktur transportasi darat, infrastruktur komunikasi juga memliki peran yang tidak kalah penting dalam mendukung pengembangan wilayah. Pelayanan telekomunikasi di Kecamatan Tajur Halang dikelola oleh Kantor Pelayanan PT.Telkom Tbk. Cabang Bogor, serta didukung pula oleh beberapa perusahaan penyedia layanan telepon seluler yang telah menjangkau seluruh wilayah Kecamatan Tajur Halang.

4.6 Karakteristik Rumah Tangga Responden

Total jumlah responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 30 responden, yang terbagi ke dalam kelompok petani pemilik lahan sebanyak 19 responden dan buruh tani sebanyak 11 responden. Karakteristik rumah tangga responden dalam penelitian ini dikelompokan berdasarkan umur, dan pendidikan.

4.6.1 Umur

Faktor umur secara bersama-sama dengan faktor keahlian dan tingkat pengetahuan akan mempengaruhi produktivitas kerja seseorang. Demikian pula halnya pada pengelolaan hutan rakyat atau budidaya pertanian lain pada umumnya. Kekuatan fisik akan sangat dipengaruhi oleh umur karena pada batas usia tertentu kekuatan fisik seseorang akan semakin menurun.

Hasil penelitian menunjukan bahwa secara komulatif, rata-rata umur seluruh petani responden pada lokasi penelitian adalah 49,67 tahun dengan kisaran umur 33-82 tahun. Informasi di atas dapat digunakan sebagai indikasi awal untuk menyatakan bahwa di lokasi penelitian, usaha tani hutan rakyat cenderung diusahakan oleh petani-petani berusia tua. Indikasi awal tersebut dapat diperkuat oleh data distribusi kelompok umur responden petani hutan rakyat pada Tabel 4.


(35)

Tabel 4 Distribusi kelompok umur responden petani hutan rakyat Kelompok

umur (tahun)

Lokasi desa (orang) Jumlah

(orang)

Frekwensi (%)

Citayam Sasak

panjang Kali suren Tajur halang Sukma jaya

30 - 34 1 0 0 0 1 2 6,67

35 - 39 1 1 0 1 0 3 10,00

40 - 44 1 0 2 1 0 4 13,33

45 - 49 2 1 1 1 0 5 16,67

50 - 54 0 1 3 2 1 7 23,33

≥ 55 0 2 0 4 3 9 30,00

Jumlah 5 5 6 9 5 30 100,00

Tabel 4 menunjukkan bahwa pada 5 desa contoh sangat jarang dijumpai petani hutan rakyat yang berusia muda. Hanya sebesar 6,67% responden yang mengusahakan hutan rakyat berada pada rentang usia 30-34 tahun, dimana di sisi lain sebesar 30,00% berada pada rentang umur di atas usia produktif (≥ 55 tahun). Informasi tersebut dapat menggambarkan bahwa usaha tani hutan rakyat kurang menarik untuk diusahakan bagi petani dan penduduk berusia muda. Penduduk usia muda lebih tertarik kepada dunia kerja sebagai buruh pabrik, karyawan swasta, dan pegawai negeri sipil. Gengsi dan pikiran bahwa usaha tani tidak memberikan hasil yang besar adalah penyebab penduduk usia muda enggan untuk berusaha di bidang pertanian. Pekerjaan dalam dunia manufaktur lebih menarik penduduk usia muda di Kecamatan Tajur Halang, harapan mereka adalah dengan bekerja sebagai buruh pabrik akan mendapatkan hasil yang lebih besar dan berkelanjutan setiap bulannya.

Berbeda dengan kelompok usia muda, penduduk pada kelompok usia tua menunjukan etos kerja yang lebih tinggi dalam mengusahakan hutan rakyat dan memiliki keinginan yang kuat untuk terus mengelola hutan rakyat yang dimilikinya dengan alasan, yaitu:

1. Keterbatasan fisik. Usia yang lanjut membatasi kemampuan fisik untuk berusaha pada bidang-bidang usaha yang memerlukan curahan kerja tinggi. Mengusahakan hutan rakyat hanya membutuhkan curahan kerja yang kecil. Dengan mengusahakan hutan rakyat, curahan kerja lebih banyak terpusat hanya pada tahun pertama dan tahun kedua.


(36)

2. Harta waris. Penduduk usia tua masih menganggap kayu sebagai harta warisan dengan nilai tinggi kepada anak dan cucu. Penduduk usia tua tidak mengharapkan hasil hutan rakyat yang besar di akhir produksi untuk dinikmati oleh dirinya sendiri, melainkan lebih ditujukan sebagai tabungan atau untuk dinikmati oleh anak dan cucu.

4.6.2 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan akan mempengaruhi prilaku, pola pikir dan respon masyarakat terhadap suatu informasi dan perubahan. Sebanyak 90% petani responden di lokasi penelitian pernah mengenyam pendidikan formal. Secara komulatif, rata-rata responden mengenyam pendidikan formal sampai dengan jenjang SD, yaitu sebanyak 23 orang atau sebesar 76,67% dari total petani responden memiliki tingkat pendidikan SD, 4 orang atau sebesar 13,33% dari total petani responden memiliki tingkat pendidikan SMP, dan sebanyak 3 orang atau sebesar 10% dari total petani responden tidak mengenyam pendidikan formal sama sekali.

Informasi ini menunjukan bahwa kebanyakan responden tidak menyelesaikan program wajib belajar 9 tahun. Hal tersebut dapat dipahami karena beberapa faktor, yaitu: (1) kondisi ekonomi keluarga yang tidak mendukung untuk melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, ketika responden berada pada usia sekolah, (2) kurang tersedianya sarana pendidikan ketika responden berada pada usia sekolah serta adanya faktor pembatas berupa jarak yang jauh untuk mencapai sarana pendidikan yang ada, dan (3) ketika pada usia sekolah, waktu responden lebih banyak dicurahkan untuk membantu orang tua di sawah maupun ladang.

Hal ini dapat dijadikan indikasi awal bahwa tingkat pendidikan responden memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap keputusan responden dalam mengusahakan atau tidak mengusahakan hutan rakyat. Terlihat bahwa mayoritas petani hutan rakyat hanya memiliki tingkat pendidikan yang rendah (dibawah 9 tahun), sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan yang rendah mempengaruhi keputusan petani untuk mengusahakan hutan rakyat. Tingkat pendidikan yang rendah akan mempengaruhi prilaku, pola pikir dan respon petani 23


(37)

yang sederhana. Menurut petani usaha hutan rakyat dapat memberikan keuntungan yang besar, dapat dijadikan tabungan, dan dapat dijadikan penanda kepemilikan lahan. Petani yang mayoritas adalah petani palawija berpikir jika hasil penjualan kayu pada hutan rakyat jauh lebih besar ketimbang hasil penjualan palawija mereka, hal inilah yang mejadi dasar pemikiran mereka bahwa usaha hutan rakyat memberikan keuntungan yang besar.


(38)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penguasaan Lahan Hutan Rakyat

Petani memberi batasan yang jelas tentang lokasi membudidayakan tanaman keras. Petani hanya menanam tanaman keras pada lahan-lahan kering dan lahan yang sudah tidak digunakan. Sementara itu petani juga memiliki lahan lainnya dan cenderung lebih luas dibanding lahan hutan rakyatnya, yang digunakan untuk membudidayakan tanaman pertanian sebagai sumber penghasilan utama. Hal ini terjadi karena cukup luasnya lahan yang dimiliki oleh petani, dan petani lebih memprioritaskan tanaman pertanian sebagai sumber penghasilan utama mereka.

5.1.1 Asal-usul Lahan Hutan Rakyat

Mayoritas lahan hutan rakyat yang dikuasai oleh petani di lokasi penelitian merupakan lahan milik yang diwariskan oleh orang tua mereka. Sebagian responden (50%) menguasai lahan hutan rakyat yang berasal dari warisan orang tua, dan selebihnya berasal dari pembelian lahan (30%), dan pembukaan lahan terlantar (20%). Temuan tersebut dapat menjadi indikasi bahwa usaha tani hutan rakyat di Kecamatan Tajur Halang pada umumnya merupakan usaha yang dilakukan di lahan milik sendiri baik yang didapat dari warisan ataupun dengan membelinya. Tujuannya adalah agar ada kepastian usaha hutan rakyat yang dilakukannya legal secara hukum. Lahan terlantar yang digunakan oleh petani adalah lahan milik pemerintah yang dulunya merupakan kebun karet milik pemerintah. Pada tahun 2000 kebun karet tersebut dibersihkan sehingga menjadi lahan kosong yang terlantar. Lahan kosong ini milik pemerintah, namun tidak ada kesepakatan antara pemerintah dengan warga perihal pemanfaatan lahannya. Warga menggarap lahan kosong tersebut secara diam-diam tanpa status yang sah dari pemerintah. Menurut petani pada tahun 2001 warga diperbolehkan untuk menggarap lahan kosong tersebut, namun belakangan warga dilarang untuk membuka lahan baru. Petani yang membuka lahan terlantar (20%) adalah petani yang telah membuka lahan tersebut dari tahun 2001 silam, dengan adanya


(39)

pelarangan membuka lahan kosong tersebut sehingga status petani tersebut adalah menggarap secara tidak sah (diam-diam).

Tabel 5 Asal-usul lahan hutan rakyat responden Desa

Asal lahan hutan rakyat

Warisan Beli Lahan terlantar

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Citayam 2 13,33 3 33,33 0 0,00

Sasakpanjang 1 6,67 2 22,22 2 33,33

Kalisuren 3 20,00 2 22,22 1 16,67

Tajurhalang 6 40,00 2 22,22 1 16,67

Sukmajaya 3 20,00 0 0,00 2 33,33

Jumlah 15 100,00 9 100,00 6 100,00

Sistem pewarisan harta dan lahan hutan rakyat di lokasi penelitian didasarkan pada sistem pewarisan harta waris dalam Islam. Keturunan atau anak laki-laki mendapatkan bagian waris yang lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan. Menurut Wolf (1983) dari sudut pandang antropologis, sistem tersebut dapat dikategorikan sebagai sistem waris partible inheritance yaitu sistem waris yang memecah-mecah harta waris yang ada (rumah, tanah, dan hak atas hasilnya), sehingga setiap hak waris menerima sumberdaya yang lebih kecil daripada sumberdaya yang dikelola oleh kepala rumah tangga yang lama. Lebih lanjut, Wolf (1983) menyatakan bahwa sistem tersebut dapat menjadi faktor ancaman jika ditinjau dari sudut keberlangsungan usaha tani, karena suatu usaha tani akan memiliki keberlanjutan usaha yang tinggi apabila didukung oleh kombinasi antara penguasaan lahan tegalan, tempat mengembalakan ternak, tanah hutan, dan tanah garapan. Tentunya teori tersebut tidak bisa seutuhnya diadopsi untuk menentukan tingkat keberlanjutan suatu usaha tani, karena keberlanjutan suatu usaha tani dapat pula ditinjau dari sisi kelayakan usaha tani tersebut secara finansial.

5.1.2 Luas Lahan Hutan Rakyat

Pengusahaan hutan rakyat yang dapat digolongkan sebagai hutan, yaitu berdasarkan ukuran luasan lahan minimal 0.25 ha berdasarkan Kepmenhut Nomor. 49/Kpts-II/1997. Hutan rakyat di Kecamatan Tajur Halang, khususnya di lokasi penelitian menunjukan ciri luasan yang lebih besar. Rata-rata luas 26


(40)

penguasaan lahan hutan rakyat di lokasi penelitian adalah sebesar 0.64 ha dengan kisaran 0,025-4 ha. Mayoritas lahan milik petani (70%) tidak memenuhi persyaratan hutan rakyat dari sisi luasan seperti yang dinyatakan dalam Kepmenhut Nomor. 49/Kpts-II/1997 tentang pendanaan dan usaha hutan rakyat. Temuan tersebut dapat juga digunakan untuk mengkritisi standar luasan minimum hutan rakyat yang dinyatakan dalam Kepmenhut Nomor. 49/Kpts-II/1997. Hal tersebut berarti bahwa standar luasan dalam definisi hutan rakyat tidak dapat dipatok dalam nilai tertentu karena standar luasan lebih bersifat spesifik terhadap lokasi dimana hutan rakyat tersebut dikembangkan.

Rata-rata penguasaan lahan hutan rakyat terbesar tercatat di Desa Sukmajaya sebesar 1.23 ha, sedangkan rata-rata terendah tercatat di Desa Kalisuren yaitu sebesar 0.29 ha. Rendahnya pengetahuan responden tentang teknik pengolahan lahan kering, serta persepsi tentang tingginya biaya yang harus disediakan jika mengusahakannya secara intensif menyebabkan mereka lebih memilih untuk memanfaatkan lahan-lahan tersebut dengan jalan menanaminya dengan tanaman keras berkayu. Responden menganggap menanam tanaman keras berkayu merupakan cara termudah dan termurah dalam memanfaatkan lahannya. Mereka hanya perlu menggali lubang tanam, serta menanam dan memanen hasil pada akhir daur produksi.

Tabel 6 Luas penguasaan lahan responden petani hutan rakyat Desa Luas lahan hutan

rakyat (ha)

Frekwensi (%)

Rata-rata luas lahan hutan rakyat (ha)

Citayam 1,55 8,14 0,31

Sasakpanjang 3,85 20,16 0,77

Kalisuren 1,74 9,11 0,29

Tajurhalang 5,78 30,28 0,64

Sukmajaya 6,16 32,30 1,23

Jumlah 19,07 100,00 3,24

5.2 Pengetahuan Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat

Petani menyebut lahan hutan rakyat dengan nama kebon, dan sesuai dengan nama jenis tanaman pokok yang ditanam. Kebon jenjing untuk hutan rakyat yang jenis tanaman pokoknya sengon, kebon jati untuk jenis tanaman pokok jati, dan kebon mahoni untuk jenis tanaman pokok mahoni. Kebon yang ada di Kecamatan 27


(41)

Tajur Halang dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kebon campuran dan kebon monokultur. Kebon campuran adalah hutan rakyat yang ditanami dengan berbagai jenis tanaman, misalnya suatu kebon jenjing dengan jenis tanaman pokok sengon dan tanaman tumpangsarinya berupa ketela, pisang, ubi jalar, jagung, kacang tanah, dsb. Kebon campuran lainnya menggabungkan beberapa jenis tanaman pokok dalam satu lahan, misalnya sengon dan jati, sengon dan mahoni, atau sengon, mahoni dan jati. Kebon monokultur adalah kebon dengan satu jenis tanaman pokok saja, misalnya satu lahan hanya digunakan untuk menanam pohon sengon saja. Jenis hutan rakyat akan disajikan pada Gambar 3.

A B

C D

Gambar 3 Jenis hutan rakyat. Ket: (A) Hutan rakyat monokultur sengon umur 1,5 tahun; (B) Hutan rakyat monokultur jati umur 6 tahun; (C) Hutan rakyat campuran jati, sengon dan mahoni; (D) Hutan rakyat agroforestry.


(42)

Petani lebih banyak menggunakan sistem kebon monokultur karena sebagian besar petani telah memiliki lahan lainnya yang digunakan untuk lahan pertanian palawija. Pertanian palawija sebagai pemasukan utama petani dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menurut petani dengan menggunakan sistem kebon monokultur petani dapat lebih fokus dalam memelihara hutan rakyatnya.

Berikut ini adalah pengelolaan hutan rakyat yang dilihat dari tahapan kegiatan yang masuk dalam sub-tema budaya pengelolaan hutan rakyat, yaitu pemilihan jenis, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan.

5.2.1 Pemilihan jenis

Kegiatan pemilihan jenis diperlukan untuk menentukan jenis tanaman pokok yang bernilai ekonomis tinggi. Tindakan yang dilakukan dalam pemilihan jenis adalah kegiatan survei jenis kayu yang diminati konsumen, pengamatan jenis pohon yang cocok dengan kondisi lahan, survei harga kayu dan waktu panen jenis pohon, serta mempelajari teknologi penanaman jenis pohon.

Kegiatan survei jenis kayu yang diminati konsumen dilakukan dengan bertanya kepada pedagang kayu rakyat mengenai kayu dari jenis pohon apa yang paling diminati oleh konsumen. Petani juga mendatangi tempat pengusaha meubel mengenai kayu yang paling dibutuhkan oleh pengusaha meubel tersebut. Hal ini dilakukan agar kayu yang dihasilkan mudah dijual, karena petani menginginkan kepastian penjualan kayu yang dihasilkan dari lahan hutan rakyatnya.

Kayu yang diminati konsumen adalah kayu yang harganya murah dan memiliki kualitas yang cukup baik. Masyarakat Kecamatan Tajur Halang memfavoritkan kayu sengon yang terbilang murah dan memiliki kualitas yang cukup baik. Kayu sengon digunakan sebagai bahan pembuatan meubel dan kayu konstruksi. Oleh karena itu banyak petani yang memilih sengon sebagai tanaman pokoknya. Petani yang mengincar segmen pasar menengah keatas lebih memilih jati sebagai tanaman pokoknya. Kayu jati menjadi incaran masyarakat golongan menengah keatas sebagai kayu konstruksi dan bahan pembuatan meubel.

Survei jenis kayu yang diminati konsumen merupakan tindakan yang dilakukan petani berdasarkan pengetahuan mereka dalam bidang ekonomi. Petani harus bertindak untuk meminimalisir kerugian, dengan menyurvei kayu yang 29


(43)

diminati konsumen ini petani telah mencegah kemungkinan tidak lakunya hasil produksi kayu mereka. Kayu yang diminati konsumen akan mudah terjual dan memiliki kepastian penjualannya dibandingkan kayu yang tidak favorit. Menurut Indriyanto (2008) pemilihan jenis pohon yang akan ditanam harus memenuhi persyaratan ekonomi, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan nilai jenis pohon itu sendiri, misalnya kualitas kayu sesuai dengan tujuan penggunaannya, riap pohon atau laju pertumbuhan pohon, dan kayunya atau hasil nir kayu lainnya laku di pasaran.

Kegiatan pengamatan jenis pohon yang cocok dengan kondisi lahan dilakukan dengan menanam beberapa bibit (biasanya 2 – 3 bibit) dari jenis tanaman pokok yang ingin diusahakan. Bibit ditanam selama ± 2 bulan untuk melakukan pengamatan apakah bibit dapat tumbuh dengan baik atau tidak, menurut petani waktu dua bulan sudah cukup untuk melihat kecocokkan jenis pohon tersebut dengan lahan. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerugian akibat bibit yang tidak tumbuh dengan optimal, ataupun kematian bibit. Jenis pohon yang cocok dengan kondisi lahan memiliki ciri-ciri; tampak segar, daun hijau, tidak kerdil, dan pertumbuhan cepat.

Kecocokkan jenis pohon dengan kondisi lingkungan tidak terlepas dengan kecocokkan jenis pohon terhadap tanah. Jenis tanah dominan yang terdapat pada wilayah Kecamatan Tajur Halang adalah tanah jenis Latosol. Jenis pohon yang paling cocok dengan kondisi lingkungan Kecamatan Tajur Halang adalah pohon sengon (Paraserianthes falcataria). Sengon tumbuh pada berbagai jenis tanah, bahkan pada jenis tanah yang drainasenya jelek atau tanahnya tandus masih dapat tumbuh. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada jenis tanah Regosol, Alluvial dan Latosol. Tanah-tanah tersebut bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu dengan tingkat kemasaman agak masam sampai netral (Santoso 1992). Tinggi tempat terbaik pertumbuhan sengon pada 10 sampai 800 mdpl, tetapi dapat juga tumbuh sampai ketinggian 1.600 mdpl (Alrasjid 1973). Sementara itu wilayah Kecamatan Tajur Halang berada pada ketinggian 229 hingga 239 mdpl. Berdasarkan hal inilah sengon merupakan jenis pohon yang paling cocok untuk ditanam di Kecamatan Tajur Halang.


(44)

Setiap jenis pohon menghendaki persyaratan tumbuh yang berbeda-beda karena setiap jenis pohon memiliki tingkat toleransi berbeda terhadap kondisi tempat tumbuh. Jenis pohon yang cocok dengan kondisi lahan biasanya akan tumbuh dengan baik, dicirikan dengan daun yang berwarna hijau cerah (tidak layu), serta pertumbuhan tinggi pohon yang cepat. Jika jenis pohon tidak cocok dengan kondisi lahan dicirikan dengan daun yang berwarna hijau pucat (layu), serta pertumbuhan tinggi pohon yang lambat (kerdil). Tindakan pengamatan jenis pohon yang cocok dengan kondisi lahan merupakan pengetahuan petani dalam aspek ekologi. Petani mengetahui karakteristik lingkungan lahan hutan rakyatnya, dan melihat jenis pohon yang telah dikembangkan di daerah lain yang karakteristik lingkungannya mirip dengan milik petani, kemudian mencoba menanam beberapa bibit pohon tersebut di lahannya untuk melakukan pengamatan pertumbuhan jenis pohon tersebut. Menurut Indriyanto (2008) pemilihan jenis pohon yang sesuai dengan kondisi tempat tumbuh merupakan kunci keberhasilan program pemudaan hutan secara buatan. Dalam hal ini pemudaan hutan dalam pembangunan hutan rakyat.

Kegiatan survei harga kayu dan waktu panen dilakukan dengan menanyakan harga kayu dan waktu panen dari masing-masing jenis pohon kepada pedagang kayu rakyat atau pengusaha meubel dan kepada petani lainnya. Hal ini dilakukan untuk menyeleksi jenis pohon yang cocok dengan kebutuhan ekonomi petani. Memilih jenis pohon yang cocok dengan kebutuhan ekonomi dapat mengoptimalkan usaha hutan rakyat sebagai sumber penghasilan sesuai dengan kebutuhan petani.

Kebutuhan ekonomi adalah faktor internal kondisi keuangan petani tersebut, maksudnya adalah latar belakang ekonomi petani tersebut. Petani dengan latar belakang ekonomi yang mapan memiliki modal yang besar dan biasanya tidak membutuhkan uang dalam waktu dekat. Petani dengan karakteristik seperti ini akan memilih untuk menanam pohon jati yang membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan hasilnya, karena petani ini tidak membutuhkan uang dalam waktu yang dekat. Mereka justru akan menjadikan usaha hutan rakyatnya sebagai investasi masa depan, karena jati akan menghasilkan keuntungan yang besar. Sebaliknya petani dengan latar belakang ekonomi yang pas-pasan akan 31


(45)

membutuhkan uang dalam waktu dekat. Petani dengan karakteristik seperti ini akan memilih jenis pohon yang cepat waktu panennya. Petani ini biasanya akan memilih pohon sengon yang tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan hasilnya. Petani ini menjadikan usaha hutan rakyat mereka sebagai sumber penghasilan utama mereka. Inti dari tindakan ini adalah seberapa pentingkah arti hutan rakyat yang petani tanam dalam kehidupan ekonomi mereka, jika mereka membutuhkan uang dalam jangka waktu yang cepat maka mereka akan menanam jenis yang cepat tumbuh dan cepat panen, namun jika mereka bertujuan untuk menabung dalam jangka waktu yang lama, maka mereka akan memilih jenis yang masa panennya lama.

Kegiatan mempelajari teknologi penanaman jenis pohon yang dipilih dilakukan dengan belajar dari petani lainnya yang telah berhasil dalam usaha hutan rakyatnya. Hal ini dilakukan agar petani memiliki pengetahuan teknologi penanaman jenis pohon yang dipilihnya. Teknologi penanaman yang dimaksud adalah teknologi pemeliharaan yang tepat agar pohon dapat tumbuh dengan baik sehingga hasil yang didapat optimal.

Teknologi penanaman suatu jenis berbeda dengan jenis lainnya, misalnya penanaman pohon jati yang berbeda dengan jenis lainnya. Pohon jati memerlukan pemberian kapur pada lubang tanamnya sebelum bibit jati ditanam. Pemberian kapur diperlukan untuk memberikan sifat basa pada lubang tanam, karena pohon jati tidak dapat tumbuh pada tanah asam. Namun menurut petani pemberian kapur bertujuan untuk mencegah hama rayap, ini adalah pengetahuan yang tidak benar, karena pohon jati memiliki zat yang disebut tectoquinon yang berfungsi mencegah hama rayap pada kayu jati. Pohon jati juga memerlukan perlakuan khusus lainnya yaitu, pengawasan terhadap tindakan pencurian. Kayu jati yang berharga mahal kerap menjadi sasaran pencurian, oleh karena itu jika pohon jati telah memasuki masa panen, pengawasan dilakukan oleh petani untuk mencegah tindakan pencurian itu. Pengawasan yang dilakukan petani dengan menjaga secara langsung di lokasi tegakan jati miliknya, dan ada juga petani yang menggunakan hewan penjaga anjing.

Tindakan mempelajari teknologi penanaman jenis pohon merupakan tindakan yang dilakukan petani atas kesadaran bahwa dalam pemeliharaan pohon 32


(46)

harus benar-benar tepat agar pertumbuhan pohon menjadi optimal. Menurut Indriyanto (2008) pemilihan jenis pohon yang diketahui teknologi penanamannya masuk ke dalam persyaratan ekologi atau disebut dengan persyaratan tumbuh suatu jenis pohon, yaitu kesesuaian jenis pohon yang akan ditanam terhadap kondisi tempat tumbuh.

Setelah petani menentukan jenis pohon yang akan ditanam, kemudian petani memilih bibit yang akan ditanamnya. Bibit pohon didapatkan petani dengan cara membelinya di pedagang bibit. Bibit yang dibeli dipilih berdasarkan umur bibit, ukuran bibit, dan kondisi bibit. Umur bibit yang biasa dipilih petani berkisar antara 3–5 bulan, dengan alasan bahwa bibit yang berumur 3–5 bulan belum terlalu tua dan sudah cukup umur untuk ditanam. Tinggi bibit yang dipilih petani memiliki tinggi berkisar antara 30 cm–40 cm, dengan alasan bahwa bibit dengan tinggi tersebut jika ditanam langsung di tanah akan memiliki pertumbuhan yang cepat. Kondisi bibit yang dipilih petani adalah bibit yang masih segar dengan daun yang hijau serta tidak memiliki cabang.

Tidak ada peralatan yang digunakan dalam kegiatan pemilihan jenis ini, karena inti dari kegiatan pemilihan jenis ini hanyalah pertimbangan petani dalam menentukan jenis tanaman pokok yang akan diusahakannya. Kegiatan ini bukanlah kegiatan yang menggunakan peralatan untuk melakukannya.

Pemilihan jenis haruslah menjadi pertimbangan yang matang, begitu juga menurut Indriyanto (2008) yang mengatakan bahwa kesalahan pemilihan jenis baru diketahui dalam jangka waktu lama setelah mengalami kerugian waktu, tenaga, maupun biaya tinggi. Kegiatan pemilihan jenis yang dilakukan petani di Kecamatan Tajur Halang adalah sejalan dengan teori diatas. Pertimbangan yang dilakukan petani sudah memenuhi kriteria agar petani tidak mengalami kerugian waktu, tenaga, maupun biaya tinggi akibat kesalahan pemilihan jenis yang akan ditanamnya. Petani mempertimbangkan jenis tanaman pokok yang akan ditanamnya dengan matang yaitu dengan melakukan berbagai tindakan agar petani tidak mengalami kerugian waktu, tenaga, dan biaya tinggi.


(47)

5.2.2 Persiapan Lahan

Kegiatan persiapan lahan merupakan usaha petani dalam menyiapkan lokasi untuk kegiatan penanaman, agar lahan siap ditanami dan tanaman yang ditanam dapat tumbuh dengan baik. Persiapan lahan biasanya dilakukan pada pertengahan atau akhir musim kemarau, tujuannya adalah agar penanaman dapat dilakukan pada musim hujan. Tindakan yang dilakukan pada kegiatan persiapan lahan terdiri dari pembersihan lahan, pembuatan jarak tanam serta pemasangan ajir, pembuatan lubang tanam, dan pemupukan lubang tanam.

Kegiatan pembersihan lahan dilakukan dengan membersihkan lahan secara manual menggunakan parang dan sabit yang digunakan untuk memangkas semak, beberapa petani dengan modal besar menggunakan mesin pemotong rumput. Setelah permukaan tanah bersih dari semak, petani menggunakan cangkul untuk membersihkan rumput dan liana yang menjalar di permukaan tanah serta membersihkan akar-akar semak. Hal ini dilakukan agar pertumbuhan bibit pada masa awal penanaman menjadi optimal, tidak terganggu oleh gulma.

Peralatan yang digunakan pada kegiatan pembersihan lahan ini meliputi parang, sabit, golok, cangkul, keranjang rumput dan mesin pemotong rumput. Parang dan sabit digunakan untuk memangkas semak, alang-alang, dan rumput, petani bermodal besar menggunakan mesin pemotong rumput. Golok digunakan untuk memangkas semak yang berukuran besar serta memiliki batang yang keras. Cangkul digunakan untuk membersihkan tanah dari rumput-rumput dan liana yang menjalar di atas tanah, dan digunakan untuk membersihkan tanah dari sisa-sisa akar semak. Keranjang rumput digunakan untuk mengangkut rumput hasil pembersihan lahan.

Pada umumnya tindakan pembersihan lahan yang dilakukan petani didasarkan pada kesadaran petani bahwa gulma dapat berpengaruh negatif pada pertumbuhan bibit yang baru ditanam. Tindakan ini dilakukan petani berdasarkan pengetahuan petani dalam aspek ekologi, yaitu persyaratan tempat tumbuh yang mendukung pertumbuhan pohon. Metode pembersihan lahan yang dilakukan petani sejalan dengan yang dikatakan Indriyanto (2008), kegiatan pembersihan lahan mencakup membersihkan semak belukar, alang-alang, dan tumbuhan liar lainnya yang akan menjadi pesaing untuk tanaman hutan, serta membersihkan 34


(48)

sisa-sisa tumbuhan yang telah mati. Pembersihan lahan dilakukan secara fisik dengan parang, golok, cangkul, dan mesin pemotong rumput.

Kegiatan pembuatan jarak tanam serta pemasangan ajir dilakukan setelah lahan dibersihkan dengan menancapkan ajir pada jarak tanam yang direncanakan sebelumnya. Menurut petani, jarak tanam diperlukan agar dalam pemeliharaannya nanti menjadi mudah, jarak tanam pohon ditentukan dalam kegiatan perencanaan pengelolaan hutan. Jarak tanam tiap petani berbeda tergantung dari pola hutan rakyatnya, jarak tanam hutan rakyat murni (monokultur) berbeda dengan hutan rakyat agroforestry. Umumnya hutan rakyat murni memiliki jarak tanam antara 1 m x 1 m sampai 3 m x 3 m, sedangkan hutan rakyat agroforestry memiliki jarak tanam antara 3 m x 3 m sampai 5 m x 5 m. Pembuatan jarak tanam berbarengan dengan kegiatan pemasangan ajir, tujuan pemasangan ajir adalah sebagai penanda letak lubang tanam yang akan dibuat kemudian. Pemasangan ajir juga diperlukan agar bibit yang ditanam nantinya terlindung dari cacat kayu bengkok/melengkung, yang diakibatkan terpaan angin dan jatuhan air hujan pada awal pertumbuhan pohon.

Peralatan yang digunakan pada kegiatan ini adalah golok dan meteran. Golok digunakan untuk membuat ajir yang terbuat dari bambu atau ranting pohon, meteran digunakan untuk membuat jarak tanam.

Kegiatan pembuatan lubang tanam dilakukan pada titik-titik tempat ajir terpasang. Hal ini dilakukan agar lubang tanam dibuat berdasarkan jarak tanam yang telah dibuat yang ditandai dengan ajir. Pembuatan lubang tanam dilakukan untuk menanam bibit di dalam tanah agar pertumbuhan bibit menjadi baik. Lubang tanam yang dibuat berukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm (panjang 30 cm, lebar 30 cm, dan dalam 30 cm). Ukuran lubang tanam yang dibuat berdasarkan ukuran media tanam bibit yang ditanam pada plastik polybag.

Peralatan yang digunakan dalam kegiatan pembuatan lubang tanam ini adalah cangkul. Cangkul digunakan untuk menggali lubang pada lahan yang digunakan sebagai lubang tanam.

Pembuatan lubang tanam yang dilakukan petani berbeda dengan pembuatan lubang tanam menurut Indriyanto. Menurut Indriyanto (2008), lubang tanam sebaiknya dipersiapkan satu minggu sebelum penanaman. Ukuran lubang tanam 35


(49)

40 cm x 40 cm x 40 cm atau bergantung pada cara penanamannya. Lubang tanam jangan terlalu dalam atau terlalu dangkal. Waktu pembuatan lubang tanam yang dilakukan petani adalah saat petani telah selesai melakukan kegiatan pembersihan lahan pada pertengahan atau akhir musim kemarau, petani tidak menjadwalkan pembuatan lubang tanam satu minggu sebelum penanaman. Petani cenderung melakukan kegiatan persiapan lahan selanjutnya dengan segera tanpa menunda-nundanya. Ukuran lubang tanam yang dibuat petani juga berbeda dengan yang disarankan Indriyanto, karena ukuran lubang tanam yang dibuat petani sudah cukup memadai dengan ukuran media tanam bibit (polybag) untuk ditanam didalamnya.

Kegiatan pemupukan lubang tanam dilakukan petani dengan memberikan pupuk kompos, pupuk kandang, atau pupuk uradan sebanyak 1 cetok (± 100 gram) pada tiap lubang tanam yang ada. Menurut petani, tujuan dari pemupukan lubang tanam ini adalah agar bibit tidak kekurangan unsur hara pada awal penanaman. Pada awal penanaman akar bibit belum mampu menjelajah jauh untuk mencari sumber hara, maka dari itu pemupukan lubang tanam bertujuan agar unsur hara yang diperlukan bibit dapat dengan mudah terjangkau.

Pupuk yang digunakan adalah pupuk kompos, pupuk kandang, atau pupuk uradan. Pupuk kompos adalah sampah organik yang dipendam didalam tanah untuk jangka waktu tertentu (biasanya 1-2 minggu). Pupuk kandang adalah kotoran kambing beserta ampas-ampas sisa pakan kambing yang terdapat dibawah kandang kambing. Sedangkan pupuk uradan adalah pupuk yang terbuat dari sisa pembakaran semak belukar pada lahan (berupa abu dan arang semak belukar) dicampur dengan kapur dan kotoran kambing, dengan perbandingan 2 : 1 : 2. Ketiga jenis pupuk tersebut adalah pupuk yang dihasilkan dari fermentasi bahan-bahan organik, oleh karena itu memiliki sifat panas bagi tanaman. Maka lubang harus dibiarkan selama ±2 minggu, agar pupuk menjadi dingin sehingga aman bagi bibit yang akan ditanam.

Peralatan yang digunakan pada kegiatan pemupukan lubang tanam ini adalah cetok. Cetok digunakan untuk mengambil pupuk dan menaruhnya di lubang tanam, juga sebagai takaran pemberian pupuk.


(50)

Pemupukan lubang tanam yang dilakukan petani memiliki perbedaan dengan yang dikatakan Indriyanto (2008), jika ingin memberi pupuk, sebaiknya menggunakan pupuk kandang dan dimasukkan di dalam lubang tanam lebih kurang 1/3 bagian volume lubang tanam. Jumlah pupuk yang diberikan petani tidak sampai 1/3 bagian volume lubang tanam, yaitu hanya sebanyak 1 cetok (± 100 gram).

Pada umumnya kegiatan persiapan lahan yang dilakukan petani sudah sejalan dengan yang dikatakan oleh Baker et al. (1979); Smith (1986), persiapan areal tanam merupakan kegiatan untuk mempersiapkan tempat tumbuh sebaik mungkin terhadap bibit yang akan ditanam sehingga kegiatan itu juga disebut sebagai manipulasi faktor tempat tumbuh agar layak dan menguntungkan untuk pertumbuhan bibit yang ditanam. Hal inilah yang menjadi alasan utama petani melakukan persiapan lahan. Namun jenis kegiatan yang dilakukan petani berbeda dengan kegiatan yang dikatakan Masano (1998) dalam Indriyanto (2008) kegiatan persiapan lahan atau persiapan area tanam terdiri dari empat kegiatan yaitu pembersihan lahan, pengolahan lahan, pemasangan ajir, dan pembuatan lubang tanam. Kegiatan yang dilakukan petani meliputi pembersihan lahan, pembuatan jarak tanam serta pemasangan ajir, pembuatan lubang tanam, dan pemupukan lubang tanam. Petani tidak melakukan pengolahan lahan seperti yang dikatakan Masano, karena menurut petani pengolahan lahan hanya dilakukan untuk pertanian palawija. Pembangunan hutan rakyat tidak memerlukan pengolahan lahan karena tanaman yang ditanam adalah tanaman keras (pohon berkayu), sehingga akar yang dimilikinya juga keras dan dapat tumbuh pada tanah yang tidak diolah sekalipun.

5.2.3 Penanaman

Kegiatan penanaman biasanya dilakukan pada awal musim hujan, yaitu pada bulan September. Penanaman diperlukan agar bibit dapat tertanam di dalam tanah dan akar bibit dapat tumbuh dengan baik dan terlindung di dalam tanah. Tindakan yang dilakukan adalah penanaman pada musim hujan, dan pelepasan plastik polybag pada bibit.


(51)

Kegiatan penanaman pada musim hujan dapat memberikan air yang cukup pada masa awal pertumbuhan tanaman. Tujuannya adalah untuk menjamin harapan tumbuh bibit yang baru ditanam. Menurut petani, bibit yang baru ditanam sangat rentan sekali terhadap kekeringan karena akar bibit yang masih belum mampu menjelajah untuk mencari air jauh didalam tanah. Penanaman biasanya dilakukan pada awal musim hujan.

Peralatan yang digunakan pada kegiatan penanaman ini adalah cangkul. Cangkul digunakan untuk menutup lubang tanam setelah bibit diletakan didasar lubang. Tanah hasil galian lubang tanam diletakan disebelah lubang tanam, dan setelah bibit diletakkan dalam lubang, petani memasukan kembali tanah galian tadi.

Penanaman pada musim hujan dilakukan petani berdasarkan pengetahuan petani dalam aspek ekologi dan ekonomi. Aspek ekologi mempertimbangkan kondisi tempat tumbuh untuk kebaikan pertumbuhan tanaman. Musim hujan memberikan air yang melimpah kepada tanaman untuk pertumbuhannya. Aspek ekonomi mempertimbangkan biaya yang harus dikeluarkan dalam penanaman. Musim hujan dapat menghilangkan biaya penyiraman yang harus dikeluarkan petani karena air hujan tidak memerlukan biaya apapun. Sementara itu jika petani menanam pada musim kemarau, petani harus mengeluarkan biaya untuk melakukan penyiraman. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Indriyanto (2008), penanaman sebaiknya dilakukan pada musim hujan, agar bibit yang ditanam mendapat siraman air hujan. Jika tidak terjadi pergeseran musim hujan, idealnya penanaman dilakukan pada bulan November-Januari.

Kegiatan pelepasan plastik polybag pada bibit bertujuan agar akar bibit dapat tumbuh dengan leluasa. Petani tidak mempersiapkan bibit sendiri, melainkan membelinya dari penjual bibit. Bibit yang dibeli ini memiliki wadah yang terbuat dari bahan plastik (polybag), atau dikenal dengan istilah bibit pot. Pelepasan plastik polybag ini diperlukan agar daya jelajah akar bibit dapat menjangkau areal yang luas, tidak sebatas area di dalam plastik polybag saja. Walaupun lama kelamaan akar bibit dapat menembus plastik polybag, namun membutuhkan waktu yang lama dan dapat menghambat pertumbuhan bibit.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Alrasjid H. 1973. Beberapa keterangan tentang Albizzia falcataria (L) Fosberg. Laporan No. 157. Bogor: Lembaga Penelitian Hutan. Bogor.

Arafah N. 2002. Pengetahuan Lokal Suku Moronene dalam Sistem Pertanian Di Sulawesi Tenggara. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. http://e-material.perpustakaan.ipb.ac.id/tesis/files/tesis/2002/2002 nar.pdf [15 Juni 2011].

Baker FS, Daniel TW, Helms JA. 1979. Principles of Silviculture. New York: McGraw-Hill Inc. Book Co.

Cochran WG. 1991. Teknik Penarikan Sample. Edisi Ketiga. Rusdiansyah, penerjemah; Jakarta: UI. Terjemahan dari: Sampling Technique.

Darjadi L, Hardjono R. 1976. Sendi-sendi Silvikultur. Jakarta: Direktorat Jenderal Kehutanan. Departemen Pertanian.

Garnadi D. 2004. Pengetahuan, Sikap, Dan Tindakan Masyarakat Sekitar Hutan Terhadap Hutan (Kasus Di Hutan Pendidikan Dan Pelatihan Kehutanan Kadipaten, Kabupaten Majalengka) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. http://e-material.perpustakaan.ipb.ac.id/tesis/files/ tesis/2004/2004dga.pdf [5 Juni 2011].

Hakim N, Mohd Yusuf N, Lubis AM, Sutopo GN, Mohd Amin D, Hong GB, Bailey HH. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampung: Badan Penerbit Universitas Lampung.

Handoko AD. 2007. Sistem Pengelolaan Dan Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani (Kasus Di Kecamatan Jatirogo, Kabupaten Tuban, Provinsi Jawa Timur). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Hudin F. 2010. Pengetahuan Lokal Pada Pengelolaan Jati Dalam Pengembangan Hutan Rakyat : Kasus Di Masyarakat Desa Loji, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Herawati T. 2001. Pengembangan Sistem Pengambilan Keputusan Dengan Kriteria Ganda Dalam Penentuan Jenis Tanaman Hutan Rakyat. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. http://e-material. perpustakaan.ipb.ac.id/tesis/files/tesis/2001/2001the.pdf [22 Mei 2011]. Indriyanto. 2008. Pengantar Budi Daya Hutan. Jakarta: Bumi Aksara.

Iskandar. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial (Kuantitatif dan Kualitatif). Jakarta: Gaung Persada.

Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kosasih AS. 2002. Petunjuk Teknis Pemeliharaan dan Perlindungan Pada

Introduksi Jenis Pohon Hutan. Info Hutan No. 151. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.


(2)

Linton R. 1936. The Study of Man. New York: D. Appleton Century Company. Mangundikoro A, Arisman H. 1986. Pemilihan Jenis Pohon Hutan Tanaman

Industri. Jakarta: Sekretariat Pengendalian Pembangunan Hutan Tanaman Industri Departemen Kehutanan.

Marsono. 1997. Pupuk Akar Jenis dan Aplikasi. Bogor: Penebar Swadaya.

Masano. 1998. Teknik Penanaman Pterygota alata. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan.

Muhammad R. 2004. Sistem Pengelolaan Dan Manfaat Ekonomi Hutan Rakyat Di Cianjur Selatan : Kasus Di Kecamatan Cibinong Dan Sindangbarang. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Nurmaulana. 2005. Studi Pengambilan Keputusan Pemilihan Jenis Tanaman Dan Pola Tanam Di Hutan Rakyat (Studi Kasus pada Petani Hutan Rakyat di Desa Kalisari, Kecamatan Buayan, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Patton MQ. 1990. Qualitative Evaluation and Research Methods. 2nd.ed.

California: Sage Pub.

Santoso HB. 1992. Budidaya Sengon. Yogyakarta: Kanisius.

Sari S. 2010. Analisis Finansial Pembangunan Hutan Rakyat Karet Di Desa Bunga Raya, Kabupaten Siak, Propinsi Riau. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Smith DM. 1986. The Practice of Silviculture. New York: John Wiley and Sons. Soehartono I. 1999. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang

Kesejahtraan Sosial dan ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Soekanto S. 2001. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali.

Sumedi N. 2000. Mengelola Hutan Rakyat (Silvikultural-Pemasaran): Belajar Dari Pengalaman. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan.

Sunaryo dan Joshi, Laxman. 2003. Peranan Pengetahuan Ekologi dalam Sistem Agroforestri. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office.

Widianingsih NN. 2008. Hubungan Aspek Sosial-Ekonomi dan Silvikultur dengan Harga Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) Rakyat Di Tingkat Petani. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Wijiadi I. 2007. Analisis Ekonomi, Ekologi, dan Sosial Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat (Kasus di Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Provinsi DI Yogyakarta). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Windawati N. 2005. Tinjauan Tentang Pola Tanam Hutan Rakyat. Bogor: Pusat Litbang Hutan Tanaman. Departemen Kehutanan.


(3)

Wolf ER. 1983. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Sudarmanto M, penerjemah; Jakarta: Rajawali. Terjemahan dari: Peasants.


(4)

(5)

Lampiran 1. Dokumentasi Hutan Rakyat Monokultur

Hutan rakyat monokultur sengon umur 9 bulan

Hutan rakyat monokultur sengon umur 4 tahun

Hutan rakyat monokultur jati umur 4 tahun


(6)

Hutan rakyat monokultur mahoni umur 4 bulan

Lampiran 2. Dokumentasi Hutan Rakyat Campuran