Peranan KUA dalam menanggulangi pernikahan dini di Desa Pasarean Kec Pamijahan Kabupaten Bogor

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

DADE AHMAD NASRULLAH

NIM : 2080441000020

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1435 H/2014 M


(2)

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh

DADE AHMAD NASRULLAH

NIM:

208044100020

Di Bawah Bimbingan

NIP. 195510151979031002

PRO GRAM STUDI AHWAL AL.SYAKHSHIYYAH

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

Kabupaten Bogor,, telah diaj'kan datam Sidang Mtmaqosah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif tfidayatullah Jakada pada tanggal 26 Novemeber 2014. Slaipsi ini telah diterima

sebagai salah satu syarat

untuk mempwleil gdar Sar3ana Program Strata Satu (Sl)

pada pada program st'di

awal syakhsiydh konsentasi peradilan agama

Jakart4 26 Desember2}l4 Mengesahkan

PANITI-A UJIAN

t.

Ketua

2-

Sekretaris a

J. Pembimbing

:

Dr. Djawahir Hejaniey, SH.,MA-,MH

NIP. 1 955 I 015t97903t}02

4. Penguji I

:Ismail Hasani, SH., MH NIP. 19771 2172007 rc10002

:A,fiilan Faizin, MA

NIP. 150,{41276

'tt/

''

hL

/-/

/vz'-OrF.fPf

Muslimin, M.A., ph.D.

NS: 196812ttssgl3tlt4

:

Dr. Euis Amah4 M.Ag

NIP. 1971070n98031002

:

Mufidalu SHI


(4)

iv

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Stara Satu (S 1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 1 Oktober 2014


(5)

v

Jakarta, 1435 H/2014 M.

Banyak kasus-kasus pernikahan anak perempuan di bawah umur yang terjadi di Indonesia terutama di pedesaan. Pernikahan anak di bawah umur sering kali terjadi atas karena beberapa faktor, misalnya karena faktor ekonomi yang mendesak (kemiskinan). Hanya saja, upaya pemerintah (KUA) tersebut dalam mencegah pernikahan dini menjadi relatif kurang efektif oleh karena adanya perbedaan makna pernikahan dini dalam sudut pandang agama dan Negara, penilaian masyarakat terhadap pernikahan dini dan juga oleh karena mulai memudarnya sakralitas lembaga perkawinan..

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian yaitu deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, dokumentasi dan wawancara. Sedangkan data sekunder berupa buku-buku, kitab-kitab, dan karya tulis ilmiah. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan analisis deduktif.

Dari penelitian yang dilakukan ada dua hal terkait dalam penelitian ini.

Pertama, deskripsi mengenai pernikahan dini di desa Pasarean dan faktor-faktor penyebabnya. Hasilnya ada 33 pelaku pernikahan dini yang tersebar dalam 33 RT desa Pasarean, pelaku yang tidak tamat SD berjumlah 3 pasangan, SD/MI berjumlah 13 pasangan dan SMP/MTS berjumlah 17. Selain itu, dari 33 pasangan pelaku pernikahan dini ada 2 pasangan yang menikah dini oleh karena sudah ada jodohnya / dijodohkan, dan selebihnya 31 pasangan menikah dini oleh karena alasan ekonomi (menghilangkan beban ekonomi keluarga).

Kedua, sejauhmana efektivitas peranan KUA terkait dengan usahanya menanggulangi pernikahan dini di desa Pasarean kecamatan Pamijahan kabupaten Bogor. Hasilnya KUA kecamatan Pamijahan dalam hal ini penghulu telah mengadakan sosialisasi mengenai pentingnya menikah sesuai umur yang telah ditentukan Undang-Undang saat sebelum akad nikah (khutbah nikah) atau oleh amil desa melalui pengajian-pengajian dan peringatan hari-hari besar keagamaan (bila diundang) dalam rangka menanggulangi pernikahan dini di Pasarean, meskipun tidak efektif oleh karena hal tersebut dilakukan tidak secara terprogram (secara berkala).

Kata kunci : Kantor Urusan Agama, Pernikahan dini Pembimbing : Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH. Daftar pustaka : Tahun 1975 s.d Tahun 2010


(6)

vi

pantas dipuji dan hanya Dialah yang pantas disembah, kepada-Nya pula hamba memohon pertolongan, sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.

Shalawat serta salam kepada ‘’legislator’’yang tidak ada tandingannya,

membuat hukum dengan kemaslahatan yang mengelilinginya, menegakkan hukum dengan penuh kebersihan akal dan jiwa sehingga setiap keputusan sesuai tidak ada yang menentangnya. Semoga shalawat serta salam menolong hamba pada saat penghakiman di akhirat kelak, serta memberikan atsar semangat dan keteguhan dalam perjuangan penulis dalam penegakan hukum di kehidupan sehari-hari hamba.

Penulis sangat berterimakasih kepada kedua orang tua, dan seruruh keluarga penulis yang telah mendidik dari kecil sampai sekarang. Mudah-mudahan Allah SWT melindungi dan memberikan keberkahan kepada kita sekeluarga. Amin.

Tidak lupa, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada orang-orang yang turut mempengaruhi hamba dalam mendewasakan penulis, yang terhormat:

1. Dr. H. JM. Muslimin, MA, Dekan fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Ketua Program Studi Ahwal Sakhsiyyah sekaligus sebagai pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penulisan Skripsi ini. Ibu Rusdiana, MA., Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah;

3. Muhfidah, SHI yang terus rela untuk kami sibukkan dalam setiap pengurusan administrasi, hingga selesai penulisan skripsi ini.

4. Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH Sebagai Pembimbing Skripsi, terimakasih tak terhingga atas masukan dan dukungannya dalam penulisan skripsi ini.

5. Kakanda Nunung Siti Nurillah - Moh Zaziri, Adinda Abdul Hadi, Aden Abdul Malik, keponakanku Hana Ziyadatul Syibil dan Muhamad al-Ghifari serta teman-teman kelas yang telah turut mensupport penulis sampai penulisan skripsi ini selesai ditulis.

Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada seruruh pihak yang tidak dapat penulis tuliskan, semoga doa dan harapan kita semua dikabulkan-Nya, Amin

Jakarta, 1 Oktober 2014 Penulis


(7)

vii

HALAMAN JUDUL ...

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI………...

LEMBAR PERNYATAAN...

ABSTRAK ………..

KATA PENGANTAR…....……….

DAFTAR ISI...

DAFTAR TABEL………..

DAFTAR BAGAN ………..

DAFTAR LAMPIRAN……….

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... B. Identifikasi Masalah ... C. Pembatasan Masalah ... D. Perumusan Masalah... E. Tujuan dan Manfaat Penelitian... F. Review Studi Terdahulu ... G. Metodologi Penelitian dan Penulisan... H. Sistematika Penulisan ...

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERNIKAHAN DINI DAN KANTOR URUSAN AGAMA

A. Landasan Teori ... 1. Pernikahan Dini ...

2. Kantor Urusan Agama ………

i ii iii iv v vi vii ix x xi 1 10 11 11 12 13 15 17 19 19 36


(8)

viii

BAB III GAMBARAN UMUM MENGENAI KUA KECAMATAN PAMIJAHAN DAN DESA PASAREAN ... A. KUA Kecamatan Pamijahan... B. Desa Pasarean... ...

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Hasil Penelitian... B. Analisa Teoritis Tentang Peranan KUA Kecamatan Pamijahan

dalam Menanggulangi Pernikahan Dini di Desa Pasarean……

C. Perspektif Peranan Pendidikan dalam Menanggulangi Pernikahan Dini di Desa Pasarean...

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... B. Saran ...

DAFTAR PUSTAKA ...

51 64

76

85

86

87 87 89


(9)

ix

Tabel 3.2 Statistik Nikah dan Rujuk KUA Pamijahan……… Tabel 3.3 Batas Wilayah Desa Pasarean ... Tabel 3.4 Data Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin………. Tabel 3.5 Tingkat Pendidikan Warga Desa Pasarean ... Tabel 3.6 Data Sarana Pendidikan ...

Tabel 3.7 Agama Penduduk… ……….

Tabel 3.8 Mata Pencaharian Penduduk... Tabel 3.9 Data Pernikahan Desa Pasarean……... Tabel 4.1 Data Pelaku Pernikahan Dini Desa Pasarean……..

62 63 64 64 65 65 66 73 74


(10)

x

Bagan 3.2 Proses Pencatatan Nikah……… Bagan 3.3 Struktur Organisasi Desa Pasarean………

60 67


(11)

xi

Lampiran 2 Surat Keterangan Penelitian dari KUA Kecamatan Pamijahan Lampiran 3 Surat Keterangan Penelitian dari Desa Pasarean

Lampiran 4 Wawancara dengan Mamat Sudrajat (Kepala KUA Kecamatan Pamijahan

Lampiran 5 Wawancara dengan Ujang Hidayatullah (Amil Desa Pasarean) Lampiran 6 Wawancara dengan Pelaku Pernikahan Dini Desa Pasarean


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata “nikah” diartikan sebagai (1) perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi); (2) perkawinan. Al-Quran menggunakan kata ini untuk makna tersebut, selain itu kata nikah juga digunakan untuk arti berhimpun, dan secara majazi diartikan dengan

“hubungan seks.” Secara umum Al-Quran hanya menggunakan kata ini untuk menggambarkan terjalinnya hubungan suami istri secara sah.1 Dengan demikian, bukanlah sebuah pernikahan bila tidak ada jalinan hubungan suami-istri dan bukanlah pernikahan, bila jalinan tersebut dilakukan secara tidak sah (resmi).

Pernikahan disebut juga dengan perkawinan, yakni akad yang ditetapkan

syara‟ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkannya.2 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 bab 2, pasal 2

menjelaskan bahwa “perkawinan menurut islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”3

1

Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1996), h. 191

2

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. Ke-3, Edisi Pertama, h. 8

3

Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam, (Bandung, FOKUSMEDIA, 2007), Cet. Ke-2, h. 7


(13)

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa pernikahan itu bukanlah hubungan suami-istrinya, akan tetapi akadnya (perjanjian) yang membuat perbuatan yang sebelumnya diharamkan bagi pria dan wanita menjadi dihalalkan, yang menyebabkan hubungan suami-isterinya menjadi sah (resmi). Oleh karena itu bukanlah pernikahan bila tanpa akad. Selain itu dapat dipahami juga bahwa pernikahan dilakukan semata oleh karena mentaati perintah Allah dan untuk ibadah, bukan semata karena dorongan kebutuhan biologis atau lainnya.

Maka dari itu, sekali nikah apapun konsekwensinya menjadi tanggung jawab bersama dan dikomunikasikan bersama, tidak boleh menentukan segala sesuatu secara emosional yang berujung pada perceraian, kita harus mengingat kembali pada saat dilakukannya akad nikah betapa masing-masing dari kita punya komitmen kuat untuk membina kehidupan rumah tangga yang bahagia, yang semestinya komitmen tersebut terus dipertahankan sampai akhir hayat.

Akad nikah bersifat suci, berdimensi vertikal dan horizontal, oleh karena itu meski akad nikah juga merupakan kontrak antara dua pihak, tetapi ia bersifat suci, ilahiyah, spritual. Nikah bersifat vertikal karena mempunyai dimensi ibadah bagi yang melaksanakannya, nikah bersifat sosiologis horizontal karena bukan saja menyangkut dua individu, tetapi dua keluarga besar dan bahkan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu benarlah bila agama menyebut akad nikah sebagai “mitsaqoh gholidza” janji yang sangat kuat.4

4

Najib Anwar, Dilema Kawin Sirri, dalam BP4 Pusat,Majalah Perkawinan & Keluarga Nomor 480/2012, h. 16-17


(14)

Salah satu syarat sahnya pernikahan dalam Islam adalah calon mempelai laki-laki maupun wanita sudah baligh. Maksud dari baligh adalah bahwa kedua calon mempelai yang akan menikah sudah dalam keadaan kematangan atau kedewasaan, ditandai dengan kematangan seksualitasnya, yakni secara fisik telah mengalami ikhtilam (mimpi basah),5 keluar air mani bagi laki-laki dan keluar haid

bagi wanita, dan secara psikhis, ia sudah bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil, sehingga ia dapat dibebani taklif (pembebanan hokum).

Batasan umum umur seseorang dapat dikatakan sebagai orang yang sudah baligh, yakni umur 9 tahun bagi wanita (umumnya perempuan keluar haid) dan umur 15 tahun bagi laki-laki,6 namun perkembangan fisik dan psikhis manusia pada setiap orang berbeda, sehingga sulit untuk menentukan standar umur dimana seseorang sudah baligh.

Dalam undang-undang perkawinan no. 1 tahun 1974 pasal 7 ditetapkan bahwa calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.7 Dengan demikian menurut hokum Islam daan undang-undang, perkawinan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh dan atau belum berumur 19 tahun (bagi laki-laki) dan 16 tahun (bagi wanita) adalah pernikahan dini (pernikahan di bawah umur).

5

Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi yang termuat dalam Abi Isa Muhammad ibn Isa Saurah, Sunan al-Tirmidzi al-Jami al-Shohih, (Beirut : Daar al-Ma‟rifat, 2002), h. 114

6

Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang dalam karya Imam Abi Husain Bin Hajaj, Shahihul Muslim, Al-Musnad Asshahihu Al-Mukhtasar minas Sunani binaqli al-adlu anil adl, (Kairo : Daar al-Hadis, 1991), h. 595

7

Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : FOKUSMEDIA, 2007), Cet. Ke-2, h. 10


(15)

Pernikahan dini adalah istilah kontomporer. Dini dikaitkan dengan waktu, yakni sangat di awal waktu tertentu. Lawannya adalah pernikahan kadaluarsa. Bagi orang-orang yang hidup pada awal-awal abad ke 20 atau sebelumnya, pernikahan seorang wanita pada usia 13- 14 tahun, atau lelaki pada usia 17 tahun-18 tahun adalah hal biasa, tidak istimewa. Tetapi bagi masyarakat kini, hal itu merupakan sebuah keanehan. Wanita yang menikah sebelum usia 16 tahun atau lelaki sebelum 19 tahun pun dianggap tidak wajar, terlalu dini istilahnya.

Banyak kasus-kasus pernikahan anak perempuan di bawah umur yang terjadi di Indonesia terutama di pedesaan. Pernikahan anak di bawah umur sering kali terjadi atas karena beberapa faktor, misalnya karena faktor ekonomi yang mendesak (kemiskinan). Banyak dari orang tua keluarga miskin beranggapan bahwa dengan pernikahan anaknya, meskipun anak yang masih di bawah umur akan mengurangi angka beban ekonomi keluarganya dan dimungkinkan dapat membantu beban ekonomi keluarga tanpa berpikir panjang akan dampak negatifnya.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, pandangan masyarakat justru sebaliknya. Bahkan bagi perempuan yang menikah di usia belia di anggap sebagai hal yang tabu. Lebih jauh lagi, hal itu dianggap menghancurkan masa depan wanita, menghambat kreativitasnya serta mencegah wanita untuk mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.8

8

Mohamad Fauzil Adhim, Indahnya Pernikahan Dini, (Jakarta : Gema Insani Press, 2002), Cet. Ke-1, h. 25-27


(16)

Berdasarkan realitas yang peneliti kemukakan di atas, dapat diduga bahwa faktor yang menjadi penghambat bagi upaya penanggulangan pernikahan dini adalah adanya perbedaan makna pernikahan dini dalam sudut pandang agama dan negara. Pernikahan yang dilakukan melewati batas minimal undang-undang perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah. Istilah pernikahan dini menurut negara dibatasi dengan umur, sedangkan dalam sudut pandang agama, pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh.

Selain faktor penghambat di atas, perbedaan penilaian masyarakat terhadap pernikahan dini juga sangat mempengaruhi efektivitas penanggulangan pernikahan dini. Banyak yang menikah pada usia muda dan masyarakat memberi penilaian yang positif, ada juga komentar negatif muncul ketika ada yang menikah muda karena masyarakat belum melihat adanya tanda-tanda kedewasaan.

Belum lagi, kita dihadapkan pada tantangan melunturnya sakralitas lembaga perkawinan, meskipun belum terjadi atau tidak seburuk seperti halnya yang dialami Negara-negara Barat, dimana lembaga perkawinan yang sebelumnya merupakan ikatan keagamaan dan bernilai sakral berubah menjadi ikatan yang hanya formalitas dan kehilangan makna hakikinya. Dalam kondisi seperti ini kehidupan perkawinan dijalani orang hanya memenuhi kebutuhan biologisnya atau untuk kepentingan status saja.9

9

M. Fuad Nasar, Refleksi Setengah Abad BP4: Penguatan Peran BP4 di Tengah Tingginya Angka Perceraian, dalam BP4 Pusat, Majalah Perkawinan & Keluarga Nomor 480/2012, h. 11


(17)

Oleh karena itu langkah penguatan dan pelestarian nilai-nilai perkawinan sesuai dengan ajaran agama, termasuk pencegahan pernikahan dini perlu mendapat perhatian yang lebih besar dari semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah -dalam hal ini Kantor Urusan Agama.-

Kantor Urusan Agama (KUA) adalah unit kerja terdepan Kementrian Agama RI (Kemenag) yang melaksanakan tugas pemerintah di bidang Agama di wilayah kecamatan (KMA No.517/2001) dan PMA No.11/2007). Dikatakan sebagai unit kerja terdepan, karena KUA secara langsung berhadapan dengan masyarakat.

Aparat KUA harus mampu mengurus rumah tangga sendiri dengan menyelenggarakan menejemen kearsipan, administrasi surat-menyurat dan statistik serta dokumentasi yang mandiri. Selain itu, harus mampu menjalankan pelayanan di bidang pencatatan nikah dan rujuk (NR) secara apik, oleh karena pelayanan itu sangat besar pengaruhnya dalam membina kehidupan keluarga warahmah.

Lebih dari itu, aparat KUA bertugas mengurus dan membina tempat ibadah umat islam (masjid, langgar/mushalla) membina pengamalan agama Islam, zakat, wakaf, baitul mal dan ibadah sosial, kemitraan umat Islam, kependudukan serta pengembangan keluarga sakinah, sesuai kebijakan masyarakat Islam berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.10

Dalam bidang konsultasi atau nasehat perkawinan, KUA melalui BP4 (Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan) yang merupakan

10

Rahmat Fauzi, Refleksi Peranan KUA Kecamatan, dalam


(18)

bagian dari struktur keorganisasian KUA (di tingkat kecamatan) bertugas melaksanakan kegiatan edukasi dan pelayanan masyarakat kepada pria dan wanita sebelum menikah maupun sesudah menikah, yang juga bermanfaat bagi upaya pencegahan pernikahan yang tidak sesuai dengan agama dan Negara.11

Dalam hal pernikahan dini, pemerintah diminta oleh MUI agar meningkatkan sosialisasi tentang UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan untuk mencegah terjadinya pernikahan dini yang berakibat tidak tercapainya tujuan dan hikmah pernikahan, yakni kemaslahatan hidup berumah tangga, bermasyarakat dan jaminan keamanan bagi kehamilan, serta terbentuknya keluarga sakinah dan memperoleh keturunan.12

Efektivitas dalam menjalankan tugas tersebut tentu sangat dipengaruhi oleh adanya petugas-petugas yang profesional di bidangnya seperti konsultan yang berpengalaman, perencanaan yang terukur dan terarah (matang) dan tingkat kepedulian masyarakat terhadap keberadaan KUA, dimana masih dijumpai sebagian masyarakat karena kesibukan dengan pekerjaannya, mereka tidak dapat mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan pemerintah.

Pemerintah (KUA) sudah berupaya mencegah adanya pernikahan dini dengan cara memberikan penyuluhan kepada masyarakat melalui seminar-seminar, ceramah-ceramah, pengajian-pengajian dan majlis ta‟lim, memberikan

11

Ahmad Sutarmadi, Peranan BP4 dalam Menurunkan Angka Perceraian, dalam http://sururudin.wordpress.com/2010/09/19/peranan-bp4-dalam-menurunkan-angka-perceraian/

12Fatwa MUI tentang Pernikahan Usia Dini dalam Ma‟ruf Amin, et.al.,

Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, Editor Hijrah Saputra, et.al., (Surabaya: Erlangga,2010)


(19)

nasehat penerangan kepada yang berkepentingan mengenai masalah-masalah nikah thalak dan rujuk (NTR), mengadakan upaya-upaya yang dapat memperkecil perceraian dan memberikan dukungan moril kepada masyarakat dalam menyelesaikan kesulitan-kesulitan perkawinan dan kerumahtanggaan secara umum.

Materi yang disampaikan terdiri dari UU RI Nomor 1 tahun 1974 tentang

perkawinan, fiqih munakahat, fiqih ibadah dan mu‟amalat, program keluarga

berencana (KB) dan kesehatan, pembinaan dan pendidikan keluarga sakinah,13 dan lain sebagainya yang berkaitan dan dianggap perlu seperti dampak pernikahan dini.

Hanya saja, upaya pemerintah (KUA) tersebut dalam mencegah pernikahan dini menjadi relatif kurang efektif oleh karena adanya perbedaan makna pernikahan dini dalam sudut pandang agama dan Negara, penilaian masyarakat terhadap pernikahan dini dan juga oleh karena mulai memudarnya sakralitas lembaga perkawinan.

Demikian juga yang terjadi pada KUA kecamatan Pamijahan. KUA kecamatan Pamijahan terletak di Jalan KH Abdul Hamid Km 17 desa Pasarean kecamatan Pamijahan kabupaten Bogor. Wilayah kerja KUA kecamatan Pamijahan berbatasan dengan kecamatan Leuwiliang (sebelah barat), kecamatan Tenjolaya (sebelah timur), kecamatan Cibungbulang (sebelah utara) dan kabupaten

13

Ahmad Sutarmadi, Peranan BP4 dalam Menurunkan Angka Perceraian, dalam http://sururudin.wordpress.com/2010/09/19/peranan-bp4-dalam-menurunkan-angka-perceraian/


(20)

Sukabumi (sebelah selatan).Wilayah kerja KUA kecamatan Pamijahan meliputi 15 desa (termasuk desa Pasarean), 143 Rukun Warga (RW), 513 Rukun Tetangga (RT), jumlah penduduknya 142437 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 34815.

Data terakhir yang peneliti dapatkan ada 1813 pasangan suami-istri yang menikah dan mencatatkan pernikahannya di KUA kecamatan Pamijahan.14 Dari 1813 pasangan suami istri tersebut diasumsikan sudah sesuai tata aturan dan persyaratan pernikahan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 tahun 1974, termasuk mengenai persyaratan umur menikah. Selain itu, di desa Pasarean terdapat 33 pasangan suami istri yang menikah dini

Yang menjadi fokus penelitian dalam hal ini adalah langkah apa saja yang dilakukan oleh KUA Pamijahan dalam menanggulangi pernikahan dini di desa Pasarean kecamatan Pamijahan sehingga dapat meminimalisir praktek pernikahan dini, baik yang dilakukan secara resmi (setelah mendapat izin pengadilan agama) maupun tidak resmi (nikah sirri ) atau dengan cara memalsukan data umur calon pasangan suami istri, dilanjutkan dengan meneliti berapa banyak kasus pernikahan dini di desa Pasarean, sehingga dapat disimpulkan sejauhmana peranan KUA kecamatan Pamijahan dalam menanggulangi pernikahan dini di desa Pasarean.

Atas dasar pemikiran di atas, penulis terdorong untuk mengkaji sejauhmana peranan KUA kecamatan Pamijahan dalam menanggulangi pernikahan dini di desa Pasarean dan akan menuangkannya dalam skripsi yang berjudul “PERANAN

14

Arsip KUA Kecamatan Pamijahan Bogor Barat yang diambil pada tanggal 30 Agustus 2014 di Kantor KUA Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor Barat


(21)

KUA DALAM MENANGGULANGI PERNIKAHAN DINI DI DESA

PASAREAN KECAMATAN PAMIJAHAN KABUPATEN BOGOR”

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi berbagai permasalahan seputar pernikahan dini dan peranan KUA dalam menanggulanginya sebagai berikut :

1. Langkah apa saja yang dilakukan KUA Kecamatan Pamijahan dalam menanggulangi pernikahan dini di desa Pasarean ?

2. Sejauhmana efektivitas peranan dalam menanggulangi pernikahan dini di desa Pasarean kecamatan Pamijahan kabupaten Bogor ?

C.Pembatasan Masalah

Sebelum dibatasi permasalahannya, peneliti menjelaskan beberapa konsep yang terkait dengan objek penelitian antara lain:

1. Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh atau belum berumur 19 tahun (bagi laki-laki) dan 16 tahun (bagi wanita) atau istilah lainnya pernikahan di bawah umur.

2. Kantor Urusan Agama (KUA) adalah unit kerja terdepan Kementrian Agama RI (Kemenag) yang melaksanakan tugas pemerintah di bidang Agama di wilayah kecamatan.


(22)

Dalam penelitian ini, peneliti fokus untuk meneliti kasus pernikahan dini dan efektivitas peranan KUA dalam menanggulanginya di desa Pasarean.

D.Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka permasalahannya dapat

dirumuskan sebagai berikut : “Sejauhmana efektivitas peranan KUA dalam menanggulangi pernikahan dini di desa Pasarean kecamatan Pamijahan kabupaten Bogor ?”

E.Tujuan dan Manfaat Penelitiaan

Penelitian ini bertujuan, antara lain :

1. Untuk mengetahui langkah-langkah yang perlu dilakukan KUA kecamatan Pamijahan dalam menanggulangi pernikahan dini di desa Pasarean.

2. Untuk mengetahui ihwal pernikahan dini di desa Pasarean kecamatan Pamijahan.

3. Untuk mengetahui sejauhmana efektivitas peranan KUA dalam menanggulangi pernikahan dini di desa Pasarean kecamatan Pamijahan kabupaten Bogor.

4. Untuk menentukan langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh pihak-pihak terkait, terutama pihak KUA kecamatan Pamijahan dalam menanggulangi pernikahan dini di desa Pasarean.


(23)

Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagi akademis, sebagai tambahan wawasan dan hazanah keilmuan mengenai pernikahan dini dan Kantor Urusan Agama.

2. Bagi KUA, sebagai pertimbangan bagi KUA untuk menentukan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka menanggulangi pernikahan dini. 3. Bagi penelitian, sebagai pijakan untuk melakukan penelitian selanjutnya

terkait dengan pernikahan dini dan penanggulangannya oleh pihak KUA.

F. Review Studi Terdahulu

Sebelum peneliti melakukan penelitian, terlebih dahulu peneliti membaca dan mengkaji literatur-literatur yang berkaitan dengan variabel-variabel penelitian tersebut, antara lain :

1. Sari Eka Lestari Putri (2011), Skripsi Berjudul : “Pernikahan Dini Di

Kecamatan Limo Depok”, menjelaskan bahwa latar belakang terjadinya

pernikahan dini di kecamatan Limo disebabkan beberapa faktor, yaitu : Faktor ekonomi, sosial, pendidikan, kurangnya perhatian dan pengawasan dari orang tua serta pergaulan bebas yang mengakibatkan terjadinya remaja putri hamil di luar perkawinan yang mengharuskan mereka harus melakukan pernikahan di bawah umur. Dampak negatif pernikahan dini di daerah tersebut adalah banyak perjalanan pernikahan mereka tidak harmonis,


(24)

bahkan ada yang berujung perpisahan, dikarenakan kurangnya kesiapan baik jiwa maupun raga dalam menghadapi persoalan rumah tangga.

2. Hasan Mansjur (Volume IX, No. 2, Oktober 2008 ISSN 1411-6154) Halaman 145-146, Koordinat Jurnal Komunikasi Antar Perguruan Tinggi

Agama Islam Swasta), Artikel penelitian berjudul : “Tradisi Pernikahan Dini

Pada Masyarakat Kampung Dukuh Desa Cijambe dan Pengaruhnya

Terhadap Keutuhan Rumah Tangga,” yang menjelaskan bahwa masyarakat

kampung dukuh sudah terbiasa menikahkan anak mereka pada usia muda, adapun alasan orang tua yang melakukan pernikahan dini bagi anak mereka adalah faktor kebiasaan yang bersifat turun temurun, dan karena adanya perasaan malu manakala anak-anak mereka belum melangsungkan pernikahan setelah memasuki usia 15 tahun, dan pernikahan tersebut berdampak tidak baik terhadap keutuhan rumah tangga pasangan tersebut. 3. Noor Lutfi Az-Zahra (2010) Skripsi berjudul : “Peranan Kantor Urusan

Agama Dalam Mengantisipasi Praktek Perkawinan Bawah Tangan (Studi KUA Kecamatan Cimanggis Depok),” menjelaskan bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi masyarakat kecamatan Cimanggis Depok melakukan praktek perkawinan bawah tangan dapat dibagi menjadi tiga faktor penyebab, yakni faktor ekonomi, adat dan faktor internal, dimana faktor yang mendominasi dari ketiganya ialah faktor ekonomi, maksudnya ketidakmampuan mereka dalam hal biaya nikah menjadi halangannya,


(25)

dengan tambahan ketidaktahuan mereka akan adanya peringanan melalui negoisasi dengan pihak KUA dan ketidaktahuan mereka dengan adanya aturan pembebasan biaya bagi warga tidak mampu, dengan catatan melampirkan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan. Peranan KUA dalam mengantisipasi praktek pernikahan tersebut dengan mengadakan penyuluhan kepada masyarakat yang dilakukan setiap sepekan sekali, juga mengajak kepada masyarakat yang telah melakukan kawin bawah tangan untuk melegalkan perkawinannya ke pengadilan agama, meskipun belum optimal dalam implementasinya dimana ternyata masih banyak masyarakat yang melakukan kawin bawah tangan dikarenakan kurangnya informasi mengenai besarnya biaya nikah, yang menjadi kendala tersendiri. Kebijakan KUA nya adalah menggulirkan program nikah massal yang telah dilakukan pada tahun 2007, meskipun hal ini kemudian disalahgunakan oleh pelaku kawin bawah tangan untuk mengitsbatkan pernikahannya melalui kegiatan tersebut. Dan aturan KUA, untuk nikah massal selanjutnya diperuntukkan bagi pasangan yang benar-benar ingin menikah namun terdesak dengan masalah biaya.

Dari sekian literatur berupa skripsi dan jurnal yang dibaca peneliti, belum ada karya ilmiah yang mengkaji pernikahan dini dan peranan KUA dalam menanggulanginya, apalagi di desa Pasarean yang merupakan salah satu wilayah kerja KUA Kecamatan Pamijahan sebagai locus penelitiannya.


(26)

G.Metodologi Penelitian dan Penulisan

Penelitian ini menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan) untuk mendapatkan berbagai konsep mengenai pernikahan, pernikahan dini dan Kantor Urusan Agama serta peranan KUA dalam menanggulanginya, dan metode field research (penelitian lapangan) untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan KUA kecamatan Pamijahan dan desa Pasarean, jumlah kasus pernikahan dini di desa Pasarean dan langkah-langkah yang dilakukan oleh KUA tersebut dalam menanggulanginya serta hambatan-hambatannya.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif, oleh karena hasil dan kesimpulan penelitiannya nanti bukan berupa data-data angka, melainkan berupa kategori, yakni peranannya sangat kuat, cukup atau kurang. Sedangkan pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan deskriptif-analitis yakni mendeskripsikan berbagai hal seputar data mengenai motif dan dampak pernikahan dini di desa Pasarean serta langkah-langkah yang dilakukan oleh KUA kecamatan Pamijahan dalam menanggulanginya, dan selanjutnya dianalisis menggunakan metode analisis induktif, yang akan menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum yang diangkat dari hal yang bersifat kasuistis.

Untuk memperoleh data, peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, antara lain :


(27)

1. Studi kepustakaan, dalam hal ini peneliti membaca literatur-literatur berupa buku, jurnal, skripsi, majalah dan internet atau lainnya yang mengkaji tentang pernikahan dini dan Kantor Urusan Agama.

2. Observasi, dalam hal ini peneliti melihat langsung lokasi penelitian untuk mendapatkan data-data terkait dengan desa Pasarean dan KUA kecamatan Pamijahan serta pernikahan dini

3. Wawancara, dalam hal ini peneliti akan mewawancarai pihak-pihak terkait, termasuk kepala KUA kecamatan Pamijahan, ketua BP4 kecamatan Pamijahan, Kepala Desa Pasarean, dokter kandungan, beberapa ketua RT dan beberapa warga desa Pasarean yang melakukan pernikahan dini, untuk mendapatkan data mengenai motif dan dampak pernikahan dini di desa Pasarean serta langkah apa saja yang sudah dilakukan oleh KUA kecamatan Pamijahan dalam menanggulanginya.

4. Dokumentasi, teknik ini digunakan untuk mendapatkan data-data yang terkait dengan KUA kecamatan Pamijahan dan desa Pasarean, termasuk struktur organisasi dan data statistik pernikahan.

Sementara itu teknik penulisan dalam skripsi ini berpedoman pada Buku pedoman penulisan skripsi fakultas syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah edisi tahun 2008.


(28)

H.Sistematika penulisan

Untuk memberikan gambaran yang jelas serta terperinci tentang isi skripsi ini, maka penulisan skripsi ini disusun dengan membaginya dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut:

BAB 1 Pendahuluan. Bab ini berisi uraian mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metodologi penelitian dan penulisan, serta sistematika penulisan.

BAB 11 Tinjauan Teoritis Tentang Pernikahan Dini dan Kantor Urusan Agama. Pembahasan dalam bab ini meliputi landasan teori mengenai pernikahan dini, Kantor Urusan Agama (KUA) dan peranan KUA dalam menanggulanginya, kerangka konseptual dan perumusan hipotesis.

Bab 111 Gambaran Umum Desa Pasarean dan KUA Kecamatan Pamijahan. Bab ini membahas mengenai sejarah singkat, letak geografis dan demografi, visi, misi, tugas dan wewenang, struktur organisasi desa Pasarean dan KUA kecamatan Pamijahan serta pelaksanaan tugasnya dalam bidang pernikahan.

Bab 1V Hasil Penelitian dan Pembahasan. Bab ini menguraikan data-data tentang kasus-kasus pernikahan dini di desa Pasarean, pandangan warga desa Pasarean terhadap pernikahan dini, motif-motif dan dampak pernikahan dini di desa Pasarean, langkah-langkah yang dilakukan KUA kecamatan Pamijahan dalam menanggulangi pernikahan dini di desa Pasarean, faktor pendukung dan


(29)

penghambat dalam menanggulangi pernikahan dini di desa Pasarean, analisa teoritis mengenai peranan KUA kecamatan Pamijahan dalam menanggulangi pernikahan dini di desa Pasarean, pengujian hipotesis serta perspektif peranan pendidikan dalam menanggulangi pernikahan dini di desa Pasarean.

Bab V Penutup. Bahasan dalam bab ini berisi kesimpulan dari hal-hal yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya serta beberapa saran yang diharapkan dapat berguna khususnya bagi akademisi, aparat desa, KUA dan bagi masyarakat pada umumnya.


(30)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS MENGENAI

PERNIKAHAN DINI DAN KANTOR URUSAN AGAMA (KUA)

A. Landasan Teoritis

1. Pernikahan Dini

Pernikahan dini (nikah di bawah umur) bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Praktek ini sudah lama terjadi dengan begitu banyak pelaku. Tidak di kota besar tidak di pedalaman. Faktor penyebabnya-pun bervariasi, karena masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman budaya dan nilai-nilai agama tertentu, karena hamil terlebih dahulu (kecelakaan atau populer disebut dengan istilah married byaccident), dan lain-lain.

Selain menimbulkan masalah sosial, nikah di bawah umur bisa menimbulkan masalah hukum. Pernikahan syekh puji dan ulfa membuka ruang kontroversi bahwa perkara nikah di bawah umur ternyata disikapi secara berbeda oleh hukum adat, hukum Islam, serta hukum nasional dan hukum internasional.

Kenyataan ini melahirkan, minimal dua masalah hukum. Pertama, harmonisasi hukum antar sistem hukum yang satu dengan sistem hukum lain. Kedua, tantangan terhadap legislasi hukum perkawinan di Indonesia terkait dengan perkawinan di bawah umur.


(31)

Pengertian perkawinan sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 yaitu : perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Hal ini mengundang perhatian dan pemahaman masyarakat luas, oleh karena undang-undang ini merupakan landasan pokok perkawinan. Begitu juga dengan Kompilasi Hukum Islam. Dengan perkataan ikatan lahir dan batin itu dimaksudkan bahwa suami istri tidak boleh semata-mata hanya berupa ikatan lahiriah saja, dalam makna seorang pria dan wanita hidup bersama sebagai suami dan istri bukan sebagai ikatan formal saja, tetapi kedua-duanya harus membina ikatan batin berupa cinta dan kasih sayang yang mendalam.

Dengan demikian, perkawinan dalam Undang-Undang ini tidak semata-mata hubungan hukum saja antara seorang pria dengan seorang wanita, tetapi juga mengandung aspek-aspek lainnya, yaitu agama, biologis, sosial dan juga masyarakat.15

Sebelum mengemukakan pengertian perkawinan di bawah umur, terlebih dahulu penulis mengemukakan tentang maksud dari anak di bawah umur. Anak di bawah umur yaitu anak yang belum mumayyiz atau anak yang

15

M. Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta : PT. Grapindo Persada, 2002). Cet. Ke-11, h.27


(32)

belum bisa dibebani tanggung jawab, karena kurang cakapnya dalam bertindak. Adapun patokan dalam bertindak yaitu akal. Apabila akal seseorang masih kurang maka ia belum bisa dibebani kewajiban. Sebaliknya jika akalnya telah sempurna ia wajib menunaikan beban tugas yang dipikulkan kepadanya. Berdasarkan hal ini, maka kecakapan bertindak ada yang bersifat terbatas dan adapula yang sempurna.16

Berdasarkan pengertian di bawah umur di atas, maka yang dimaksud perkawinan di bawah umur (pernikahan dini) adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh salah satu calon mempelai atau keduanya belum memenuhui syarat umur yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomormormor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Sebagaimana ketentuan yang ditegaskan pada pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan :

Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun.‟‟

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 ayat 1 : “ untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan pada pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomormormer 1 tahun 1974, yaitu calon suami kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun‟‟.

16

Helmi Karim, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), Cet. Ke-3, h. 82


(33)

Apabila dihubungkan antara pasal 1 dengan pasal 7 ayat 1 dan 2 Undang-Uundang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam pasal 15 ayat 1 maka dapatlah diambil beberapa pemahaman yang diuraikan sebagai berikut :

a. Perkawinan merupakan ikatan lahir dan bathin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

b. Perkawinan adalah salah satu perbuatan mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya dan bernilai ibadah bagi yang melaksanakannya.

c. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang Sakinah, Mawaddah dan Warahmah.

d. Perkawinan itu dapat dilangsungkan setelah umur 16 tahun bagi calon perempuan dan 19 tahun bagi calon mempelai laki-laki.

e. Harus ada izin orang tua terhadap perkawinan yang belum sampai pada batas maksimal usia perkawinan yaitu 21 tahun.

f. Apabila pernikahan yang dilakukan pada usia di bawah batas minimal yang ditentukan undang-undang yaitu 16 tahun bagi calon mempelai wanita dan 19 tahun bagi calon laki-laki, maka harus dapat dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain dalam hal ini pengadilan agama untuk yang beragama Islam.


(34)

Dari uraian di atas, dapat diambil pengertian bahwa perkawinan di bawah umur (pernikahan dini) adalah perkawinan yang dilangsungkan salah satu pihak atau kedua mempelai yang belum berumur 16 tahun bagi calon mempelai perempuan dan 19 tahun bagi calon mempelia pria, sehingga diperlukan izin orang tua untuk melangsungkan perkawinan dan dispensasi nikah dari pengadilan agama atau pejabat lain yang dirujuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita. Dalam hal izin orang tua, K.wantjik Saleh menambahkan bahwa hal tersebut sebagai bukti dari adanya restu mereka terhadap perkawinan yang dilangsungkan.17

Hukum Islam, dalam hal ini Al-Qur‟an dan hadist tidak menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah. Persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah balig, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah.

Pasal 16 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa : Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

17

K. Wantjik Saleh , Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta : Graha Indonesia, 1987), Cet. Ke-8, h. 26


(35)

Sama halnya dengan hukum Islam, hukum adat Indonesia yang berbeda dari satu wilayah dengan wilayah lain, hukum kebiasaan tak tertulis, juga tidak mengenal pemberlakuan umur seseorang dianggap layak untuk menikah. Biasanya seorang anak dinikahkan ketika ia dianggap telah mencapai fase atau peristiwa tertentu dalam kehidupannya, dan ini seringkali tidak terkait dengan umur tertentu.

Masalah kematangan fisik dan jiwa seseorang dalam konsep Islam, tampaknya lebih ditonjolkan pada aspek yang pertama yaitu fisik. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam pembebanan hukum taklif bagi seseorang, yang dalam term teknis disebut mukallaf (dianggap mampu menanggung beban hukum). Dalam sebuah hadist, Rasulullah saw bersabda :

ح صلا ع : ثاث ع قلا عف لاق س ع ها ص لا ع ع ها ض ع ع ) لا ا ( ل ق ف ح ج لا ع ظق س ح ئا لا ع ا ح

Artinya: Ali ra meriwayatkan dari nabi saw, beliau bersabda : terangkat pertanggungjawaban seseorang dari tiga hal yaitu anak kecil sampai ia bermimpi, orang tidur samapai ia terbangun dan orang gila hingga ia tersadar. (HR. Abu daud dan at-Tirmidzi)

Menurut isyarat hadits tersebut, kematangan seseorang dilihat pada gejala kematangan seksualitasnya, yaitu air mania tau sperma bagi laki-laki dan mentruasi (haid) bagi perempuan. Dari segi umur, kematangan


(36)

masing-masing orang berbeda saat datangnya. Hal ini disebabkan oleh karena berbedanya dalam memahami nash Al-Qur‟an dalam surat an-Nuur ayat 59 :

                                     

Artinya: Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh maka hendklah mereka meminta izin seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya dan Allah maha mengtahui lagi lagi maha bijaksana (An-Nur : 59)

Memperhatikan kedua dalil di atas, dapat diambil pemahaman bahwa batas usia 15 tahun sebagai awal masa kedewasaan bagi anak laki-laki karena biasanya pada usia tersebut anak laki-laki telah mengelurkan air maninya melalui mimpinya. Adapun bagi perempuan 9 tahun untuk daerah seperti madinah telah dianggap memiiki kedewasaan. Ini didasarkan kepada pengalaman aisyah ketika dinikahi oleh Rasulullah saw:

ا ( شع ا ث ب ا عس ب ا ب ب س ب ها ل س ا ج ز ) س

Artinya: Rasullulah saw menikah dengan dia (aisyah) dalam usia 6 tahun, dan beliau memboyongnya ketika ia berusia 9 tahun, dan beliau wafat pada waktu dia berusia 18 tahun (H.R Muslim).


(37)

Atas dasar hadist tersebut, dalam kitab kasyifat al-saja dijelaskan ” tanda-tanda dewasanya atau baligh seseorang itu ada tiga yaitu sempurnanya umur 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan pada usia 9 tahun, dan haid (menstruasi) bagi wanita usia 9 tahun.

Adanya dispensasi bagi calon mempelai yang kurang dari 9 tahun, atau 16 tahun bagi wanita, boleh jadi didasarkan kepada nash hadis di atas. Walaupun kebolehan tersebut harus dilampiri izin dari pejabat untuk itu. Ini menunjukkan bahwa pemahaman konsep pembaharuan hukum Islam yang memang bersifat ijtihadi diperlukan waktu dan usaha terus menerus. Dalam hal ini juga diperlukan pendekatan konsep maslahat mursalah dan hukum Islam di Indonesia memerlukan waktu agar masyarakat sebagai subyek hukum dapat menerimanya dan menjalankannya dengan sukarela tanpa ada unsur pemaksaan.

Di samping itu pemahaman terhadap nash, utamanya yang dilakukan oleh Rasullulah SAW pada saat menikah dengan aisyah, menurut penulis juga perlu dipahami seiring dengan tuntutan situasi dan kondisi waktu itu. Ini penting, karena tuntutan kemaslahatan yang ada waktu itu dibanding dengan sekarang jelas sudah berbeda.

Berbeda dengan batas usia perkawinan menurut hukum Islam, batas usia pernikahan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa


(38)

perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita 16 tahun.

Penyimpangan terhadap batas usia tersebut dapat terjadi ketika ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria maupun pihak wanita (pasal 7 ayat 2), begitu pula ketika Undang-undang yang sama menyebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai dan izin dari orang tua diharuskan bagi mempelai yang belum berusia 21 tahun.

Pembatasan umur yang dilakukan oleh Undang-Undang di atas, di samping oleh karena pertimbangan kematangan kedua mempelai dalam menjalani bahtera rumah tangga, namun juga oleh karena pertimbangan kependudukan, dimana hal tersebut dimaksudkan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi.

Masalah penentuan umur dalam undang-undang perkawinan maupun dalam kompilasi memang bersifat ijtihadiyah, sebagai usaha pembaharuan pemikiran fikih yang lalu. Namun demikian, apabila dilacak referensi syar‟inya mempunyai landasan kuat. Misalnya isyarat Allah dalam surat al-nisa ayat 9 yang berbunyi :














(39)

Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka kwatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (An-Nisa: 9)

Ayat tersebut bersifat umum, tidak secara langsung menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh pasangan usia muda atau di bawah ketentuan yang diatur UU N0 1 tahun 1974 akan menghasilkan keturunan yang dikawatirksn kesejahteraannya. Akan tetapi berdasarkan pengamatan berbagai pihak rendahnya usia kawin, lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan tujuan perkawinan,yaitu terwujudnya ketentraman dalam rumah tangga berdasarkan kasih dan sayang.

Tujuan di atas akan sulit terwujud, apabila masing-masing mempelai belum matang jiwa dan raganya. Kematangan dan intgritas pribadi yang stabil akan sangat berpengruh dalam menyelesaikan setiap ploblem yang muncul dalam menghadapi liku-liku dan badai dalam rumah tangga. Banyak kasus menunjukan bahwa banyaknya perceraian cenderung didominasi karena akibat kawin dalam usia muda.18

Dalam hal ini UU perkawinan tidak konsisten di satu sisi, di sisi lain dalam pasal 7 ayat (1) menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun. Bedanya jika kurang dari 21 tahun, yang diperlukan izin

18


(40)

orang tua, dan jika kurang dari 19 tahun, perlu izin pengadilan dan ini juga dikuatkan dalam KHI pasal 15 ayat 2 yang berbunyi : Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3),(4) dan (5) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974.

Sedangkan dalam kompilasi hukum Islam (KHI), yang disebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 memuat perihal yang kurang lebih sama. Pada pasal 15, KHI menyebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, namun dengan tambahan alasan: untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.

Dengan demikian, secara eksplisit tidak tercantum jelas larangan untuk menikah di bawah umur sehingga penyimpangan terhadapnya dapat dimungkinkan dengan adanya izin dari pengadilan atau pejabat atau yang berkompeten. Namun demikian, perkawinan di bawah umur dapat dicegah dan dibatalkan. Pasal 60 KHI menyebutkan pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami dan istri tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal pencegahan perkawinan, pihak yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon


(41)

mempelai, suami atau istri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon istri atau calon suami, serta pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan (pasal 62, 63, dan 64 KHI).

KHI juga menyebutkan perkawinan dapat dibatalkan antara lain bila melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Para pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah : (1) para keluarga dalam garis keturunan lulus keatas dan kebawah dari suami atau istri; (2) suami atau istri ; (3) pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang; (4) para pihak berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut Islam dan peraturan perundang-undangan (pasal 73).

Terlepas dari persoalan status hukum mengenai pernikahan di bawah umur (pernikahan dini) di atas, berikut sebab-sebab terjadinya pernikahan dini dan berbagai dampaknya.

Pada umumnya yang menjadi penyebab terjadinya pernikahan dibawah adalah karena faktor budaya dan pendidikan, walaupun ada sebab lain yang mempengaruhi, tetapi hal itu lebih merupakan sebagai rangkaian yang sifatnya sebagai pelengkap. Secara kuantitatif pernikahan usia muda relatif


(42)

lebih banyak ditemukan pada daerah pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan.19

Kenyataan ini dapat terjadi, Karena didaerah perkotaan dari segi infarmasi dan transformasi Pengetahuan dan budaya lebih cepat dan maju, Sehingga dapat menggugah kesadaraan dan pentingnya hidup. Keadaan yang memaksa bagi komunitas kota untuk berfikir rasional dan bertindak realistis dalam menghadapi berbagai persoalan hidup, khususnya dalam perkawinan. Sedangkan pada masyarakat pedesaan, aspek rasionalistis lebih terabaikan karena terhimpit oleh tradisi dan budaya yang menggejala di masyarakat.

Dalam masyarakat yang tradisi keagamaannya sangat kuat, bagi orang tua yang memiiki anak gadisnya umumnya ingin cepat-cepat mengawinkannya anaknya disebabkan ada rasa kekhawatiran yang dapat menyebabkan seorang anakterzebak perzinahan. Bila hal itu terjadi, maka merupakan aib besar yang sangat memalukan rang tua. Pernikahan pada usia dini merupakan sebuah antisipasi dari orang tua untuk mencegah akibat-akibat negative yang dapat mencemarkan dan merusak martabat orang tua dan keluarganya.

Dari sejumlah sebab yang melatar belakangi tingginya jumlah pernikahan pada usia muda faktor paling dominan adalah karena rendahnya tingkat pendidikan. Bahkan pendidikanlah yang sebenarnya menjadi inti

19

Nani Suwondo, Hukum Perkawinan dan Kependidikan di Indonesia, (Bandung : PT. Bina Cipta, 1989), Cet. Ke-1, h. 108


(43)

masalah ini, karena dengan pendidikan dapat menambah pola pikiran dan pandangan dari yang tidak baik menjadi lebih baik, dari yang tidak rasinal menjadi rasional dan realistis. Tetapi ini merupakan sebuah harapan ideal tanpa melihat kendala yang dihadapi.

Pada masyarakat pedesaan, masalah pendidikan merupakan suatu yang sangat sulit di jangkau. Kesulitan ini bisa terjadi karena alasan biaya, entah itu tempat pendidikan yang sulit dijangkau, informasi dan transformasi yang sangat terbatas sehingga banyak anak-anak dipedesaan tidak dapat melanjutkan pendidikan atau beajar akan tetapi putus ditengah jalan bahkan tidak mengenyam pendidikan sama sekali.

Sebenarnya pernikahan dibawah umur dizaman kemajuan teknologi ini merupakan setbeck (mundur) kejaman lampau diwaktu pendidikan masih belum demikian berkembang dan anak-anak gadis masih dalam pingitan. Di masa lampau, perkawinan dibawah umur disebabkan oleh:

a. Keinginan orang tua yang ingin cepat-cepat ngambil mantu

b. Karena ada lamaran dari orang-orang yang disegani dan orang tua khawatir tidak dapat lagi calon sebaik itu

c. Karena unsur materi yang ingin anaknya berbahagia jika sudah menikah (besanan dengan orang kaya, mengharapkan anaknya dapat tertolong)


(44)

d. Dari yang bersangkutan sendiri ingin cepat menikah karena ingin lebih bebas dan mengira hidup berumah tangga lebih nikmat

Pendapat tersebut diatas secara realistis memang ada benarnya bila dilihat dari kebutuhan jangka pendek, waaupun secara umum alasan demikian merupakan alasan yang kolot dan seolah-olah tidak punya harapan untuk lebih maju dihari esok. Dari hasi penelitian fakultas syariah bahwa faktor adanya faktor adanya perkawinan pada usia dini adalah:

a. Faktor pendidikan yang rendah b. Sosio kultural

c. Tidak mengetahui Undang-undang perkawinan d. Pergaulan bebas

e. Tradisi daerah/adat istiadat f. Kondisi fisik yang cepat masak g. Pengaruh ekonomi

Perkawinan di bawah umur tidak hanya terjadi di desa-desa, tetapi juga di kota-kota dengan sebab yang sama. Bahkan di kota-kota besar dewasa ini sering terjadi perkawinan di bawah umur karena sebab (menurut istilah sekarang) ‘’kecelakaan’’ malu‟‟, kehidupan di kota-kota yang penuh oleh tantangan dan aneka macam kemesuman karena eksis-eksis pergaulan.

Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan di bawah umur dapat dikemukakan sebagai berikut :


(45)

a. Dampak hukum

Adanya pelanggaran terhadap tiga Undang-Undang, antara lain : 1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 7

ayat 1 yang berbunyi : “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak

pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah

mencapai umur 16 tahun”, dan pasal 6 ayat 2 yang berbunyi : “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum

mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua”

2) Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak 3) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang PTPPO.

Patut ditengrai adanya penjualan/pemindah tangan antara kyai dan orang tua anak yang mengharapkan imbalan tertentu dari perkawinan tersebut. Amanat Undang-undang tersebut bertujuan melindungi anak, agar anak tetap memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

Sungguh disayangkan apabila ada orang atau orang tua melanggar undang-undang tersebut. Pemahaman tentang undang-undang tersebut harus dilakukan untuk melindungi anak dari perbuatan salah oleh orang dewasa dan orang tua. Undang-Undang ini sesuai dengan 12 area kritis dari Beijing Platform of Action tentang perlindungan terhadap anak.


(46)

b. Dampak biologis

Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya., apalagi jika sampai hamil kemudian meahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ refroduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar keetaraan dalam hal produksi antara istri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.

c. Dampak psiklogis

Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepentingan dalam jiwa anak yang suit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.


(47)

2. Kantor Urusan Agama Kecamatan

Kantor Urusan Agama (KUA) adalah unit kerja terdepan Depag yang melaksanakan sebagian tugas pemerintah di bidang Agama Islam, di wilayah Kecamatan (KMA No.517/2001 dan PMA No.11/2007). Dikatakan sebagai unit kerja terdepan, karena KUA secara langsung berhadapan dengan masyarakat. Karena itu wajar bila keberadaan KUA dinilai sangat urgen seiring keberadaan Depag.

Fakta sejarah juga menunjukkan kelahiran KUA hanya berselang sepuluh bulan dari kelahiran Depag, tepatnya tanggal 21 Nopember 1946. Ini sekali lagi, menunjukan peran KUA sangat strategis, bila dilihat dari keberadannya yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, terutama yang memerlukan pelayanan bidang Urusan Agama Islam (Urais). Konsekuensi dari peran itu, secara otomatis aparat KUA harus mampu mengurus rumah tangga sendiri dengan menyelenggarakan manajemen kearsipan, administrasi surat-menyurat dan statistik serta dokumentasi yang mandiri.20

Kantor urusan agama (KUA) mempunyai sejarah yang cukup panjang di Indonesia, baik berkenaan dengan kelembagaan maupun peran dan fungsinya. Keberadaannya dapat dilacak sejak permulaan Islam masuk ke Indonesia, pertumbuhan dan perkembangan kerajaan/kesultanan Islam, masa

20

Rahmat Fauzi, Refleksi Peran KUA Kecamatan, dalam


(48)

kolonialisme, hingga masa kemerdekaan, sepanjang itu, KUA mengalami dinamika dan transformasi kelembagaan, peran, dan fungsinya.

Masa sejarah KUA (sebelumnya kepenghuluan) di Indonesia terbagi menjadi 3 bagian, yaitu.21

a. Masa sebelum kemerdekaan

Di masa ini kepenghuluan muncul dan terlihat di dalam adat meningkabau. Di daerah ini penghulu adalah pemimpin yang harus bertanggungjawab kepada masyarakat (anak-kemenakan yang dipimpinnya). Ia digambarkan sebagai sosok pemimpin yang mempunyai 5 macam fungsi kepemimpinan yang melekat pada dirinya dan berbudi pekerti yang luhur. Salah satu tugas penghulu di sana adalah menempuh jalan nan pasa, yaitu melaksanakan ketentuan yang telah berlaku dan berjalan baik dalam cara rumah tangga, bernegeri jangan diubah dan jangan dilanggar. Demikian pula di kerajaan mataram, birokrasi keagamaan reh penghuluan sudah ada sejak abad ke-17. Jabatan keagamaan ditingkat desa disebut kaum, amil, modin, kayim dan lebay.22

Meskipun demikian sampai dengan abad ke-18, lembaga reh kepenghuluan begitu tertata dengan baik. Dan menjelang abad ke-19,

21

Nuhrison M nuh et.al. optimalisasi peran KUA melalui jabatan fungsional penghulu, (jakarta:puslitbang kehidupan keagamaan, 2007),cet ke-1,h..23-29..

22


(49)

lembaga itu telah begitu kukuh dan mapan. Karena keterlibatan mereka dalam urusan-urusan negara, penghulu dan naib tergolong ke dalam kalangan priyayi.23

Menurut kuntowijoyo, tampak bahwa penghulu adalah juga santri, dan pada umumnya berasal dari kalngan priyayi.24 Saat itu, Snouck hurgronje, seperti dikutip Karl Stenbrink, menyadari adanya jurang pemisah, yang sesuai keadaan sekarang masih memisahkan penghulu dan kawan-kawannya. Penghulu adalah pejabat resmi dari pemerintahan kolonial yang diangkat oleh gubernur jendral atau atas namanya, melalui pencalonan dari Bupati dengan persetujuan presiden.

Mereka itu umumnya berasal dari keluarga atau kenalan bupati dan wedana. Sebagai pegawai, mereka menerima gaji langsung dari batavia. Di samping pemegang tugas keagamaan, seperti pengurus masjid atau pengadilan agama, mereka sering pula ditugaskan menyelenggarakan suntikan wajib kepada penduduk untuk mencegah wabah penyakit.

Kiai pada saat itu digambarkan dalam sejarah sebagai kelompok dalam masyarakat, di luar pemerintahan atau keraton. Pengetahuan mereka tentang agama dinilai lebih mendalam dan cara hidup mereka lebih dipercayai rakyat. Menurut Karl Steenbrink, politik belanda

23

Kuntawijaya, Paradigma Islam, (Bandung: Mizan, 1991), h. 125-126

24


(50)

mempunyai tujuan untuk memisahkan dua golongan itu supaya para penghulu menjadi pegawai yang setia kepada pemerintah kolonial. Tetapi sebaliknya, pada abad ke-19 pemerintah kolonial terpaksa melakukan pemisahan antara penghulu dan kiai, yaitu dengan melakukan seleksi yang ketat terhadap calon penghulu di pemerintahan. Dampak dari pemisahan ini adalah meningkatnya kharisma penghulu di depan publik dan menurunkan pengaruh kiai.

Dengan munculnya dua jenis elit ini, mereka saling bersaing memperebutkan kekuasaan. Huijbers, seperti yang dikutip kuntowijiyo, sebagai saksi atau yang menyaksikan persaingan ini selama dekade-dekade terakhir kekuasaan belanda, mengatakan bahwa guru-guru agama mempunyai prestasi yang lebih besar dibandingkan penghulu.

Di masa pra kemerdekaan ini, kepenghuluan di tingkat kabupaten terdiri dari lima fungsi, yang diantaranya:

1) Sebagian mufti (penasihat hukum Islam). Dalam hal ini penghulu harus menghadiri sidang-sidang pengadilan negeri (landraad), ia diangkat oleh pemerintah belanda dan memperoleh uang sidang. 2) Sebagai qadi atau hakim dalam pengadilan agama.

3) Sebagai imam masjid. Penghulu mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan masjid raya ditempat kediamannya.


(51)

4) Sebagai wali hakim. Ia bertugas mengawinkan wanita yang tidak mempunyai wali, dan pada perkawinan lain membantu demi keabsahan perkawinan.

5) Menurut adat, penghulu adalah satu-satunya yang berhak mengumpulkan zakat yang tidak diperuntukkan bagi mustahiq.25 Fungsi-fungsi di atas tidak selalu diperankan oleh satu orang, Walaupun pemerintah berusaha terus mengadakan kombinasi. Sejak 1918 kombinasi fungsi ini resmi diwajibkan. Khusus penghulu, sebelumnya ditemukan dua jabatan, yakni penghulu landraad (1,2 dan 5) dan penghulu hakim yang juga disebut penghulu kawin atau penghulu masjid (untuk point 3 dan 4).

Sedangkan Djamil Latif menulis 6 fungsi penghulu masa kolonial belanda, yaitu :

1) Imam masjid (kepala pegawai kemasjidan) 2) Kepala pegawai pencatat nikah

3) Wali hakim

4) Penasihat pada pengadilan negeri

5) Penasihat bupati dalam masalah keagamaan 6) Ketua pengadilan agama.26

25

Nuhrison M. Nuh, et.al., Optimalisasi Peran KUA Melalui Jabatan Fungsional Penghulu, (Jakarta: Puslitbang Keagamaan,2007), Cet. Ke-1, h.28

26

M. Djalil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h.23-24


(52)

b. Masa kemerdekaan

Begitu Indonesia merdeka, tugas-tugas dan fungsi penghulu yang pernah dilakukan pada masa pemerintah kesultanan dan kolonial belanda dalam beberapa aspek tetap dilanjutkan. UU No.22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk menyatakan bahwa bagi orang Indonesia yang beragama Islam pencatatan perkawinannya dilakukan oleh pembantu pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk (P3NTR).

Ketentuan ini berlaku untuk seluruh Indonesia sesuai Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954 dan pasal 1 ayat (1) UU No.22 tahun 1946 yang maksudnya bahwa nikah yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, posisi penghulu atau istilah barunya P3NTR, tetap dipertahankan sebagai pegawai pemerintah tetapi tugasnya hanya mengawasi pernikahan. Ini berarti tugas dan fungsinya mengalami penyempitan dibandingkan pada masa kolonial atau kesultanan.27

Ketentuan mengenai tugas dan fungsi penghulu sebagai Pegawai Pencatat Nikah semakin kuat dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, meskipun informasi pasal-pasal yang berkenan dengan

27

Nuhrison M. Nuh, et.al., Optimalisasi Peran KUA Melalui Jabatan Penghulu, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2007), Cet, ke-1, h.30.


(53)

“pencatatan perkawinan” sangat sedikit. Selengkapnya dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut seperti halnya pasal 2 Peraturan Pemerintah :

1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No.32 tahun 1954 tentang nikah, talak dan rujuk.

2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaanya itu selain agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan yang ada di kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai perkawinan.

3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 peraturan pemerintah.28 c. Masa Reformasi

Zainal Arifin dalam makalah „Peran KUA Di Era Reformasi‟

menjelaskan bahwa pelayanan pencatatan perkawinan dan urusan keagamaan merupakan tugas pokok KUA, karena pelayanan itu sangat

28

Nuhrison M. Nuh, et.al., Optimalisasi Peran KUA Melalui Jabatan Penghulu, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2007), Cet, ke-1, h.31


(54)

besar pengaruhnya dalam membina kehidupan beragama, di situlah cikal bakal terbentuknya keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah.

Dalam malaksanakan tugas ke-Urais-an ini, KUA tidak sekedar melakukan pengawasan dan pencatatan nikah/rujuk saja, tetapi juga melaksanakan tugas-tugas lainnya seperti mengurus dan membina tempat ibadah umat Islam (masjid, langgar/mushalla) membina pengamalan agama Islam, zakat, wakaf, baitul mal dan ibadah sosial, pangan halal, kemitraan umat Islam, kependudukan serta pengembangan keluarga sakinah sesuai kebijakan Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berhubung KUA bersentuhan langsung dengan masyarakat yang memiliki pengetahuan dan kemampuan serta pemahaman yang beraneka ragam di bidang Urais, termasuk masalah perhajian, maka sesuai hasil Rakernas Penyelenggaran Haji tahun 2006 di Jakarta menyepakati KUA diikutsertakan sebagai pelayan haji kepada masyarakat dan calon jemaah haji. Ini dimaksudkan agar KUA secara intensif mampu memberikan penyuluhan dan penyebarluasan informasi tentang perhajian.

Begitu penting dan strategisnya peran dan fungsi KUA, maka tidaklah aneh bila sebagian masyarakat berharap KUA mampu


(55)

memberikan pelayanan prima terhadap peran dan fungsinya itu. Bahkan pemerintah sendiri berharap besar KUA dapat mengembangkan perannya lebih dari sekadar peran-peran yang ada.

Adapun peran KUA selama ini antara lain:

1) Pelayanan di bidang administrasi. Sebagai unit pelaksana operasional Depag, mekanisme kegiatan perkantoraan ditandai aktifitas pelayanan administrasi dalam bentuk pelayanan dan bimbingan agama pada masyarakat sebagai wujud koordinasi baik vertikal maupun horisontal, meliputi: administrasi NTCR, keluarga sakinah dan lainnya.

2) Pelayanan di bidang kepenghuluan. KUA adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang berwenang melakukan pencatatan pernikahan di kalangan umat Islam.

3) Pelayanan di bidang perkawinan dan keluarga sakinah. Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang akan berkembang menjadi tatanan masyarakat yang lebih luas. Karena itu pembinaan keluarga sakinah sangat penting karena akan mewujudkan masyarakat yang rukun, damai dan bahagia baik secara fisik maupun psikologi.

4) Pelayanan di bidang perwakafan. Tanah wakaf bukan semata-mata aset ummat, tetapi juga aset bangsa. Untuk itu perlu pengelolaan


(56)

secara optimal dan profesional yang dilegitimasi dengan kekuatan hukum, sehingga tidak menimbulkan permasalahan seperti ; pembatalan, pengalihan status, diperjualbelikan dan lainnya. 5) Pelayanan di bidang zakat dan ibadah sosial. Zakat dan ibadah

sosial adalah modal dasar pembangunan kesejahteraan ummat dan merupakan salah satu sumber dana untuk mengentaskan kemiskinan. Peran KUA sangat diperlukan guna menggerakkan tokoh agama dan masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran berzakat terutama kepada lembaga zakat yang diakui pemerintah seperti Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Unit Pengumpul Zakat (UPZ).

6) Pelayanan di bidang kemasjidan dan kehidupan beragama. Sebagai aparat Depag di tingkat kecamatan, KUA berkewajiban memberikan bimbingan dalam mewujudkan Idarah, Imarah dan Ri’ayah masjid.

7) Layanan di bidang pangan halal dan kemitraan umat Islam. Untuk pelayanan di bidang pangan halal, peran KUA masih terlihat samar dan abu-abu, hal ini disebabkan petunjuk teknis ke arah itu masih belum jelas. Untuk tugas dimaksud, biasanya KUA hanya melaksanakannya sebatas sosialisasi dan itupun dilaksanakan bersama Kandepag Kabupaten/Kota.


(57)

8) Penyuluhan dan sosialisasi Undang-Undang perkawinan. Di masyarakat masih sering dijumpai perkawinan yang belum sesuai ketentuan agama dan perundang-undangan, terutama UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan serta Peraturan Pemerintah No: 9/1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1/1974 seperti perkawinan/pernikahan yang tanpa dihadiri petugas resmi, poligami tanpa izin dari pengadilan, perceraian/talak yang dilakukan secara sewenang-wenang dan tidak dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama dll.

9) Pelayanan di bidang perhajian. Keberadan KUA di tengah-tengah masyarakat sebagai pranata keagamaan memiliki sisi penting, mengingat KUA sebagai perpanjangan tangan Kandepag Kabupaten/Kota yang berbasis front terdepan, setiap saat dapat bersentuhan langsung dengan lapisan masyarakat di tingkat bawah, khususnya calon/jamaah haji yang pada umumnya berada di pedesaan.. Untuk itulah sehingga KUA harus secara langsung terlibat dalam masalah perhajian.

10)Kegiatan lintas sektoral Banyak sekali kegiatan-kegiatan lintas sektoral yang memerlukan keterlibatan KUA secara langsung, misalnya penyuksesan program pembangunan lainnya seperti Keluarga Berencana, penanggulangan penyalahgunaan narkoba


(58)

dll. Tentu saja kesemuanya disampaikan secara apik kepada masyarakat dengan menggunakan bahasa agama.29

3. Peranan KUA dalam Menanggulangi Pernikahan Dini

Berbicara mengenai peran, dapat diartikan suatu tindakan, sedangkan peranan adalah bagian dari tindakan utama yang harus dilaksanakan seseorang.30 Kantor Urusan Agama sebagai unit kerja paling depan pada Departemen Agama (Dahulu), memiliki tugas dan fungsi yang terkait langsung dengan pemberiaan pelayanan/pembinaan masyarakat di bidang urusan agama Islam seperti yang diuraikan penulis sebelumnya.

Berkaitan dengan upaya penanggulangan pernikahan dini, Kantor Urusan Agama dapat menggunakan perannya sebagai berikut31 :

a. Pelayanan di bidang administrasi termasuk pencatatan nikah, talak dan rujuk serta pencatatan lainnya yang terkait dengan tugas dan peran KUA. Dalam hal ini pihak KUA kecamatan dapat membuat kebijakan yang bersifat teknis operasional mengenai prosedur pencatatan perkawinan dan administrasinya yang tidak bertentangan dengan aturan dalam rangka menanggulangi pernikahan dini.

b. Penyuluhan dan Sosialisasi Undang-Undang Perkawinan

29

Rahmat Fauzi, Refleksi Peran KUA Kecamatan, dalam

http://salimunazzam.blospot.com/p/refleksi-peran-kua-kecamatan. html

30

Amran Y S Chaniago, Kamus Besar Indonesia, Jakarta, 1995.h.449

31

Rahmat Fauzi, Refleksi Peran KUA Kecamatan, dalam


(59)

Dalam hal ini, pihak KUA mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan kepada masyarakat melalui berbagai media, khususnya pasal 7 ayat 1 mengenai batas umur seseorang boleh menikah, yakni umur 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk wanita. Selain itu, pihak KUA mengadakan penyuluhan kepada masyarakat mengenai dampak negatif pernikahan dini dari aspek hukum, psikologis, biologis dan aspek lainnya, sehingga masyarakat menyadari pentingnya menikah sesuai umur yang ditentukan oleh Undang-Undang.

c. Pelayanan di bidang perkawinan dan keluarga sakinah.

Dalam hal penanggulangan pernikahan dini, KUA dapat mengoptimalkan peran BP4 dan perangkat KUA lainnya dalam memberikan nasehat-nasehat perkawinan dan pentingnya membangun

keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Dalam hal ini, ditekankan pentingnya menikah sesuai batasan umur dalam Undang-Undang sebagai faktor penting terbentuknya keluarga sakinah. KUA juga dapat melakukan pembinaan keluarga sakinah kepada masyarakat dan memperketat prosedur serta administrasi pernikahan agar tidak terjadi manipulasi umur dalam rangka menanggulangi pernikahan dini.


(60)

d. Pelayanan di bidang kepenghuluan.

Dalam hal ini, KUA dapat mengoptimalkan para penghulu dan juga amil desa dalam mensosialisasikan pentingnya menikah sesuai batasan umur yang telah ditentukan, baik melalui khutbah nikah atau ketika diundang dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.

Dalam hal perannya menanggulangi pernikahan dini, KUA dapat menggunakan berbagai media, baik cetak maupun elektronik, melalui seminar, pengajian-pengajian, khutbah jumat dan lainnya, sehingga masyarakat mengetahui dan menyadari pentingnya menikah sesuai umur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Agar lebih efektif, sebaiknya upaya penanggulangan pernikahan dini tersebut terprogram dengan baik dan melibatkan berbagai elemen masyarakat.

B. Kerangka Konseptual

Berdasarkan landasan teori di atas, khususnya mengenai peranan KUA dalam menanggulangi pernikahan dini, maka kerangka konseptualnya sebagai berikut:

1. Minimal ada empat peran KUA yang dapat digunakan dalam menanggulangi pernikahan dini, yaitu perannya dalam pelayanan administrasi seperti pencatatan nikah, penyuluhan dan sosialisasi


(1)

89

DAFTAR PUSTAKA

Shihab, Quraish, Wawasan al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1996)

Ghazali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. Ke-3, Edisi Pertama

Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam, (Bandung, FOKUSMEDIA, 2007), Cet. Ke-2

Anwar, Najib, Dilema Kawin Sirri, dalam BP4 Pusat,Majalah Perkawinan & Keluarga Nomor 480/2012

Ibnu Isa Saurah, Abi Isa Muhammad, Sunan al-Tirmidzi al-Jami al-Shohih, (Beirut : Daar al-Ma‟rifat, 2002)

Bin Hajaj, Imam Abi Husain, Shahihul Muslim, Al-Musnad Asshahihu Al-Mukhtasar minas Sunani binaqli al-adlu anil adl, (Kairo : Daar al-Hadis, 1991)

Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : FOKUSMEDIA, 2007), Cet. Ke-2

Fauzil Adhim, Mohamad, Indahnya Pernikahan Dini, (Jakarta : Gema Insani Press, 2002), Cet. Ke-1

Nasar, M. Fuad Nasar, Refleksi Setengah Abad BP4: Penguatan Peran BP4 di Tengah Tingginya Angka Perceraian, dalam BP4 Pusat, Majalah Perkawinan & Keluarga Nomor 480/2012

Fauzi, Rahmat, Refleksi Peranan KUA Kecamatan, dalam

http://salimunnazam.blogspot.com/p/refleksi-peran-kua-kecamatan.html

Sutarmadi, Ahmad, Peranan BP4 dalam Menurunkan Angka Perceraian, dalam http://sururudin.wordpress.com/2010/09/19/peranan-bp4-dalam-menurunkan-angka-perceraian/

Fatwa MUI tentang Pernikahan Usia Dini dalam Ma‟ruf Amin, et.al., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, Editor Hijrah Saputra, et.al., (Surabaya: Erlangga,2010)


(2)

90

Arsip KUA Kecamatan Pamijahan Bogor Barat yang diambil pada tanggal 30 Agustus 2014 di Kantor KUA Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor Barat

Ali, M. Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta : PT. Grapindo Persada, 2002). Cet. Ke-11

Karim, Helmi, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), Cet. Ke-3

Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta : Graha Indonesia, 1987), Cet. Ke-8

Rafiq, Hukum Islam di Indonesia

Suwondo, Nani, Hukum Perkawinan dan Kependidikan di Indonesia, (Bandung : PT. Bina Cipta, 1989), Cet. Ke-1

M. Nuh, Nuhrison, et.al. optimalisasi peran KUA melalui jabatan fungsional penghulu, (jakarta:puslitbang kehidupan keagamaan, 2007),cet ke-1

S. Lev, Daniel, Peradilan Agama Islam di Indonesia, (Jakarta : Intermasa,1986) Kuntawijaya, Paradigma Islam, (Bandung: Mizan, 1991)

Raharjo, M. Dawam, Intelektual Intelgensia, (Bandung: Mizan,1996)

Latif, M. Djalil, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983)

Chaniago, Amran Y S, Kamus Besar Indonesia, Jakarta, 1995

Sudrajat, Mamat, (Kepala KUA Kecamatan Pamijahan), Wawancara Resmi, Kamis, 26 Juni 2014

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: kencana, 2008)

Sutarmadi, A & Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: FSH-UIN,2006)

Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan, (Jakarta: 2009)


(3)

91

Hidayatullah, Ujang (Amil Desa Pasarean), Wawancara Resmi, Rabu, 25 Juni 2014

Arsip Desa Pasarean yang diambil pada tanggal 23 Agustus 2014 di Balai Desa Pasarean Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor

Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2006

Mardillah, Alis, dkk, Wawancara Pribadi, Tanggal 21-25 Juli 2014


(4)

KEMENTERIAN

AGAMA

UNTERSrTAS rSLAM hlEGERr (UtrY)

SYARIF EIDAYATTILLAE

JAKARIA

F.AKULTAS SYARIAH DAN EUKUM

Y

h. H.Juanda No. 95 Cirstet Jekart lt{lZ lrxlo3lo la

Nomor Lampiran Hal

':Un.ol lF4lIQ./^:OO.oU

bffi

tzOt+

: Permohonan Data/ Wawancara

KepadaYth.

I(antor Urusan Agama Pamijahan Kab. Bogor

di

Tempat

Ass al amu lalai hm Wr. Wb :

Dckao .Fakriltis Syariah dan 'Hukum (IIN

menerangkan bahwa :

f 401 925 F.L (62-21't 7 49 1 821

E{an:

Ial<artA 22 September 20{4 H

Syarif Hidayetullah Jakarta

Nama

Nomor Pokok

Tempat/Tanggal Lahir

Semester

Jurusan/I(onsentrasi Alamat

Telepon

Dadc Ahmad Nasnrllah 208044100020 Bogor,24 Maret 1987

XVII (Tujuh Belas)

Ahwal Asyalhsiryah/ Peradilan Agama

Kp, Kawakilan

ll

Rf/ Rw. 0l/ 03 Desa

Pasarean Keo. Pamijahan Kab, Bogor 085773910487

adalah benar mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jril@rta yang.scdang menyusun slcripsi dengan judul:

oPeranan KUA Xecatdataa Pamijahan Dalam Menanggulangi pernikahan Dini

'..

Di Desa Fasarean,'

untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/ Ibu dapat

menerima yang bersangkutan untuk wawancaftr serta memperoleh data guna penulisan skripsi dimaksud.

Atas kerjasama dan bantuannya, kami ucapkan terima kasih. Wassalamu' alailqnn Wr, Wb,

Tembusan

l.

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta; 2. Kal Sekprodi MuamalaV Perbankan Syariah.


(5)

KEMENTERTAN

AGAMA

KANTOR T'RUSAN AGAMA KECAMATAN PAMIJAIIAN

KABUPATEN BOGOR

JL Abdul Eamid KM. 06 Ds. Pasareau - Bogor

.

Kepada Yth

Wakil Dekan Bidang Akademik

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Di-Tempat

Ass alamu' laikum Wr. ll'b

Yang bertanda tangan dibawah ini Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Pamijahan

Kabupaten Bogor menerangkan bahwa :

Nomor \Lampiran Lampiran

Nama

No Pokok

Semester

Jurusan/Konsentrasi

: I(k. I 0.0 1. 1 7/Kp .04 427 l20l 4

:-: Keterangan llawancara

Pamijahan, 24 September 2014

Tempat/Tanggal Lahir : Bogor, 24 Maret L987

: DADEAI{MADNASRULLAH

: 208044100020

: XIII (Tiga Belas)

: Ahwal Asyakhsiyyah/ Peradilan Agarna

Alamat : Kp.Kawakilan tr Rt. 0l/03 Ds. Pasarean Kec. Pamijahan Benar bahwa nama tersebut telah melakukan wawancara dcngan pihak kanri yang dilaksanakan pada Hari Selasa, 23 September 2014 dengan judul "Peranan KaA dalam Menanggulangi Pernikahan Dini di Dess Pssarean Kecamatan Pamiiahan Kabupaten Bogor".

Demikian Surat keterangan ini di buat untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya' Wassalamua' laikum Wn W


(6)

PEME.RN\NAH TL{BUPATM{ BOCOR

KE CAJYIA TAI.{ PA}TIJAffAN

KAIflTOR KEPALA

DESA.

PASA"FIAN"*.

,tffi

l Jlhr.KE ,rtbut ErurU Xo, qz KIp 0?. Drrr.PErcm ft{p. (f}sl) 664161 Kode Pos 16530

tic-nor: C1A/zOO5/At /tX/zot 4

-i,a nn ;

'-

a 1: -enelitian

Itepa fla lft'-,

Del;an Fakultas Syanlah dsn r{ukum

dl

empat

A,9na lanue t a la l-L:r.ln lir.i,lb.

YqnF bertanrle ta'rqan dlbawah J-ni Kepala Desa iasa'-ean Kecar.atsn

f arnt,ja'''an kaY,'rp"trun noqor. rnenerarrqlian hahwaa

li a

n

8'

:

DA.le -Ahrad llasrullah

.lIIm

z2OFO44tO002O

teFpat

Tgl Lar,l.r 'i

:rogor, 24-OA-t9?.i

S ei.res

l-:er

;

XIf

I

( t,1ga Belas )

Jlirusan

:

Rerarlllan Aeara

A

1

a

m

a t

:

Kp. Karskllan Eua RTn or /0J Desa

Pasabean Fecatnatan Far"i jahan Katrurraten

'

3ogor.

lenar nan:g tersebut d'iatas srrdah neLalnrlran FenelJ.tian d1 desa

IiATi,

CETgAN JUdUI'PERAIIAN KUA DAIAI.f I{ENANGGULATT.}I FF,R]:]IF.AI]A}I

DTqr Dr r)r;1A FASAREANT KECAMATAI,' pAlrrJArAI{ KABIIPATEN BO-loR.

lenikian

Srrrat lietero:nqan

inl

karnl b.rat den.qan gehenarnii, ,e".,

;::::.pihak

vanpe berkepentlngan asar rensetahul rlen maklun

PASAREAN, 24-a9-2Ot 4