Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

6

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu, pemilu merupakan sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat dalam negara republik Indonesia. Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas pancasila dengan mengadakan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 1 Pemilu diselenggarkan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupatenkota. Perencanaan, penyelenggaraan, dan pelaksanaan pemilu dilaksanakan atas asas-asas demokrasi yang dijiwai semangat pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Cara penangkalan yang paling efektif dalam kaitannya dengan pemilu adalah meningkatkan kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat oleh pemerintah. Pemilu di dalam sistem demokrasi terikat dengan prinsip dan sistem demokrasi-sekuler. Pemilu dalam sistem demokrasi ditujukan untuk memilih wakil rakyat yang memiliki beberapa fungsi, salah satunya adalah fungsi legislasi dan kontrol. Hal ini dijelaskan di dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum Pemilu. Di dalam pasal 3 undang-undang tersebut dinyatakan 1 Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008 7 “Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD KabupatenKota.” Selain itu pemilu dalam negara demokratis merupakan mekanisme pemerintahan yang ditujukan untuk mempertahankan sistem demokratik-sekularistik. Kenyataan ini tampak jelas dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008, tentang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat DPR, Dewan Perwakilan Daerah DPD, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD Tingkat Provinsi dan KabupatenKota, dalam bab I yaitu ketentuan umum yang menyatakan “Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat, yang menjadi sorotan utama yaitu perkara yang diwakilkan yakni untuk melakukan aktivitas akad perwakilan yang dilaksanakan. Dengan kata lain, aktivitas para wakil rakyat seharusnya sesuai dengan syarî’ah Islam, jika sesuai dengan syarî’ah Islam maka wakâlah boleh dilakukan, sebaliknya jika tidak sesuai maka wakâlah tersebut menjadi bâtil dan karenanya haram dilakukan. Dalam pandangan hukum Islam, pemilu merupakan cara untuk memilih wakil rakyat dan merupakan salah satu bentuk akad perwakilan wakâlah. Hukum asal ‘ wakâlah’ adalah mubah boleh, dalilnya terdapat dalam hadits sahih dalam penuturan Jabir bin Abdillah r.a. yang berkata: 8 ﺎ ﻬْﻋ ﱠ ا ﻲﺿر ﱠ ا ﺪْﻋ ﻦْ ﺮ ﺎﺟ ْﻦﻋو لﺎ : ﺮ ْﻴ ﻰ إ جوﺮ ْا تْدرأ , ْﻴ ﺄﻓ لﺎ ﻓ و ﻴ ﻋ ﷲا ﻰ ﺻ ﱠﻲ ﱠ ا : ﺮ ْﻴ ﻲ ﻴآو ْﻴ أ اذإ , ﺮﺸﻋ ﺔ ْ ْ ْﺬ ﻓ ﺎًْ و دواد ﻮ أ اور ﺤﱠﺤﺻو Artinya : “Aku pernah hendak berangkat ke Khaibar. Lalu aku menemui Nabi SAW. Beliau kemudian bersabda: Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah olehmu darinya lima belas wasaq.” HR. Abu Daud. 2 Adapun dalam sistem demokrasi, pemilu untuk memilih penguasa adalah dalam rangka menjalankan sistem sekular, bukan sistem Islam. Maka status pemilu legislatif tidak sama dengan pemilu eksekutif. Dalam konteks pemilu legislatif, status pemilu merupakan akad wakâlah sehingga berlaku ketentuan sebelumnya. Namun dalam konteks pemilu eksekutif statusnya tidak bisa lagi disamakan dengan status akad wakâlah, melainkan akad ta‘yîn wa tansib memilih dan mengangkat untuk menjalankan hukum-hukum tertentu. Dalam hal ini statusnya kembali pada hukum apa yang hendak diterapkan. Jika hukum yang diterapkan adalah hukum Islam maka memilih penguasa bukan saja mubah atau boleh melainkan wajib. 3 Menurut Al- Farabi negara demokrasi adalah negara yang tujuan penduduknya menganut kebebasan dan setiap penduduknya melakukan apa yang dikehendaki tanpa sedikit pun yang mengekang kehendaknya. 4 Aturan ini semakin memperjelas bahwa pemilu merupakan media untuk melanggengkan rezim demokratik-sekularistik yang jelas-jelas bertentangan dengan 2 Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, Jakarta: Yayasan Al- Amin Kramat Raya, 1984, h. 23. 3 Abdul Karim Zaidan., h. 28. 4 Al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan, 2002., h. 75. 9 aqidah dan syarî’ah Islam. Akan tetapi Allah SWT Maha Tahu dan Maha Hakim untuk memilih jalan menuju keadilan dan memberinya ciri dan tanda. Maka apapun jalan yang bisa membawa tegaknya keadilan maka hal itu merupakan bagian dari agama dan tidak bertentangan dengan agama. Dalam Islam apapun yang bisa melahirkan keadilan, maka dalam bagian dari politik harus sesuai dengan syarî’ah. Tidak ada keraguan bahwa siapa yang menjabat sebuah kekuasaan harus menegakkan keadilan yang sesuai dengan syarî’ah Islam. Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan bagi kaum muslimin dan memiliki tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar berubah menjadi yang lebih baik dan berasaskan akan Islam, maka ini adalah suatu hal yang baik karena bertujuan untuk mengurangi kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan sebagian kemaslahatan. Pada akhirnya yang paling dibutuhkan adalah al-fiqh atau pemahaman yang baik dan bijak akan nilai-nilai syarî’ah Allah, agar dapat melaksanakannya secara tepat dan benar sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT yang menurunkan rahmat bagi alam semesta. Atas dasar itu, pengkajian hukum Islam dalam sistem pemilu di Indonesia sangat relevan bila dikaitkan dengan doktrin dan teori hukum Islam dan hukum nasional. Hal ini menarik untuk diteliti, sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul: “SISTEM PEMILU DI INDONESIA MENURUT UU NO. 10 TAHUN 2008 SUATU KAJIAN FIQH SIYASAH”. 10

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah