Sistem pemilu di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 : suatu kajian fiqh siyasah

(1)

(SUATU KAJIAN FIQH SIYASAH)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh:

MEKKA MUKARROMAH NIM: 106045201532

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1431 H / 2010 M


(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metode Penelitian ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II DOKTRIN PEMILU DALAM FIQH SIYASAH A. Urgensi Pemilu Dalam Ketatanegaraan Islam ... 13

B. Prinsip-Prinsip Ketatanegaraan Islam Dalam Pemilu ... 18

1. Prinsip Musyawarah... 18

2. Prinsip Keadilan ... 20

3. Prinsip Persamaan ... 21

4. Prinsip Kejujuran ... 22

5. Prinsip Pertanggungjawaban... 23


(3)

7. Prinsip Kebajikan ... 25

BAB III SISTEM PEMILU MENURUT UU NO. 10 TAHUN 2008

A. Latar Belakang Pembentukan UU No. 10 Tahun 2008... 28

B. Pandangan Para Pakar Tentang UU No. 10 Tahun 2008 ... 29

C. Substansi UU No. 10 Tahun 2008 ... 45

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM PEMILU MENURUT UU NO. 10 TAHUN 2008

A. Sistem Pemilu Dalam Islam ... 49

B. Pemilu Dalam Pandangan Ulama Islam Kontemporer ... 58

C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Sistem Pemilu menurut UU No

10 Tahun 2008 ... 77

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 82 B. Rekomendasi ... 88


(4)

KATA PENGANTAR

ﻢ ﺮﻟا

ﻦﻤ ﺮﻟا

ﷲا

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan berbagai nikmat dan karunia-Nya, sehingga alhamdulillah penulis dapat merampungkan skripsi ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana syari’ah.

Pada skripsi ini penulis memilih judul Sistem Pemilu Di Indonesia Menurut

Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 (Suatu Kajian Fiqh Siyasah). Shalawat serta salam semoga Allah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah suri tauladan bagi umat manusia didalam mengarungi bahtera hidup di alam fana ini.

Dalam penulisan skripsi ini, alhamdulillah penulis telah mendapatkan banyak bimbingan, petunjuk, serta motivasi dari berbagai pihak. Maka selayaknya menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan

Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Ibu

Sri Hidayati M.Ag. selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah memberikan petunjuk dan pengarahan khusus dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Asmawi M.Ag selaku pembimbing yang senantiasa mengarahkan

penulis kepada wawasan intelektual dan dunia ilmiah yang sangat bermanfaat bagi penulis.


(5)

4. Segenap dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang memberikan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berarti bagi perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas bagi penulis.

5. Pimpinan perpustakaan yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi

kepustakaan.

6. Ayah dan Ibuku (H. Dadin Supriadi dan Hj. Nina Ernawati) serta kakek dan

neneku (H. Supandi dan Hj. Sholihat) yang telah memberikan tetesan air mata do’a dan motivasi hidup yang berarti.

7. Suamiku tercinta yang selalu menuntunku agar terus berdo’a, berusaha, dan

bersabar.

8. Seluruh keluargaku yang selalu mendo’akanku disetiap waktu.

9. Teman-teman yang membantuku dalam suka maupun duka.

10.Dan kepada semua pihak yang telah mendoakan dan membantu penulis baik moril

maupun materil

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif. Demikianlah semoga Allah SWT, senantiasa memberikan hidayah, taufik dan inayah-Nya dan menjadikan skripsi ini sebagai karya ilmiah yang bermanfaat bagi penulis dan bagi siapa pun yang membacanya.

Jakarta, 10 Juni 2010 Penulis,


(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu, pemilu merupakan sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat dalam negara republik Indonesia. Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas pancasila dengan mengadakan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1 Pemilu diselenggarkan untuk

memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Perencanaan, penyelenggaraan, dan pelaksanaan pemilu dilaksanakan atas asas-asas demokrasi yang dijiwai semangat pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Cara penangkalan yang paling efektif dalam kaitannya dengan pemilu adalah meningkatkan kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat oleh pemerintah.

Pemilu di dalam sistem demokrasi terikat dengan prinsip dan sistem demokrasi-sekuler. Pemilu dalam sistem demokrasi ditujukan untuk memilih wakil rakyat yang memiliki beberapa fungsi, salah satunya adalah fungsi legislasi dan

kontrol. Hal ini dijelaskan di dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang

pemilihan umum (Pemilu). Di dalam pasal 3 undang-undang tersebut dinyatakan

1


(7)

“Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.”

Selain itu pemilu dalam negara demokratis merupakan mekanisme

pemerintahan yang ditujukan untuk mempertahankan sistem demokratik-sekularistik. Kenyataan ini tampak jelas dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008, tentang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat Provinsi dan

Kabupaten/Kota, dalam bab I yaitu ketentuan umum yang menyatakan “Pemilihan

umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat, yang menjadi sorotan utama yaitu perkara yang diwakilkan yakni untuk melakukan aktivitas akad perwakilan yang dilaksanakan. Dengan kata lain, aktivitas para wakil rakyat seharusnya sesuai dengan syarî’ah Islam, jika sesuai dengan syarî’ah Islam maka wakâlah boleh dilakukan, sebaliknya jika tidak sesuai maka wakâlah tersebut menjadi bâtil dan karenanya haram dilakukan.

Dalam pandangan hukum Islam, pemilu merupakan cara untuk memilih wakil

rakyat dan merupakan salah satu bentuk akad perwakilan (wakâlah). Hukum asal

wakâlah adalah mubah (boleh), dalilnya terdapat dalam hadits sahih dalam


(8)

ﺎ ﻬْﻋ

ﱠ ا

ﻲﺿر

ﱠ ا

ﺪْﻋ

ﻦْ

ﺮ ﺎﺟ

ْﻦﻋو

)

لﺎ

:

ﺮ ْﻴ

ﻰ إ

جوﺮ ْا

تْدرأ

,

ْﻴ ﺄﻓ

لﺎ ﻓ

و

ﻴ ﻋ

ﷲا

ﻰ ﺻ

ﱠﻲ ﱠ ا

:

ﺮ ْﻴ

ﻲ ﻴآو

ْﻴ أ

اذإ

,

ﺮﺸﻋ

ﺔ ْ

ْ

ْﺬ ﻓ

ﺎًْ و

(

دواد

ﻮ أ

اور

ﺤﱠﺤﺻو

Artinya : “Aku pernah hendak berangkat ke Khaibar. Lalu aku menemui Nabi

SAW. Beliau kemudian bersabda: Jika engkau menemui wakilku di

Khaibar, ambillah olehmu darinya lima belas wasaq.” (HR. Abu Daud). 2

Adapun dalam sistem demokrasi, pemilu untuk memilih penguasa adalah dalam rangka menjalankan sistem sekular, bukan sistem Islam. Maka status pemilu legislatif tidak sama dengan pemilu eksekutif. Dalam konteks pemilu legislatif, status pemilu merupakan akad wakâlah sehingga berlaku ketentuan sebelumnya. Namun dalam konteks pemilu eksekutif statusnya tidak bisa lagi disamakan dengan status akad wakâlah, melainkan akad ta‘yîn wa tansib (memilih dan mengangkat) untuk menjalankan hukum-hukum tertentu. Dalam hal ini statusnya kembali pada hukum apa yang hendak diterapkan. Jika hukum yang diterapkan adalah hukum Islam maka

memilih penguasa bukan saja mubah atau boleh melainkan wajib.3 Menurut

Al-Farabi negara demokrasi adalah negara yang tujuan penduduknya menganut kebebasan dan setiap penduduknya melakukan apa yang dikehendaki tanpa sedikit

pun yang mengekang kehendaknya.4

Aturan ini semakin memperjelas bahwa pemilu merupakan media untuk melanggengkan rezim demokratik-sekularistik yang jelas-jelas bertentangan dengan

2

Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Yayasan Al-Amin Kramat Raya, 1984), h. 23.

3

Abdul Karim Zaidan., h. 28.

4


(9)

aqidah dan syarî’ah Islam. Akan tetapi Allah SWT Maha Tahu dan Maha Hakim untuk memilih jalan menuju keadilan dan memberinya ciri dan tanda. Maka apapun jalan yang bisa membawa tegaknya keadilan maka hal itu merupakan bagian dari agama dan tidak bertentangan dengan agama.

Dalam Islam apapun yang bisa melahirkan keadilan, maka dalam bagian dari politik harus sesuai dengan syarî’ah. Tidak ada keraguan bahwa siapa yang menjabat sebuah kekuasaan harus menegakkan keadilan yang sesuai dengan syarî’ah Islam. Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan bagi kaum muslimin dan memiliki tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar berubah menjadi yang lebih baik dan berasaskan akan Islam, maka ini adalah suatu hal yang baik karena bertujuan untuk mengurangi kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan sebagian kemaslahatan.

Pada akhirnya yang paling dibutuhkan adalah al-fiqh atau pemahaman yang

baik dan bijak akan nilai-nilai syarî’ah Allah, agar dapat melaksanakannya secara

tepat dan benar sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT yang menurunkan

rahmat bagi alam semesta. Atas dasar itu, pengkajian hukum Islam dalam sistem pemilu di Indonesia sangat relevan bila dikaitkan dengan doktrin dan teori hukum Islam dan hukum nasional. Hal ini menarik untuk diteliti, sehingga penulis

menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul: “SISTEM PEMILU DI

INDONESIA MENURUT UU NO. 10 TAHUN 2008 (SUATU KAJIAN FIQH SIYASAH)”.


(10)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari masa ke masa pemilu selalu dilakukan, akan tetapi persoalan pemilu selalu ada dan sangat luas permasalahannya. Maka sudah barang tentu penelitian tentang pemilu tidak bisa diuraikan dalam penelitian yang sederhana.

Agar pembahasan ini tidak meluas, maka penulis terfokus pada pemilu secara normatif dari segi Islam. Maka dari uraian latar belakang masalah di atas, skripsi ini menetapkan pokok masalah yaitu: Bagaimanakah sistem pemilu di Indonesia dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 menurut perspektif Islam?

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan dalam latar belakang, dan tentunya agar penelitian ini terarah dan terfokus pada satu masalah kajian, maka penulis membatasi batasan bahasan sekitar:

1. Bagaimana konsep dasar doktrin pemilu dalam fiqh siyasah yang berkaitan

dengan asas proporsionalitas dan keadilan dalam UU No. 10 tahun 2008?

2. Bagaimana sistem pemilihan umum (pemilu) di Indonesia yang diatur oleh UU

No. 10 Tahun 2008, khususnya yang berkaitan dengan 3 pasal yang dianggap kontroversial yaitu pasal 205 ayat 4, pasal 211 ayat 3, dan pasal 212 ayat 3 ?

3. Bagaimana relasi antara hukum Islam (pemilu dalam Islam) dengan sistem

pemilihan umum (pemilu) di Indonesia dalam UU No. 10 tahun 2008?

Untuk lebih fokus pada pembahasan mengenai Undang-Undang No.10 Tahun

2008, maka penulis membatasi lingkup penelitian pada beberapa pasal yang dianggap kontroversial seperti :


(11)

1. Pasal 205 ayat 4 yang berbunyi “Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR.”

2. Pasal 211 ayat 3 yang berbunyi: “Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah

dialokasikan berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu sampai habis.”

3. Pasal 212 ayat 3 yang berbunyi: “Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah

dialokasikan berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi partai politik peserta pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu sampai habis.”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Merujuk kepada pokok masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan sistem pemilu di Indonesia dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 dalam pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam perspektif Islam (kajian fiqh siyâsah). Dengan demikian, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan konsep dasar pemilu dalam fiqh siyâsah


(12)

3. Untuk mendeskripsikan pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu di Indonesia

Adapun signifikansi penelitian ini terangkum dalam point berikut:

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi positif dalam upaya

memecahkan masalah yang melingkupi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilu.

b. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mengembangkan pemikiran

politik Islam tentang pemilu yang ideal.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih pemikiran dalam

khazanah intelektual terhadap kajian pemilu khususnya di jurusan siyâsah syariyyah.

D. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang akan diteliti, maka tentunya penulis harus mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan permasalahan isu yang akan diteliti. Secara tipologis, penelitian penulis ini menggunakan studi kepustakaan, dengan memperoleh dan mengumpulkan data untuk mendapatkan data sesuai harapan penulis dan seperti yang digambarkan dalam bahan kepustakaan. Dengan kata lain,


(13)

jenis penelitian ini dapat juga disebut sebagai penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis 5.

Dengan demikian, pendekatan (approach) pada objek penelitian ini menggunakan pendekatan normatif doktriner, yaitu berdasarkan pada norma perspektif Islam dalam menganalisis Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang pemilu.

Lebih dari itu, sifat dalam penelitian ini merupakan model penelitian deskriptif analitis yang memaparkan apa adanya pemilu di Indonesia, yakni penelitian yang menggambarkan dan menginformasikan yang diperoleh dari penelitian kepustakaan secara mendalam agar dapat memberikan informasi kepada pembaca secara optimal. Kemudian dianalisis dan dikaji secara normatif, yaitu dengan fiqh siyâsah sebagai tolak ukurnya.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data hukum menggunakan teknik studi dokumenter dengan mengumpulkan bahan dari sumber-sumber data primer, sekunder, dan tersier.

Bahan pustaka yang menjadi rujukan primer dalam penelitian ini adalah Al-Qur’an dan Hadits, kitab-kitab yang berkaitan dengan fiqh siyâsah dalam siyâsah

syariyyah antara lain “Al-Ahkâm Al-Sultâniyyah karya Al-Mawardy dan Ali ibn

5

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Penelitian kepustakaan atau disebut juga penelitian hokum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)., h. 13-14.


(14)

Muhammad ibn Habib,“As-siyâsah As-syariyyah” karya Abdul Wahab Khalaf, serta Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang pemilu.

Adapun rujukan sekunder adalah beberapa buku yang fokus kajiannya mengenai permasalahan tentang pemilu dan juga data pustaka lain yang berkaitan dengan pemilu. Berbagai macam buku tersebut antara lain: karya Dr. Muhammad Iqbal dalam bukunya “Fiqh Siyâsah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”, karya

Prof. A. H. A. Dzajuli, SH. dalam bukunya “Fiqh Siyâsah Dalam Implemenatsi

Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syarî’ah”, karya T. M. Hasbi As-Shiddieqy dalam bukunya “Asas-asas Hukum Tata Negara Menurut syarî’ah Islam, dan karya Djoko Prakoso dalam bukunya “Tindak Pidana Pemilu.” Selain yang disebutkan diatas, penyusun juga menggunakan referensi lainnya yang bisa dijadikan sumber acuan pelengkap yang terkait dengan skripsi ini.

Adapun rujukan tersier dalam penelitian ini adalah kamus ilmiah, kamus hukum, dan buku pedoman penulisan skripsi fakultas syari’ah dan hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009. Hal ini sebagai penunjang yang memberikan petunjuk terhadap data primer dan data sekunder.

Peneliti melakukan penelusuran untuk mencari data-data hukum yang relevan terhadap isu yang dihadapi. Karena didalam penelitian penulis menyebutkan pendekatan undangan, maka peneliti harus mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu pemilu. Oleh karena itu untuk memecahkan suatu isu pemilu peneliti harus menelusuri sekian banyak berbagai produk peraturan perundang-undangan seperti undang-undang pemilu sebelumnya


(15)

dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003. Lebih dari itu, untuk mendapatkan penjelasan mendalam (in-depth) tentang UU No. 10 tahun 2008, penulis melakukan interview (open-ended interview) atau wawancara dengan beberapa pakar hukum yang kompeten di bidangnya.

3. Teknik Analisis Data

Data yang terkumpul dari berbagai sumber yang relevan dianalisis secara kualitatif, dengan menggunakan penalaran deduktif induktif. Hal ini merupakan hukum-hukum yang sesuai dengan perspektif Islam yang dijadikan landasan dan kaidah umum untuk meninjau sistem pemilu dalam undang-undang No. 10 tahun 2008, kemudian disimpulkan apakah sesuai atau tidak sesuai.

Dalam menganalisis data hukum, diterapkan teknik analisis isi secara kualitatif. Metode data dilakukan dengan cara mendeskripsikan bahan-bahan tersebut

secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan content analysis. Kemudian

melakukan bongkar pasang dan menata kembali secara sistematis bahan-bahan yang telah terkumpul sebelumnya dengan menggambarkan satu kesatuan yang utuh. Penulis menginterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti. Sementara untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas syarî’ah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009.”


(16)

Sebagaimana layaknya laporan hasil ilmiah yang standar dalam bentuk skripsi, maka laporan ini menjelaskan secara teknis prosedural. Hal ini untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan. Pembahasan skripsi ini terbagi menjadi lima bab, dari setiap bab terdiri dari sub bab yaitu:

BAB I Pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Dari latar belakang masalah ini nantinya akan muncul bahasan-bahasan yang menjadi kajian atau ulasan dari skripsi ini.

BAB II Doktrin Pemilu Dalam Fiqh Siyasah, membahas tentang: urgensi pemilu dalam ketatanegaraan Islam, lalu dilanjutkan dengan pembahasan prinsip ketatanegaraan Islam dalam pemilu seperti prinsip musyawarah, prinsip keadilan, prinsip persamaan, prinsip kejujuran, prinsip pertanggung jawaban, prinsip kebebasan, prinsip kebajikan. BAB III Sistem Pemilu Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008,

mendeskripsikan tentang: latar belakang pembentukan UU No. 10

tahun 2008, pandangan para pakar terhadap UU No. 10 tahun 2008, dan substansi UU No. 10 tahun 2008.

BAB IV Analisis Hukum Islam Terhadap Sistem Pemilu Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, mendiskusikan beberapa point


(17)

penting seperti: sistem pemilu dalam Islam, pemilu dalam pandangan ulama Islam kontemporer, dan pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu menurut UU No. 10 tahun 2008.

BAB V Penutup, berisikan pembahasan tentang kesimpulan dari semua pembahasan, diakhiri dengan saran dan rekomendasi.


(18)

BAB II

DOKTRIN PEMILU DALAM FIQH SIYASAH

A. Urgensi Pemilu Dalam Ketatanegaraan Islam

Dalam kepustakaan Islam telah lama dikenal terma fiqh politik (fiqh siyâsah), yang menempatkan syarî’ah Islam disamping sebagai aturan tentang ketuhanan, hubungan antara manusia dengan Tuhannya (masalah-masalah ibadah) serta akhlak, tetapi juga mencakup hubungan individu dengan daulah (negara dan pemerintah), atau hubungan pemimpin dengan rakyat, hubungan hakim dengan terdakwa,

hubungan pejabat dengan penduduk, yang diatur dalam fiqh daulah.1 Politik menurut

perspektif syarî’ah, ialah menjadikan syarî’ah sebagai pangkal tolak, kembali dan bersandar kepada-Nya, mengaplikasikannya dimuka bumi, menancapkan ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip-Nya ditengah manusia, sekaligus sebagai tujuan dan sasaran-Nya, sistem, dan jalan-Nya. Tujuannya berdasarkan syarî’ah dan sistem yang dianut juga berdasarkan syarî’ah. Islam adalah aqidah dan syarî’ah, agama dan

daulah, kebenaran dan kekuatan, ibadah dan kepemimpinan, mushaf dan perang.2.

Dalam kepustakaan modern bidang-bidang ini adalah termasuk dalam bidang kenegaraan dan kebijakan publik, dan hukumnya adalah masuk dalam bidang hukum

1

Yusuf Al-Qardhawy, Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam, Terjemahan dari judul Aslinya: As-siyâsah As-syariyyah, oleh Kathur Suhadi, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1999), Cet.I., h. 23.

2

Yusuf Al-Qardhawy., h. 35.


(19)

publik, yaitu hukum tata negara, administrasi negara, hukum pidana, dan hukum acara.

Terdapat banyak kajian dalam masalah fiqhiyyah, ada yang masuk dalam domain pembahasan fiqh secara umum, dan bahkan ada pula yang mengupasnya dalam kitab-kitab fiqh secara khusus, seperti “Al-Ahkâm Al-Sultâniyyah” karangan Al-Mawardî Asy-Syafi’y (wafat 450 H), Abul Ya’la Al-Farra’ Al-Hambali (wafat 458 H.), “Ghayyatsul-Umam” karangan Al-Imam Al-Haramain Asy-Syafi’y (wafat 476 H), Kitab “As-Siyâsah As-Syariyyah Fi Al-Islâhi Ar-ra’yu wa Ar-Ra’iyyah” karangan Ibnu Taimiyah (wafat 728 H), serta karangan dari murid dan sahabat Ibnu Taimiyyah yaitu Ibnu Qayyim yang mengarang kitab “At-turûq Al-Hukmiyyah.” Termasuk kitab klasik “Al-Kharaj” yang dikarang oleh Abu Yusuf (wafat 181 H), salah seorang sahabat Imam Abu Hanifah, serta banyak lagi kitab-kitab lainnya

termasuk yang ditulis pada awal abad ke-20.3

Pandangan dan pendapat para para fuqaha dan ulama klasik tentang politik

hampir sama dengan apa yang dikemukan oleh Al-Qordowi4 yaitu tidak

dipisahkannya politik dengan syarî’ah Islam. Politik adalah bagian dari syarî’ah Islam yang diatur oleh syarî’ah dan tujuannya untuk tegaknya syarî’ah itu sendiri. Politik

dalam pandangan para ulama salaf diartikan dalam dua makna, yaitu: Pertama, dalam

makna umum yaitu untuk menangani urusan manusia dan masalah kehidupan dunia

mereka berdasarkan syari’at agama. Kedua, politik dalam makna khusus yaitu

3

Al-Mawardy dan Ali ibn Muhammad ibn Habib, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, h.54

4


(20)

pendapat yang dinyatakan pemimpin, hukum dan ketetapan yang dikeluarkannya untuk menangkal kerusakan yang akan terjadi, mengatasi kerusakan yang telah terjadi atau untuk memecahkan masalah-masalah khusus. Politik harus didasarkan pada fiqh Islami, yang berasal dari segala mazhab fiqh yang ada serta praktek para sahabat dan tabi’in. Dalam pelaksanaannya fiqh Islami itu berinteraksi dengan realitas kehidupan, serta berbuat untuk memecahkan berbagai problem dengan merujuk kepada syarî’ah. Syarî’ah tidak menutup mata terhadap realitas kehidupan, oleh kerena itu realitas juga

adalah alat untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul.5

Banyak contoh dan tuntunan yang diberikan Rasulullah SAW, tentang kelenturan syarî’ah Islam yang dihadapkan dengan realitas, dan inilah bidang politik, yaitu antara lain suatu saat Rasululah pernah memerintahkan untuk memenjarakan seorang tersangka, padahal pada sisi lain Rasulullah SAW bersabda tidak akan menghukum seseorang kecuali dengan dua saksi. Begitu juga dengan sikap Rasulullah SAW yang meringankan hukuman bagi pencuri yang diganti dengan hukum dera, karena memperhatikan kondisi kehidupan pencuri itu. Serta mengambil zakat dan mengembalikan sebagian kepada mereka sebagai keringanan. Khalîfah

Umar r.a. juga pernah menangguhkan hukum bagi pencuri karena kemiskinan.6

Setelah runtuhnya Khilâfah Islamiyah mulai berkembang perbedaan pandangan diantara ummat Islam tentang Islam dan politik. Terutama dimulai dengan

5

Yusuf Al-Qardhawy., h. 38

6

Abul A’la Al-Maududi, , Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Penerjemah Drs. Asep Hikmat, (Bandung: Mizan, 1993), h. 245.


(21)

pandangan seorang ulama Al-Azhar yaitu Ali Abdurraziq, dengan tulisan Islam Wa

UUsûli Al-Hukmi“, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Islam adalah agama yang

tidak memiliki daulah, negara Islam adalah risalah rohani semata. Muhammad tidak bermaksud mendirikan negara dan hal ini tidak termasuk risalah beliau. Beliau hanyalah seorang rasûl yang bertugas melaksanakan dakwah agama secara murni tidak dicampur kecenderungan terhadap kekuasaan dan seruan mendirikan negara, karena memang beliau tidak memliki kekuasaan dan pemerintahan. Beliau bukan raja dan bukan pula seorang pendiri daulah serta tidak mengajak kepada pembentukan negara. Pandangan Ali Abdurraziq ini ditentang oleh seluruh ulama Al-Azhar dan putusan dalam pertemuan format Saikh Al-Azhar beserta 24 anggota tetap, dan memutuskan bahwa buku Ali Abdurraziq tersebut telah memuat berbagai masalah yang bertentangan dengan agama. Pengarangnya dianggap telah melalui jalan yang sama sekali tidak layak dilakukan seorang muslim, terlebih lagi seorang yang berilmu. Pengarangnya dikeluarkan dari ulama Al-Azhar dan dicabut kepakarannya serta diberhentikan dari jabatannya.

7

Pandangan yang lebih moderat disampaikan oleh Haikal,8 bahwa dalam

Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ditemukan aturan-aturan yang langsung dan rinci mengenai masalah-masalah yang ada hanyalah seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan pedoman bagi pengaturan tingkah laku manusia dan kehidupan dan

7

Yusuf Al-Qardhawy., h, 29.

8

Musda Mulia, Negara Islam – Pemikiran Politik Husain Haikal, Disertasi Doktor, (Program Parca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 1997)., h.289-290.


(22)

pergaulan dengan sesamanya yang juga memadai untuk dijadikan landasan bagi pengaturan hidup kenegaraan. Tuntunan Al-Qur’an mengenai kehidupan bernegara tidaklah menunjuk suatu model tertentu. Karena itu Haikal menyimpulkan bahwa soal negara dan pemerintahan lebih banyak diserahkan kepada ijtihad ummat Islam. Islam hanya menggariskan prinsip-prinsip dasar yang harus dipedomani dalam mengelola negara. Prinsip-prinsip itu mengacu pada prinsip-prinsip dasar Islam bagi pengelolaan hidup bermasyarakat, yaitu prinsip persaudaraan, persamaan, dan kebebasan.

Perbedaan pandangan diantara ummat Islam mengenai hubungan antara Islam dan politik tersebut berkembang hingga saat sekarang ini, dan membawa kepada perbedaan aliran politik yang dianut ummat Islam di seluruh dunia, termasuk yang terjadi di Indonesia.

Disinilah titik temu antara Islam dan politik. Politik dalam Islam mempunyai andil yang sangat besar, sehingga dapat dikatakan bahwa Islam menganjurkan adanya kegiatan politik, karena dengan politik itu sendiri, Islam dapat bertahan dan tersebar di dunia. Namun yang perlu diperhatikan adalah politik (siyâsah) dalam kontek ideal, bukan pelakunya dan realitas politik Islam. Hal ini karena dalam Islam pun realitas politiknya kadang tidak Islami, misalnya terjadi pembunuhan, fitnah, money politik, dan lain-lain. Syekh Muhammad Abduh pernah berkata: “A‘ûdzu Billâhi Min Asy-Syaitâni As-Siyâsah Wa Assasah” yang artinya saya berlindung kepada Allah dari syetan politik dan perpolitikan. Tetapi jika politiknya demokratis, harus sesuai


(23)

dengan nilai-nilai Islam. Berkaitan dengan ini Imam Syafi’i mengatakan “La Siyâsat Al-illa Mâ Wafaqa Bihi Asy-Syar’u”, yang artinya tidak ada politik (syarî’ah) kecuali

sesuai dengan prinsip-prinsip agama.9

Salah satu pilar demokrasi suatu negara adalah terselenggaranya pemilihan umum (Pemilu) yang jujur dan adil. Dalam sistem ketatanegaraan Islam, pemilu mendapat legalitas dari ajaran Islam dan merupakan sebuah prosesi yang harus dilaksanakan untuk memilih para pemimpin, baik sebagai wakil-wakil rakyat dilembaga legislatif atau disebut dengan ahl halli wal aqd, maupun kepala negara atau presiden dan wakilnya atau disebut dengan khilafah.

Untuk itu setiap warga negara wajib menggunakan hak pilihnya, dan khusus bagi umat Islam wajib memilih orang-orang Islam yang terbaik sesuai pilihan hati nurani masing-masing, tanpa ada pengaruh intimidasi dari orang lain.

B. Prinsip-Prinsip Ketatanegaraan Islam yang Berhubungan dengan Pemilu 1. Prinsip Musyawarah

Padanan demokrasi dalam Islam adalah musyawarah (syûra) yang merupakan kata turunan (derivasi) dari kata kerja “syâwara” yang berarti “meminta pendapat dan mencari kebenaran”. Sedangkan secara terminologis, syûra bermakna “memunculkan pendapat-pendapat dari orang-orang yang berkompeten untuk sampai pada

9

Abul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Penerjemah Drs. Asep Hikmat, (Bandung: Mizan, 1993), h. 30


(24)

kesimpulan yang paling tepat”.10 Dengan demikian, demokrasi yang bermakna dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan bersama rakyat dalam tataran idealnya sejalan dengan prinsip syûra dalam Islam.

Di dalam Islam bermusyawarah untuk mencapai mufakat adalah hal yang disyariatkan. Dalam Al-Qur’an surat As-Syura Allah mengatakan:

)

ىرﻮﺸﻟا

/

16:42

(

Artinya : “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan

Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka, dan mereka menafkahkan

sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.

(QS. As-Syura/42: 38)

Dengan ayat ini, kita memahami bahwa Islam telah memposisikan musyawarah pada tempat yang agung. Syarî’ah Islam yang lapang ini telah

memberinya tempat yang besar dalam dasar-dasar tasyri’ (yurisprudensi).11 Ayat itu

memandang sikap komitmen kepada hukum-hukum syûra dan menghiasi diri dengan adab syûra sebagai salah satu faktor pembentuk kepribadian Islam, dan termasuk sifat-sifat mukmin sejati. Untuk lebih menegaskan urgensi syûra, ayat di atas menyebutkannya secara berdampingan dengan satu ibadah fardu ‘ain yang tidaklah

10

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Kencana, 2007), edisi II, cet.III, h.111.

11


(25)

sempurna Islam seseorang dan tidak pula lengkap imannya kecuali dengan ibadah yakni shalat, infak, dan menjauhi perbuatan keji.

Hal tersebut menunjukan bahwa Islam secara langsung menerapkan prinsip pengambilan keputusan berlandaskan musyawarah yang menjadi sendi utama dalam demokrasi modern yaitu dari, oleh, dan untuk kepentingan rakyat.

2. Prinsip Keadilan

Prinsip keadilan merupakan prinsip fundamental dalam kaitanya dengan pelaksanaan sistem bernegara, penegakan hukum, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Menurut Abdurahman Wahid, ‘adl atau keadilan dalam perspektif Al-Qur’an bisa diartikan sebagai “sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak,

penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan”.12

Definisi tersebut bisa dilihat dari beberapa ayat dalam Al-Quran tentang keadilan yang bersinonim dengan kata lainya seperti qistu dan hukmu:

)

ءﺎ ﻨﻟا

/

4

:

58

(

Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.

12

Abdurrahman Wahid, Konsep-Konsep Keadilan, dalam Budhy Munawar-Rahman (ed.) “Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah”, (Jakarta: Paramadina, 1995), cetakan II, h. 99


(26)

)

ءﺎ ﻨﻟا

/

4

:

105

(

Artinya : “Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan

membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang berkhianat.” (QS. An-Nisa/4: 105)

Menurut Tahir Azhari, paling sedikit ada empat prinsip keadilan dalam

Al-Quran yang berkaitan dengan penegakan hukum. Pertama, keadilan harus

dilaksanakan dengan keihklasan karena Allah, bukan karena faktor lain seperti uang,

jabatan, atau kedudukan. Kedua, keadilan harus berpihak kepada kebenaran. Ketiga,

keadilan tidak boleh berdasarkan kepada kebencian. Keempat, keadilan berkorelasi

positif dengan ketakwaan yaitu keadilan yang berdasarkan perintah Allah dan

menjauhi larangan Nya.13

3. Prinsip Persamaan

Prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dalam Islam terangkum dalam Al-Qur’an secara eksplisit:

13


(27)

)

تﺮﺠ ﻟا

/

49

:

13

(

Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang palig bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat/49:13)

Konsepsi persamaan juga terdeskripsikan dalam Hadits Nabi dalam pidato Nabi ketika haji wada tahun 10 H:

“Sesungguhnya leluhurmu adalah satu yaitu Adam. Karena itu tidak ada perbedaan antara orang Arab dan bukan Arab, antara orang yang berkulit merah dengan yang berkulit hitam, kecuali karena takwa nya kepada Allah.”

Menurut Tahir Azhary14, prinsip persamaan dalam perspektif hukum Islam

merupakan perlakuan dan perlindungan yang sama terhadap semua orang di mata hukum.

4. Prinsip Kejujuran

Prinsip kejujuran sebenarnya bersinergi dengan prinsip amanah dalam memutuskan suatu perkara. Hakim yang amanah tentunya akan menghasilkan produk

14


(28)

hukum yang berkualitas. Menurut Tahir Azhary15, prinsip kejujuran merupakan refleksi dari prinsip ketaatan rakyat, suatu relasi antara pemerintah dan rakyat, atau ulil amri (penguasa) dan ummat (rakyat). Al-Qur’an menjelaskan konsep relasi ini:

)

ﻨﻟا

ءﺎ

/

4

:

59

(

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah kepada

Rasul Nya serta orang-orang yang berwenang diantara kamu. Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu hal, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul Nya (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibat nya”. (QS. An-Nisa/4:59)

Kejujuran merupakan sikap pemenuhan kepercayaan atas tanggung jawab

yang diberikan. Pada tahap inilah kejujuran dan amanah saling berkorelasi. Dalam konteks bernegara, pemerintah yang diberi kepercayaan oleh rakyat harus mampu memenuhi kepercayaan tersebut dengan penuh tanggung jawab. Distorsi terhadap amanah adalah ketidakjujuran dan penghianatan terhadap rakyat.

5. Prinsip Pertanggungjawaban

Prinsip pertanggungjawaban merupakan prinsip akuntabilitas dan transparansi

dari suatu pelaksanaan amanah. Karena kekuasaan adalah amanah yang harus

15


(29)

dipertanggungjawabkan, maka prinsip akuntabilitas wajib dilaksanakan. Al-Qur’an menjelaskan:

☺ ⌧

☺ ⌧

)

ءﺎ ﻨﻟا

/

4

:

58

(

Artinya : “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanah

kepada yang berhak menerimanya, dan memerintahkan kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat” (QS. An-Nisa/4: 58)

Nabi Muhammad saw menegaskan bahwa: “Kullukum Râ’in Wa Kullukum

‘an Ro’iyatihi” Artinya : “Ketahuilah bahwa kamu sekalian adalah pemimpin, dan

setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban nya kelak. Seorang kepala negara adalah pemimpin bagi rakyat nya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban

mengenai rakyat nya“. (HR Bukhari)

Menurut Tahir Azhary, hadist tersebut menjelaskan secara eksplisit bahwa setiap muslim adalah pemimpin baik formal maupun informal. Secara formal, pemimpin adalah seseorang yang memiliki kedudukan ataupun jabatan dalam struktur pemerintahan. Sedangkan secara informal, pemimpin adalah setiap orang yang memegang pimpinan, baik sebagai kepala rumah tangga (ayah atau suami), atau pun sebagai pemimpin masyarakat (kelompok atau sejumlah orang yang berkumpul secara tidak resmi).16

16


(30)

Sistem akuntabilitas dan transparansi dalam perspektif hukum Islam merupakan bentuk pertanggungjawaban penguasa, karena ia memegang kewajiban dan kewenangan (otoritas). Dalam konteks ini, kekuasaan bukan hanya sekedar otoritas semata, tetapi lebih dari itu mengandung kewajiban disamping kewenangan. Pada pelaksanaannya kewajiban harus dikedepankan dari kewenangan yang

merupakan hak penguasa.17

6. Prinsip Kebebasan

Prinsip kebebasan (freedom of decision) dalam penetapan hukum Islam bisa dimaknai sebagai kebebasan dari segala macam bentuk tekanan dan campur tangan penguasa, bahkan kebebasan tersebut mencakup pula wewenang hakim menjatuhkan

putusannya pada seorang penguasa apabila melanggar hak-hak rakyat”.18

Menurut Tahir Azhary, prinsip peradilan bebas dalam perspektif hukum Islam

harus sejalan dengan tujuan hukum Islam, spirit Al-Qur’an dan As-Sunah. Tujuan hukum Islam dalam konteks ini terangkum dalam “ad-doruriyyah al-Khamsah” yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Tahir Azhari menggaris bawahi bahwa prinsip kebebasan dalam penentuan hukum Islam harus menjunjung tinggi prinsip amanah, karena kekuasaan qâdi atau hakim merupakan amanah dari ummat yang harus dijaga dengan baik. Lebih dari itu, seorang sebelum memutuskan suatu perkara harus bermusyawarah terlebih dahulu dengan qâdi lainnya agar tercapai keputusan

17

Muhammad Tahir Azhary., h. 110

18


(31)

yang bijak dan adil, karena keputusan hukum yang adil merupakan tujuan utama dari

kekuasaan kehakiman yang bebas dari intevensi dan interes penguasa.19

7. Prinsip Kebajikan

Prinsip kebajikan dalam menjalankan amanah bisa diartikan juga sebagai

prinsip kesejahteraan. Prinsip kesejahteraan dalam nomokrasi Islam mengandung pengertian yang lebih luas yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh ummat. Pengertian keadilan sosial bukan hanya pemenuhan kebutuhan materi semata, tetapi lebih dari itu mencakup pemenuhan kebutuhan spiritual. Dengan kata lain, keadilan sosial harus memenuhi unsur lahir dan bathin. Al-Qur’an menjabarkan konsep keadilan sosial ke dalam sejumlah aktivitas ekonomi yang akan menjamin kesejahteraan masyarakat luas seperti adanya kewajiban zakat, infaq, shadaqah, hibah, dan wakaf dalam surat Al-Ma’arij dan Adz-Zariyat sebagai berikut:

)

جرﺎ ﻤﻟا

/

70

:

24

(

Artinya : “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu.

(QS. Al-Ma’arij/70: 24) ☺

)

جرﺎ ﻤﻟا

/

70

:

25

(

Artinya : “Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai

apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS. Al-Ma’arij/70: 25)

)

ﺖ راﺬﻟا

/

51

:

19

(

19


(32)

Artinya : “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang

meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”

(QS. Az-Zariyat/51: 19).20

Konsepsi kebajikan (baca: kesejahteraan) terdeskripsikan dalam Al-Qur’an sebagai terbentuknya suatu negara yang makmur dan subur:

)

/

:

(

Artinya : “....(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah

Tuhan yang Maha Pengampun". (QS. Saba’/34: 15)

Menurut Tahir Azhary, negara berkewajiban untuk mengatur, mengelola sumber daya alam, dan mengalokasikan pendapatan negara untuk kesejahteraan rakyatnya dalam bentuk jaminan sosial. Jaminan sosial yang dimaksud adalah adanya tunjangan pengangguran, tunjangan masa depan, beasiswa, tunjangan pensiun, dan

sebagainya. Prinsip kebajikan harus sejalan dengan doktrin Islam “Hablu Min

Al-Allah Wa Hablu Min An-Nâs”, yaitu aspek ibadah (vertical) dan aspek mu’amalah

(horizontal). Untuk mewujudkan kebajikan dan kesejahteraan tersebut, maka harus berdasarkan prinsip keadilan sosial yang sesuai dengan anjuran dan perintah Allah

swt dalam Al-Qur’an.21

20

Muhammad Tahir Azharys., h. 150-151

21


(33)

BAB III

SISTEM PEMILU MENURUT UU NO 10 TAHUN 2008

A. Latar Belakang Pembentukan UU No. 10 Tahun 2008

Pemilu dapat dikatakan sebagai sebuah “pesta demokrasi” bagi rakyat. Suksesnya pemilu menjadi salah satu wujud suksesnya penerapan demokrasi di suatu negara. Persiapan pelaksanaan pemilu bukan hanya sekedar persiapan logistik semata, tetapi lebih dari itu, persiapan landasan hukum berikut Undang-Undang Pemilu yang mengikat. UU No. 10 Tahun 2008, misalnya merupakan penyempurnaan aturan pemilu sebelumnya.1

Secara umum diduga Undang-Undang Pemilu No. 10 Tahun 2008 terdapat beberapa pasal yang tidak sinkron dengan Undang-Undang lain seperti UU No. 22

Tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu.2 Di antaranya terkait tentang

pembentukan penetapan daftar pemilih sementara dalam UU No. 22 Tahun 2007 dengan penetapan daftar pemilih tetap yang dilakukan Petugas Pemutahiran Data Pemilih (PPDP). Terdapat beberapa hal yang jauh dari harapan publik, misalnya semangat penyederhanaan jumlah partai tidak didukung dengan peraturan yang tepat.

Ditetapkannya Parlementary Threshold tidak terkait dengan penyederhanaan partai,

tetapi hanya mekanisme dalam penempatan “kursi” yang diperoleh Partai. Hal ini

1

Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)

2

Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Tahun 2003, (Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi 2009)


(34)

juga terkait dengan aturan peralihan yang membolehkan semua partai yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ikut pemilu 2009, yang sudah dibatalkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), namun menjadi tidak berarti karena tahap verifikasi telah dilalui.3

Ada sejumlah catatan penting dari kecacatan pemilu 2009 secara sistemik. Salah satu akar dari "cacat" pemilu 2009, baik yang terjadi pada pemilu legislatif maupun pemilihan presiden, adalah distorsi dan bias politik sistem proporsional yang dianut. Sistem proporsional telah "terselewengkan" oleh oligarki parlemen dalam menyusun Undang-Undang No. 10 tahun 2008. Beragam tafsir, kualitas penyelenggaraan dan banyaknya kepentingan menyebabkan kualitas Pemilu 2009 diragukan oleh banyak pihak.

B. Pandangan Para Pakar Tentang UU No 10 Tahun 2008

Menurut Relfy Harun,4 dilihat dari segi sejarahnya UU ini dibuat pada bulan

Mei 2007 dan selesai dirumusukan pada 3 Maret 2008, kemudian disahkan pada 28 Maret 2008. Sedangkan pemilu ini dilakukan pada 5 April 2009. UU ini dianggap sangat terburu-buru karena terlambat diundangkan atau disahkan, terbukti adanya judicial review yang terkait dengan penentuan calon terpilih berdasarkan pemilih yang mendapatkan suara 30 persen. Menurutnya, MK membatalkan pasal 214 yang menyatakan harus memperoleh suara terbanyak. Terlebih, Refly menegaskan bahwa

3

Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)

4

Wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB.


(35)

perubahan UU No. 10 tahun 2008 sangat luar biasa dengan banyaknya perubahan dari UU sebelumnya yang membuat pemilu mengalami banyak permasalahan.

Terkait dengan pasal yang dianggap kontroversi, Refly menggaris bawahi bahwa sebenarnya pasal-pasal tersebut terdapat dalam pasal 22 E UUD 1945, dikarenakan banyak pihak yang ingin mengambil kesempatan, khususnya yang tidak mendapatkan kursi di DPR. Perhitungan kursi pada UU No. 10 tahun 2008, misalnya partai A mendapat 70 suara dan partai B mendapat 40 suara. Pada tahap pertama partai A mendapat 1 kursi dari perhitungan 50 suara sedangkan partai B tidak mendapatkan kursi karena tidak memenuhi penentuan suara yaitu 40 suara. Pada tahap kedua partai A tidak mendapat kursi karena kurangnya jumlah sisa suara yaitu 20 kursi, sedangkan partai B dalam tahap kedua mendapat 1 kursi karena sisa suara lebih banyak dari partai A yaitu 40 suara. Dalam hal ini, banyak pihak yang menganggap tidak adanya keadilan, seharusnya pada perhitungan penentuan kursi pada tahap pertama, kedua, dan ketiga harus tetap diberikan kepada partai yang

mendapat suara terbanyak.5

Refly menegaskan bahwa menurut sistem yang disepakati dalam segi perundang-undangan sebenarnya jelas perhitungan suara dianggap adil, hal ini terdapat dalam pasal 22 E UUD 1945 tentang pelaksanaan pemilu. Akan tetapi, karena ada pihak tertentu yang kalah dan mengupayakan agar menang, maka mereka kemudian mengajukan judicial review. Dalam UU No. 10 tahun 2008 walaupun

5

wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB


(36)

dianggap adil sesuai dengan UUD 1945, akan tetapi tetap ada persoalan penentuan calon terpilih yang bermasalah dalam tahap ketiga yaitu penentuan yang diangkat dalam DPRD Provinsi atau penentuan Dapil (Daerah Pemilihan), dapil mana yang berhak mendapat kursi.6

Refly menandaskan bahwa banyak politisi yang melakukan Judicial review, hal ini dikarenakan adanya ketidakjelasan UU No. 10 tahun 2008 terutama terkait dengan penetapan atau pengaturan kursi dalam partai politik dan penentuan calon terpilih, ditambah dengan rumitnya sistem pemilu yang diadopsi. Dalam sistem pemilu Indonesia menggunakan sistem proporsional tapi dengan suara terbanyak hal ini ditambah dengan pemilihan dapil, sehingga perhitungan suara dalam jumlah kursi atau calon terpilih menjadi rumit dan sangat sulit. Karena sistem proporsional terbuka sebenarnya tidak punya dapil, yang sebenarnya dikenal dengan distrik. Kemudian ketidak jelasan dalam UU No. 10 tahun 2008 yang dipersoalkan adalah mental para calon DPR yang mengupayakan segala cara agar dapat terpilih dan mengupayakan

agar celah hukum yang ada agar terpilih menjadi anggota DPR.7

Refly menjelaskan bahwa UU No.10 tahun 2008 bukanlah penyempurnaan terhadap UU sebelumnya, akan tetapi perubahan terjadi karena konteks isi atau bahasa didalamnya dirubah secara keseluruhan yang dianggap tidak penting dalam UU No. 12 tahun 2003. Kecuali hubungan antara UU No. 10 tahun 2008 dengan UU

6

wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB

7

wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB


(37)

No.12 tahun 2003 dan masih dipertahankan. Hal ini mengacu pada kebutuhan zaman pada masa tersebut.8

Refly menambahkan bahwa relevansi antara UU no. 10 tahun 2008 dengan hukum tata negara terdapat dalam UUD 1945 pasal 22 E perubahan ketiga UUD 1945 dalam BAB VIIB tentang pemilihan umum yang isinya (ayat 1); Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. (ayat 2); Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan wakil presiden dan DPRD. (ayat 3); Peserta pemilu untuk memilih DPR dan anggota DPRD adalah partai politik. (ayat 4); Peserta pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. (ayat 5); Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. (ayat 6); Ketentaun lebih lanjut tentang pemilu

diatur dengan undang-undang.9

Menurut KH. Yan Hasanudin Malik10, berdasarkan UU No.10 tahun 2008

anggota dewan dicalonkan oleh partai maka proses pencalonan harus melalui partai politik. Menurut nya, relasi antara UU No.12 tahun 2003 dengan UU No. 10 tahun 2008, yang menjadi amandemen dari UU sebelumnya, sebenarnya tidak jauh berbeda, hanya saja perhitungan suara pada tahap pertama, kedua, dan ketiga sebagai sisa, sedangkan dalam UU No.12 tahun 2003 perhitungan suara hanya terdapat dalam

8

wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB

9

wawancara penulis (per telepon) dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB

10

wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 20.00 WIB


(38)

tahap pertama dan tahap sisa. Orang yang terpilih merupakan orang yang mewakili rakyat. Sistem pemilu tidak sesuai karena di Indonesia menganut perkawinan sistem distrik dan sistem proporsional.

KH. Yan Hasanudin Malik menjelaskan beberapa pasal yang kontroversial. Menurut analisanya, pasal-pasal tersebut mengandung kontroversi pada masalah perhitungan sisa suara, banyak orang yang terpilih tapi karena tidak masuk dalam BPP maka dianggap hangus dan tidak berarti. Banyak kelemahan dalam UU No. 10 tahun 2008 pertama yaitu suara partai yang dihitung, jika ketentuan perhitungan dalam BPP misalnya 300 orang mendapatkan 1 kursi maka jika partai A memiliki suara sah 1000 orang maka partai A mendapatkan 3 kursi hal ini merupakan perhitungan tahap kedua, sedangkan partai B memiliki 500 orang maka partai B mendapatkan 1 kursi. Sedangkan sisa suara partai A adalah 100 dan sisa suara partai B adalah 200 hal ini merupakan perhitungan tahap kedua. Sedangkan dalam tahap ketiga sisa suara dari perhitungan setiap partai kecil diberikan pada partai yang memenangkan suara terbesar yaitu memenuhi suara 2,5 %. Hal ini menjadi kontroversi jika ada suara sisa, maka BPP membagi kursi yang masih ada sampai habis. Suara yang kurang dari ketentuan BPP diberikan kepada partai yang

mendapatkan suara terbanyak.11

KH. Yan Hasanudin Malik menegaskan bahwa penentuan suara terbesar menjadi masalah dalam pemilihan tahap ketiga, suara partai yang tidak mendapatkan

11

wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 20.00 WIB


(39)

kursi kemudian dilimpahkan kepada partai pemenang yang paling besar. Jatah partai kecil yang tidak memenuhi dilimpahkan pada partai yang menang, maka orang yang memilih satu partai karena tidak mencukupi dianggap hangus. Ia menambahkan bahwa isu sentral dalam UU No. 10 tahun 2008 terkait dengan parlementary thershold dan elektoral threshold.12

KH. Yan Hasanudin Malik mengelaborasi perbedaan sisitem pemilu dalam Islam dan sistem pemilu konvensional secara komprehensif. Menurut nya, dalam Islam tidak mengenal pemilu karena pemilu dalam Islam ukuran atau dasarnya adalah kebenaran, sedangkan dalam pemilu demokrasi ukuran atau dasarnya adalah suara mayoritas yang paling banyak suara sah atau pendukungnya maka dialah yang terpilih. Nilai kebenaran selama sesuai dengan prinsip Islam yaitu calon mempunyai kapabilitas, intelektual, moralitas, dan dinilai cakap untuk menjalankan syariat Islam hal itu sah saja. Di Indonesia menganut sistem demokrasi menurut jumlah suara, jika dalam demokrasi yang paling penting adalah suara pendukung, maka manusia bisa dimanipulasi misalnya money politik itulah perbedaan antara pemilu Islam dengan pemilu di Indonesia. Adapun persamaan antara pemilu dalam Islam dan pemilu di

indonesia mempunyai semangat yang sama.13

KH. Yan Hasanudin Malik menegaskan bahwa Ahl halli wal aqd merupakan wakil rakyat, dalam Islam petunjuk nabi yaitu harus dilihat keturunan, moralitas,

12

wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010

13

wawancara penulis dengan KH. Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB


(40)

muamalah, jadi moralitas seseorang mencerminkan kebenaran tolak ukur dalam Islam. Sama seperti halnya DPR sebagai wakil rakyat yang membedakan DPR ini dipilih melalui pemilu, sedangkan ahl hall wa al-aqd tidak melalui pemilihan rakyat akan tetapi dengan cara penunjukan oleh majlis syuro yang dianggap dapat

mempertahankan dan menjalankan kebenaran sesuai dengan syariat.14

KH. Yan Hasanudin Malik berpendapat bahwa terdapat korelasi positif antara pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu di Indonesia dalam UU No. 10 tahun 2008. Menurut nya, pemilu untuk mengurus masalah teknis dalam menerjemahkan perintah Allah dan Rasul dalam hidup berbangsa dan bernegara berarti pemilu boleh saja. Misalnya Allah memerintahkan seseorang berlaku adil, maka kewajiban masyarakat muslim melakukan keadilan, hal itu perlu diprogramkan maka diperlukan lembaga yang perlu untuk menjalankan perintah tersebut yaitu keadilan. Maka legalitas dan dukungan rakyat adalah dalam bentuk pemilu, maka sah saja tapi tidak boleh merubah dari ketentuan syariat Islam. Hal ini harus merupakan pengaturan atau regulasi ketetapan dari Allah dan nabi dapat terlaksana, untuk bisa mencapai hal itu harus dibuat dengan perencanaan kemudian dipilih orang yang dapat menjalankan tugas tersebut, agar pemilu dapat dipertanggungjawabkan maka harus dipilih. Yang

berbeda dalam hal ini adalah substansi antara Islam dan demokrasi.15

14

wawancara penulis dengan KH. Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB

15

wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB


(41)

KH. Yan Hasanudin Malik menggarisbawahi bahwa dalam UU No. 10 tahun 2008 suara rakyat tidak terakomodir sepenuhnya karena ada sistem parlementary threshold, maka sebagian wakil rakyat di DPR tidak semua dipilih oleh rakyat dianggap hangus dan diberikan kepada partai pemenang. Dalam Islam prinsipnya lebih kepada ukuran kebenaran tapi perlu diperjuangkan maka harus ada program, perencanaan, dan evaluasi. Maka jika hal itu menghasilkan keadilan maka hali itu adil

saja selama tidak bertentangan dengan syariat Islam dan konsep dalam HAM.16

KH. Yan Hasanudin Malik menjelaskan bahwa ahlu halli wal aqd yaitu sesorang yang mempunyai kemampuan teknis dan dapat menerjemahkan Islam dalam kehidupan sehari-hari sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat. Hal ini dibentuk oleh majlis syuro yang berasal dari kata syawaro yang berarti madu dan terasa manis dan menyehatkan sehingga dapat mewakili rakyat dalam kebenaran.

KH. Yan Hasanudin Malik lebih jauh menjelaskan tentang adanya hubungan atau sinkronisasi antara pemilu dalam Islam dengan pemilu di Indonesia menurut UU No.10 tahun 2008 yaitu dengan tujuan untuk mensejahterakan rakyat dengan memilih orang-orang yang mempunyai kapabilitas, intelektual, moralitas, dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan rakyat sebagai wakil rakyat walaupun berbeda dalam segi substansi jika dalam Islam berdasarkan akan kebenaran sedangkan dalam pemilu

16

wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB


(42)

demokrasi ukurannya memanjangkan UUD untuk mendapatkan pendukung dalam pemilihan suara.17

Menurut Mochammad Nurhasim18, peneliti bidang politik LIPI,

Undang-Undang paket politik yang meliputi hampir enam Undang-Undang-Undang-Undang, tampaknya memang memiliki kekacauan substansial yang sistemik. Misalnya, Undang-Undang paket politik itu adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilihan Presiden, Undang-Undnag Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah, serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Nurhasim menegaskan bahwa salah satu faktor determinan dari kekacauan itu adalah tidak saling sinkron antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain. Bahkan ada gejala saling menegasikan dan tidak saling menunjang. Sebagai contoh, prinsip multipartai yang menjadi inti dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, seakan-akan berdiri sendiri sebagai suatu undang-undang,

tanpa terkait dengan undang-undang pemilu.19 Upaya penyederhanaan partai yang

dianut pada sejumlah pasal pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 ternyata

17

wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang (PBB), pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB

18

Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone.com/ read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010.

19


(43)

tidak ditunjang oleh undang-undang kepartaian, yang justru memberikan keleluasaan orang untuk mendirikan partai politik.20

Demikian pula dengan masalah pilihan presiden dan bahkan undang-undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang baru saja disahkan oleh DPR yang ditambah dengan Nurhasim. Dari segi prinsip, yang paling parah secara substansial adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Undang-Undang ini mengandung beberapa kelemahan mendasar, karena undang-undang tersebut telah menisbikan sebagian prinsip sistem proporsional. Kelemahan itu terletak pada dan di antaranya ialah bertingkatnya

koefisien bilangan untuk penentuan kursi bagi anggota DPR.21

Nurhasim menggaris bawahi bahwa aturan tiga tahap dalam penentuan kursi bukanlah suatu kewajaran, tetapi merupakan penyimpangan substansial dari sistem proporsional. Hadirnya Pasal 205 dapat dianggap sebagai "akal-akalan" politik partai. Dalam sistem proporsional sejatinya jika suatu suara tidak sebanding dengan koefisien nilai kursi, maka suara tersebut disebut sebagai sisa. Undang-Undnag Nomor 10 Tahun 2008 tidak mengenal dan tidak menjelaskan sama sekali tentang

20

Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone. com/ read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010.

21

Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone.com/ read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010.


(44)

istilah sisa suara tersebut. Dengan kata lain, Pasal 205 adalah pasal karet yang bukan saja multitafsir, tapi sekaligus tidak memiliki dasar secara teoritik.22

Alhasil, Nurhasim menegaskan bahwa hal itu berdampak pada perbedaan nilai satu kursi dalam suatu daerah pemilihan, antara tahap pertama, kedua, dan ketiga dalam penghitungan kursi partai. Sistem proporsional yang "hibrida", suatu perkawinan antara sebagian sistem distrik dengan sistem proporsional, idealnya pengawinan substansi itu tidak mengacaukan sistem utamanya. Indonesia sebenarnya terjebak pada sistem proporsional hibrida yang kacau balau. Kekacauan itu terletak pada inkonsisten prinsip-prinsip utama sistem proporsional yang digunakan.

Lebih dari itu, Nurhasim meyakini bahwa teknis pembagian kursi yang dianut

pada Pemilu 2004 justru lebih bagus ketimbang Pemilu 2009.23 Pembagian kursi

yang hanya pada dua tahap (tahap pertama dan tahap sisa) lebih mencerminkan keadilan substansial yang meminjam istilah Mahkamah Konstitusi (MK) daripada tiga tahap seperti yang berlaku saat ini. Kekacauan lainnya terletak pada desain undang-undang yang dirancang setengah proporsional terbuka, menjadi terbuka penuh. Ini terjadi karena keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan suara terbanyak dalam penentuan calon terpilih anggota DPR dan DPRD.

22

Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)

23

Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Tahun 2003, (Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi 2009)


(45)

Nurhasim menjelaskan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak

dirancang untuk proporsional terbuka penuh, hanya setengahnya.24 Kenapa setengah?

karena adanya percampuran antara peran partai dan peran pemilih pada saat penentuan calon terpilih. Percampuran itu berimbas pada beberapa teknis lainnya, khususnya cara memilih dan sah tidaknya sebuah pilihan rakyat. Dalam sistem proporsional dengan daftar tertutup pemilih akan memilih gambar partai. Sementara dalam sistem proporsional "setengah terbuka" seperti yang berlaku pada pemilu tahun 2004, pemilih dapat memilih partai dan atau nama calon.

Idealnya, Nurhasim menambahkan dalam sistem proporsional yang benar-benar terbuka penuh, pemilih hanya memilih nama calon. Akan tetapi, kekacauan ketika Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD meletakkan fungsi dan peran anggota DPRD terpilih justru di bawah bayang-bayang peran dan oligarki partai politik.25

Nurhasim menegaskan bahwa sebuah undang-undang pemilu tidaklah berdiri

sendirian. Undang-Undang Pemilu akan melandasi tiga hal secara mendasar, pertama

sistem kepartaian yang kita anut, kedua susunan dan kedudukan DPR, DPD dan

DPRD, dan ketiga adalah pihak penyelenggara dan pengawasnya. Meletakkan

hubungan yang saling berhubungan antara satu undang dengan undang-undang lainnya merupakan keniscayaan.

24

Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)

25

Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone.com/ read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010.


(46)

Prinsip tersebut relatif diabaikan dalam penyusunan paket Undang-Undang Politik (Undang-Undang Pemilu, Kepartaian, Susunan DPR, DPD dan DPRD serta penyelenggara pemilu). Upaya para akademisi yang tergabung dalam tim perancang Paket Undang-Undang Politik usulan pemerintah yang mencoba merangkai kaitan paket Undang-Undang Politik yang diacak-acak pada saat pembahasan RUU di DPR. Berbagai kerancuan yang telah disebut di atas adalah contoh dari proses pembahasan

RUU Politik yang kental kepentingan politik.26

Ironinya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 200827 Tentang Pemilihan

Anggota Legislatif DPR, DPD, dan DPRD banyak menuai gugatan uji materiil di Mahkamah Konstitusi (MK). Baik oleh lembaga maupun perorangan. Padahal, dengan Undang-Undang inilah Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaksanakan Pemilihan Umum 2009. Benarkah materi Undang-Undang ini sebenarnya masih lemah, atau pemberlakuannya masih belum banyak dipahami akibat minimnya sosialisasi?

Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Mahfud MD28, banyaknya

gugatan masyarakat terhadap Undang-Undang Nomor 10 tahun 200829 ini

26

Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http://pemilu.okezone. com/ read/2009/09/28/274/260234/menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September 2009 diakses pada 3 Mei 2010.

27

Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)

28 Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008

'Kebiri' Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010.

29


(47)

menunjukan bahwa Undnag-Undang ini belum kuat untuk dijadikan dasar hukum bagi KPU untuk melaksanakan pemilu legislatif. Hal tersebut merupakan konsekwensi sekaligus kenyataan bahwa undang-undang ini produk politik. Di sinilah letak fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji apakah undang-undang itu sudah kuat atau belum. Hasilnya, dari enam pengujian, ada beberapa yang dikabulkan dan ada yang ditolak.

Mahfudz MD berharap bahwa masyarakat dapat memahami bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) tidak boleh sewenang-wenang. Karena Mahkamah Konstitusi (MK) hanya bisa membatalkan undang-undang yang jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak bisa didorong untuk membuat putusan yang bertentangan dengan konstitusi.30

Seperti misalnya calon perseorangan yang sudah ditolak gugatannya itu. Jika mengacu ke konstitusi isinya sudah jelas kebutuhan politis dan sosiologisnya, jadi tidak ada tafsir lain. Bahwa dalam persidangan ada tiga hakim yang dissenting opinion, sebenarnya esensi yang mereka sampaikan sama. Menghendaki dilaksanakan tapi baru bisa tahun 2014 karena masih memerlukan perubahan konstitusi lagi.

Pembatalan Pasal 214 Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 200831 oleh

Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfudz MD menegaskan kemungkinan intensitas saling gugat antar calon legislatif akan meningkat tajam. Walaupun demikinan dalam

30

Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri' Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010

31


(48)

undang-undang yang mengaturnya, Mahkamah Konstitusi (MK) hanya mengadili

sengketa hasil pemilu, termasuk juga jika partai politik menggugat KPU. 32

Sementara itu, tokoh-tokoh pers baik akademisi maupun praktisi media massa merasa "kecolongan" dengan munculnya sejumlah produk undang-undang yang secara eksplisit maupun implisit "mengebiri" kebebasan pers di negeri ini. Kita sebut saja keberadaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Isi Undang-Undang ini jelas-jelas mengekang kebebasan

pers dan berlawanan dengan hakikat dan fungsi media massa.33

Pasal 91 Ayat 2, misalnya berisikan ketentuan bagi media cetak dan penyiaran yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada semua peserta pemilu. Pasal 93 ayat 3 menegaskan: media massa wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu dalam pemuatan dan penayangan iklan kampanye. Pasal 97 menyatakan pula bahwa media massa menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu. Pasal 94 ayat 1 bahwa media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang menjual "blocking segment" dan atau "blocking time" untuk kampanye Pemilu. Pasal 94 ayat 2 bahwa media massa dilarang menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun

32

Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri' Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010

33

Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri' Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010


(49)

yang dapat dikategorikan iklan kampanye. Pasal 94 ayat 3 bahwa iklan yang tidak

dimanfaatkan oleh salah satu peserta pemilu dilarang dijual kepada pihak lain.34

Selain Undang-Undang Nomor 10 Tahun 200835 tentang pemilu, masih

banyak produk Undang-Undang maupun Rancangan Undang-Undang lainnya yang berlawanan dengan kebebasan pers. Misalnya, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang juga berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi masyarakat, karena ancamannya sangat berat sebagaimana terdapat dalam Pasal 27 ayat (3) mengenai distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik. Ancaman atau sanksi lainnya pada pasal 28 ayat (2) menyebutkan: jika sengaja menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan, maka setiap orang yang melanggar

tiap-tiap pasal itu bisa dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp1 miliar.36

Sebenarnya tidak ada kewajiban bagi media massa untuk memuat berita pemilu. Yang diatur dalam undang-undang adalah media massa wajib memberitakan berita yang benar sesuai fakta. Adalah hak masyarakat untuk mendapatkan informasi

34

Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri' Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010

35

Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, (Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008)

36

Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri' Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010


(50)

yang benar dari media massa. Jika tidak, publik berhak menggunakan hak jawab dan hak koreksi, sebagaimana ketentuan Undang-Undang Pers No. 40/1999.

Media massa punya parameter dalam pemberitaan yaitu "news value". Berita apa pun juga harus mengacu pada nilai berita, apakah berita kriminalitas, politik, ekonomi, budaya, pendidikan, social, dan lain-lain. Kalau nilai beritanya tinggi media massa pasti akan memuatnya, sebaliknya jika nilai beritanya rendah, apalagi jenis berita kampanye mengenai Pilkada, Pemilu, dan Pilpres yang cenderung membodohi rakyat dengan kampanye "lips service" dan "jual kecap" maka media massa berhak tidak memuatnya. Kalau ada pihak yang memaksakan kemauannya, jelas hal itu

melanggar undang-undang dan kebebasan pers.37

C. Substansi UU No. 10 Tahun 2008

Undang-Undang pemilu dan partai politik di Indonesia terangkum dalam UU

No 10 tahun 200838 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Di

dalam nya terdapat sekitar 24 bab dan 320 pasal yang mengatur secara detail sistem pemilu di tanah air. Dalam skripsi ini, tentunya penulis tidak mungkin membahas semua bab dan pasal dalam undang-undang tersebut. Yang akan penulis angkat adalah beberapa pasal yang mengundang kontroversi yaitu pasal 205 ayat 4, pasal 211 ayat 3, dan pasal 212 ayat 3.

37

Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 /2008 'Kebiri' Kebebasan Pers, http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do pdf=1&id=173, diakses 3 Mei 2010

38


(51)

Berdasarkan ketetapan Mahkamah Konstitusi (MK), esensi dari pasal 205 ayat

4 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 adalah konstitusional bersyarat. 39 Artinya,

konstitusional sepanjang dimaknai bahwa penghitungan tahap kedua untuk penetapan perolehan kursi DPR bagi partai politik peserta pemilu dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Menentukan kesetaraan 50 persen suara sah dari angka bilangan pembagi pemilih

(BPP) di setiap daerah pemilihan (dapil) anggota DPR.

2. Membagikan sisa kursi pada setiap pemilihan anggota DPR kepada parpol peserta

pemilu anggota DPR dengan ketentuan:

a. Apabila suara sah atau sisa suara parpol atau peserta pemilu anggota DPR

mencapai sekurang-kurangnya 50 persen dari angka BPP, maka partai politik terrsebut memperoleh satu kursi.

b. Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta pemilu anggota DPR

tidak mencapai sekurang-kurangnya 50 persen dari angka BPP dan masih terdapat sisa kursi, maka:

1) Suara sah partai politik yang bersangkutan dikategorikan sebagai sisa

suara yang diperhitungkan kursi tahap ketiga.

2) Sisa suara parpol yang bersangkutan diperhitungkan dalam penghitungan

kursi tahap ketiga.

39

KPU edisi Sabtu, 08 Agustus 2009, “Sebagian Uji Materi UU Pemilu dikabulkan MK,” http://mediacenter.kpu.go.id/berita/825-sebagian-uji-materi-uu-pemilu-dikabulkanmk. html, diakses 3 Mei 2010


(52)

Sedangkan untuk pasal 211 ayat 3 dinyatakan konstitusional bersyarat40. Artinya, konstitusional sepanjang dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:

1. Menentukan jumlah sisa kursi yang belum terbagi, yaitu dengan cara mengurangi

jumlah alokasi kursi di daerah pemilihan Anggota DPRD Provinsi tersebut dengan jumlah kursi yang telah terbagi berdasarkan penghitungan tahap pertama.

2. Menentukan jumlah sisa suara sah partai politik peserta pemilu anggota DPRD

Provinsi tersebut, dengan cara:

a. Bagi partai politik yang memperoleh kursi pada penghitungan tahap pertama,

jumlah suara sah parpol tersebut dikurangi dengan hasil perkalian jumlah kursi yang diperoleh parpol pada tahap pertama dengan angka BPP.

b. Bagi partai politik yang tidak memperoleh kursi pada penghitungan tahap

pertama, suara sah yang diperoleh partai politik tersebut dikategorikan sisa suara.

c. Menetapkan perolehan kursi parpol peserta pemilu Anggota DPRD Provinsi,

dengan cara membagikan sisa kursi kepada partai politik peserta pemilu anggota PDRD satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak yang dimiliki oleh partai politik. Pasal 212 ayat 3 Undnag-Undang Nomor 10 Tahun 2008, juga berlaku

konstitusional bersyarat41, artinya konstitusional sepanjang dilaksanakan dengan cara

sebagai berikut:

40

KPU edisi Sabtu, 08 Agustus 2009, “Sebagian Uji Materi UU Pemilu dikabulkan MK,” http://mediacenter.kpu.go.id/berita/825-sebagian-uji-materi-uu-pemilu-dikabulkanmk. html, diakses 3 Mei 2010

41

KPU edisi Sabtu, 08 Agustus 2009, “Sebagian Uji Materi UU Pemilu dikabulkan MK,” http://mediacenter.kpu.go.id/berita/825-sebagian-uji-materi-uu-pemilu-dikabulkanmk. html, diakses 3 Mei 2010


(53)

1. Menentukan jumlah sisa kursi yang belum terbagi, yaitu dengan cara mengurangi jumlah alokasi kursi di daerah pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota tersebut dengan jumlah kursi yang telah terbagi berdasarkan penghitungan tahap pertama.

2. Menentukan jumlah sisa suara sah partai politik peserta pemilu Anggota DPRD

Kabupaten/Kota tersebut dengan cara:

a. Bagi partai politik yang memperoleh kursi pada penghitungan tahap pertama,

jumlah suara sah parpol tersebut dikurangi dengan hasil perkalian jumlah kursi yang diperoleh partai politik pada tahap pertama dengan angka BPP.

b. Bagi partai politik yang tidak memperoleh kursi pada penghitungan tahap

pertama, suara sah yang diperoleh partai politik tersebut dikategorikan sebagai sisa suara.

c. Menetapkan perolehan kursi partai politik peserta pemilu Anggota DPRD

Kabupaten/Kota, dengan cara membagikan sisa kursi kepada partai politik peserta pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak yang dimiliki oleh partai politik.


(54)

BAB IV

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP

SISTEM PEMILU MENURUT UU NO 10 TAHUN 2008

A. Sistem Pemilu Dalam Islam

Pertanyaan yang paling mendasar adalah, apakah Pemilu (Intikhabat) ada

dalam Islam? Jika Islam mengakui keberadaannya, apa dasar argumentasinya? Bagaimana kaitannya dengan cara pemilihan khalîfah pada masa khulafâ ar- rasyidîn? Lalu, apakah Pemilu dalam Islam ini sama dengan Pemilu dalam sistem demokrasi?.

Faktanya, pemilu memang ada dan dibolehkan dalam Islam. Sebab, kekuasaan

itu ada di tangan umat (As-Sultân Li Al-Ummah). Ini merupakan salah satu prinsip

dalam sistem pemerintahan Islam (khilâfah). Prinsip ini terlaksana melalui metode

baiat dari pihak umat kepada seseorang untuk menjadi khalîfah.42 Prinsip ini berarti,

seseorang tidak akan menjadi penguasa (khalîfah), kecuali atas dasar pilihan dan kerelaan umat. Disinilah pemilu dapat menjadi salah satu cara (uslûb) bagi umat untuk memilih siapa yang mereka kehendaki untuk menjadi khalîfah.

Namun perlu dipahami, bahwa Pemilu hanyalah cara (uslûb), bukan metode (tarîqah). Cara mempunyai sifat tidak permanen dan bisa berubah-ubah, sedangkan

42

J. Suythi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.72


(55)

metode bersifat tetap dan tidak berubah-ubah.43 Lebih detilnya, cara merupakan perbuatan cabang (al-fi‘l al-far‘î) yang tidak mempunyai hukum khusus, yang digunakan untuk menerapkan hukum umum bagi perbuatan pokok (al-fi‘l al-asli). Cara amil zakat mengambil zakat dari muzakki, misalnya apakah dengan jalan kaki atau naik kendaraan, apakah harta zakat dicatat dengan buku atau komputer, apakah harta itu dikumpulkan di satu tempat atau tidak. Semua itu merupakan perbuatan cabang yang tidak memiliki hukum khusus, karena tidak ada dalil khusus yang mengaturnya secara spesifik. Perbuatan cabang itu sudah tercakup oleh dalil umum untuk perbuatan pokok (yaitu mengambil zakat), misalnya dalil Surat At-Taubah ayat 103.

⌦ ☺

)

ﺔ ﻮﺘﻟا

/

9

:

103

(

Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu

membersihkan dan mensucikan, mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”

(QS. At-Taubah/9: 103)

Maka dari itu, semua aktivitas tersebut termasuk cara (uslûb) yang hukumnya adalah mubah dan bisa saja berubah-ubah. Yang tidak boleh berubah adalah aktivitas mengambil zakat, sebab ia adalah metode yang sifatnya wajib dan tidak boleh ditinggalkan atau diubah. Termasuk juga metode adalah perbuatan cabang dari perbuatan pokok yang memiliki dalil khusus. Misalnya, kepada siapa zakat

43


(1)

J. UU No.10 tahun 2008 bukan penyempurnaan akan tetapi perubahan karena konteks isi atau bahasa didalamnya dirubah secara keseluruahan yang dianggap tidak penting dalam UU No. 12 tahun 2003. Kecuali hubungan antara UU No. 10 tahun 2008 dengan UU No.12 tahun 2003 dan masih dipertahankan. Hal ini mengacu pada kebutuhan zaman pada masa tersebut.

T. Apakah relevansi antara UU no. 10 tahun 2008 dengan hukum tata negara?

J. Relevansi antara UU no. 10 tahun 2008 dengan hukum tata negara terdapat dalam UUD 1945 pasal 22 E perubahan ketiga UUD 1945 dalam BAB VIIB tentang pemilihan umum yang isinya (ayat 1); Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. (ayat 2); Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan wakil presiden dan DPRD. (ayat 3); Peserta pemilu untuk memilih DPR dan anggota DPRD adalah partai politik. (ayat 4); Peserta pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. (ayat 5); Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. (ayat 6); Ketentaun lebih lanjut tentang pemilu diatur dengan undang-undang.


(2)

Lampiran II

HASIL WAWANCARA

Informan : Yan Hasanuddin Malik

Pekerjaan : Penasihat dan badan hukum Partai Bulan Bintang (PBB)

Tempat : Kantor Dewan Perwakilan Daerah PBB Sukabumi

Waktu/Tgl : Pukul 09.00 s.d 11.00/23 Juni 2010

T. Jika merujuk pada UU No. 10 tahun 2008, bagaimana tanggapan bapak mengenai UU No. 10 tahun 2008?

J. Dalam UU No.10 tahun 2008 menurut tanggapan pembicara jika merujuk pada hal ini anggota dewan dicalonkan oleh partai maka proses pencalonan harus melalui partai politik. Antara UU No.12 tahun 2003 dengan UU No. 10 tahun 2008 yang menjadi amandemen dari UU sebelumnya tidak jauh berbeda hanya saja perhitungan suara pada tahap pertama, kedua, dan ketiga sebagai sisa, sedangkan dalam UU No.12 tahun 2003 perhitungan suara hanya terdapat dalam tahap pertama dan tahap sisa. Orang yang terpilih merupakan orang yang mewakili rakyat. Sistem pemilu tidak sesuai karena di Indonesia menganut perkawinan sistem distrik dan sistem proporsional.


(3)

T. Bagaimana tanggapan bapak mengenai pasal yang dianggap kontropersi dalam UU No. 10 tahun 2008 yaitu pasal 205 ayat 4, pasal 211 ayat 3, dan pasal 212 ayat 3?

J. Mengenai pasal yang kontropersi sebenarnya terdapat dalam masalah perhitungan sisa suara, banyak orang yang terpilih tapi karena tidak masuk dalam BPP maka dianggap hangus dan tidak berarti. Banyak kelemahan dalam UU No. 10 tahun 2008 pertama yaitu suara partai yang dihitung, jika ketentuan perhitungan dalam BPP misalnya 300 orang mendapatkan 1 kursi maka jika partai A memiliki suara sah 1000 orang maka partai A mendapatkan 3 kursi hal ini merupakan perhitungan tahap kedua, sedangkan partai B memiliki 500 orang maka partai B mendapatkan 1 kursi. Sedangkan sisa suara partai A adalah 100 dan sisa suara partai B adalah 200 hal ini merupakan perhitungan tahap kedua. Sedangkan dalam tahap ketiga sisa suara dari perhitungan setiap partai kecil diberikan pada partai yang memenangkan suara terbesar yaitu memenuhi suara 2,5 %. Hal ini menjadi kontropersi jika ada suara sisa, maka BPP membagi kursi yang masih ada sampai habis. Suara yang kurang dari ketentuan BPP diberikan kepada partai yang mendapatkan suara terbanyak.

Penentuan suara terbesar menjadi masalah dalam pemilihan tahap ketiga, suara partai yang tidak mendapatkan kursi kemudian dilimpahkan kepada partai pemenang yang paling besar. Jatah partai kecil yang tidak memenuhi dilimpahkan pada partai yang menang, maka orang yang memilih satu partai karena tidak mencukupi dianggap hangus. Isu dalam UU No. 10 tahun 2008 ada dalam parlementary thershold dan elektoral threshold.


(4)

T. Apakah dalam Islam mengenal pemilu atau intikhabat?

J. Dalam Islam tidak mengenal pemilu karena pemilu dalam Islam ukuran atau dasarnya adalah kebenaran, sedangkan dalam pemilu demokrasi ukuran atau dasarnya adalah suara mayoritas yang paling banyak suara sah atau pendukungnya maka dialah yang terpilih. Nilai kebenaran selama sesuai dengan prinsip Islam yaitu calon mempunyai kapabilitas, intelektual, moralitas, dan dinilai cakap untuk menjalankan syariat Islam hal itu sah saja. Di Indonesia menganut sistem demokrasi menurut jumlah suara, jika dalam demokrasi yang paling penting adalah suara pendukung, maka manusia bisa dimanipulasi misalnya money politik itulah perbedaan antara pemilu Islam dengan pemilu di Indonesia. Adapun persamaan antara pemilu dalam Islam dan pemilu di indonesia mempunyai semangat yang sama.

T. Bagaimana sistem pemilu dalam Islam?

J. Ahl halli wal aqd merupakan wakil rakyat, dalam Islam petunjuk nabi yaitu harus dilihat keturunan, moralitas, muamalah, jadi moralitas seseorang mencerminkan kebenaran tolak ukur dalam Islam. Sama seperti halnya DPR sebagai wakil rakyat yang membedakan DPR ini dipilih melalui pemilu, sedangkan ahl hall wa al-aqd tidak melalui pemilihan rakyat akan tetapi dengan cara penunjukan oleh majlis syuro yang dianggap dapat mempertahankan dan menjalankan kebenaran sesuai dengan syariat Islam.

T. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu di Indonesia dalam UU No. 10 tahun 2008?


(5)

J. Pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu di Indonesia dalam UU No. 10 tahun 2008, pemilu untuk mengurus masalah teknis dalam menerjemahkan perintah Allah dan Rasul dalam hidup berbangsa dan bernegara berarti pemilu boleh saja. Misalnya Allah memerintahkan seseorang berlaku adil, maka kewajiban masyarakat muslim melakukan keadilan, hal itu perlu diprogramkan maka diperlukan lembaga yang perlu untuk menjalankan perintah tersebut yaitu keadilan. Maka legalitas dan dukungan rakyat adalah dalam bentuk pemilu, maka sah saja tapi tidak boleh merubah dari ketentuan syariat Islam. Hal ini harus merupakan pengaturan atau regulasi ketetapan dari Allah dan nabi dapat terlaksana, untuk bisa mencapai hal itu harus dibuat dengan perencanaan kemudian dipilih orang yang dapat menjalankan tugas tersebut, agar pemilu dapat dipertanggungjawabkan maka harus dipilih. Yang berbeda dalam hal ini adalah substansi antara Islam dan demokrasi.

T. Jika dalam Islam dikenal dengan prinsip keadilan, apakah UU No. 10 tahun 2008 dapat dikatakan adil?

J. Dalam UU No. 10 tahun 2008 suara rakyat tidak terakomodir sepenuhnya karena ada sistem parlementary threshold, maka sebagian wakil rakyat di DPR tidak semua dipilih oleh rakyat dianggap hangus dan diberikan kepada partai pemenang. Dalam Islam prinsipnya lebih kepada ukuran kebenaran tapi perlu diperjuangakan maka harus ada program, perencanaan, dan evaluasi. Maka jika hal itu menghasilkan keadilan maka hali itu adil saja selama tidak bertentangan dengan syariat Islam dan konsep dalam HAM.

T. Apakah dalam Islam ada pemilihan DPR?

J. Ahl halli wal aqd merupakan wakil rakyat, dalam Islam petunjuk nabi yaitu harus dilihat keturunan, moralitas, muamalah, jadi moralitas seseorang mencerminkan kebenaran tolak ukur dalam Islam. Sama seperti halnya DPR


(6)

sebagai wakil rakyat yang membedakan DPR ini dipilih melalui pemilu, sedangkan ahl hall wa al-aqd tidak melalui pemilihan rakyat akan tetapi dengan cara penunjukan oleh majlis syuro yang dianggap dapat mempertahankan dan menjalankan kebenaran sesuai dengan syariat Islam. T. Apakah hubungan atau sinkronisasi antara pemilu dalam Islam dengan UU

No. 10 tahun 2008?

J. Hubungan atau sinkronisasi antara pemilu dalam Islam dengan pemilu di Indonesia menurut UU No.10 tahun 2008 dengan tujuan untuk mensejahterakan rakyat dengan memilih orang-orang yang mempunyai kapabilitas, intelektual, moralitas, dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan rakyat sebagai wakil rakyat walaupun berbeda dalam segi substansi jika dalam Islam berdasarkan akan kebenaran sedangkan dalam pemilu demokrasi ukurannya memanjangkan UUD untuk mendapatkan pendukung dalam pemilihan suara.