34
juga terkait dengan aturan peralihan yang membolehkan semua partai yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat DPR ikut pemilu 2009, yang sudah dibatalkan dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi MK, namun menjadi tidak berarti karena tahap verifikasi telah dilalui.
3
Ada sejumlah catatan penting dari kecacatan pemilu 2009 secara sistemik. Salah satu akar dari cacat pemilu 2009, baik yang terjadi pada pemilu legislatif
maupun pemilihan presiden, adalah distorsi dan bias politik sistem proporsional yang dianut. Sistem proporsional telah terselewengkan oleh oligarki parlemen dalam
menyusun Undang-Undang No. 10 tahun 2008. Beragam tafsir, kualitas penyelenggaraan dan banyaknya kepentingan menyebabkan kualitas Pemilu 2009
diragukan oleh banyak pihak.
B. Pandangan Para Pakar Tentang UU No 10 Tahun 2008
Menurut Relfy Harun,
4
dilihat dari segi sejarahnya UU ini dibuat pada bulan Mei 2007 dan selesai dirumusukan pada 3 Maret 2008, kemudian disahkan pada 28
Maret 2008. Sedangkan pemilu ini dilakukan pada 5 April 2009. UU ini dianggap sangat terburu-buru karena terlambat diundangkan atau disahkan, terbukti adanya
judicial review yang terkait dengan penentuan calon terpilih berdasarkan pemilih yang mendapatkan suara 30 persen. Menurutnya, MK membatalkan pasal 214 yang
menyatakan harus memperoleh suara terbanyak. Terlebih, Refly menegaskan bahwa
3
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008
4
Wawancara penulis per telepon dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB.
35
perubahan UU No. 10 tahun 2008 sangat luar biasa dengan banyaknya perubahan dari UU sebelumnya yang membuat pemilu mengalami banyak permasalahan.
Terkait dengan pasal yang dianggap kontroversi, Refly menggaris bawahi bahwa sebenarnya pasal-pasal tersebut terdapat dalam pasal 22 E UUD 1945,
dikarenakan banyak pihak yang ingin mengambil kesempatan, khususnya yang tidak mendapatkan kursi di DPR. Perhitungan kursi pada UU No. 10 tahun 2008, misalnya
partai A mendapat 70 suara dan partai B mendapat 40 suara. Pada tahap pertama partai A mendapat 1 kursi dari perhitungan 50 suara sedangkan partai B tidak
mendapatkan kursi karena tidak memenuhi penentuan suara yaitu 40 suara. Pada tahap kedua partai A tidak mendapat kursi karena kurangnya jumlah sisa suara yaitu
20 kursi, sedangkan partai B dalam tahap kedua mendapat 1 kursi karena sisa suara lebih banyak dari partai A yaitu 40 suara. Dalam hal ini, banyak pihak yang
menganggap tidak adanya keadilan, seharusnya pada perhitungan penentuan kursi pada tahap pertama, kedua, dan ketiga harus tetap diberikan kepada partai yang
mendapat suara terbanyak.
5
Refly menegaskan bahwa menurut sistem yang disepakati dalam segi perundang-undangan sebenarnya jelas perhitungan suara dianggap adil, hal ini
terdapat dalam pasal 22 E UUD 1945 tentang pelaksanaan pemilu. Akan tetapi, karena ada pihak tertentu yang kalah dan mengupayakan agar menang, maka mereka
kemudian mengajukan judicial review. Dalam UU No. 10 tahun 2008 walaupun
5
wawancara penulis per telepon dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB
36
dianggap adil sesuai dengan UUD 1945, akan tetapi tetap ada persoalan penentuan calon terpilih yang bermasalah dalam tahap ketiga yaitu penentuan yang diangkat
dalam DPRD Provinsi atau penentuan Dapil Daerah Pemilihan, dapil mana yang berhak mendapat kursi.
6
Refly menandaskan bahwa banyak politisi yang melakukan Judicial review, hal ini dikarenakan adanya ketidakjelasan UU No. 10 tahun 2008 terutama terkait
dengan penetapan atau pengaturan kursi dalam partai politik dan penentuan calon terpilih, ditambah dengan rumitnya sistem pemilu yang diadopsi. Dalam sistem
pemilu Indonesia menggunakan sistem proporsional tapi dengan suara terbanyak hal ini ditambah dengan pemilihan dapil, sehingga perhitungan suara dalam jumlah kursi
atau calon terpilih menjadi rumit dan sangat sulit. Karena sistem proporsional terbuka sebenarnya tidak punya dapil, yang sebenarnya dikenal dengan distrik. Kemudian
ketidak jelasan dalam UU No. 10 tahun 2008 yang dipersoalkan adalah mental para calon DPR yang mengupayakan segala cara agar dapat terpilih dan mengupayakan
agar celah hukum yang ada agar terpilih menjadi anggota DPR.
7
Refly menjelaskan bahwa UU No.10 tahun 2008 bukanlah penyempurnaan terhadap UU sebelumnya, akan tetapi perubahan terjadi karena konteks isi atau
bahasa didalamnya dirubah secara keseluruhan yang dianggap tidak penting dalam UU No. 12 tahun 2003. Kecuali hubungan antara UU No. 10 tahun 2008 dengan UU
6
wawancara penulis per telepon dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB
7
wawancara penulis per telepon dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB
37
No.12 tahun 2003 dan masih dipertahankan. Hal ini mengacu pada kebutuhan zaman pada masa tersebut.
8
Refly menambahkan bahwa relevansi antara UU no. 10 tahun 2008 dengan hukum tata negara terdapat dalam UUD 1945 pasal 22 E perubahan ketiga UUD 1945
dalam BAB VIIB tentang pemilihan umum yang isinya ayat 1; Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. ayat
2; Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan wakil presiden dan DPRD. ayat 3; Peserta pemilu untuk memilih DPR dan anggota DPRD adalah
partai politik. ayat 4; Peserta pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. ayat 5; Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilu yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri. ayat 6; Ketentaun lebih lanjut tentang pemilu diatur dengan undang-undang.
9
Menurut KH. Yan Hasanudin Malik
10
, berdasarkan UU No.10 tahun 2008 anggota dewan dicalonkan oleh partai maka proses pencalonan harus melalui partai
politik. Menurut nya, relasi antara UU No.12 tahun 2003 dengan UU No. 10 tahun 2008, yang menjadi amandemen dari UU sebelumnya, sebenarnya tidak jauh berbeda,
hanya saja perhitungan suara pada tahap pertama, kedua, dan ketiga sebagai sisa, sedangkan dalam UU No.12 tahun 2003 perhitungan suara hanya terdapat dalam
8
wawancara penulis per telepon dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB
9
wawancara penulis per telepon dengan Refly Harun, SH., MH., LLM., pakar hukum tata negara dan peneliti senior CENTRO, pada tanggal 19 Juni 2010, jam 20.00 WIB
10
wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang PBB, pada tanggal 20 Juni 2010, jam 20.00 WIB
38
tahap pertama dan tahap sisa. Orang yang terpilih merupakan orang yang mewakili rakyat. Sistem pemilu tidak sesuai karena di Indonesia menganut perkawinan sistem
distrik dan sistem proporsional. KH. Yan Hasanudin Malik menjelaskan beberapa pasal yang kontroversial.
Menurut analisanya, pasal-pasal tersebut mengandung kontroversi pada masalah perhitungan sisa suara, banyak orang yang terpilih tapi karena tidak masuk dalam
BPP maka dianggap hangus dan tidak berarti. Banyak kelemahan dalam UU No. 10 tahun 2008 pertama yaitu suara partai yang dihitung, jika ketentuan perhitungan
dalam BPP misalnya 300 orang mendapatkan 1 kursi maka jika partai A memiliki suara sah 1000 orang maka partai A mendapatkan 3 kursi hal ini merupakan
perhitungan tahap kedua, sedangkan partai B memiliki 500 orang maka partai B mendapatkan 1 kursi. Sedangkan sisa suara partai A adalah 100 dan sisa suara partai
B adalah 200 hal ini merupakan perhitungan tahap kedua. Sedangkan dalam tahap ketiga sisa suara dari perhitungan setiap partai kecil diberikan pada partai yang
memenangkan suara terbesar yaitu memenuhi suara 2,5 . Hal ini menjadi kontroversi jika ada suara sisa, maka BPP membagi kursi yang masih ada sampai
habis. Suara yang kurang dari ketentuan BPP diberikan kepada partai yang mendapatkan suara terbanyak.
11
KH. Yan Hasanudin Malik menegaskan bahwa penentuan suara terbesar menjadi masalah dalam pemilihan tahap ketiga, suara partai yang tidak mendapatkan
11
wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang PBB, pada tanggal 20 Juni 2010, jam 20.00 WIB
39
kursi kemudian dilimpahkan kepada partai pemenang yang paling besar. Jatah partai kecil yang tidak memenuhi dilimpahkan pada partai yang menang, maka orang yang
memilih satu partai karena tidak mencukupi dianggap hangus. Ia menambahkan bahwa isu sentral dalam UU No. 10 tahun 2008 terkait dengan parlementary
thershold dan elektoral threshold.
12
KH. Yan Hasanudin Malik mengelaborasi perbedaan sisitem pemilu dalam Islam dan sistem pemilu konvensional secara komprehensif. Menurut nya, dalam
Islam tidak mengenal pemilu karena pemilu dalam Islam ukuran atau dasarnya adalah kebenaran, sedangkan dalam pemilu demokrasi ukuran atau dasarnya adalah suara
mayoritas yang paling banyak suara sah atau pendukungnya maka dialah yang terpilih. Nilai kebenaran selama sesuai dengan prinsip Islam yaitu calon mempunyai
kapabilitas, intelektual, moralitas, dan dinilai cakap untuk menjalankan syariat Islam hal itu sah saja. Di Indonesia menganut sistem demokrasi menurut jumlah suara, jika
dalam demokrasi yang paling penting adalah suara pendukung, maka manusia bisa dimanipulasi misalnya money politik itulah perbedaan antara pemilu Islam dengan
pemilu di Indonesia. Adapun persamaan antara pemilu dalam Islam dan pemilu di indonesia mempunyai semangat yang sama.
13
KH. Yan Hasanudin Malik menegaskan bahwa Ahl halli wal aqd merupakan wakil rakyat, dalam Islam petunjuk nabi yaitu harus dilihat keturunan, moralitas,
12
wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang PBB, pada tanggal 20 Juni 2010
13
wawancara penulis dengan KH. Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang PBB, pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB
40
muamalah, jadi moralitas seseorang mencerminkan kebenaran tolak ukur dalam Islam. Sama seperti halnya DPR sebagai wakil rakyat yang membedakan DPR ini
dipilih melalui pemilu, sedangkan ahl hall wa al-aqd tidak melalui pemilihan rakyat akan tetapi dengan cara penunjukan oleh majlis syuro yang dianggap dapat
mempertahankan dan menjalankan kebenaran sesuai dengan syariat.
14
KH. Yan Hasanudin Malik berpendapat bahwa terdapat korelasi positif antara pandangan hukum Islam terhadap sistem pemilu di Indonesia dalam UU No. 10 tahun
2008. Menurut nya, pemilu untuk mengurus masalah teknis dalam menerjemahkan perintah Allah dan Rasul dalam hidup berbangsa dan bernegara berarti pemilu boleh
saja. Misalnya Allah memerintahkan seseorang berlaku adil, maka kewajiban masyarakat muslim melakukan keadilan, hal itu perlu diprogramkan maka diperlukan
lembaga yang perlu untuk menjalankan perintah tersebut yaitu keadilan. Maka legalitas dan dukungan rakyat adalah dalam bentuk pemilu, maka sah saja tapi tidak
boleh merubah dari ketentuan syariat Islam. Hal ini harus merupakan pengaturan atau regulasi ketetapan dari Allah dan nabi dapat terlaksana, untuk bisa mencapai hal itu
harus dibuat dengan perencanaan kemudian dipilih orang yang dapat menjalankan tugas tersebut, agar pemilu dapat dipertanggungjawabkan maka harus dipilih. Yang
berbeda dalam hal ini adalah substansi antara Islam dan demokrasi.
15
14
wawancara penulis dengan KH. Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang PBB, pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB
15
wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang PBB, pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB
41
KH. Yan Hasanudin Malik menggarisbawahi bahwa dalam UU No. 10 tahun 2008 suara rakyat tidak terakomodir sepenuhnya karena ada sistem parlementary
threshold, maka sebagian wakil rakyat di DPR tidak semua dipilih oleh rakyat dianggap hangus dan diberikan kepada partai pemenang. Dalam Islam prinsipnya
lebih kepada ukuran kebenaran tapi perlu diperjuangkan maka harus ada program, perencanaan, dan evaluasi. Maka jika hal itu menghasilkan keadilan maka hali itu adil
saja selama tidak bertentangan dengan syariat Islam dan konsep dalam HAM.
16
KH. Yan Hasanudin Malik menjelaskan bahwa ahlu halli wal aqd yaitu sesorang yang mempunyai kemampuan teknis dan dapat menerjemahkan Islam dalam
kehidupan sehari-hari sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat. Hal ini dibentuk oleh majlis syuro yang berasal dari kata syawaro yang berarti madu dan
terasa manis dan menyehatkan sehingga dapat mewakili rakyat dalam kebenaran. KH. Yan Hasanudin Malik lebih jauh menjelaskan tentang adanya hubungan
atau sinkronisasi antara pemilu dalam Islam dengan pemilu di Indonesia menurut UU No.10 tahun 2008 yaitu dengan tujuan untuk mensejahterakan rakyat dengan memilih
orang-orang yang mempunyai kapabilitas, intelektual, moralitas, dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan rakyat sebagai wakil rakyat walaupun berbeda dalam segi
substansi jika dalam Islam berdasarkan akan kebenaran sedangkan dalam pemilu
16
wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang PBB, pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB
42
demokrasi ukurannya memanjangkan UUD untuk mendapatkan pendukung dalam pemilihan suara.
17
Menurut Mochammad Nurhasim
18
, peneliti bidang politik LIPI, Undang- Undang paket politik yang meliputi hampir enam Undang-Undang, tampaknya
memang memiliki kekacauan substansial yang sistemik. Misalnya, Undang-Undang paket politik itu adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilihan Presiden, Undang-Undnag Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah, serta
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Nurhasim menegaskan bahwa salah satu faktor determinan dari kekacauan itu
adalah tidak saling sinkron antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain. Bahkan ada gejala saling menegasikan dan tidak saling menunjang. Sebagai
contoh, prinsip multipartai yang menjadi inti dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, seakan-akan berdiri sendiri sebagai suatu undang-undang,
tanpa terkait dengan undang-undang pemilu.
19
Upaya penyederhanaan partai yang dianut pada sejumlah pasal pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 ternyata
17
wawancara penulis dengan KH Yan Hasanudin Malik, S.Pd.I, penasehat dan badan kehormatan Partai Bulan Bintang PBB, pada tanggal 20 Juni 2010, jam 09.00 WIB
18
Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http:pemilu.okezone.com read20090928274260234menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September
2009 diakses pada 3 Mei 2010.
19
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008
43
tidak ditunjang oleh undang-undang kepartaian, yang justru memberikan keleluasaan orang untuk mendirikan partai politik.
20
Demikian pula dengan masalah pilihan presiden dan bahkan undang-undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang baru saja disahkan oleh DPR yang
ditambah dengan Nurhasim. Dari segi prinsip, yang paling parah secara substansial adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD dan DPRD. Undang-Undang ini mengandung beberapa kelemahan mendasar, karena undang-undang tersebut telah menisbikan sebagian prinsip sistem
proporsional. Kelemahan itu terletak pada dan di antaranya ialah bertingkatnya koefisien bilangan untuk penentuan kursi bagi anggota DPR.
21
Nurhasim menggaris bawahi bahwa aturan tiga tahap dalam penentuan kursi bukanlah suatu kewajaran, tetapi merupakan penyimpangan substansial dari sistem
proporsional. Hadirnya Pasal 205 dapat dianggap sebagai akal-akalan politik partai. Dalam sistem proporsional sejatinya jika suatu suara tidak sebanding dengan
koefisien nilai kursi, maka suara tersebut disebut sebagai sisa. Undang-Undnag Nomor 10 Tahun 2008 tidak mengenal dan tidak menjelaskan sama sekali tentang
20
Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http:pemilu.okezone. com read20090928274260234menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September
2009 diakses pada 3 Mei 2010.
21
Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http:pemilu.okezone.com read20090928274260234menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September
2009 diakses pada 3 Mei 2010.
44
istilah sisa suara tersebut. Dengan kata lain, Pasal 205 adalah pasal karet yang bukan saja multitafsir, tapi sekaligus tidak memiliki dasar secara teoritik.
22
Alhasil, Nurhasim menegaskan bahwa hal itu berdampak pada perbedaan nilai satu kursi dalam suatu daerah pemilihan, antara tahap pertama, kedua, dan ketiga
dalam penghitungan kursi partai. Sistem proporsional yang hibrida, suatu perkawinan antara sebagian sistem distrik dengan sistem proporsional, idealnya
pengawinan substansi itu tidak mengacaukan sistem utamanya. Indonesia sebenarnya terjebak pada sistem proporsional hibrida yang kacau balau. Kekacauan itu terletak
pada inkonsisten prinsip-prinsip utama sistem proporsional yang digunakan. Lebih dari itu, Nurhasim meyakini bahwa teknis pembagian kursi yang dianut
pada Pemilu 2004 justru lebih bagus ketimbang Pemilu 2009.
23
Pembagian kursi yang hanya pada dua tahap tahap pertama dan tahap sisa lebih mencerminkan
keadilan substansial yang meminjam istilah Mahkamah Konstitusi MK daripada tiga tahap seperti yang berlaku saat ini. Kekacauan lainnya terletak pada desain
undang-undang yang dirancang setengah proporsional terbuka, menjadi terbuka penuh. Ini terjadi karena keputusan Mahkamah Konstitusi MK yang mengabulkan
permohonan suara terbanyak dalam penentuan calon terpilih anggota DPR dan DPRD.
22
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008
23
Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu Tahun 2003, Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi 2009
45
Nurhasim menjelaskan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak dirancang untuk proporsional terbuka penuh, hanya setengahnya.
24
Kenapa setengah? karena adanya percampuran antara peran partai dan peran pemilih pada saat
penentuan calon terpilih. Percampuran itu berimbas pada beberapa teknis lainnya, khususnya cara memilih dan sah tidaknya sebuah pilihan rakyat. Dalam sistem
proporsional dengan daftar tertutup pemilih akan memilih gambar partai. Sementara dalam sistem proporsional setengah terbuka seperti yang berlaku pada pemilu tahun
2004, pemilih dapat memilih partai dan atau nama calon. Idealnya, Nurhasim menambahkan dalam sistem proporsional yang benar-
benar terbuka penuh, pemilih hanya memilih nama calon. Akan tetapi, kekacauan ketika Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
meletakkan fungsi dan peran anggota DPRD terpilih justru di bawah bayang-bayang peran dan oligarki partai politik.
25
Nurhasim menegaskan bahwa sebuah undang-undang pemilu tidaklah berdiri sendirian. Undang-Undang Pemilu akan melandasi tiga hal secara mendasar, pertama
sistem kepartaian yang kita anut, kedua susunan dan kedudukan DPR, DPD dan DPRD, dan ketiga adalah pihak penyelenggara dan pengawasnya. Meletakkan
hubungan yang saling berhubungan antara satu undang-undang dengan undang- undang lainnya merupakan keniscayaan.
24
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008
25
Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http:pemilu.okezone.com read20090928274260234menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September
2009 diakses pada 3 Mei 2010.
46
Prinsip tersebut relatif diabaikan dalam penyusunan paket Undang-Undang Politik Undang-Undang Pemilu, Kepartaian, Susunan DPR, DPD dan DPRD serta
penyelenggara pemilu. Upaya para akademisi yang tergabung dalam tim perancang Paket Undang-Undang Politik usulan pemerintah yang mencoba merangkai kaitan
paket Undang-Undang Politik yang diacak-acak pada saat pembahasan RUU di DPR. Berbagai kerancuan yang telah disebut di atas adalah contoh dari proses pembahasan
RUU Politik yang kental kepentingan politik.
26
Ironinya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
27
Tentang Pemilihan Anggota Legislatif DPR, DPD, dan DPRD banyak menuai gugatan uji materiil di
Mahkamah Konstitusi MK. Baik oleh lembaga maupun perorangan. Padahal, dengan Undang-Undang inilah Komisi Pemilihan Umum KPU melaksanakan
Pemilihan Umum 2009. Benarkah materi Undang-Undang ini sebenarnya masih lemah, atau pemberlakuannya masih belum banyak dipahami akibat minimnya
sosialisasi? Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi MK Prof Dr Mahfud MD
28
, banyaknya gugatan masyarakat terhadap Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008
29
ini
26
Moch Nurhasim, “Menyempurnakan Sistem Proporsional”, http:pemilu.okezone. com read20090928274260234menyempurnakan-sistem-proporsional, edisi Senin, 28 September
2009 diakses pada 3 Mei 2010.
27
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008
28
Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 2008 Kebiri Kebebasan Pers, http:www.waspada.co.idindex2.php?option=com_contentdo
pdf=1id=173, diakses 3 Mei 2010.
29
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008
47
menunjukan bahwa Undnag-Undang ini belum kuat untuk dijadikan dasar hukum bagi KPU untuk melaksanakan pemilu legislatif. Hal tersebut merupakan
konsekwensi sekaligus kenyataan bahwa undang-undang ini produk politik. Di sinilah letak fungsi Mahkamah Konstitusi MK untuk menguji apakah undang-undang itu
sudah kuat atau belum. Hasilnya, dari enam pengujian, ada beberapa yang dikabulkan dan ada yang ditolak.
Mahfudz MD berharap bahwa masyarakat dapat memahami bahwa Mahkamah Konstitusi MK tidak boleh sewenang-wenang. Karena Mahkamah Konstitusi MK
hanya bisa membatalkan undang-undang yang jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak bisa didorong untuk membuat putusan yang bertentangan
dengan konstitusi.
30
Seperti misalnya calon perseorangan yang sudah ditolak gugatannya itu. Jika mengacu ke konstitusi isinya sudah jelas kebutuhan politis dan sosiologisnya, jadi
tidak ada tafsir lain. Bahwa dalam persidangan ada tiga hakim yang dissenting opinion, sebenarnya esensi yang mereka sampaikan sama. Menghendaki dilaksanakan
tapi baru bisa tahun 2014 karena masih memerlukan perubahan konstitusi lagi. Pembatalan Pasal 214 Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008
31
oleh Mahkamah Konstitusi MK, Mahfudz MD menegaskan kemungkinan intensitas
saling gugat antar calon legislatif akan meningkat tajam. Walaupun demikinan dalam
30
Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 2008 Kebiri
Kebebasan Pers, http:www.waspada.co.idindex2.php?option=com_contentdo pdf=1id=173, diakses 3 Mei 2010
31
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008
48
undang-undang yang mengaturnya, Mahkamah Konstitusi MK hanya mengadili sengketa hasil pemilu, termasuk juga jika partai politik menggugat KPU.
32
Sementara itu, tokoh-tokoh pers baik akademisi maupun praktisi media massa merasa kecolongan dengan munculnya sejumlah produk undang-undang yang
secara eksplisit maupun implisit mengebiri kebebasan pers di negeri ini. Kita sebut saja keberadaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota
DPR, DPD, dan DPRD. Isi Undang-Undang ini jelas-jelas mengekang kebebasan pers dan berlawanan dengan hakikat dan fungsi media massa.
33
Pasal 91 Ayat 2, misalnya berisikan ketentuan bagi media cetak dan penyiaran yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan kampanye harus berlaku adil dan
berimbang kepada semua peserta pemilu. Pasal 93 ayat 3 menegaskan: media massa wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu dalam pemuatan
dan penayangan iklan kampanye. Pasal 97 menyatakan pula bahwa media massa menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan
wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu. Pasal 94 ayat 1 bahwa media massa cetak dan lembaga penyiaran dilarang menjual blocking
segment dan atau blocking time untuk kampanye Pemilu. Pasal 94 ayat 2 bahwa media massa dilarang menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun
32
Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 2008 Kebiri
Kebebasan Pers, http:www.waspada.co.idindex2.php?option=com_contentdo pdf=1id=173, diakses 3 Mei 2010
33
Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 2008 Kebiri
Kebebasan Pers, http:www.waspada.co.idindex2.php?option=com_contentdo pdf=1id=173, diakses 3 Mei 2010
49
yang dapat dikategorikan iklan kampanye. Pasal 94 ayat 3 bahwa iklan yang tidak dimanfaatkan oleh salah satu peserta pemilu dilarang dijual kepada pihak lain.
34
Selain Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
35
tentang pemilu, masih banyak produk Undang-Undang maupun Rancangan Undang-Undang lainnya yang
berlawanan dengan kebebasan pers. Misalnya, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik UU ITE yang juga berpotensi mengancam kemerdekaan pers
dan kemerdekaan berekspresi masyarakat, karena ancamannya sangat berat sebagaimana terdapat dalam Pasal 27 ayat 3 mengenai distribusi atau transmisi
informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik. Ancaman atau sanksi lainnya pada pasal 28 ayat 2
menyebutkan: jika sengaja menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan, maka setiap orang yang melanggar
tiap-tiap pasal itu bisa dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp1 miliar.
36
Sebenarnya tidak ada kewajiban bagi media massa untuk memuat berita pemilu. Yang diatur dalam undang-undang adalah media massa wajib memberitakan
berita yang benar sesuai fakta. Adalah hak masyarakat untuk mendapatkan informasi
34
Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 2008 Kebiri
Kebebasan Pers, http:www.waspada.co.idindex2.php?option=com_contentdo pdf=1id=173, diakses 3 Mei 2010
35
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, Yogyakarta: Gradein Mediatama, 2008
36
Waspada Online edisi Selasa, 29 April 2008 15:27, Opini, UU Pemilu No 10 2008 Kebiri
Kebebasan Pers, http:www.waspada.co.idindex2.php?option=com_contentdo pdf=1id=173, diakses 3 Mei 2010
50
yang benar dari media massa. Jika tidak, publik berhak menggunakan hak jawab dan hak koreksi, sebagaimana ketentuan Undang-Undang Pers No. 401999.
Media massa punya parameter dalam pemberitaan yaitu news value. Berita apa pun juga harus mengacu pada nilai berita, apakah berita kriminalitas, politik,
ekonomi, budaya, pendidikan, social, dan lain-lain. Kalau nilai beritanya tinggi media massa pasti akan memuatnya, sebaliknya jika nilai beritanya rendah, apalagi jenis
berita kampanye mengenai Pilkada, Pemilu, dan Pilpres yang cenderung membodohi rakyat dengan kampanye lips service dan jual kecap maka media massa berhak
tidak memuatnya. Kalau ada pihak yang memaksakan kemauannya, jelas hal itu melanggar undang-undang dan kebebasan pers.
37
C. Substansi UU No. 10 Tahun 2008