Teori Persepsi Tentang Kafa’ah dalam Perkawianan
                                                                                bukan suku Quraisy sederajat dengan lakiflaki yang bukan suku Quraisy dan tidak sederajat bangsa bukan Arab  6
. Identitas“agama“  dalam  memilih  jodoh,  menurut  syafi’i,  bukan
sematafmata harus pemeluk agama  Islam melainkan kadar ketaqwaan dalam mengamalkan ajaran yang disyari’atkan agama Islam. Kadar ketaqwaan dapat
diukur  dengan  sebarapa  ketaatan  kepada  Allah  SWT  didalam  menjalankan perintah Alla dan Rasulnya. Karena itu, perempuan yang baik dan taat dalam
menjalankan  perintah  agama  tidak  sejodoh  lakiflaki  yang  fasik,  yang  suka main  judi,  mabuk,  zina,  dan  sebagainya.  Dan  perempuan  fasik  memang
sejodoh dengan lakiflaki fasik juga.
30
Mengenai  sekufu’  dari  segi  kemerdekaaan  dapat  dijelaskan  bahwa seorang  budak  lakiflaki  tidak  sekufu’  dengan  seorang  perempuan  merdeka.
Budak  lakflaki  yang  sudah  merdeka  tidak  sekufu’  dengan  perempuan  yang merdeka dari asal. Lakiflaki Kufu’ dengan perempuan yang merdeka dari asal.
Lakiflaki  yang  salah  seorang  neneknya  pernah  menjadi  budak  tidak  sekufu’ dengan  perempuan  yang  neneknya  tak  pernah  ada  yang  jadi  budak.  Sebab
perempuan  merdeka  bila  kawin  dengan  lakiflaki  budak  dianggap  tercela.
30
M. Asmawi, , Yogyakarta, Darussalam, 2004,
hal. 40
Begitu pula bila dikawin oleh lakiflaki  yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak.
31
Adapun  penilaian  bahwa  suatu  pekerjaan  dianggap  mulia  atau tidaknya  tergantung  kepada  kebiasaan  masyarakat  setempat.  Sebab  ada
kalanya pekerjaan tidak terhormat disuatu tempat atau masa yang lain. Mereka yang menganggap ukuran kufu’ berdasarkan pekerjaan adalah
berdasarkan  suatu hadist yaitu dari Ibnu Umar r.a Rasulullah bersabda:
ل    و   7  ا  6,  6+ ا  نا  7  ا  ضر  ة F ه  6ا  7 :
›9 -  ن آا او ‘-او، ه ا ‘-ا G   Œ F Žاور
ا دواد
٣٢ 32
rtinya: :
, 5
1:2 9
9 ,
, :   Riwayat
Daud Ahmad  bin  Hambal  pernah  ditanya  tentang  hadist  ini.  Mengapa  tuan
menggunakan  hadist  ini  padahal  tuan  melemahkannya?  Jawabannya “Begitulah  kebiasaan  yang  berjalan“  di  dalam  kitab  “AlfMughni“  dikatakan
bahwa  hadist  ini  datang  berdasarkan  kebiasaan  masyarakat.  Karena  orang yang  mempunyai  pekerjaan  atau  mata  pencarian  terhormat,  menganggap
sebagai  suatu  kekurangan  jika  anak  perempuan  mereka  dijodohkan  dengan
31
Sayyid Sabiq, Bandung, PT. Alma’arif, 1981, Cet, hal. 45f46
32
Ustdz Bey Arifin, ;, Semarang, Asy Syifa, 1993, hal. 35
lakiflaki yang pekerjaan kasar, seperti tukang bekam, penyamak kulit, tukang sapu, dan kuli. Karena kebiasaan masyarakat memandang pekerjaan tersebut
memang  demikian,  sehingga  seolahfolah  hal  ini  menunjukan  nasabnya  yang kurang.  Demikian  pendapat  Syfi’i,  Muhammad  Abi  Yusuf  dan  Mazdhab
Hanafi, Ahmad dan Abu Hanifah dalam satu riwayat.
33
Mereka  berkata  pula  bahwa  kemampuan  lakiflaki  fakir  dalam membelanjakan  isterinya  adalah  dibawah  ukuran  lakiflaki  kaya.  Sebagian
lainnya  berpendapat  bahwa  kekayaan  itu  tidak  dapat  dijadikan  ukuran  kufu’ karena  kekayaan  itu  sifatnya  timbul  tenggelam,  dan  bagi  perempuan  yang
berbudi luhur tidaklah mementingkan kekayaan. Argumentasi  tersebut  dipertegas  kembali  oleh  Asmawi    dalam
bukunya  yang  berjudul yang
menyatakan  bahwa  unsur  kakayaan,  menurut  golongan  Syafe’i  tidak dimasukkan  kedalam  katagori  sekufu’  dalam  perjodohan,  maka  perempuan
yang kaya raya sejodoh dengan lakiflaki miskin.
34
2.   Madzhab Imam Hambali Mengenai  kafa’ah  ini  Imam  Hambali  hampir  sama  pandangannya
dengan  pendapat  Imam  Syafi’i  hanya  menurut  Imam  Hambali  kafa’ah  ini
33
Sayyid Sabiq, 0 , Bandung, PT. Alma’arif, 1981, Cet, I, hal. 47
34
M. Asmawi, Yogyakarta, Darussalam, 2004,
hal. 150
hanya  ditambah  dengan  kekayaan.  Untuk  lebih  jelasnya  mengenai  Imam Hambali  ini  M.  Asmawi  menjelaskan  bahwa  dalam  madzhab  Hambali
perjodohan atau Sekufu’an itu diantaranya : 1. Suku bangsa
2. Agama 3. Merdeka
4. Status sosial 5. Kekayaan
Perincian  dari  pendapat  dari  Imam  Hambali  ini  dijelaskan  kembali oleh  H.S.A.  Alhamdani  yang  menyatakan  bahwa  dari  segi  keturunan  orang
arab  adalah  sekufu’  bagi  bangsa  arab,  Quraisy  adalah  sekufu’  bagi  Quraisy lainnya. Orang arab biasa tidak sekufu’ dengan orangforang Quraisy.
35
Kemerdekaan  menurut  Imam  Hambali  seorang  budak  tidak  pandang sekufu’dengan  orang  merdeka,  demikian  pula  orang  yang  pernah  menjadi
budak tidak sekufu’ dengan perempuan yang ayahnya belum pernah menjadi budak.  Karena  orang  yang  merdeka  akan  merasa  terhina  apabila  hidup
bersama  seorang  budak  atau  orang  yang  pernah  menjadi  budak  atau  anak bekas budak.
Kriteria  agama  pada  dasarnya  digunakan  bagi  selain  dengan  orang arab. Sedang orang arab kafa’ahnyatidak diukur dengan keislamannya sebab
35
H.S.A Al Hamdani, , Jakarta, Pustaka Amani, 2002, hal. 20
mereka  bangga  dengan  nasab  atau  keturunan  mereka  tidak  akan  berbangga dengan kefIslaman nenek moyang mereka.
Sedangkan  selain  orang  arab  yaitu  orang  Mawali  dan  A’jam  mereka akan  bangga  dengan  kefIslaman  leluhur  mereka.  Seorang  yang  hanya
mempunyai  seorang  tua  yang  Islam  sekufu’  dengan  orang  yang  hanya mempunyai  satu  orang  Islam,  sebab  perceraian  dapat  dituntut  oleh  ayahnya
atau  dengan  kakeknya,  hak  menuntut  hak  cerai  itu  tidak  akan  berpindah kepada selain ayah dan kakeknya.
Tentang  status  sosial,  apabila  seorang  perempuan  berasal  dari kalangan  orangforang  yang  mempunyai  kerja  tetap  dan  terhormat  tidak
dianggap  sekufu’  dengan  seorang  yang  rendah  penghasilannya,  apabila penghasilannya  hampir  sama  dari  usaha  yang  sama  dianggap  tidak  berbeda.
Adanya disuatu daerah ukuran tingkat tinggi dan rendahnya usaha adalah ada dengan mengikuti adat. Dan pada suatu masa di pandang terhormat tetapi di
tempat dan di waktu lain mungkin di pandang hina. Lebih  jelasnya  pembahasan  yang  berhubungan  tentang  kekayaaan
dalam  masalah  kafa’ah  ini  Imam  Hambali  mengemukakan  bahwa  orang miskin  akan  menyusahkan  isterinya  dalam  memberi  belanja  dan
membahagiakan  anakfanaknya.  Karena  orang  yang  disebut  fakir  menurut sedikit  atau  benyaknya  kekayaan  yang  ia  miliki  seperti  terhormatnya
seseorang itu karena lebih terpandang dan terhormat nenek moyangnya. 3.  Madzhab Imam Hanafi
Madzhab Hanafi kafa’ah dalam pernikahan itu sebagaimana yang telah dijelaskan oleh M. Asmawi adalah dengan memperhatikan sebagai berikut:
1. Suku bangsa 2. Islam
3. Status sosial 4. Merdeka
5. Agama 6. Kaya
Masalah  jodoh  yang  sekufu’  atau  yang  setingkat  yang  berkaitan dengan  kriteria  suku  bangsa  dan  status  sosial  antara  pendapat  Hanafi  dan
Syafi’i  adalah  samatidak  terdapat  perbedaan.  Sedangkan  kriteria  yang menyangkut kekayaan, pendapat Hanafi sama dengan Hambali.
Yang  terdapat  sedikit  perbedaan  adalah  kriteria  yang  menyangkut dengan  masakah  Islam,  merdeka  dan  agama,  lakiflaki  muslim  dan  ayahnya
non  muslim,  menurut  Hanafi,  tidak  sejodoh  dengan  perempuan  muslimah yang ayahnya juga muslim.
Tentang  ke  Islaman  tidaklah  merupakan  norma  sekufu  bagi  selain orang arab, sedang orang kafa’ahnya tidak diukur dari keIslamannya, dan juga
mereka  tidak  bangga  dengan  keIslaman  nenek  moyang  mereka  karena mayoritas dari mereka sendiri adalah orang Islam. Sedang orangforang selain
orang  arab  yaitu  orang  mawali  dan  orang  A’jam,  mereka  bangga  dengan keislaman leluhur mereka. Demikian apabila seorang perempuan mempunyai
ayah dan kakek yang Islam tidak sekufu dengan orang yang punya ayah dan kakek dari bukan orang Islam.
Masalah  ketaatan  terhadap  ajaran  agama,  pendapat  Hanafi  sama dengan  Syafi’i  hanya  terdapat  sedikit  perbedaan.  Hanafi  berpendapat  bahwa
perempuan  yang  shalih  dalam  menjalankan  perintah  agama  tetapi  ayahnya fasik,  kemudian  si  ayah  menikahkan  anaknya  dengan  lakiflaki  fasik  maka
pernikahan  yang  dilangsungkan  tetap  sah.  Karena  antara  ayah  dan  menantu samafsama fasik.
Kriteria fasik menurut Hanafi ada dua kategori yaitu: 1. Orang  yang  suka  mengerjakan  perbuatan  dosafdosa  besar  secara  terangf
terangan. 2.  Orang yang suka mengerjakan perbuatan dosa namun sembunyifsembunyi,
tetapi perbuatan itu diberitahukan kepada temanftemannya. Maka pemuda itu tidak sejodoh dengan permpuan yang rajin melaksanakan sholat.
36
Demikianlah  pendapat  madzhab  Hanafi  dan  orang  yang  sependapat dengannya tentang kafa’ah dalam perkawinan, dimana beliau menentukan ada
enam  aspek  yang  dapat  dijadikan  ukuran  dalam  menentukan  sekufu’  atau tidaknya calon suami dan calon isteri.
4.  Madzhab Imam Maliki
36
M. Asmawi, , Yogyakarta, Darussalam, 2004,
hal. 151f152
Menurut  Imam  Maliki  mengenai  kriteria  kufu’  dalam  perkawinan adalah sebagaimana yang dikutip oleh M. Asmawi hanya dua perkara yaitu:
1. Agama 2. Sehat jasmani
Kriteria  agama  yang  diajukan  Maliki  sama  dengan  pendapat  Syafi’i dan Hambali. Dalam usaha kriteria memilih jodoh, Maliki hanya menambah
harus  samafsama  sehat  jasmaninya.  Perempuan  yang  soleh  tidak  sederajat dengan lakiflaki yang fasikm begitu pula perempuan yang selamat dari cacat
tidak sederajat dengan lakiflaki yang bercacat, seperti gila, sakit lepra, TBC, dan sebagainya.
Adapun  kekayaan,  kebangsaan,  status  sosial  dan  kemerdekaan,  tidak termasuk  katagori  yang  harus  dimasukkan  dalam  memilih  jodoh.  Kriteria
yang disodorkan Maliki sangat fleksibel dan tidak ada kesan diskriminasi. Jadi,  lakiflaki  yang  berkebangsaan  Indonesia  sejodoh  dengan
perempuan  dari  bangsa  Arab  baik  suku  Quraisy  maupun  bukan,  lakiflaki keturunan“darah    biru“  sejodoh  dengan  perempuan  dengan  anak  petani,
perempuan eropa sejodoh dengan lakiflaki suku madura, dan sebagainya.
37
Ulama  Malikiyah  mengakui  adanya  kafa’ah,  tetapi  menurut  mereka kafa’ah hanya bersifat istaqamah dan budi pekerti saja. Kafa’ah bukan karena
37
M. Asmawi, Yogyakarta, Darussalam, 2004,
hal. 152f153
nasab dan keturunan, bukan perusahaan atau kekayaannya. Seorang lakiflaki shaleh  yang  tidak  bernasab  boleh  kawin  dengan  perempuan  yang  bernasab,
pengusaha kecil boleh kawin dengan pengusaha besar, orang hina boleh saja kawin  dengan  orang  yang  terhormat,  seorang  lakiflaki  miskin  boleh  kawin
dengan  orang  kaya  raya,  asalkan  muslimah.  Seorang  wali  tidak  boleh menolaknya dan tidak berhak memintakan cerai  meskipun lakiflakinya tidak
sama  kedudukannya  dengan  kedudukan  wali  yang  menikahkan,  apabila perkawinannya dilaksanakan dengan persetujuan si perempuan apabila pihak
lakiflaki  jelek  akhlaknya  ia  tidak  sekufu’  dengan  wanita  yang  shalih  , perempauan  berhak  menuntut  fasakh  apabila  ia  gadis  dan  dipaksa  untuk
menikah dengan lakiflaki yang fasik. Ulama Malikiyah juga beralasan dengan firman Allah :
وِ َآ َذ ْ ِ9 ْ ُ‘َََْ”َََ.  ُ-ا ُس َ ا  َ¯FاَF َر ََِ َ¸ِ-  َ+ََو  َُُ± ْ ُآ  َََْ َ6¼ْ-أ
نِإ  اُْ ّنِا  ْ ُآ  َ”ْ–أ  ا  َ ِْ7  ْ ُ‘َ9  َ ْآأ
ٌ ِْ+َ.  ٌَِْ7  ا تا
ا :
١٣
Artinya: :2
6 6
4 6
4 4
5 :7 4, 6 ?;8
Pendapat  Maliki  ini  sangat  sesuai  dengan  perkembangan  zaman dimana era globalisasi ini komunikasi antara umat manusia sangat dekat dan
mudah dijangkau dengan menggunakan kecanggihan teknologi yang semakin
hari  semakin  modern.  Juga,  sekatfsekat  dunia  sudah  tidak  membedakan adanya  ras  untuk  mengadakan  suatu  kerjasama  yang  saling  menguntungkan
bagi kedua belah pihak.  Demikian juga, dalam hal pernikahan tidak terbatas pada  status  ekonomi,  tetesan  darah  biru,  kaya,  miskin,  bahkan  bisa  antar
dunia
38
. Persepsi  tentang  kafa’ah  didalam  perkawinan  pada  masyarakat  Desa
Lebaksiu  sangatlah  perlu  diperhatikan  didalam  menentukan  pilihan  bagi seorang  anak  didiknya,  sehingga  didalam  rumah  tangganya  mendapatkan
kebahagiaan,  ketentraman  dan  menjadi  keluarga  yang  diridhoi  oleh  Allah SWT.
Dari  pandangan  madzhab  tersebut  diatas,  bahwa  masyarakat  Desa Lebaksiu  tidak  menyamping  madzhab  lain  dan  masih  menganut  aliran  pada
madzhab yang kini masih diyakini dan dijalankan diIndonesia yaitu madzhab Syafe‘i  dan  sedangkan  madzhab  Maliki  dalam  hal  ini  masih  sependapat
dengan madzhab Syafe’i yang mengikutkan aspek agama dalam perkawinan, namun hal tersebut masyarakat berpegang pada madzhab Syafe’i.
38
H.S.A Al Hamdani, , Jakarta, Pustaka Amani, 2002, hal. 17f18
                