1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pajak merupakan suatu fenomena yang menarik dalam kehidupan masyarakat dan negara. Saat ini pajak bukan lagi merupakan sesuatu yang
asing bagi masyarakat Indonesia. Sebagian kalangan telah menempatkan pajak sebagai salah satu kewajiban dalam bernegara, yaitu merupakan sarana untuk
ikut berpartisipasi dalam membantu pelaksanaan tugas bernegara yang ditangani oleh Pemerintah Nuranifah et al, 2010:3.
Pungutan pajak berdampak mengurangi kekayaan individu tetapi sebaliknya merupakan penghasilan masyarakat yang mungkin dikembalikan
lagi kepada masyarakat, melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pembangunan yang akhirnya akan bermanfaat pada masyarakat. Jadi jelas
bahwa kepentingan masyarakat dibiayai oleh pajak. Pajak mempunyai tujuan untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara dengan
maksud untuk membiayai pengeluaran negara, dapat dikatakan bahwa pajak dalam hal ini sebagai fungsi budgetair. Tetapi selain itu pajak juga mempunyai
fungsi mengatur regulered yang artinya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu Resmi, 2009:3.
Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak dapat dijadikan sebagai sarana atau akses bagi pemerintah untuk mewujudkan suatu
tatanan pemerintahan yang baik dan berkesinambungan, oleh karena itu
2 pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan jumlah penerimaan dari sektor
pajak agar perekonomian negara dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Pada saat ini pajak adalah merupakan sumber penerimaan negara yang cukup signifikan besarnya, berikut peneliti tampilkan realisasi penerimaan
pajak bumi dan bangunan ke dalam format tabel pada enam tahun terakhir
Gambar 1.1 Grafik Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
Sumber: Bagian Teknologi Informasi Perpajakan Direktorat Jenderal Pajak. Sampai saat ini terlihat bahwa untuk pendapatan pemerintah dalam
Pajak Bumi dan Bangunan dalam setiap tahunnya mengalami peningkatan di setiap Kanwilnya. Penerimaan pajak bumi dan bangunan yang paling tinggi
secara keseluruhan terdapat di wilayah Jakarta Selatan sedangkan untuk penerimaan paling rendah diakumulasikan dalam enam tahun terakhir ini
terdapat di wilayah Jakarta Timur.
100000 200000
300000 400000
500000 600000
Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat
Jakarta Barat Jakarta Utara
2007 2008
2009 2010
2011 2012
3 Dalam bidang perpajakan, untuk mendukung pelaksanaan otonomi
daerah pemerintah pusat telah memberikan bagian penerimaan yang berasal dari pajak pusat untuk kegiatan pembiayaan dan pembangunan bagi pemerintah
daerah. Saat ini, pajak pusat yang sebagian penerimaannya telah diberikan kepada pemerintah daerah antara lain Pajak Bumi dan Bangunan, Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Penghasilan Anggara, 2010:173.
Dalam pembiayaan pembangunan suatu daerah pemerintah daerah membutuhkan pajak sebagai salah satu sumber penerimaan daerah. Dengan
adanya pemberian otonomi daerah kepada pemerintah daerah dan di keluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah memberikan lebih banyak
kewenangan kepada daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan untuk mengatur sumber-sumber penerimaan daerah sebagai wujud pelaksanaan
otonomi daerah. Sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 5 ayat 2 terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Pajak Bumi dan Bangunan seperti yang disebutkan pada UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Objek Daerah yang bersumber dari
PBB Pedesaan dan Perkotaan, dimana yang menjadi PBB dalam UU No. 28 tahun 2009 adalah bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan atau
4 dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan
untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan. Jenis objek yang termasuk bangunan dan perkecualiannya sama dengan yang diatur dalam
UU No.12 tahun 1985. Sebelum UU No.28 tahun 2009, PBB dikelola oleh pemerintah dan
sebagian besar hasilnya diserahkan kembali ke daerah dalam bentuk Dana Bagi Hasil. Dalam pasal 12 UU No.33 tahun 2004, dengan rincian sebagai berikut
Kadir, 2007:81: 1. 10 bagian pusat dari penerimaan pajak bumi dan bangunan dibagikan
kepada seluruh daerah kabupatenkota yang didasarkan atas realisasi penerimaan pajak bumi dan bangunan tahun anggaran berjalan dengan
perimbangan sebagai berikut b. 65 dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupatenkota
c. 35 dibagikan secara insentif kepada daerahkota yang realisasi tahun sebelumnya mencapaimelampaui rencana penerimaan sektor tertentu,
yang tujuannya untuk mendorong intensifikasi pemungutan pajak bumi dan bangunan.
2. 90 untuk daerah, yaitu dirinci sebagai berikut: a. 16,2 untuk daerah provinsi
b. 64,8 daerah kabupatenkota c. 9 untuk biaya pemungutan.
5 Tentang perimbangan dana bagi hasil pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah dari penerimaan PBB sebesar 90 untuk daerah oleh karena PBB dikelola pemerintah, maka segala kegiatan dari mulai pendataan,
penilaian, penetapan besarnya PBB, pelayanan kepada masyarakat, sampai dengan mengurus hal administrasi masuknya uang ke kas negara dan kas
daerah. Namun dengan berlakunya UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah segala urusan terkait PBB yang menjadi tanggung
jawab Pemerintah Daerah oleh karena itu sudah sepantasnya apabila Pemerintah Daerah harus mengetahui bagaimana sistem pengelolaan PBB
sesuai dengan pasal 2 UU No. 28 tahun 2009 baik dari pendataan hingga mengurus administrasi ke kas daerah.
Peralihan PBB perkotaan dan pedesaan dari pajak pusat menjadi pajak daerah yang diatur dalam UU No. 28 Tahun
2009 akan memberi dampak terhadap keuangan negara dan keuangan daerah. Pada prinsipnya secara administrasi terjadi perpindahan pencatatan hasil
pemungutan PBB, jika sebelumnya penerimaan PBB tercatat pada keuangan negara APBN dalam penerimaan perpajakan, kemudian setelah mekanisme
peralihan berjalan akan masuk dalam PAD khususnya pajak daerah. Bentuk kebijakan tersebut dituangkan ke dalam Undang-undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Hal ini adalah titik balik dalam pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan
pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan. Dengan pengalihan ini maka kegiatan proses pendataan, penilaian, penetapan,
pengadministrasian, pemungutanpenagihan dan pelayanan PBB-P2 akan diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah KabupatenKota.
6 Tujuan Pengalihan pengelolaan PBB-P2 menjadi pajak daerah sesuai
dengan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah: 1. Meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah.
2. Memberikan peluang baru kepada daerah untuk mengenakan pungutan baru menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah,
3. Memberikan kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi dengan memperluas basis pajak daerah,
4. Memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif pajak daerah 5. Menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan
pada daerah Dirjen pajak, 2012. Adapun manfaat pengalihan PBB-P2 dan BPHTB adalah dengan
pengalihan ini, penerimaan PBB-P2 dan BPHTB akan sepenuhnya masuk ke pemerintah kabupatenkota sehingga diharapkan mampu meningkatkan jumlah
pendapatan asli daerah. Pada saat PBB-P2 dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah kabupatenkota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8 dan
BPHTB hanya mendapatkan 64. Setelah pengalihan ini, semua pendapatan dari sektor PBB-P2 dan BPHTB akan masuk ke dalam kas pemerintah daerah.
Salah satu contoh daerah yang mengalami kenaikan pendapatan asli daerah pasca pengalihan PBB-P2 dan BPHTB adalah kota Surabaya. Walikota
Surabaya, Ir. Tri Rismaharini, MT. menyatakan bahwasanya pada tahun 2010, PAD kota Surabaya hanya Rp.1 Triliun. Di tahun 2011, PAD kota Surabaya
akan menjadi Rp.2 Triliun. Beliau manambahkan bahwa penyebab kenaikan PAD tersebut berasal dari PBB dan BPHTB Media keuangan, 2010:8
7 Pajak Bumi dan Bangunan PBB diarahkan dapat memperkuat potensi
sumber penerimaan daerah dan dapat membiayai pembangunan negara, objek PBB yang merupakan bumi dan bangunan merupakan objek pajak yang stabil
baik dari segi jumlah dan nilainya. Jumlah dan luas bumi dan bangunan tidak pernah berkurang bahkan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan
penduduk. Nilai jual obyek PBB sebagai tax base, tidak pernah mengalami penurunan. Banyak dan meratanya obyek PBB menjadi salah satu jenis pajak
yang dominan bagi masing-masing daerah Sutawijaya, 2004:66. Nilai Jual Objek Pajak NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh
dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar dan bilamana tidak terjadi transaksi jual-beli, NJOP ditentukan dengan perbandingan harga dengan objek
lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. Agar objek pajak yang berupa bumi dan bangunan dapat dikenakan pajak, maka perlu
dihitung NJOP nya dan untuk itu diatur serta ditetapkan melalui Keputusan Menteri Keuangan tentang penetuan klasifikasi dan besarnya NJOP sebagai
dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan Lubis, 2008:730. Dalam hal jumlah objek pajak yang sangat besar dan semakin
pentingnya kedudukan NJOP sebagai acuan dalam berbagai jenis kegiatan khususnya yang berkaitan dengan akurasi data objek pajak, selain itu juga
dibutuhkan SPOP Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data objek pajak Casavera, 2009:228.
Sedangkan rencana penerimaan perpajakan tahun 2012 adalah sebesar Rp 1,03257 triliun atau memberikan kontribusi sebesar 78,74 dari rencana
8 penerimaan negara tahun 2012 sebesar Rp.1.311,38 triliun yang menunjukkan
angka ini harus dipertahankan dan ditingkatkan dengan kualitas sistem pajak yang dterapkan.
Reformasi perpajakan merupakan hal yang perlu dan penting. Langkah perbaikan ke arah perubahan tentu harus dilakukan dengan cara reformasi
perpajakan secara menyeluruh. Ada beberapa fungsi yang bisa diperoleh Pertama, tercapainya tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi. Kedua,
tercapainya kepercayaan pada administrasi perpajakan dan ketiga, tercapainya produktivitas aparat perpajakan. Tentunya jika reformasi bisa berjalan sesuai
rencana, akan mendongkrak penerimaan pajak karena potensi penerimaan pajak di Indonesia masih cukup besar.
Pembaharuan sistem perpajakan daerah di Indonesia merupakan tuntutan dari implementasi kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiscal
yang dilakukan dengan menyerahkan sumber-sumber pendapatan kepada daerah secara bertahap. Pengalihan jenis pajak provinsi tertentu dan sebagian
jenis pajak pusat kepada kabupatenkota. Kondisi ekonomi dan potensi pajak yang dimiliki oleh kabupatenkota di Indonesia sangat bervariasi, diperlukan
strategi pemerintah untuk memberikan asistensi dan fasilitas bagi daerah tertentu agar pemungutan pajak daerah dapat berjalan lancar. Di sisi lain,
evaluasi dan penyempurnaan kebijakan perpajakan daerah perlu terus dilakukan untuk menciptakan sistem perpajakan daerah yang efisien dan efektif
di Indonesia Sitepu, 2011:56
9 Kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan merupakan hal yang
sangat penting dalam administrasi perpajakan yang pada akhirnya bisa menciptakan sistem perpajakan nasional yang baik. Kepatuhan tersebut
merupakan bagian dari reformasi perpajakan menuju sistem administrasi perpajakan modern. Seluruh administrasi pajak yang ada pada dasarnya untuk
menjamin agar sesuai dengan hukum pajak. Ukuran administrasi pajak ini bisa dilihat melalui pelaksanaan administrasi perpajakan dan bekerja sesuai dengan
kebijakan perpajakan di negara berkembang Fuad, 2011:36. Sistem administrasi perpajakan modern dapat merangkul kemajuan
teknologi terbaru di antaranya melalui pengembangan Sistem Informasi Perpajakan SIP dengan pendekatan fungsi menjadi Sistem Administrasi
Perpajakan Terpadu SAPT yang dikendalikan oleh case management system dalam workflow system dengan berbagai modul otomasi kantor serta berbagai
pelayanan dengan basis e-system seperti e-SPT, e-Filing, e-Payment, Taxpayers’Account, e-Registration, dan e-Counceling yang diharapkan
meningkatkan mekanisme kontrol yang lebih efektif ditunjang dengan penerapan Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang mengatur
perilaku pegawai dalam melaksanakan tugas. Tuntutan akan peningkatan penerimaan, perbaikan-perbaikan dan
perubahan mendasar dalam segala aspek perpajakan menjadi alasan dilakukannya reformasi perpajakan dari waktu ke waktu yang berupa
penyempurnaan terhadap kebijakan perpajakan dan sistem administrasi perpajakan, agar basis pajak dapat semakin diperluas, sehingga potensi
10 penerimaan pajak yang tersedia dapat dipungut secara optimal dengan
menjunjung asas keadilan sosial dan memberikan pelayanan prima kepada wajib pajak Rapina, et al, 2011:2.
Sejalan dengan maksud untuk memberikan kemudahan bagi wajib pajak dalam melakukan pembayaran PBB, maka Direktorat Jenderal Pajak saat
ini telah menyesuaikan sistem pembayaran PBB dengan perkembangan teknologi di bidang informasi dan perbankan. Telah dikembangkan
pembayaran dengan cara langsung dimana data pada tempat pembayaran PBB langsung terhubung pada basis data KPPBB Pratama setempat. Cara ini dikenal
dengan sebagai Payment on line system Siahaan, 2009:333. Berikut
adalah tabel penambahan wajib pajak dari mulai diberlakukannya Payment online system PBB sejak tahun 2003 sampai tahun
2012:
Gambar 1.2 Grafik Peningkatan Wajib Pajak Dari Mulai Diberlakukannya
Payment Online System PBB Sejak Tahun 2003 Sampai Tahun 2012
Sumber: Bagian Teknologi Informasi Perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.
50000 100000
150000 200000
250000 300000
350000
Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat
Jakarta Utara 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
2012
11 Dengan semakin meningkatnya jumlah wajib pajak yang menggunakan
fasilitas payment online system PBB menggambarkan bahwa adanya respon positif dari masyarakat untuk mendukung adanya reformasi administrasi pajak
dalam memperlancar pembayaran pajak yang diharapkan adanya peningkatan pendapatan pajak daerah dan kepatuhan wajib pajak.
Adapun penyebab dari adanya penunggakan dari pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Selain dari wajib pajak yang membandel, tunggakan PBB
tersebut diduga akibat penyalahgunaan oleh kepala desa atau perangkat desa yang bertugas sebagai petugas pemungut PBB. Ada beberapa masalah yang
muncul di lapangan sehingga realisasi penerimaan PBB tidak mencapai target dan tunggakan PBB terus meningkat. Masalah itu, misalnya, rendahnya
kesadaran sejumlah wajib pajak, terutama yang berdomisili di luar desa, apalagi belum ada sanksi tegas bagi wajib pajak yang bandel. Selain itu, dia
menyoroti rendahnya kesadaran beberapa kepala desa selaku petugas pemungut PBB atau perangkat desa selaku pembantu petugas pemungut PBB dalam
melaksanakan kewajiban pemungutan dan penyetoran PBB Mulyadi, 2011. Oleh karena itulah dengan adanya sistem pembayaran online ini sangat
membantu wajib pajak dalam bertransaksi dan serta mencegah dari tindakan manipulasi pihak manapun. Aplikasi Sistem Informasi Pajak Bumi dan
Bangunan terdiri dari beberapa modulbagian. Salah satunya adalah pembayaran dengan jumlah objek pajak bumi dan bangunan relatif banyak
sebanyak jumlah kavling dalam satu kotakabupaten, karena akan banyak permintaan informasi tentang history pembayaran. Selain itu wajib pajak PBB
12 dapat berdomisili dimanapun, sehingga sangat penting adanya sistem
pembayaran online dan semi online yang handal untuk mengelola data yang menjadi objek pajak.
Aplikasi turunan dari SISMIOP selanjutnya adalah POS PBB, aplikasi ini memungkinkan wajib pajak membayar PBB di setiap tempat yang telah
menjalankan POS, tanpa terkait dengan wilayah administrasi. POS pertama kali dijalankan pada Agustus 1999 di DKI Jakarta. Pada tahun 2003 aplikasi ini
dikembangkan menjadi aplikasi e-payment, sehingga wajib pajak dapat membayar PBB lewat ATM Automatic Teller Machine Bank BCA di seluruh
Indonesia Adinur et al, 2006:15. Sebelumnya sistem pembayaran yang lazim digunakan adalah paper
based payment, yang merupakan sistem pembayaran yang dilakukan secara manual dimana pembayar dan penerima bertransaksi secara langsung,
contohnya cek dan giro. Sistem pembayaran ini pun berkembang menjadi electronic payment system, dimana sistem pembayaran elektronik ini
memanfaatkan teknologi dalam bertransaksi, misalnya kartu debet dan kartu kredit.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian ini karena sangat pentingnya peran teknologi dengan Payment
Online System yang dapat melancarkan suatu kegiatan pembayaran pajak bumi dan bangunan, dimana tak lain sistem ini yang merupakan aplikasi pendukung
dari SISMIOP yang implikasinya diarahkan dapat membantu untuk mengetahui tingkat penerimaan pajak bumi dan bangunan. Berdasarkan hal tersebut, maka
13 peneliti melakukan penelitian ini yang berjudul “Analisis Pengaruh Reformasi
Administrasi Perpajakan melalui Payment Online System terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Bumi dan Bangunan menurut Persepsi Wajib Pajak.”
Penelitian ini mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan Mienati et al 2005, Rapina et al 2011 dan Tri 2010. Perbedaan penelitian dengan
penelitian sebelumnya adalah terdapat pada variable independen dan objek penelitian. Adapun perbedaan-perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian Mienati et al 2005 adalah sistem monitoring pelaporan pembayaran pajak, sedangkan pada
penelitian Rapina et al 2011 adalah struktur organisasi, prosedur organisasi, strategi organisasi dan budaya organisasi dan pada penelitian Tri
2011 menggunakan variable e-registration, e-SPT, e-Filling, dan e- Payment. Adapun variable independen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah e-Payment. Variabel independen yang terdapat pada penelitian ini digunakan karena adanya ketidakkonsistenan hasil penelitian dari beberapa
peneliti sebelumnya. 2. Objek penelitian yang digunakan pada penelitian Mienati et al 2005
terdapat dikantor wilayah Dirjen Pajak Jawa Bagian Timur, pada penelitian Rapina et al 2011 terdapat di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung
Cibeunying. Adapun objek penelitian ini terdapat di salah satu wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
14
B. Perumusan Masalah