Penggunaan Chitosan Dari Cangkang Udang (Litopenaeus vannamei) Untuk Memperlama Waktu Simpan Pada Tahu Di Medan Tahun 2010

(1)

PENGGUNAAN CHITOSAN DARI CANGKANG UDANG (Litopenaeus vannamei) UNTUK MEMPERLAMA

WAKTU SIMPAN PADA TAHU DI MEDAN TAHUN 2010

SKRIPSI

Oleh :

NIM. 061000002

HERLINA AFRIYANTI Br KELIAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PENGGUNAAN CHITOSAN DARI CANGKANG UDANG (Litopenaeus vannamei) UNTUK MEMPERLAMA

WAKTU SIMPAN PADA TAHU DI MEDAN TAHUN 2010

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

NIM. 061000002

HERLINA AFRIYANTI Br KELIAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi Dengan Judul

PENGGUNAAN CHITOSAN DARI CANGKANG UDANG (Litopenaeus vannamei) UNTUK MEMPERLAMA

WAKTU SIMPAN PADA TAHU DI MEDAN TAHUN 2010

Yang Dipersiapkan dan Dipertahankan Oleh :

NIM. 061000002

HERLINA AFRIYANTI Br KELIAT

Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 21 Juli 2010 dan

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

Ir.Evi Naria, M.Kes

NIP.196803201993032001 NIP.1970219199822001 dr.Devi Nuraini Santi, M.Kes

Penguji II Penguji III

Ir.Indra Chahaya S, M.Si

NIP.196811011993032005 NIP.196501091994032002

Dr.Dra.Irnawati Marsaulina, MS

Medan, Agustus 2010 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan,

NIP.196108311989031001 Dr.Drs.Surya Utama, MS


(4)

ABSTRAK

Devisa yang diperoleh dari sektor perikanan 34% berasal dari ekspor udang sebesar 125.596 ton pada tahun 2007. Produksi udang menghasilkan limbah ± 35%-50% dari berat udang. Penelitian untuk memanfaatkan limbah kulit udang menjadi chitosan telah dilakukan. Chitosan adalah modifikasi dari senyawa chitin yang banyak terdapat dalam kulit luar hewan golongan Crustaceae seperti udang. Khasiat chitosan sebagai bahan antibakteri dan kemampuannya untuk mengimobilisasi bakteri menjadikan chitosan dapat digunakan sebagai pengawet makanan.

Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui lama waktu simpan tahu dengan menggunakan chitosan, mengetahui berapa konsentrasi chitosan yang optimal dalam pengawetan tahu serta mengetahui pengaruh chitosan terhadap sifat fisik tahu seperti tekstur, bau dan warna.

Jenis penelitian ini adalah survai yang bersifat deskriptif untuk menggambarkan penggunaan chitosan dari cangkang udang (Litopenaeus vannamei) untuk memperlama waktu simpan pada tahu. Percobaan dilakukan dengan 5 konsentrasi yang berbeda yaitu larutan chitosan 0% (sebagai kontrol), 0,5%, 1%, 1,5%, dan 2% dengan 4 kali pengulangan.

Berdasarkan penelitian chitosan yang diaplikasikan pada tahu dengan konsentrasi 0%, 0,5%, 1%, 1,5% dan 2% menunjukkan waktu simpan tahu dalam perendaman larutan chitosan 0% (kontrol) dapat bertahan hingga hari ke-1 atau selama 16 jam, dalam perendaman larutan chitosan 0,5% dapat bertahan hingga hari ke-3 atau selama 64, dalam perendaman larutan chitosan 1%, 1,5% dan 2% dapat bertahan hingga hari ke-3 atau selama 56 jam, dimana ciri fisik tahu menunjukkan tekstur baik, berbau tahu, dan tahu berwarna putih. Konsentrasi chitosan yang optimal untuk digunakan pada tahu ialah sebesar 0,5% dengan lama waktu simpan hingga 3 hari atau selama 64 jam.

Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa chitosan dari cangkang udang dapat menambah lama waktu simpan pada tahu. Oleh karena itu perlu diadakan sosialisasi agar hasil penelitian ini dapat diketahui oleh masyarakat bahwa chitosan dapat dijadikan sebagai pengawet alami, alternatif pengga nti formalin pada makanan.


(5)

ABSTRACT

Devisal obtained from fishery sector come from shrimp export were 125,596 ton at 2007. Shrimp production results 35%-50% shrimp waste. Researches to utilize shrimp waste to be chitosan had been done. Chitosan is the modification of chitin, which found on the outer skin of Crustaceae species such as shrimps. The typical quality of chitosan as antibacterial with the ability to immobilize bacteria, it might chitosan is used to be food preservation.

The aims of this research were knowing how long this food preservative used chitosan would be defence in tofu, knowing the optimal concentration of chitosan for tofu preservation and knowing the effect of chitosan in tofu physics such as texture, odor and colour.

This research was descriptive’s survey to know the use of chitosan from shrimp shell (Litopenaeus vannamei) to lengthen preserved time in tofu. The experiments were done with 5 concentrations of chitosan at 0% (control), 0,5%, 1%, 1,5%, and 2% with 4 replications.

Based on the research of chitosan were applied on tofu with concentration 0%, 0.5%, 1%, 1,5% and 2%, show were soaking of chitosan concentration for use at 0% (control) with a long shelf life up to day or as long as 16 hours, chitosan concentration for use at 0,5% with a long shelf life up to 3 days or as long as 64 hours, chitosan concentrations for use at 1%, 1,5%, and 2% with a long shelf life up to 3 days or as long as 56 hours, where the characteristic of tofu show good texture, aroma of tofu and white. The optimum concentration of chitosan to preserves tofu was 0,5% for three days or as long as 64 hours.

From this research the conclusion is chitosan from shrimp shell could increase lengthen preserved time in tofu. Therefore it should be held socialization this research were knowing the public that the chitosan can be used as a natural preservative, an alternative to change of formaldehyde in foods.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Herlina Afriyanti Br Keliat Tempat/Tanggal Lahir : Bandar Baru / 02 April 1988

Agama : Kristen Protestan

Status Perkawinan : Belum Kawin Jumlah Bersaudara : 4 Orang

Alamat Rumah : Jl. Jamin Ginting KM 14 Gg Karo Kecamatan Medan Tuntungan

Riwayat Pendidikan

1. 1994-2000 : SD Negeri No.066038 Medan 2. 2000-2003 : SLTP Negeri 1 Medan

3. 2003-2006 : SMA Negeri 17 Medan


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul : “PENGGUNAAN CHITOSAN DARI CANGKANG UDANG (Litopenaeus vannamei) UNTUK MEMPERLAMA WAKTU SIMPAN PADA TAHU DI MEDAN TAHUN 2010” yang merupakan salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dengan segenap kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada orangtua terkasih Darwin Keliat dan Pelimin Br Sembiring, yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan kasih sayang dan juga yang tak henti-hentinya memberikan motivasi, nasehat dan doa pada penulis setiap saat, dan juga untuk saudara/i penulis bang David, Lisa dan Anja yang telah memberikan dukungan, doa, dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Ir. Evi Naria, M.Kes selaku dosen pembimbing I dan Ibu dr. Devi Nuraini Santi, M.Kes selaku dosen pembimbing II, yang telah membimbing, mendidik, dan memberi banyak masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada :


(8)

1. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah membimbing penulis selama melaksanakan perkuliahan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Ir. Indra Chahaya, M.Si, selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dra. Jumirah, Apt. M.Kes selaku Ketua Departemen Gizi Masyarakat FKM USU yang telah memberi izin kepada penulis untuk melakukan penelitian. 5. Marihot Samosir, ST selaku asisten Laboratorium Gizi Masyarakat FKM

USU yang telah memberi izin penulis untuk melakukan penelitian.

6. Seluruh dosen dan staf pegawai FKM USU yang telah membantu dalam penyelesaian pendidikan dan skripsi ini.

7. Sahabat-sahabat penulis Artiti dan Vivi yang telah memberikan dukungan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Sahabat-sahabat penulis “KK HOC” (K’Eka, Olva, Paulina) yang telah memberikan dukungan dan doa dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat seperjuangan di peminatan Kesehatan Lingkungan serta rekan-rekan FKM 2006 yang tidak disebutkan namanya.

10. Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, motivasi, dan inspirasi bagi penulis selama masa perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini.


(9)

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga membutuhkan banyak masukan dan kritikan dari berbagai pihak yang sifatnya membangun dalam memperkaya materi skripsi ini. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi sumbangan berarti bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang kesehatan masyarakat.

Medan, Juli 2010


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Daftar Riwayat Hidup ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Lampiran ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1. Tujuan Umum ... 6

1.3.2. Tujuan Khusus ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Pengertian Makanan ... 8

2.2. Higiene dan Sanitasi Makanan ... 9

2.3. Bahan Tambahan Pangan ... 10

2.4. Bahan Pengawet ... 11

2.4.1. Pengertian Bahan Pengawet Makanan ... 11

2.4.2. Teknik Pengawetan Makanan ... 12

2.4.3. Manfaat Pengawetan Makanan ... 13

2.5. Pemanfaatan Chitosan dari Cangkang Udang Sebagai Pengawet Makanan ... 14

2.5.1. Produksi Udang (Litopenaeus vannamei) ... 14

2.5.2. Potensi Limbah Udang ... 15

2.5.3. Chitin dan Chitosan ... 17

2.5.4. Kegunaan Chitin dan Chitosan ... 21

2.6. Pengawetan Pada Tahu ... 23

2.6.1. Asal Usul Tahu ... 23

2.6.2. Macam-Macam Tahu ... 24

2.6.3. Proses Pembuatan Tahu ... 24

2.6.4. Ciri-Ciri Tahu yang Baik ... 27

2.6.5. Ciri-Ciri Tahu yang Rusak ... 27

2.6.6. Pengawetan Tahu dengan Bahan Alami... 28

2.7. Chitosan Tidak Berbahaya Untuk Dikonsumsi ... 30


(11)

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

3.1. Jenis Penelitian ... 32

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 32

3.2.2. Waktu Penelitian ... 33

3.3. Objek Penelitian ... 33

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 33

3.4.1. Data Primer ... 33

3.4.2. Data Sekunder ... 33

3.5. Alat dan Bahan Penelitian ... 34

3.5.1. Alat Penelitian ... 34

3.5.2. Bahan Penelitian ... 34

3.6. Cara Kerja Penelitian ... 35

3.6.1. Cara Membuat Chitosan ... 35

3.6.2. Cara Membuat Larutan Chitosan ... 36

3.7. Prosedur Penelitian ... 37

3.7.1. Aplikasi Larutan Chitosan Pada Tahu ... 37

3.8. Defenisi Operasional... 38

3.9. Analisa Data ... 39

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 40

4.1. Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan Chitosan ... 40

BAB V PEMBAHASAN ... 58

5.1. Penggunaan Chitosan dari Cangkang Udang (Litopenaeus vannamei) Untuk Memperlama Waktu Simpan Pada Tahu ... 58

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 62

6.1. Kesimpulan ... 62

6.2. Saran ... 63 DAFTAR PUSTAKA


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Hasil Pengawetan Tahu Tanpa formalin ... 28 Tabel 4.1 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan

Chitosan 0% Pada Hari I ... 40 Tabel 4.2 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan

Chitosan 0,5% Pada Hari I ... 41 Tabel 4.3 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan

Chitosan 1% Pada Hari I ... 42 Tabel 4.4 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan

Chitosan 1,5% Pada Hari I ... 43 Tabel 4.5 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan

Chitosan 2% Pada Hari I ... 44 Tabel 4.6 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan

Chitosan 0% Pada Hari II ... 45 Tabel 4.7 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan

Chitosan 0,5% Pada Hari II ... 46 Tabel 4.8 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan

Chitosan 1% Pada Hari II ... 47 Tabel 4.9 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan

Chitosan 1,5% Pada Hari II ... 48 Tabel 4.10 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan

Chitosan 2% Pada Hari II ... 49 Tabel 4.11 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan

Chitosan 0% Pada Hari III ... 50 Tabel 4.12 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan

Chitosan 0,5% Pada Hari III ... 51 Tabel 4.13 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan

Chitosan 1% Pada Hari III ... 53 Tabel 4.14 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan

Chitosan 1,5% Pada Hari III ... 54 Tabel 4.15 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Master Data. Lampiran 2. Dokumentasi.

Lampiran 3. Surat Permohonan Izin Pemakaian Laboratorium Gizi Kesehatan Masyarakat USU.

Lampiran 4. Surat Keterangan Selesai Melakukan Penelitian dari Laboratorium Gizi Kesehatan Masyarakat USU.


(14)

ABSTRAK

Devisa yang diperoleh dari sektor perikanan 34% berasal dari ekspor udang sebesar 125.596 ton pada tahun 2007. Produksi udang menghasilkan limbah ± 35%-50% dari berat udang. Penelitian untuk memanfaatkan limbah kulit udang menjadi chitosan telah dilakukan. Chitosan adalah modifikasi dari senyawa chitin yang banyak terdapat dalam kulit luar hewan golongan Crustaceae seperti udang. Khasiat chitosan sebagai bahan antibakteri dan kemampuannya untuk mengimobilisasi bakteri menjadikan chitosan dapat digunakan sebagai pengawet makanan.

Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui lama waktu simpan tahu dengan menggunakan chitosan, mengetahui berapa konsentrasi chitosan yang optimal dalam pengawetan tahu serta mengetahui pengaruh chitosan terhadap sifat fisik tahu seperti tekstur, bau dan warna.

Jenis penelitian ini adalah survai yang bersifat deskriptif untuk menggambarkan penggunaan chitosan dari cangkang udang (Litopenaeus vannamei) untuk memperlama waktu simpan pada tahu. Percobaan dilakukan dengan 5 konsentrasi yang berbeda yaitu larutan chitosan 0% (sebagai kontrol), 0,5%, 1%, 1,5%, dan 2% dengan 4 kali pengulangan.

Berdasarkan penelitian chitosan yang diaplikasikan pada tahu dengan konsentrasi 0%, 0,5%, 1%, 1,5% dan 2% menunjukkan waktu simpan tahu dalam perendaman larutan chitosan 0% (kontrol) dapat bertahan hingga hari ke-1 atau selama 16 jam, dalam perendaman larutan chitosan 0,5% dapat bertahan hingga hari ke-3 atau selama 64, dalam perendaman larutan chitosan 1%, 1,5% dan 2% dapat bertahan hingga hari ke-3 atau selama 56 jam, dimana ciri fisik tahu menunjukkan tekstur baik, berbau tahu, dan tahu berwarna putih. Konsentrasi chitosan yang optimal untuk digunakan pada tahu ialah sebesar 0,5% dengan lama waktu simpan hingga 3 hari atau selama 64 jam.

Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa chitosan dari cangkang udang dapat menambah lama waktu simpan pada tahu. Oleh karena itu perlu diadakan sosialisasi agar hasil penelitian ini dapat diketahui oleh masyarakat bahwa chitosan dapat dijadikan sebagai pengawet alami, alternatif pengga nti formalin pada makanan.


(15)

ABSTRACT

Devisal obtained from fishery sector come from shrimp export were 125,596 ton at 2007. Shrimp production results 35%-50% shrimp waste. Researches to utilize shrimp waste to be chitosan had been done. Chitosan is the modification of chitin, which found on the outer skin of Crustaceae species such as shrimps. The typical quality of chitosan as antibacterial with the ability to immobilize bacteria, it might chitosan is used to be food preservation.

The aims of this research were knowing how long this food preservative used chitosan would be defence in tofu, knowing the optimal concentration of chitosan for tofu preservation and knowing the effect of chitosan in tofu physics such as texture, odor and colour.

This research was descriptive’s survey to know the use of chitosan from shrimp shell (Litopenaeus vannamei) to lengthen preserved time in tofu. The experiments were done with 5 concentrations of chitosan at 0% (control), 0,5%, 1%, 1,5%, and 2% with 4 replications.

Based on the research of chitosan were applied on tofu with concentration 0%, 0.5%, 1%, 1,5% and 2%, show were soaking of chitosan concentration for use at 0% (control) with a long shelf life up to day or as long as 16 hours, chitosan concentration for use at 0,5% with a long shelf life up to 3 days or as long as 64 hours, chitosan concentrations for use at 1%, 1,5%, and 2% with a long shelf life up to 3 days or as long as 56 hours, where the characteristic of tofu show good texture, aroma of tofu and white. The optimum concentration of chitosan to preserves tofu was 0,5% for three days or as long as 64 hours.

From this research the conclusion is chitosan from shrimp shell could increase lengthen preserved time in tofu. Therefore it should be held socialization this research were knowing the public that the chitosan can be used as a natural preservative, an alternative to change of formaldehyde in foods.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Menurut Undang-Undang RI No.7 Tahun 1996 Bab II pasal 10 tentang Bahan Tambahan Makanan dicantumkan: (1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang telah ditetapkan. (2) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (Widyaningsih, 2006).

Bahan tambahan makanan (food additives) merupakan bahan kimia yang secara legal ditambahkan pada makanan untuk melengkapi tujuan secara teknologi dan aman untuk manusia (Mukono, 2000). Untuk menghindari dan mengurangi kemungkinan pencemaran suatu produk oleh mikroorganisme, dilakukan proses pengawetan produk. Syarat zat pengawet adalah mampu membunuh kontaminan mikroorganisme, tidak toksik atau menyebabkan iritasi pada pengguna, stabil dan aktif, serta selektrif dan tidak bereaksi dengan bahan (Pratiwi, 2008).

Meningkatnya penggunaan formalin pada bahan makanan merupakan berita yang sangat mengejutkan pada penghujung tahun 2005 dan awal 2006, walaupun sebenarnya masalah tersebut sudah muncul ke permukaan sejak beberapa tahun sebelumnya. Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BB POM) telah


(17)

Indonesia. Hasilnya beberapa jenis bahan makanan olahan, yaitu mi basah, bakso, tahu, dan ikan asin, positif mengandung formalin (Widyaningsih, 2006).

Sejak meningkatnya penggunaan formalin pada bahan makanan sebagai pengawet maka banyak pihak yang mencari alternatif pengganti formalin. Hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan bahan pengawet penganti formalin adalah bahannya harus aman, sifatnya alami sehingga mudah diperoleh, dan harganya terjangkau agar produsen makanan tidak akan kembali lagi menggunakan formalin yang berbahaya bagi kesehatan. Bahan pengawet alternatif yang dapat digunakan sebagai pengganti formalin disesuaikan dengan jenis makanannya. Salah satu bahan pengawet dan pengenyal yang dapat digunakan sebagai alternatif pengganti formalin menurut Permenkes No.772/IX/1998 adalah Sodium Tri Poly Phosphate (STPP) sebanyak 0,3% untuk bakso dan mi basah, gliserin atau gliserol 1% untuk mi basah,

Carboxy Methyl Cellolose (CMC) 0,5-1% untuk mi basah, garam dapur 1% untuk

ikan asin dan perendam tahu, cuka untuk perendam tahu sebanyak 0,3% dan bumbu dapur (bawang putih, kunyit, lengkuas, dan ketumbar) untuk pengolahan ikan (Widyaningsih, 2006).

Departemen THP FPIK-IPB secara intensif telah melakukan riset bahan aktif untuk aplikasi produk-produk perairan guna menggantikan bahan-bahan kimia seperti formalin, klorin dan sianida. Salah satu produk tersebut adalah chitosan. Chitosan merupakan produk turunan dari polimer chitin yaitu produk samping (limbah) dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan rajungan (Wardaniati, 2009).

Devisa yang diperoleh dari sektor perikanan 34% berasal dari ekspor udang sebesar 125.596 ton pada tahun 2007. Banyaknya produksi udang ini akan


(18)

menghasilkan limbah yang banyak juga mengingat hasil samping produksi yang berupa kepala, kulit, ekor, dan kaki adalah sekitar 35%-50% dari berat awal. Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang, dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30%-75% dari berat udang. Meningkatnya jumlah limbah udang masih merupakan masalah yang perlu dicarikan upaya pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta estetika lingkungan yang kurang bagus (Swastawati, 2008).

Melalui pendekatan teknologi yang tepat, potensi limbah ini dapat diolah lebih lanjut menjadi senyawa polisakarida dimana didalamnya termasuk chitin [(C8H13NO5)n]. Chitin ini dapat diolah lebih lanjut menjadi chitosan [(C6H11NO4)n] dan glukosamin (C6H13NO5). Ketiga produk ini mempunyai sifat mudah terurai dan tidak mempunyai sifat beracun sehingga sangat ramah terhadap lingkungan (Swastawati, 2008).

Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba, karena mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan chitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang (Wardaniati, 2009).

Karakteristik makanan yang biasa dilakukan upaya pengawetan adalah makanan yang bersifat mudah busuk karena mengandung kadar air dan protein yang


(19)

(suhu ruang) daya tahannya rata-rata 1 – 2 hari saja. Setelah lebih dari batas tersebut rasanya menjadi asam lalu berangsur-angsur busuk, sehingga tidak layak dikonsumsi lagi. Untuk itu perlu dilakukan upaya pengawetan dengan bahan alami yang tidak berbahaya bagi kesehatan (Kusuma, 2010).

Beberapa penelitian tentang chitosan antara lain, Swastawati, dkk (2008) memanfaatkan limbah kulit udang menjadi edible coating untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Pada penelitiannya, aplikasi chitosan dilakukan pada produk perikanan yaitu pindang ikan layang dengan konsentrasi 0,25%. Larutan chitosan tersebut akan membentuk edible coating yaitu pelapisan chitosan pada permukaan pindang ikan layang sehingga laju pertumbuhan bakteri dapat dihambat. Dengan konsentrasi 0,25% penyimpanan pindang ikan layang selama 2 hari masih dapat diterima untuk dikonsumsi. Dengan memanfaatkan kulit udang menjadi edible

coating, chitosan bukan hanya memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan

udang, tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan, terutama masalah bau dan menurunnya estetika lingkungan.

Menurut penelitian Wardaniati dan Setyaningsih (2009) dalam pembuatan chitosan dari kulit udang dan aplikasinya untuk pengawetan bakso, menunjukkan bahwa konsentrasi chitosan yang paling optimal untuk digunakan sebagai bahan pengawet bakso adalah 1,5 % dengan masa simpan selama 3 hari. Selama 3 hari dilihat dari kondisi fisiknya, tekstur bakso masih bagus, kenyal dan aroma dagingnya masih terasa. Bakso yang direndam dengan chitosan memiliki citarasa yang tidak berbeda dengan bakso yang tidak direndam dengan chitosan, sehingga dapat disimpulkan bahwa chitosan tidak mengubah citarasa bakso.


(20)

Pada penelitian ini, peneliti mencoba memanfaatkan chitosan untuk memperpanjang waktu penyimpanan makanan terutama pada tahu yang merupakan makanan sehari-hari masyarakat Indonesia. Tahu merupakan salah satu bahan makanan yang dapat diawetkan, dan sampai saat ini masih diduga mengandung formalin. Pada pembuatan tahu, penambahan formalin dilakukan pada proses penggumpalan tahu yang akan menyebabkan tekstur tahu menjadi lebih keras atau tidak mudah hancur. Formalin juga digunakan pada perendaman tahu yang sudah jadi karena tahu yang direndam formalin selain tekstur tahu menjadi lebih keras juga tahu lebih awet, tidak berbau atau berlendir selama 5 hari dalam air rendaman. Tahu tanpa formalin, satu hari setelah produksi berbau agak asam dan berlendir (Widyaningsih, 2006). Dari penelitian ini diharapkan chitosan dapat dijadikan sebagai pengawet alami yang tidak berbahaya bagi kesehatan manusia serta dapat mempertahankan aspek gizi yang terkandung di dalamnya.

1.2Rumusan Masalah

Chitosan merupakan limbah yang banyak dijumpai pada industri pengolahan udang yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal. Khasiat chitosan sebagai bahan antibakteri dan kemampuannya untuk mengimobilisasi bakteri tampaknya menjadikan chitosan dapat digunakan sebagai pengawet makanan, seperti pada tahu. Berdasarkan uraian tersebut, menjadi dasar bagi penulis untuk melakukan penelitian guna mengetahui gambaran tentang penggunaan chitosan dari cangkang udang (Litopenaeus vannamei) untuk memperlama waktu simpan pada tahu.


(21)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran tentang penggunaan chitosan dari cangkang udang (Litopenaeus vannamei) untuk memperlama waktu simpan pada tahu.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui waktu simpan tahu yang direndam dengan 500 ml larutan chitosan dengan konsentrasi 0% (aquadest sebagai kontrol) dan dilihat ciri fisik tahu yaitu tekstur, bau dan warna.

2. Untuk mengetahui waktu simpan tahu yang direndam dengan 500 ml larutan chitosan dengan konsentrasi 0,5% dan dilihat ciri fisik tahu yaitu tekstur, bau dan warna.

3. Untuk mengetahui waktu simpan tahu yang direndam dengan 500 ml larutan chitosan dengan konsentrasi 1% dan dilihat ciri fisik tahu yaitu tekstur, bau dan warna.

4. Untuk mengetahui waktu simpan tahu yang direndam dengan 500 ml larutan chitosan dengan konsentrasi 1,5% dan dilihat ciri fisik tahu yaitu tekstur, bau dan warna.

5. Untuk mengetahui waktu simpan tahu yang direndam dengan 500 ml larutan chitosan dengan konsentrasi 2% dan dilihat ciri fisik tahu yaitu tekstur, bau dan warna.


(22)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan informasi bagi industri pengolahan udang agar limbah cangkang udang dimanfaatkan dengan cara memodifikasi chitin dari cangkang udang menjadi chitosan.

2. Sebagai bahan informasi bagi produsen makanan seperti tahu, bahwa chitosan dapat dijadikan sebagai pengawet alami dan dapat dijadikan alternatif pengganti formalin.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Makanan

Berdasarkan definisi dari WHO di dalam (Chandra, 2006), makanan adalah semua substansi yang dibutuhkan oleh tubuh tidak termasuk air, obat-obatan, dan substansi-substansi lain yang digunakan untuk pengobatan. Makanan merupakan salah satu bagian yang penting untuk kesehatan manusia mengingat setiap saat dapat saja terjadi penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh makanan. Terdapat 2 faktor yang menyebabkan suatu makanan menjadi berbahaya bagi manusia, antara lain:

1. Kontaminasi

Kontaminasi pada makanan dapat disebabkan oleh: a) Parasit, misalnya cacing dan amuba.

b) Golongan mikroorganisme, misalnya Salmonella dan Shigella. c) Zat kimia, misalnya bahan pengawet dan pewarna.

d) Bahan-bahan radioaktif, misalnya kobalt dan uranium.

e) Toksin atau racun yang dihasilkan oleh mikroorganisme, seperti

Staphilococcus dan Clostridium botulinum.

2. Makanan yang pada dasarnya telah mengandung zat berbahaya, tetapi tetap dikonsumsi manusia karena ketidaktahuan mereka dapat dibagi menjadi 3 golongan:

a) Secara alami makanan itu memang telah mengandung zat kimia beracun, misalnya, singkong yang mengandung HCN, ikan dan kerang yang


(24)

mengandung unsur toksik tertentu (logam berat, misalnya Hg dan Cd) yang dapat melumpuhkan sistem saraf dan napas.

b) Makanan dijadikan sebagai media perkembangbiakan sehingga dapat menghasilkan toksin yang berbahaya bagi manusia, misalnya dalam kasus keracunan makanan akibat bakteri (bacterial food poisoning).

c) Makanan sebagai perantara. Jika suatu makanan yang terkontaminasi dikonsumsi manusia, di dalam tubuh manusia agent penyakit pada makanan itu memerlukan masa inkubasi untuk berkembang biak dan setelah beberapa hari dapat mengakibatkan munculnya gejala penyakit. Contoh penyakitnya antara lain Typhoid abdominalis dan Disentri basiler. 2.2. Higiene dan Sanitasi Makanan

Di samping aspek-aspek biologis, teknologis, komersial dan hukum, setiap produk pangan yang diproduksi dan diperdagangkan wajib pula memenuhi persyaratan higienis agar produk itu tidak mengandung bahan yang akan membahayakan kesehatan konsumen (Ilyas, 1993). Berdasarkan Kepmenkes RI No.942/Menkes/SK/VII/2003, higiene sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan faktor makanan, orang, tempat dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan.

Menurut Chandra (2006), sanitasi makanan adalah upaya-upaya yang ditujukan untuk kebersihan dan keamanan makanan agar tidak menimbulkan bahaya keracunan dan penyakit pada manusia. Dengan demikian, tujuan sebenarnya dari upaya sanitasi makanan, antara lain:


(25)

1. Menjamin keamanan dan kebersihan makanan. 2. Mencegah penularan wabah penyakit.

3. Mencegah beredarnya produk makanan yang merugikan masyarakat. 4. Mengurangi tingkat kerusakan atau pembusukan pada makanan. 2.3. Bahan Tambahan Pangan

Menurut FAO bahan tambahan pangan adalah senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan dengan jumlah dan ukuran tertentu dan terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan, dan atau penyimpanan. Bahan ini berfungsi untuk memperbaiki warna, bentuk, citarasa, dan tekstur, serta memperpanjang masa simpan, dan bukan merupakan bahan utama (Saparinto, 2006).

Bahan tambahan makanan yang digunakan diizinkan karena tidak berbahaya atau aman bagi kesehatan sesuai Undang-Undang RI No.7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pemakaian bahan tambahan makanan memberikan keuntungan besar bagi industri makanan. Salah satunya adalah makanan menjadi tidak cepat rusak atau busuk karena makanan menjadi lebih awet (Widyaningsih, 2006). Namun, penggunaan bahan tambahan pangan dapat merugikan kesehatan. Penyalahgunaan bahan pewarna tekstil dan kertas untuk pangan, bahan pengawet yang berlebihan, penggunaan bungkus bekas pestisida, kesalahan penggunaan bahan karena kesalahan label seperti tertukarnya bikarbonat dengan nitrit merupakan kecerobohan yang sebenarnya dapat dihindarkan (Baliwati, 2004).

Bahan tambahan makanan di dalam (Widyaningsih, 2006) adalah bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah kecil, dengan tujuan untuk memperbaiki penampakan, cita rasa, tekstur, flavor, dan memperpanjang daya


(26)

simpan. Selain itu, juga dapat meningkatkan nilai gizi seperti protein, mineral, dan vitamin. Jenis-jenis bahan tambahan makanan yang sering digunakan adalah bahan pengawet, pewarna, pemanis, antioksidan, pengikat logam, pemutih, pengental, pengenyal, emulsifier, buffer (asam, alkali), zat besi, flavoring agent, dan sebagainya. 2.4. Bahan Pengawet

2.4.1. Pengertian Bahan Pengawet Makanan

Menurut Permenkes RI No.722/Menkes/Per/IX/1988, salah satu bahan tambahan pangan yang diizinkan digunakan pada makanan diantaranya pengawet yaitu untuk memperpanjang masa simpan suatu makanan. Sebagian besar kerusakan bahan makanan, khususnya hasil olahan, disebabkan oleh aktivitas mikroba yang memanfaatkan bahan makanan untuk metabolismenya. Bahan pengawet bersifat menghambat atau mematikan pertumbuhan mikroba penyebab kerusakan ini sehingga sering juga disebut dengan senyawa antimikroba.

Pengawetan dan pengolahan bertujuan mengurangi kerugian fisik, gizi, dan ekonomi, dengan mengurangi limbah dan memanfaatkannya, dan dengan meningkatkan daya simpan dan nilai tambah (Ilyas, 1993). Jenis bahan pengawet diantaranya asam benzoat, asam propionat, asam sorbat dan garamnya, nitrat, nitrit,


(27)

2.4.2. Teknik Pengawetan Makanan

Secara garis besar teknik pengawetan dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu pengawetan secara alami, pengawetan secara biologis, dan pengawetan secara kimia (Pratiwi, 2008).

1. Pengawetan Secara Alami

Proses pengawetan secara alami meliputi proses pemanasan dan pendinginan. Teknik liofilisasi atau teknik pengeringan beku yang diperkenalkan oleh Perlman dan Kikuchi (1977) dan Heckly(1978) merupakan teknik preservasi (pengawetan) yang sangat terkenal dan biasa digunakan untuk mikroorganisme dengan kisaran yang luas. 2. Pengawetan Secara Biologis

Proses pengawetan secara biologis dapat dilakukan dengan fermentasi (peragian), yaitu proses perubahan karbohidrat menjadi alkohol. Zat-zat yang bekerja pada proses ini adalah enzim yang dibuat oleh sel-sel ragi. Lamanya proses peragian tergantung pada bahan yang akan diragikan.

3. Pengawetan Secara Kimia

Pada proses pengawetan secara kimia, digunakan bahan-bahan kimia yang bersifat dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Sebagai contoh adalah penggunaan gula pasir, garam dapur, nitrat, nitrit, natrium benzoat, asam propionat,

asam sitrat, garam sulfat, dan lain-lain. Proses pengasapan juga termasuk cara kimia,

sebab bahan-bahan kimia dalam asap dimasukkan ke dalam bahan makanan yang akan diawetkan.


(28)

2.4.3. Manfaat Pengawetan Makanan

Menurut Chandra (2006), adapun manfaat yang dapat kita peroleh dalam upaya pengawetan makanan, antara lain:

1) Segi ekonomi

Makanan yang diawetkan dapat dikonsumsi atau dijual ke tempat-tempat yang jauh kapan saja dan tanpa mengurangi kualitas makanan. Dengan begitu, kelebihan makanan di suatu daerah dapat diperluas pemasarannya, tanpa terikat oleh waktu.

2) Mempermudah transportasi

Di Indonesia yang beriklim tropis, makanan mudah sekali membusuk. Dengan adanya pengawetan, makanan dapat dipertahankan atau diolah dengan cara lain sehingga dapat dibeli dengan mudah dan tidak berbahaya serta dapat menghemat biaya transpor.

3) Mudah dihidangkan

Sebagian makanan yang telah diawetkan siap dihidangkan karena bagian yang tidak diperlukan telah dibuang. Dengan begitu, untuk pola kehidupan masyarakat yang telah maju, masalah kendala waktu dapat diatasi.

4) Bermanfaat dalam keadaan tertentu

Misalnya dalam kejadian bencana alam, kelaparan, pengungsian, dan kondisi genting lainnya, bantuan makanan yang telah diawetkan dapat segera didatangkan dari daerah lain.


(29)

2.5. Pemanfaatan Chitosan dari Cangkang Udang Sebagai Pengawet Makanan 2.5.1. Produksi Udang (Litopenaeus vannamei)

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Namun, kekayaan keanekaragaman hayati yang kita miliki hingga saat ini belum dimanfaatkan secara optimal (Sugandhy, 2009). Saat ini budidaya dengan tambak telah berkembang dengan pesat karena udang merupakan komoditi ekspor yang dapat dihandalkan dalam meningkatkan ekspor non migas dan merupakan salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi (Kaban, dkk., 2006).

Dalam perkembangannya, Indonesia memasukkan udang vannamei (Litopenaeus vannamei) sebagai salah satu jenis udang budidaya tambak, selain udang windu (Penaeus monodon) dan udang putih/udang jrebung (Penaeus

merguiensis) yang sudah terkenal lebih dahulu (Amri, 2008). Udang windu saat ini

tidak berkembang lagi karena terserang berbagai macam penyakit yang ganas adalah white spot at saat ini banyak memelihara udang putih (Pennaeus vannamei) (Anonimous, 2009).

Setelah melalui serangkaian penelitian dan kajian akhirnya melalui SK Menteri Kelautan dan Perikanan RI No.41/2001 pemerintah secara resmi melepas udang vannamei sebagai varietas unggul untuk dibudidayakan petambak di tanah air pada tanggal 12 Juli 2001 (Amri, 2008).


(30)

Berikut tata nama udang vannamei menurut ilmu taksonomi (Haliman, 2008). Kingdom : Animalia

Subkingdom : Metazoa Filum : Arthropoda Subfilum : Crustacea Kelas : Malacostraca Subkelas : Eumalacostraca Superordo : Eucarida

Ordo : Decapoda

Subordo : Dendrobrachiata Famili : Penaeidae Genus : Litopenaeus

Spesies : Litopenaeus vannamei 2.5.2. Potensi Limbah Udang

Dilihat dari luar, tubuh udang terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan disebut bagian kepala, yang sebenarnya terdiri dari bagian kepala dan dada yang menyatu. Oleh karena itu dinamakan kepala-dada (cepholothorax). Bagian perut (abdomen) terdapat ekor di bagian belakangnya. Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat dari bahan chitin (Suyanto, 2001).

Bagian kepala beratnya kurang lebih 36-49%, bagian daging antara 24-41%, dan kulit 17-23% dari total berat badan (Purwaningsih, 2000). Limbah yang


(31)

kerupuk udang berkisar antara 30-75% dari berat udang. Dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang cukup tinggi. Limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, chitin, pigmen, abu dan lain-lain. Meningkatnya jumlah limbah udang masih merupakan masalah yang perlu dicarikan upaya pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan udang akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan (Kaban, dkk., 2008).

Perkembangan teknologi dan industri yang pesat dewasa ini ternyata membawa dampak bagi kehidupan manusia, baik dampak yang bersifat positif maupun dampak yang bersifat negatif. Dampak yang bersifat positif memang diharapkan oleh manusia dalam rangka meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidup. Dalam usahanya untuk meningkatkan kualitas hidup, manusia berupaya dengan segala daya untuk mengolah dan memanfaatkan kekayaan alam yang ada demi tercapainya kualitas hidup yang diinginkan. Segala macam organisme yang ada di alam ini selalu menghasilkan limbah atau bahan buangan. Mengingat akan hal ini maka perlu pemikiran lebih lanjut bagaimana mengurangi jumlah limbah dengan memanfaatkan kembali limbah tersebut untuk kepentingan manusia melalui proses daur ulang limbah (bahan buangan), sekaligus sebagai usaha untuk mengurangi pencemaran daratan. Pemanfaatan kembali limbah ternyata banyak memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia. Limbah (bahan buangan) yang semula tidak berharga, setelah dimanfaatkan kembali melalui proses daur ulang, menjadi bernilai ekonomis (Wardhana, 2004).


(32)

Dalam industri pembekuan udang ada dua jenis limbah. Pertama adalah limbah cair yang berupa suspensi air dan kotoran udang serta yang kedua limbah padat yang berupa kepala udang. Limbah cair jika didiamkan akan menimbulkan bau tidak sedap dan akan mencemari sungai atau areal persawahan yang ada di dekatnya. Begitu juga limbah padat yang sarat akan bakteri jika didiamkan akan merupakan sumber kontaminan yang akan mengganggu lingkungan. Limbah yang berbentuk cair sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi. Lain halnya dengan limbah padat. Limbah ini masih bisa dimanfaatkan menjadi produk lanjut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, misalnya chitin, tepung ikan untuk pakan ternak, dan flavor udang. Limbah udang merupakan sumber yang kaya akan chitin, yaitu kurang lebih 30% dari berat kering. Chitin dapat diproses lebih lanjut menjadi chitosan. (Purwaningsih, 2000). 2.5.3. Chitin dan Chitosan

Chitin merupakan poli (2-asetamido-2-deoksi-β-(1→4)-D-glukopiranosa) yang paling melimpah di alam setelah selulosa. Chitin tidak beracun dan bahkan mudah terurai secara hayati (biodegradable). Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna putih. Keberadaan chitin di alam umumnya terikat dengan protein, mineral, dan berbagai macam pigmen (Sugita, 2009). Chitin banyak dijumpai pada jamur, crustaceae, insecta, mollusca dan arthropoda. Dalam cangkang udang, chitin terdapat sebagai mukopoli sakarida yang berikatan dengan garam-garam anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein dan lipida termasuk pigmen-pigmen (Wardaniati, 2009).


(33)

Chitosan adalah poli-(2-amino-2-deoksi-β-(1-4)-D-glukopiranosa) yang dapat diperoleh dari deasetilasi chitin. Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan (Sugita, 2009). Untuk memperoleh chitin dari cangkang udang melibatkan proses deproteinasi (penghilangan protein) dan demineralisasi (penghilangan mineral). Sedangkan untuk mendapatkan chitosan dilanjutkan dengan proses deasetilasi (penghilangan gugus asetil) (Wardaniati, 2009).

Deproteinasi chitin merupakan reaksi hidrolisis dalam suasana asam dan basa.

Umumnya hidrolisis dilakukan dalam suasana basa dengan menggunakan larutan NaOH. Demineralisasi secara umum dilakukan dengan larutan HCl atau asam lain seperti H2SO4 pada kondisi tertentu. Keefektifan HCl dalam melarutkan kalsium 10% lebih tinggi daripada H2SO4. Hal yang terpenting dalam tahap penghilangan mineral adalah jumlah asam yang digunakan. Secara stoikiometri, perbandingan antara padatan dan palarut dapat dibuat sama atau dibuat berlebih pelarutnya agar reaksinya berjalan sempurna. Urutan deproteinasi dan demineralisasi juga berperan penting.

Deproteinasi sebaiknya dilakukan lebih dahulu jika protein yang terlarut akan

dimanfaatkan lebih lanjut. Deproteinasi pada tahap awal dapat memaksimumkan hasil dan mutu protein serta mencegah kontaminasi protein pada proses

demineralisasi. Kandungan gugus asetil pada chitin secara teoritis ialah sebesar

21,2%. Deasetilasi secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan basa kuat NaOH atau KOH (Sugita, 2009).


(34)

Cara pembuatan chitin dan chitosan dari cangkang udang sebagai bahan pengawet alami pada makanan dapat dilihat melalui tahapan deproteinasi,

demineralisasi dan deasetilasi pada skema di bawah ini (Pratiwi, dkk., 2008).

a. Deproteinasi

Cangkang udang

Cuci air dingin

Cuci air panas

Dikeringkan

Diblender sampai halus

Deproteinasi

Direndam dalam larutan NaOH 1M perbandingan 1:5

(gr serbuk/ml NaOH) diaduk 1 jam

Dipanaskan 900C selama 1 jam

Didinginkan

Dicuci dengan air sampai pH netral


(35)

b. Demineralisasi

Cangkang udang berupa serbuk hasil deproteinasi

Demineralisasi

Direndam dalam larutan HCl 1M perbandingan 1:10

(gr serbuk/ml HCl) diaduk 1 jam

Dipanaskan 900C selama 1 jam

Didinginkan dan disaring

Dicuci dengan air sampai pH netral

dikeringkan


(36)

c. Deasetilasi

2.5.4. Kegunaan Chitin dan Chitosan

Saat ini aplikasi chitin dan chitosan sangat banyak dan meluas. Chitin dan chitosan dapat dimanfaatkan di berbagai bidang biokimia, obat-obatan atau farmakologi, pangan dan gizi, pertanian, mikrobiologi, penanganan air limbah, industri-industri kertas, tekstil membran atau film, kosmetik dan lain sebagainya (Wardaniati, 2009).

Di bidang industri, chitin dan chitosan berperan antara lain sebagai koagulan

polielektrolit pengolahan limbah cair, pengikat dan penjerap ion logam, Deasetilasi

Direndam dalam larutan NaOH 1M perbandingan 1:20

(gr serbuk/ml NaOH) diaduk 1 jam

Dipanaskan 1400C selama 90 menit

Didinginkan dan disaring

dikeringkan

Chitosan chitin


(37)

mikroorganisme, mikroalga, pewarna, residu pestisida, lemak tanin, PCB (poliklorinasi bifenil), mineral dan asam organik, media kromatografi afinitas, gel dan pertukaran ion, penyalut berbagai serat alami dan sintetik, pembentukan film dan membran mudah terurai, meningkatkan kualitas kertas, pulp, dan produk tekstil (Sugita, 2009).

Sementara di bidang pertanian dan pangan, chitin dan chitosan digunakan antara lain untuk pencampur ransum pakan ternak, antimikroba, antijamur, serat bahan pangan, penstabil, pembentuk gel, pembentuk tekstur, pengental dan pengemulsi produk olahan pangan, pembawa zat aditif makanan, flavor, zat gizi, pestisida, herbisida, virusida tanaman, dan deasidifikasi buah-buahan, sayuran dan penjernih sari buah (Sugita, 2009).

Di dalam pangan chitosan dapat dijadikan sebagai bahan antimikroba untuk memperpanjang waktu penyimpanan makanan karena chitosan mengandung enzim

lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat pertumbuhan

mikroba (Wardaniati, 2009).

Fungsinya sebagai antimikroba dan antijamur juga diterapkan dibidang kedokteran. Chitin dan chitosan dapat mencegah pertumbuhan Candida albicans dan

Staphvcoccus aureus. Selain itu, biopolimer tersebut juga berguna sebagai

antikoagulan, antitumor, antivirus, pembuluh darah-kulit dan ginjal sintetik, bahan pembuat lensa kontak, aditif kosmetik, membran dialisis, bahan shampoo dan

kondisioner rambut, zat hemostatik, penstabil liposom, bahan ortopedik, pembalut

luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinggi daya kekebalan, antiinfeksi (Sugita, 2009).


(38)

2.6. Pengawetan Pada Tahu 2.6.1. Asal Usul Tahu

Tahu merupakan bahan makanan sumber protein nabati yang sangat populer setelah tempe (Widyaningsih, 2006). Tahu mengandung 7-8 gram zat protein dan 124 mg zat kalsium per 100 gram tahu. Tahu berasal dari negara Cina, yang disebut taufu. Tahu dibuat dari kacang kedelai kuning atau dari kacang hijau (Tarwotjo, 1998). Kacang kedelai dikenal sebagai makanan terbaik kadar proteinnya, dapat mencapai 35% daripada beratnya (Liwijaya, 2001). Tahu merupakan bahan makanan yang sudah sejak lama dikenal masyarakat. Namun, dengan meningkatnya kasus formalin pada makanan, ternyata formalin juga ditemukan pada tahu yang beredar di pasaran (Widyaningsih, 2006).

Menurut Widyaningsih (2006), tahu adalah bahan pangan yang tinggi protein dengan kadar air yang tinggi (85%) karena itu tahu tidak tahan lama. Satu hari setelah diproduksi tahu akan mulai rusak yang ditandai dengan berbau asam dan berlendir. Dengan merendam tahu pada air yang diberi formalin tahu akan awet sampai 7 hari. Jadi penggunaan formalin dapat dilakukan pada proses penggumpalan dan perendaman setelah jadi tahu. Mungkin pada proses penggumpalan di pabrik tahu tidak menggunakan formalin seperti yang dibantah oleh produsen tahu. Namun, pedagang juga tidak mau berisiko dagangannya rusak sebelum laku terjual. Oleh karena itu tahu direndam pada air yang dicampuri formalin agar tahu tetap awet tidak rusak. Perendaman tahu dengan formalin jelas tidak dapat diterima, walaupun untuk alasan mencegah kerusakan tahu.


(39)

2.6.2. Macam-Macam Tahu

Menurut Tarwotjo (1998), macam-macam tahu sebagi berikut.

1. Tahu putih, tebal dan halus sehingga disebut tahu sutera (silk) dan cocok untuk dimasak sup tahu.

2. Tahu putih, tebal dan agak keras, tidak selembut jenis tahu silk sehingga cocok untuk masakan, seperti tahu isi dan perkedel tahu.

3. Tahu yang sangat padat, tipis, dan diberi warna kuning disebut tahu cina. Banyak digunakan dalam masakan Cina.

4. Tahu pong, bila digoreng sampai kering, bagian dalamnya kosong, rasanya gurih dan ringan.

5. Tahu jepang, halus sekali dan lunak (silk), dibuat dari kacang hijau. 2.6.3. Proses Pembuatan Tahu

Dasar pembuatan tahu adalah melarutkan protein yang terkandung dalam kedelai menggunakan air sebagai pelarutnya. Setelah protein tersebut larut, diusahakan untuk diendapkan kembali dengan penambahan bahan pengendap sampai terbentuk gumpalan-gumpalan protein yang akan menjadi tahu (Anonimous, 2000). Kadang-kadang ada tahu yang terasa agak asam atau pahit. Hal ini disebabkan pemberian batu tahu atau cuka yang kurang baik perbandingannya (Tarwotjo, 1998).


(40)

Secara garis besar, pembuatan tahu adalah sebagai berikut. 1) Pilih kedelai yang bersih, kemudian dicuci.

2) Rendam dalam air bersih selama 8 jam (paling sedikit 3 liter air untuk 1 kg kedelai). Kedelai akan mengembang jika direndam.

3) Cuci berkali-kali kedelai yang telah direndam. Apabila kurang bersih maka tahu yang dihasilkan akan cepat menjadi asam.

4) Tumbuk kedelai dan tambahkan air hangat sedikit demi sedikit hingga berbentuk bubur.

5) Masak bubur tersebut, jangan sampai mengental pada suhu 700-800C (ditandai dengan adanya gelembung-gelembung kecil).

6) Saring bubur kedelai dan endapkan airnya dengan menggunakan batu tahu (Kalsium Sulfat = CaSO4) sebanyak 1 gram atau 3 ml asam cuka untuk 1 liter sari kedelai, sedikit demi sedikit sambil diaduk perlahan-lahan.


(41)

Diagram Alir Pembuatan Tahu

Sumber: Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Anonimous, 2000.

Dicuci

Direndam (8 jam)

Dicuci

Ditiriskan

Ditumbuk

Dimasak sampai mengental

Disaring

Diendapkan dengan batu tahu atau asam cuka

Dicetak

Tahu Air untuk rendaman

(3:1)

Air hangat

Ampas tahu Kedelai


(42)

2.6.4. Ciri-Ciri Tahu yang Baik

Tahu yang baik adalah tahu yang berkualitas baik, bergizi dan tahan terhadap penyimpanan. Tahu yang baik tidak cepat mengalami kerusakan yang dapat menurunkan nilai gizi yang rendah bahkan sampai tahu tidak memenuhi syarat sebagai makanan. Misalnya tahu cepat menjadi basi, tahu cepat menjadi bau yang tidak disenangi, tahu cepat ditumbuhi jamur yang menghasilkan toksin/racun yang dapat mengganggu kesehatan tubuh bagi yang memakan tahu tersebut. Faktor-faktor yang menentukan mutu tahu adalah, kualitas kedelai yang digunakan, proses pembuatan tahu, dan pemakaian bahan-bahan pembantu lainnya (Anonimous, 1981).

Ciri-ciri tahu yang baik adalah: 1. Berbau khas tahu dan tidak berbau asam.

2. Teksturnya padat dan tidak lunak sehingga bila diolah tidak mudah hancur. 3. Pori-porinya halus yang menandakan bahwa kualitas tahu bagus.

4. Tidak berlendir (Anonimous, 2010). 2.6.5. Ciri-Ciri Tahu yang Rusak

Umumnya tahu bersifat mudah rusak (busuk). Disimpan pada kondisi biasa (suhu ruang) daya tahannya rata-rata 1 – 2 hari saja. Setelah lebih dari batas tersebut rasanya menjadi asam lalu berangsur-angsur busuk, sehingga tidak layak dikonsumsi lagi. Akibatnya banyak usaha yang dilakukan produsen tahu untuk mengawetkannya, termasuk menggunakan bahan pengawet yang dilarang, misalnya formalin. Ciri-ciri tahu yang mengandung formalin:


(43)

2. Tahu terlampau keras, namun tidak padat, permukaan menjadi lebih kering. 3. Bau khas agak menyengat, bau formalin.

Dengan meningkatnya penggunaan formalin sebagai pengawet tahu, maka dirasakan perlu untuk mencari alternatif lain yang aman untuk mengawetkan tahu (Kusuma, 2010).

2.6.6. Pengawetan Tahu dengan Bahan Alami

Pengawetan merupakan cara untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme. Makanan yang dimasak akan membunuh organisme tetapi tidak dijamin menjadi awet (Mukono, 2000). Makanan yang mengandung formalin umumnya awet dan dapat bertahan lebih lama, tetapi dapat membahayakan dan merugikan kesehatan masyarakat. Sejak meningkatnya penggunaan formalin pada bahan makanan sebagai pengawet maka banyak pihak yang mencari alternatif pengganti formalin. Pengawetan tahu tanpa formalin dapat dilakukan dengan cara: 1. Tahu direndam dalam air yang diberi garam dapur 3% atau cuka 0,1% atau

campuran keduanya. Tahu akan awet sampai 3-4 hari.

2. Tahu dikukus atau direbus dan direndam dengan air perebusannya juga dapat memperpanjang daya awetnya.

Tabel 2.1 Hasil Pengawetan Tahu Tanpa Formalin

Perlakuan Perendaman

1 hari 2 hari 3 hari

Tahu pada suhu kamar tanpa perendaman

Mulai berbau Rusak Rusak Perendaman dengan air

tidak diganti

Normal, air keruh Berbau Rusak Perendaman dengan air dan

air perendam diganti-ganti


(44)

Perendaman air dan garam 3%

Normal, air keruh Normal Mulai berbau Perendaman air garam 3%

dan cuka 0,1%

Normal Normal Normal

Pengukusan 20 menit dan direndam air panas

Normal Normal Mulai berbau Perebusan 20 menit dan

direndam air rebusan

Normal Normal Mulai berbau Sumber: Widyaningsih, 2006

Salah satu pengawetan tahu tanpa formalin, tetapi dengan bahan alami juga dapat dilakukan dengan cara perendaman tahu pada larutan chitosan. Aplikasi chitosan juga sudah dilakukan peneliti dari Departemen Teknologi Hasil Perairan (THP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB) yang telah berhasil memanfaatkan limbah dari udang dan rajungan sebagai bahan pengawet makanan. Keunggulan penggunaan chitosan sebagai bahan pengawet ikan berdasarkan indikator parameter daya awet hasil pengujian antara lain : (1) Pada keefektifan dalam mengurangi jumlah lalat yang hinggap, di mana pada konsentrasi chitosan 1,5 persen, dapat mengurangi jumlah lalat secara signifikan, (2) Pada keunggulan dalam uji mutu hedonik penampakan dan rasa, di mana hasil riset menunjukkan penampakan ikan asin dengan coating atau pelapisan chitosan lebih baik bila dibandingkan dengan ikan asin tanpa formalin dan ikan asin dengan formalin. Coating chitosan pada ikan cucut asin memberikan rasa yang lebih baik dibanding dengan tanpa formalin dan pelakuan formalin pada penyimpanan minggu ke delapan, (3) Pada keefektifan dalam menghambat pertumbuhan bakteri, di mana nilai TPC (bakteri) sampai pada minggu kedelapan perlakuan, pelapisan chitosan masih sesuai dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) ikan asin (Anonimous, 2006).


(45)

Swastawati, dkk. (2008) telah mengawetkan ikan pindang layang dengan larutan chitosan 0,25% sehingga masih dapat dikonsumsi sampai hari kedua. Demikian juga Wardaniati dan Setyaningsih (2009) menggunakan larutan chitosan untuk mengawetkan bakso dengan konsentrasi 1,5% sehingga dapat disimpan sampai hari ketiga.

Chitosan dapat digunakan sebagai pengawet karena sifat-sifat yang dimilikinya yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi yang minimal antara produk dan lingkungannya. Mekanisme kerja chitosan lewat dua cara. Pertama, chitosan bisa membunuh bakteri, dengan cara mengikat organisme patogen dengan polikation bermuatan positif. Organisme pun tidak bisa tumbuh atau bergerak. Kedua, chitosan akan melapisi kulit luar produk yang diawetkan, sehingga rasa dari dalam tidak bisa keluar dan kontaminan dari luar tidak bisa masuk (Swastawati, dkk., 2008). 2.7. Chitosan Tidak Berbahaya Untuk Dikonsumsi

Chitosan adalah serbuk yang dihasilkan dari deasetilasi chitin, senyawa yang banyak diperoleh di kerangka luar (eksoskeleton) hewan Crustacea seperti udang, kerang, dan kepiting (Rhamnosa, 2006). Serbuk yang telah dilepaskan asetilnya merupakan zat murni, tinggi sifat basanya, serta mengandung banyak molekul glukosa. Dalam chitosan terdapat unsur butylosar yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Butylosar yang telah didapatkan itu hanya larut dalam asam encer dan cairan tubuh manusia. Dengan demikian, butylosar dapat diserap oleh tubuh. Zat itu merupakan satu-satunya selulosa yang dapat dimakan. Zat ini mempunyai muatan


(46)

positif yang kuat, dan dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Selain itu, zat ini mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun (Nasir, 2008).

Selain telah memenuhi standard secara mikrobiologi ditinjau dari segi kimiawi juga aman karena dalam prosesnya chitosan cukup dilarutkan dengan asam asetat encer (1%) hingga membentuk larutan chitosan homogen yang relatif lebih aman (Wardaniati, 2009).

Masalah utama yang dihadapi dalam memproduksi chitin dan chitosan di Indonesia adalah kualitas produk masih rendah, kontinuitas suplainya belum pasti dan belum bisa diakses oleh semua kalangan. Selain itu banyak masyarakat yang belum mengetahui fungsi dari chitin-chitosan (Swastawati, dkk., 2008).

Jurnal Jonathan Rhodes dan Bob Rastall menyebutkan tentang paten produk di Rusia yang menggunakan chitosan sebagai pengawet untuk kaviar, yang dinyatakan efektif dengan kombinasi masing-masing 0,1% chitosan dan asam sorbat (Rhamnosa, 2006). Di Indonesia produksi chitosan dalam skala relatif besar mulai diujicobakan CV Dinar yang berlokasi di sebuah kawasan nelayan di Jl.Raya Dadap, Tangerang Banten (Anonimous, 2006).

2.8. Kerangka Konsep

Tahu putih Chitosan dari

cangkang udang

Larutan chitosan 0 %, 0,5%, 1%,

1,5%, 2%

Waktu simpan, dilihat ciri fisik: tekstur, bau, warna


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survai yang bersifat deskriptif untuk menggambarkan penggunaan chitosan dari cangkang udang (Litopenaeus vannamei) untuk memperlama waktu simpan pada tahu. Percobaan dilakukan dengan 5 konsentrasi yang berbeda yaitu larutan chitosan 0% (sebagai kontrol), 0,5%, 1%, 1,5%, 2% dan dilakukan 4 kali pengulangan.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Lokasi pengambilan sampel dan observasi tahu dilakukan di Pabrik Tahu yang berada di Jl. Flamboyan Raya II Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Medan Tuntungan Provinsi Sumatera Utara. Sampel penelitian diambil di pabrik tahu didasarkan pada suatu pertimbangan bahwa:

1. Tahu di tempat tersebut tidak menggunakan formalin sebagai pengawet.

2. Pabrik tahu tersebut merupakan industri rumah tangga yang memproduksi tahu secara kecil-kecilan yang di distribusikan ke pedagang-pedagang pasar tradisional di kota Medan dan banyak dibeli atau dikonsumsi oleh masyarakat. Sementara lokasi penelitian akan dilakukan di Laboratorium Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan pertimbangan bahwa di tempat ini terdapat bahan dan alat yang dibutuhkan oleh peneliti.


(48)

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian akan dilakukan pada bulan Mei-Juni 2010. 3.3 Objek Penelitian

Objek penelitian adalah tahu yang dibeli langsung dari pabrik tahu. Dari tempat tersebut diambil sejumlah tahu sebagai bahan yang langsung diawetkan di laboratorium dengan kriteria dipilih tahu yang fisiknya berkualitas baik dan masih baru.

Sampel tahu yang dibutuhkan untuk setiap perlakuan dalam penelitian adalah sepotong tahu segar (±150 gram). Kemudian sampel tahu diawetkan melalui perendaman dengan 500 ml larutan chitosan dengan konsentrasi masing-masing 0 % (sebagai kontrol), 0,5%, 1%, 1,5%, dan 2%. Kemudian diamati perubahan yang terjadi pada tahu baik tekstur, bau dan warnanya serta dihitung waktu simpan tahu dalam rendaman larutan chitosan. Dari masing-masing perlakuan, dilihat tahu dalam perendaman dengan konsentrasi berapa yang lebih lama waktu simpannya tanpa ada perubahan tekstur, bau dan warna.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil perlakuan di Laboratorium Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan dan informasi berupa data-data yang relevan dengan hasil penelitian.


(49)

3.5. Alat dan Bahan Penelitian 3.5.1 Alat Penelitian

- Batang pengaduk - Blender

- Gelas beker - Gelas ukur

- Kertas saring/saringan - Oven

- Panci stainless steel

- pH meter atau kertas lakmus - Timbangan

- Wadah untuk larutan chitosan 3.5.2. Bahan Penelitian

- Asam asetat 1% - Aquadest

- Cangkang udang - Larutan NaOH 1M - Larutan HCl 1M - Tahu


(50)

3.6. Cara Kerja Penelitian 3.6.1. Cara Membuat Chitosan

1) Cangkang udang yang telah terkumpul dicuci dengan air kran hingga bersih, lalu ditiriskan, kemudian dicuci kembali dengan air panas, selanjutnya dikeringkan.

2) Cangkang udang yang sudah kering tersebut diblender hingga menjadi halus seperti serbuk.

3) Kemudian dilakukan proses deproteinasi. Serbuk udang direndam dalam larutan NaOH 1M dengan perbandingan serbuk udang dengan NaOH = 1:5 (gram serbuk/ml NaOH) sambil diaduk konstan selama 1 jam.

4) Panaskan pada suhu 900C selama 1 jam.

5) Dinginkan, kemudian cuci dengan air sampai pH netral, keringkan.

6) Dilanjutkan dengan proses demineralisasi dengan perendaman dalam larutan HCl 1M dengan perbandingan sampel dengan larutan HCl = 1:10 (gram serbuk/ml HCl) sambil diaduk konstan selama 1 jam.

7) Panaskan pada suhu kamar 900C selama 1 jam.

8) Dinginkan lalu disaring, kemudian cuci dengan air sampai pH netral, keringkan. 9) Hasil dari proses tersebut disebut chitin.

10) Pada proses deasetilasi, chitin kemudian direndam dalam larutan NaOH 1M dengan perbandingan 1:20 (gr serbuk/ml NaOH) sambil diaduk konstan selama 1 jam


(51)

12) Dinginkan dan hasilnya disaring, lalu dicuci dengan air sampai pH netral lalu dikeringkan.

13) Hasil yang diperoleh disebut chitosan. 3.6.2 Cara Membuat Larutan Chitosan

Untuk mendapatkan larutan chitosan dapat dilihat pada skema di bawah ini: (Swastawati, dkk., 2008).

Dari skema diatas, dapat ditentukan sesuai dengan kebutuhan penelitian.

1) Untuk mendapatkan larutan chitosan 0,5% digunakan 10 gram serbuk chitosan. Chitosan tersebut kemudian dilarutkan dalam asam asetat 1% sehingga terbentuk larutan tersuspensi.

2) Larutan tersebut kemudian diencerkan dengan 2 liter aquadest. 3) Dihasilkanlah larutan chitosan untuk konsentrasi 0,5 %.

4) Demikian selanjutnya untuk membuat larutan chitosan 1% diperlukan 20 gr serbuk chitosan, untuk larutan chitosan1,5% diperlukan 30 gr serbuk chitosan, dan larutan chitosan 2% sebanyak 40 gram serbuk chitosan.

Serbuk chitosan

Penimbangan 50 gr

Pelarutan dengan asam asetat 1% sehingga terbentuk larutan tersuspensi

Pengenceran dengan aquadest hingga 10 liter


(52)

3.7. Prosedur Penelitian

3.7.1 Aplikasi Larutan Chitosan Pada Tahu

1) Hasil larutan chitosan tiap-tiap konsentrasi dimasukkan dalam wadah yang sudah diberi kode. Kode A untuk wadah larutan chitosan 0% (aquadest), kode B untuk wadah larutan chitosan 0,5 %, kode C untuk wadah larutan chitosan 1%, kode D untuk wadah larutan chitosan 1,5%, dan kode E untuk wadah larutan chitosan 2%.

2) Setiap wadah perlakuan diisi dengan larutan chitosan sebanyak 500 ml untuk masing-masing konsentrasi. Perlakuan setiap konsentrasi dilakukan 4 kali pengulangan, kecuali perendaman tahu dalam larutan chitosan 0% yang menggunakan aquadest sebagai kontrol hanya sekali ulangan. Ulangan pertama diberi kode A, B1, C1, D1, E1. Ulangan kedua diberi kode A, B2, C2, D2, E2. Ulangan ketiga diberi kode A, B3, C3, D3, E3. Ulangan keempat diberi kode A, B4, C4, D4, E4.

3) Tahu yang sudah disiapkan dimasukkan ke dalam wadah yang sudah diisi larutan chitosan 0% (sebagai kontrol), 0,5%, 1%, 1,5%, dan 2%, seperti yang sudah disiapkan sebelumnya.

4) Diamkan tahu dalam perendaman dan selanjutnya dilakukan pengamatan setiap 4 jam untuk melihat perubahan fisik pada tahu selama perendaman dalam larutan chitosan.

5) Tabulasi hasil data yang didapat kemudian dianalisa sesuai dengan metode statistik yang digunakan.


(53)

3.8. Definisi Operasional

1. Cangkang udang adalah kerangka udang bagian luar yang agak keras yang terdiri dari kepala, kulit, ekor.

2. Chitosan adalah bahan pengawet alami yang dibuat secara kimiawi dari cangkang udang dan kemudian digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri pada tahu. Chitosan dalam penelitian ini diracik oleh peneliti dari bahan baku cangkang udang dengan tahapan deproteinasi, demineralisasi dan deasetilasi. Deproteinasi adalah proses menghilangkan protein dari cangkang udang yang telah dihaluskan dengan cara merendam serbuk udang dalam larutan NaOH 1M dengan perbandingan 1:5 (gr/ml). Kemudian dilanjutkan dengan tahap demineralisasi yaitu proses yang dilakukan setelah proses deproteinasi, untuk menghilangkan mineral dengan cara merendam serbuk udang dalam larutan HCl 1M dengan perbandingan 1:10 (gr/ml). Tahap terakhir adalah proses deasetilasi, yaitu melakukan perendaman dalam larutan NaOH 1M dengan perbandingan 1:20 (gr/ml) untuk mendapatkan chitosan yang diinginkan.

3. Larutan chitosan didapatkan melalui penambahan asam asetat 1% pada serbuk chitosan yang kemudian dilarutkan kembali dengan aquadest. Misalnya untuk mendapatkan larutan chitosan 0,5 % artinya serbuk chitosan sebanyak 10 gram ditambah dengan asam asetat 1 % sehingga terbentuk larutan tersuspensi, kemudian diencerkan dengan aquadest 2 liter. Demikian seterusnya untuk masing-masing konsentrasi.


(54)

4. Tahu adalah bahan makanan sumber protein nabati yang terbuat dari kacang kedelai, berbentuk potongan segiempat berwarna putih (±150 gram), tebal, halus, dan tidak mengandung bahan pengawet buatan seperti formalin.

5. Waktu simpan tahu yaitu lamanya penyimpanan tahu yang masih dapat diterima untuk dikonsumsi setelah dilakukan perendaman dalam larutan chitosan dengan mengamati ciri fisik terdiri dari tekstur (apakah terlihat baik atau berlendir), bau (tercium aroma tahu atau berbau asam), warna (terlihat berwarna putih alami tahu atau tidak).

3.9. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil perlakuan disajikan dalam bentuk tabel kemudian dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui gambaran tentang penggunaan chitosan dari cangkang udang (Litopenaeus vannamei) untuk memperlama waktu simpan pada tahu dengan tingkat konsentrasi larutan chitosan 0% (sebagai kontrol), 0,5%, 1%, 1,5%, dan 2%.


(55)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan Chitosan

Hasil penelitian yang telah dilakukan tentang penggunaan chitosan dari cangkang udang (Litopenaeus vannamei) untuk memperlama waktu simpan pada tahu dengan 5 perlakuan perendaman tahu dalam larutan chitosan dengan konsentrasi (0% sebagai kontrol, 0,5%, 1%, 1,5%, dan 2%) dan 4 kali pengulangan dapat dilihat pada tabel berikut .

Tabel 4.1. Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan Chitosan 0% Pada Hari I

Lama Waktu Simpan (Jam)

Ciri Fisik Tahu Keterangan 0 - Tekstur baik

- Berbau tahu - Berwarna putih

Larutan jernih

4 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna putih

Larutan jernih

8 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna putih

Larutan jernih

12 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna putih

Larutan jernih

16 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna putih

Larutan jernih

20 - Tekstur mulai berlendir - Mulai berbau asam - Berwarna putih

Larutan mulai keruh, terdapat lapisan di permukaan larutan 24 - Tekstur berlendir

- Berbau asam

- Warna mulai menguning


(56)

Pada tabel 4.1. tersebut terlihat bahwa tahu dalam perendaman larutan chitosan 0% sudah mulai menunjukkan tanda-tanda tahu yang rusak setelah direndam selama 20 jam. Larutannya mulai keruh dan mulai membentuk lapisan di permukaan larutan. Dari pengamatan terlihat bahwa larutan chitosan 0% yang sudah mulai keruh dapat dengan cepat mempengaruhi tekstur, bau dan warna tahu menjadi rusak.

Tabel 4.2. Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan Chitosan 0,5% Pada Hari I

Lama Waktu Simpan (Jam)

Ciri Fisik Tahu Keterangan

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 0 - Tekstur baik

- Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

4 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

8 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

12 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

16 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

20 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

24 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih


(57)

Pada tabel 4.2. tersebut terlihat bahwa tahu dalam perendaman larutan chitosan 0,5% dengan empat kali pengulangan, pada hari pertama selama 24 jam perendaman masih menunjukkan ciri fisik tahu yang baik yaitu teksturnya baik, berbau tahu, dan berwarna putih. Selain itu larutan chitosan 0,5% juga terlihat jernih. Tabel 4.3. Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan Chitosan 1%

Pada Hari I Lama Waktu

Simpan (Jam)

Ciri Fisik Tahu Keterangan

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 0 - Tekstur baik

- Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

4 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

8 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

12 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

16 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

20 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

24 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih


(58)

Pada tabel 4.3. tersebut terlihat bahwa tahu dalam perendaman larutan chitosan 1% dengan empat kali pengulangan, pada hari pertama selama 24 jam perendaman masih menunjukkan ciri fisik tahu yang baik yaitu teksturnya baik, berbau tahu, dan berwarna putih. Selain itu larutan chitosan 1% juga terlihat jernih. Tabel 4.4. Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan Chitosan 1,5%

Pada Hari I Lama Waktu

Simpan (Jam)

Ciri Fisik Tahu Keterangan

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 0 - Tekstur baik

- Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

4 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

8 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

12 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

16 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

20 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

24 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih


(59)

Pada tabel 4.4. tersebut terlihat bahwa tahu dalam perendaman larutan chitosan 1,5% dengan empat kali pengulangan, pada hari pertama selama 24 jam perendaman masih menunjukkan ciri fisik tahu yang baik yaitu teksturnya baik, berbau tahu, dan berwarna putih. Selain itu larutan chitosan 1,5% juga terlihat jernih. Tabel 4.5. Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan Chitosan 2%

Pada Hari I Lama Waktu

Simpan (Jam)

Ciri Fisik Tahu Keterangan

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 0 - Tekstur baik

- Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

4 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

8 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

12 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

16 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

20 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

24 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih


(60)

Pada tabel 4.5. tersebut terlihat bahwa tahu dalam perendaman larutan chitosan 2% dengan empat kali pengulangan, pada hari pertama selama 24 jam perendaman masih menunjukkan ciri fisik tahu yang baik yaitu teksturnya baik, berbau tahu, dan berwarna putih. Selain itu larutan chitosan 2% juga terlihat jernih. Tabel 4.6. Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan Chitosan 0%

Pada Hari II Lama Waktu

Simpan (Jam)

Ciri Fisik Tahu Keterangan 0 - Tekstur berlendir

- Berbau asam

- Warna mulai menguning

Larutan keruh

4 - Tekstur berlendir - Berbau asam - Warna kuning

Larutan keruh

8 - Tekstur berlendir - Berbau asam

- Warna kuning kecoklatan

Larutan sangat keruh

12 - Tekstur berlendir - Berbau busuk - Warna kecoklatan

Larutan sangat keruh

16 - Tekstur berlendir - Berbau busuk - Warna kecoklatan

Larutan sangat keruh

20 - Tekstur berlendir - Berbau busuk - Warna kecoklatan

Larutan sangat keruh

24 - Tekstur berlendir - Berbau busuk - Warna kecoklatan

Larutan sangat keruh

Pada tabel 4.6. di atas terlihat bahwa tahu dalam perendaman larutan chitosan 0% pada hari kedua menunjukkan ciri fisik tahu yang sudah sangat rusak (busuk) yaitu teksturnya berlendir, berbau busuk dan berwarna coklat (busuk). Larutannya juga terlihat sudah sangat keruh.


(61)

Tabel 4.7. Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan Chitosan 0,5% Pada Hari II

Lama Waktu Simpan (Jam)

Ciri Fisik Tahu Keterangan

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 0 - Tekstur baik

- Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

4 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

8 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

12 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

16 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

20 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

24 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

Pada tabel 4.7. di atas terlihat bahwa tahu dalam perendaman larutan chitosan 0,5% dengan empat kali pengulangan, hingga hari kedua total selama 48 jam perendaman masih menunjukkan ciri fisik tahu yang baik yaitu teksturnya baik, berbau tahu, dan berwarna putih. Selain itu larutan chitosan 0,5% juga masih terlihat jernih.


(62)

Tabel 4.8. Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan Chitosan 1% Pada Hari II

Lama Waktu Simpan (Jam)

Ciri Fisik Tahu Keterangan

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 0 - Tekstur baik

- Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

4 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

8 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

12 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

16 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Larutan jernih

20 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna putih Mulai ada lapisan di permukaan larutan 24 - Tekstur baik

- Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna

putih

Ada lapisan di permukaan larutan

Pada tabel 4.8. di atas terlihat bahwa tahu dalam perendaman larutan chitosan 1% dengan empat kali pengulangan, hingga hari kedua total selama 48 jam perendaman masih menunjukkan ciri fisik tahu yang baik yaitu teksturnya baik, berbau tahu, dan berwarna putih. Pada total selama 44 jam larutan chitosan 1%


(1)

4 - Tekstur berlendir - Berbau asam - Berwarna kuning

- Tekstur berlendir - Berbau asam - Berwarna kuning

- Tekstur berlendir - Berbau asam - Berwarna kuning

- Tekstur berlendir - Berbau asam - Berwarna kuning

Larutan perendam t

1,5% 1 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna putih

- Tekstur baik - Berbau tahu

Berwarna putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna putih

Larutan perendam

2 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna putih

- Tekstur baik - Berbau tahu

Berwarna putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna putih

Permukaan larutan tahu sudah mulai ada seperti lapisan (set jam).

3 - Tekstur berlendir - Berbau asam - Berwarna putih

- Tekstur baik - Berbau asam - Berwarna putih

- Tekstur baik - Berbau asam

Berwarna putih

- Tekstur baik - Berbau asam - Berwarna putih

Larutan perendam (tekstur, bau dan w pada ulangan pertam demikian setelah 6 4 - Tekstur berlendir

- Berbau asam - Berwarna kuning

- Tekstur berlendir - Berbau asam - Berwarna kuning

- Tekstur berlendir - Berbau asam - Berwarna kuning

- Tekstur berlendir - Berbau asam - Berwarna kuning

Larutan perendam t

2% 1 - Tekstur baik

- Berbau tahu - Berwarna putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna putih

- Tekstur baik - Berbau tahu

Berwarna putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna putih

Larutan perendam

2 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna putih

- Tekstur baik - Berbau tahu

Berwarna putih

- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna putih

Permukaan larutan tahu sudah mulai ada seperti lapisan (set jam).

3 - Tekstur baik - Berbau asam - Berwarna putih

- Tekstur baik - Berbau asam - Berwarna putih

- Tekstur baik - Berbau asam

Berwarna putih

- Tekstur berlendir - Berbau asam - Berwarna putih

Larutan perendam (tekstur, bau dan w pada ulangan keem demikian setelah 6 4 - Tekstur berlendir

- Berbau asam - Berwarna kuning

- Tekstur berlendir - Berbau asam - Berwarna kuning

- Tekstur berlendir - Berbau asam - Berwarna kuning

- Tekstur berlendir - Berbau asam - Berwarna kuning

Larutan perendam t keruh.


(2)

Lampiran 2. Dokumentasi

Gambar 1. Udang Putih (Litopenaeus vannamei)


(3)

Gambar 3. Serbuk Udang


(4)

Gambar 5. Demineralisasi


(5)

Gambar 7. Oven


(6)

Gambar 9. Tahu Putih

Gambar 10. Perendaman Tahu Dalam Larutan Chitosan (A) 0%; (B) 0,5%; (C) 1%; (D) 1,5%; (E) 2% Hingga Hari Ke-3 atau Selama 64 Jam