Cara pembuatan chitin dan chitosan dari cangkang udang sebagai bahan pengawet alami pada makanan dapat dilihat melalui tahapan deproteinasi,
demineralisasi dan deasetilasi pada skema di bawah ini Pratiwi, dkk., 2008.
a. Deproteinasi
Cangkang udang
Cuci air dingin
Cuci air panas
Dikeringkan
Diblender sampai halus
Deproteinasi Direndam dalam larutan NaOH 1M
perbandingan 1:5 gr serbukml NaOH
diaduk 1 jam
Dipanaskan 90 C selama 1 jam
Didinginkan
Dicuci dengan air sampai pH netral
dikeringkan
Universitas Sumatera Utara
b. Demineralisasi
Cangkang udang berupa serbuk hasil deproteinasi
Demineralisasi Direndam dalam larutan HCl 1M
perbandingan 1:10 gr serbukml HCl
diaduk 1 jam
Dipanaskan 90 C selama 1 jam
Didinginkan dan disaring
Dicuci dengan air sampai pH netral
dikeringkan
Chitin
Universitas Sumatera Utara
c. Deasetilasi
2.5.4. Kegunaan Chitin dan Chitosan
Saat ini aplikasi chitin dan chitosan sangat banyak dan meluas. Chitin dan chitosan dapat dimanfaatkan di berbagai bidang biokimia, obat-obatan atau
farmakologi, pangan dan gizi, pertanian, mikrobiologi, penanganan air limbah, industri-industri kertas, tekstil membran atau film, kosmetik dan lain sebagainya
Wardaniati, 2009. Di bidang industri, chitin dan chitosan berperan antara lain sebagai koagulan
polielektrolit pengolahan limbah cair, pengikat dan penjerap ion logam, Deasetilasi
Direndam dalam larutan NaOH 1M perbandingan 1:20
gr serbukml NaOH diaduk 1 jam
Dipanaskan 140 C selama 90 menit
Didinginkan dan disaring
dikeringkan
Chitosan chitin
Dicuci dengan air sampai pH netral
Universitas Sumatera Utara
mikroorganisme, mikroalga, pewarna, residu pestisida, lemak tanin, PCB poliklorinasi bifenil, mineral dan asam organik, media kromatografi afinitas, gel
dan pertukaran ion, penyalut berbagai serat alami dan sintetik, pembentukan film dan membran mudah terurai, meningkatkan kualitas kertas, pulp, dan produk tekstil
Sugita, 2009. Sementara di bidang pertanian dan pangan, chitin dan chitosan digunakan
antara lain untuk pencampur ransum pakan ternak, antimikroba, antijamur, serat bahan pangan, penstabil, pembentuk gel, pembentuk tekstur, pengental dan
pengemulsi produk olahan pangan, pembawa zat aditif makanan, flavor, zat gizi, pestisida, herbisida, virusida tanaman, dan deasidifikasi buah-buahan, sayuran dan
penjernih sari buah Sugita, 2009. Di dalam pangan chitosan dapat dijadikan sebagai bahan antimikroba untuk
memperpanjang waktu penyimpanan makanan karena chitosan mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat pertumbuhan
mikroba Wardaniati, 2009. Fungsinya sebagai antimikroba dan antijamur juga diterapkan dibidang
kedokteran. Chitin dan chitosan dapat mencegah pertumbuhan Candida albicans dan Staphvcoccus aureus. Selain itu, biopolimer tersebut juga berguna sebagai
antikoagulan, antitumor, antivirus, pembuluh darah-kulit dan ginjal sintetik, bahan pembuat lensa kontak, aditif kosmetik, membran dialisis, bahan shampoo dan
kondisioner rambut, zat hemostatik, penstabil liposom, bahan ortopedik, pembalut luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinggi daya kekebalan,
antiinfeksi Sugita, 2009.
Universitas Sumatera Utara
2.6. Pengawetan Pada Tahu 2.6.1. Asal Usul Tahu
Tahu merupakan bahan makanan sumber protein nabati yang sangat populer setelah tempe Widyaningsih, 2006. Tahu mengandung 7-8 gram zat protein dan 124
mg zat kalsium per 100 gram tahu. Tahu berasal dari negara Cina, yang disebut taufu. Tahu dibuat dari kacang kedelai kuning atau dari kacang hijau Tarwotjo, 1998.
Kacang kedelai dikenal sebagai makanan terbaik kadar proteinnya, dapat mencapai 35 daripada beratnya Liwijaya, 2001. Tahu merupakan bahan makanan yang
sudah sejak lama dikenal masyarakat. Namun, dengan meningkatnya kasus formalin pada makanan, ternyata formalin juga ditemukan pada tahu yang beredar di pasaran
Widyaningsih, 2006. Menurut Widyaningsih 2006, tahu adalah bahan pangan yang tinggi protein
dengan kadar air yang tinggi 85 karena itu tahu tidak tahan lama. Satu hari setelah diproduksi tahu akan mulai rusak yang ditandai dengan berbau asam dan berlendir.
Dengan merendam tahu pada air yang diberi formalin tahu akan awet sampai 7 hari. Jadi penggunaan formalin dapat dilakukan pada proses penggumpalan dan
perendaman setelah jadi tahu. Mungkin pada proses penggumpalan di pabrik tahu tidak menggunakan formalin seperti yang dibantah oleh produsen tahu. Namun,
pedagang juga tidak mau berisiko dagangannya rusak sebelum laku terjual. Oleh karena itu tahu direndam pada air yang dicampuri formalin agar tahu tetap awet tidak
rusak. Perendaman tahu dengan formalin jelas tidak dapat diterima, walaupun untuk alasan mencegah kerusakan tahu.
Universitas Sumatera Utara
2.6.2. Macam-Macam Tahu
Menurut Tarwotjo 1998, macam-macam tahu sebagi berikut. 1.
Tahu putih, tebal dan halus sehingga disebut tahu sutera silk dan cocok untuk dimasak sup tahu.
2. Tahu putih, tebal dan agak keras, tidak selembut jenis tahu silk sehingga cocok
untuk masakan, seperti tahu isi dan perkedel tahu. 3.
Tahu yang sangat padat, tipis, dan diberi warna kuning disebut tahu cina. Banyak digunakan dalam masakan Cina.
4. Tahu pong, bila digoreng sampai kering, bagian dalamnya kosong, rasanya gurih
dan ringan. 5.
Tahu jepang, halus sekali dan lunak silk, dibuat dari kacang hijau.
2.6.3. Proses Pembuatan Tahu
Dasar pembuatan tahu adalah melarutkan protein yang terkandung dalam kedelai menggunakan air sebagai pelarutnya. Setelah protein tersebut larut,
diusahakan untuk diendapkan kembali dengan penambahan bahan pengendap sampai terbentuk gumpalan-gumpalan protein yang akan menjadi tahu Anonimous, 2000.
Kadang-kadang ada tahu yang terasa agak asam atau pahit. Hal ini disebabkan pemberian batu tahu atau cuka yang kurang baik perbandingannya Tarwotjo, 1998.
Universitas Sumatera Utara
Secara garis besar, pembuatan tahu adalah sebagai berikut. 1
Pilih kedelai yang bersih, kemudian dicuci. 2
Rendam dalam air bersih selama 8 jam paling sedikit 3 liter air untuk 1 kg kedelai. Kedelai akan mengembang jika direndam.
3 Cuci berkali-kali kedelai yang telah direndam. Apabila kurang bersih maka tahu
yang dihasilkan akan cepat menjadi asam. 4
Tumbuk kedelai dan tambahkan air hangat sedikit demi sedikit hingga berbentuk bubur.
5 Masak bubur tersebut, jangan sampai mengental pada suhu 70
-80 C ditandai
dengan adanya gelembung-gelembung kecil. 6
Saring bubur kedelai dan endapkan airnya dengan menggunakan batu tahu Kalsium Sulfat = CaSO
4
sebanyak 1 gram atau 3 ml asam cuka untuk 1 liter sari kedelai, sedikit demi sedikit sambil diaduk perlahan-lahan.
7 Cetak dan pres endapan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Diagram Alir Pembuatan Tahu
Sumber: Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Anonimous, 2000.
Dicuci
Direndam 8 jam
Dicuci
Ditiriskan
Ditumbuk
Dimasak sampai mengental
Disaring
Diendapkan dengan batu tahu atau asam cuka
Dicetak
Tahu Air untuk rendaman
3:1
Air hangat
Ampas tahu Kedelai
Universitas Sumatera Utara
2.6.4. Ciri-Ciri Tahu yang Baik
Tahu yang baik adalah tahu yang berkualitas baik, bergizi dan tahan terhadap penyimpanan. Tahu yang baik tidak cepat mengalami kerusakan yang dapat
menurunkan nilai gizi yang rendah bahkan sampai tahu tidak memenuhi syarat sebagai makanan. Misalnya tahu cepat menjadi basi, tahu cepat menjadi bau yang
tidak disenangi, tahu cepat ditumbuhi jamur yang menghasilkan toksinracun yang dapat mengganggu kesehatan tubuh bagi yang memakan tahu tersebut. Faktor-faktor
yang menentukan mutu tahu adalah, kualitas kedelai yang digunakan, proses pembuatan tahu, dan pemakaian bahan-bahan pembantu lainnya Anonimous, 1981.
Ciri-ciri tahu yang baik adalah: 1.
Berbau khas tahu dan tidak berbau asam. 2.
Teksturnya padat dan tidak lunak sehingga bila diolah tidak mudah hancur. 3.
Pori-porinya halus yang menandakan bahwa kualitas tahu bagus. 4.
Tidak berlendir Anonimous, 2010.
2.6.5. Ciri-Ciri Tahu yang Rusak
Umumnya tahu bersifat mudah rusak busuk. Disimpan pada kondisi biasa suhu ruang daya tahannya rata-rata 1 – 2 hari saja. Setelah lebih dari batas tersebut
rasanya menjadi asam lalu berangsur-angsur busuk, sehingga tidak layak dikonsumsi lagi. Akibatnya banyak usaha yang dilakukan produsen tahu untuk mengawetkannya,
termasuk menggunakan bahan pengawet yang dilarang, misalnya formalin. Ciri-ciri tahu yang mengandung formalin:
1. Tahu tidak rusak sampai 3 hari pada suhu kamar 25 derajat Celsius dan bertahan
lebih dari 15 hari pada suhu lemari es 10 derajat Celsius.
Universitas Sumatera Utara
2. Tahu terlampau keras, namun tidak padat, permukaan menjadi lebih kering.
3. Bau khas agak menyengat, bau formalin.
Dengan meningkatnya penggunaan formalin sebagai pengawet tahu, maka dirasakan perlu untuk mencari alternatif lain yang aman untuk mengawetkan tahu
Kusuma, 2010.
2.6.6. Pengawetan Tahu dengan Bahan Alami
Pengawetan merupakan cara untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme. Makanan yang dimasak akan membunuh organisme
tetapi tidak dijamin menjadi awet Mukono, 2000. Makanan yang mengandung formalin umumnya awet dan dapat bertahan lebih lama, tetapi dapat membahayakan
dan merugikan kesehatan masyarakat. Sejak meningkatnya penggunaan formalin
pada bahan makanan sebagai pengawet maka banyak pihak yang mencari alternatif pengganti formalin. Pengawetan tahu tanpa formalin dapat dilakukan dengan cara:
1. Tahu direndam dalam air yang diberi garam dapur 3 atau cuka 0,1 atau
campuran keduanya. Tahu akan awet sampai 3-4 hari. 2.
Tahu dikukus atau direbus dan direndam dengan air perebusannya juga dapat memperpanjang daya awetnya.
Tabel 2.1 Hasil Pengawetan Tahu Tanpa Formalin Perlakuan
Perendaman 1 hari
2 hari 3 hari
Tahu pada suhu kamar tanpa perendaman
Mulai berbau Rusak
Rusak Perendaman dengan air
tidak diganti Normal, air keruh
Berbau Rusak
Perendaman dengan air dan air perendam diganti-ganti
Normal Normal
Rusak
Universitas Sumatera Utara
Perendaman air dan garam 3
Normal, air keruh Normal
Mulai berbau Perendaman air garam 3
dan cuka 0,1 Normal
Normal Normal
Pengukusan 20 menit dan direndam air panas
Normal Normal
Mulai berbau Perebusan 20 menit dan
direndam air rebusan Normal
Normal Mulai berbau
Sumber: Widyaningsih, 2006 Salah satu pengawetan tahu tanpa formalin, tetapi dengan bahan alami juga
dapat dilakukan dengan cara perendaman tahu pada larutan chitosan. Aplikasi chitosan juga sudah dilakukan peneliti dari Departemen Teknologi Hasil Perairan
THP Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor FPIK-IPB yang telah berhasil memanfaatkan limbah dari udang dan rajungan sebagai bahan
pengawet makanan. Keunggulan penggunaan chitosan sebagai bahan pengawet ikan berdasarkan indikator parameter daya awet hasil pengujian antara lain : 1 Pada
keefektifan dalam mengurangi jumlah lalat yang hinggap, di mana pada konsentrasi chitosan 1,5 persen, dapat mengurangi jumlah lalat secara signifikan, 2 Pada
keunggulan dalam uji mutu hedonik penampakan dan rasa, di mana hasil riset menunjukkan penampakan ikan asin dengan coating atau pelapisan chitosan lebih
baik bila dibandingkan dengan ikan asin tanpa formalin dan ikan asin dengan formalin. Coating chitosan pada ikan cucut asin memberikan rasa yang lebih baik
dibanding dengan tanpa formalin dan pelakuan formalin pada penyimpanan minggu ke delapan, 3 Pada keefektifan dalam menghambat pertumbuhan bakteri, di mana
nilai TPC bakteri sampai pada minggu kedelapan perlakuan, pelapisan chitosan masih sesuai dengan SNI Standar Nasional Indonesia ikan asin Anonimous, 2006.
Universitas Sumatera Utara
Swastawati, dkk. 2008 telah mengawetkan ikan pindang layang dengan larutan chitosan 0,25 sehingga masih dapat dikonsumsi sampai hari kedua.
Demikian juga Wardaniati dan Setyaningsih 2009 menggunakan larutan chitosan untuk mengawetkan bakso dengan konsentrasi 1,5 sehingga dapat disimpan sampai
hari ketiga. Chitosan dapat digunakan sebagai pengawet karena sifat-sifat yang
dimilikinya yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi yang minimal
antara produk dan lingkungannya. Mekanisme kerja chitosan lewat dua cara. Pertama, chitosan bisa membunuh bakteri, dengan cara mengikat organisme patogen dengan
polikation bermuatan positif. Organisme pun tidak bisa tumbuh atau bergerak. Kedua, chitosan akan melapisi kulit luar produk yang diawetkan, sehingga rasa dari dalam
tidak bisa keluar dan kontaminan dari luar tidak bisa masuk Swastawati, dkk., 2008.
2.7. Chitosan Tidak Berbahaya Untuk Dikonsumsi Chitosan adalah serbuk yang dihasilkan dari deasetilasi chitin, senyawa yang
banyak diperoleh di kerangka luar eksoskeleton hewan Crustacea seperti udang, kerang, dan kepiting Rhamnosa, 2006. Serbuk yang telah dilepaskan asetilnya
merupakan zat murni, tinggi sifat basanya, serta mengandung banyak molekul glukosa. Dalam chitosan terdapat unsur butylosar yang bermanfaat bagi tubuh
manusia. Butylosar yang telah didapatkan itu hanya larut dalam asam encer dan cairan tubuh manusia. Dengan demikian, butylosar dapat diserap oleh tubuh. Zat itu
merupakan satu-satunya selulosa yang dapat dimakan. Zat ini mempunyai muatan
Universitas Sumatera Utara
positif yang kuat, dan dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Selain itu, zat ini mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun Nasir, 2008.
Selain telah memenuhi standard secara mikrobiologi ditinjau dari segi kimiawi juga aman karena dalam prosesnya chitosan cukup dilarutkan dengan asam
asetat encer 1 hingga membentuk larutan chitosan homogen yang relatif lebih aman Wardaniati, 2009.
Masalah utama yang dihadapi dalam memproduksi chitin dan chitosan di Indonesia adalah kualitas produk masih rendah, kontinuitas suplainya belum pasti dan
belum bisa diakses oleh semua kalangan. Selain itu banyak masyarakat yang belum
mengetahui fungsi dari chitin-chitosan Swastawati, dkk., 2008.
Jurnal Jonathan Rhodes dan Bob Rastall menyebutkan tentang paten produk di Rusia yang menggunakan chitosan sebagai pengawet untuk kaviar, yang dinyatakan
efektif dengan kombinasi masing-masing 0,1 chitosan dan asam sorbat Rhamnosa, 2006. Di Indonesia produksi chitosan dalam skala relatif besar mulai diujicobakan
CV Dinar yang berlokasi di sebuah kawasan nelayan di Jl.Raya Dadap, Tangerang Banten Anonimous, 2006.
2.8. Kerangka Konsep
Tahu putih Chitosan dari
cangkang udang
Larutan chitosan 0 , 0,5, 1,
1,5, 2 Waktu simpan,
dilihat ciri fisik: tekstur, bau, warna
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah survai yang bersifat deskriptif untuk menggambarkan penggunaan chitosan dari cangkang udang Litopenaeus vannamei
untuk memperlama waktu simpan pada tahu. Percobaan dilakukan dengan 5 konsentrasi yang berbeda yaitu larutan chitosan 0 sebagai kontrol, 0,5, 1,
1,5, 2 dan dilakukan 4 kali pengulangan.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Lokasi pengambilan sampel dan observasi tahu dilakukan di Pabrik Tahu yang berada di Jl. Flamboyan Raya II Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Medan
Tuntungan Provinsi Sumatera Utara. Sampel penelitian diambil di pabrik tahu didasarkan pada suatu pertimbangan bahwa:
1. Tahu di tempat tersebut tidak menggunakan formalin sebagai pengawet.
2. Pabrik tahu tersebut merupakan industri rumah tangga yang memproduksi
tahu secara kecil-kecilan yang di distribusikan ke pedagang-pedagang pasar tradisional di kota Medan dan banyak dibeli atau dikonsumsi oleh masyarakat.
Sementara lokasi penelitian akan dilakukan di Laboratorium Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan pertimbangan
bahwa di tempat ini terdapat bahan dan alat yang dibutuhkan oleh peneliti.
Universitas Sumatera Utara
3.2.2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian akan dilakukan pada bulan Mei-Juni 2010.
3.3 Objek Penelitian
Objek penelitian adalah tahu yang dibeli langsung dari pabrik tahu .
Dari tempat tersebut diambil sejumlah tahu sebagai bahan yang langsung diawetkan di
laboratorium dengan kriteria dipilih tahu yang fisiknya berkualitas baik dan masih baru.
Sampel tahu yang dibutuhkan untuk setiap perlakuan dalam penelitian adalah sepotong tahu segar ±150 gram. Kemudian sampel tahu diawetkan melalui
perendaman dengan 500 ml larutan chitosan dengan konsentrasi masing-masing 0 sebagai kontrol, 0,5, 1, 1,5, dan 2. Kemudian diamati perubahan yang
terjadi pada tahu baik tekstur, bau dan warnanya serta dihitung waktu simpan tahu dalam rendaman larutan chitosan. Dari masing-masing perlakuan, dilihat tahu dalam
perendaman dengan konsentrasi berapa yang lebih lama waktu simpannya tanpa ada perubahan tekstur, bau dan warna.
3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer