Penggunaan Ekstrak Gracilaria verrucosa untuk Meningkatkan Sistem Ketahanan Udang Vaname Litopenaeus vannamei

(1)

PENGGUNAAN EKSTRAK Gracilaria verrucosa UNTUK

MENINGKATKAN SISTEM KETAHANAN

UDANG VANAME Litopenaeus vannamei

YUDIANA JASMANINDAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Penggunaan Ekstrak Gracilaria verrucosa untuk Meningkatkan Sistem Ketahanan Udang Vaname Litopenaeus vannamei adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Pebruari 2009

Yudiana Jasmanindar NIM C151060031


(3)

ABSTRACT

YUDIANA JASMANINDAR. Used of Gracilaria verrucosa extract to increase white shrimp Litopenaeus vannamei defenses system. Under direction of SUKENDA and MUNTI YUHANA

We studied the immunostimulation effect of seaweeds extract, Gracilaria verrucosa on white shrimp, Litopenaeus vannamei. The extract concentrations used were 10, 20, and 50 µg/each g of shrimp body weight and applied by intramuscularly injection. The effect of different extract concentrations and frequency of application on survival rate and growth was observed. The important parameters of immune system such as total haemocyte count (THC), differential haemocyte count (DHC), phagocytic index, phenoloxidase activity and clearance efficiency, were also included in the observation. Extract injection resulted a remarkably different on the survival rate of the shrimp, i.e ranging from 70.0±0.0% and 73.3±3.3% comparing to control and physiological saline treatments, i.e 46.67±3.3% and 50±5.8%, respectively. THC and DHC parameters were significantly different among the groups injected with physiological saline and those injected with G. verrucosa extract at 10, 20, 50 µg/g shrimp body weight. Injection treatment of 50 µg extract/g shrimp body weight resulted the best in immune parameters. On day 2nd and 4th L. vannamei injected with G. verrucosa extract at 50 µg/g shrimp body weight showed higher values on its phagocytic index i.e 44.3±3.5% and 43.5±5.0%, respectively, whereas phenoloxidase activities were 0.34±0.12 units and 0.42±0.07 units, respectively, and clearance efficiency values were 68.6±2.7% and 74.0±3.3%, respectively. The application of 2, 4, and 6 times injection G. verrucosa extract as immunostimulant were statistically (p<0.05) different comparing to a single application (within 30 days observation). No significant (p>0.05)differences in growth were observed among the groups that were injected with seaweed at different periods of application. Keywords: G. verrucosa extract, defenses system, shrimp


(4)

RINGKASAN

YUDIANA JASMANINDAR. Penggunaan Ekstrak Gracilaria verrucosa untuk Meningkatkan Sistem Ketahanan Udang Vaname Litopenaeus vannamei. Dibimbing oleh SUKENDA dan MUNTI YUHANA.

Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan menggunakan antibiotik dan bahan kimia. Namun penggunaan antibiotik dan bahan kimia dapat menyebabkan berkembangnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik, berdampak negatif pada lingkungan akuatik dan residunya dapat membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Pendekatan untuk mengatasi penyakit pada budidaya udang menggunakan imunostimulan yang dapat menstimulasi sistem non spesifik. Beberapa imunostimulan dari alga dapat meningkatkan sistem imun organisme salah satunya adalah Gracilaria verrucosa (alga merah). Pemberian imunostimulan harus memperhatikan dosis optimal yang digunakan. Disamping itu juga durasi periode pemberian imunostimulan untuk mencapai proteksi yang optimal juga merupakan hal yang penting dalam pemberian imunostimulan. Penelitian bertujuan untuk menguji pengaruh penggunaan ekstrak G. verrucosa dalam meningkatkan respon imun pada udang vanamei (L. vannamei) dan menguji pengaruhnya terhadap daya tahan dari serangan V. harveyi. Serta mengetahui frekuensi pemberian yang efektif untuk daya tahan terhadap serangan V. harveyi.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental di Laboratorium. Penelitian dilakukan di Laboratorium kesehatan ikan, Departemen Budidaya Perairan, FPIK IPB selama 5 bulan. Bahan yang akan digunakan sebagai imunostimulan adalah ekstrak rumput laut G. verrucosa. Bakteri untuk uji tantang merupakan V. harveyi strain patogenik (MR 3559Rf). Hewan uji yang digunakan adalah Litopenaeus vannamei hasil budidaya di Lampung (berat 9,1±0,1 g). Selama perlakuan, pakan yang diberikan berupa pakan buatan dengan feeding rate 3% dari bobot biomassa. Wadah penelitian berupa akuarium kaca dengan kapasitas air 60 liter yang bersalinitas 28-30 ppt.

Perlakuan ekstrak pada udang dengan metode injeksi (penyuntikan), menggunakan 6 (enam) perlakuan dan 3 ulangan untuk eksperimen 1; lima (5) perlakuan dan 4 ulangan untuk eksperimen 2; serta 5 (lima) perlakuan dan 3 ulangan untuk eksperimen 3. Rancangan berupa rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan eksperimen pertama yaitu: dosis ekstrak 10, 20 dan 50 µg/g bobot udang; kontrol (tanpa pemberian ekstrak) yang diuji tantang (K+), kontrol tanpa uji tantang (K-); dan physiological saline (PS). Eksperimen kedua terdiri dari perlakuan: PS, dosis ekstrak 10; 20; dan 50 µg/g bobot udang serta kontrol. Sedangkan perlakuan eksperimen ketiga yaitu: yaitu pemberian 0 kali (kontrol), pemberian 1 kali (hanya pada awal pemeliharaan), 2 kali (interval 14 hari), 4 kali (interval 7 hari), 6 kali (interval 4 hari) selama 30 hari pemeliharaan. Dosis ekstrak 50 µg/g bobot udang.

Waktu evaluasi eksperimen 1 dan 2 selama 6 hari, sedangkan eksperimen 3 selama 30 hari. Evaluasi kelangsungan hidup eksperimen 1 dilakukan setiap hari, evaluasi total hemosit (THC), diferensial hemosit (DHC), aktifitas fagositosis, aktifitas phenoloxidase (PO), dan clearance efficiency dilakukan pada hari ke- 0, 1, 2, 4 dan 6 setelah pemberian ekstrak. Evaluasi kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang selama masa pemeliharaan (eksperimen 3) dilakukan diakhir penelitian.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perbedaan kelangsungan hidup udang vaname yang diberi ekstrak Gracilaria pada dosis 20 dan 50 µg/g bobot udang, memberikan hasil (70±0,0% dan 73,3±3,3%) lebih tinggi (p<0,05) bila dibandingkan dengan perlakuan perlakuan lainnya pada hari keenam pengamatan. Pemberian ekstrak G. verrucosa pada udang mampu meningkatkan sistem ketahanan udang vaname, yang antara lain dapat diamati dari parameter kelangsungan hidupnya setelah dilakukan uji tantang terhadap V. harveyi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak G. verrucosa dapat meningkatkan kelangsungan hidup udang vaname hingga 73,3±3,3% pada dosis yang diberikan 50 µg/g bobot udang.

Total haemocyte count (THC) meningkat maka akan meningkatkan kemampuan untuk memfagositosis karena diproduksi banyak sel hemosit untuk melakukan fungsi tersebut, misalnya sel hialin dan sel semi granular. Peningkatan THC juga menjadikan daya peningkatan sel granular untuk melakukan aktifitas phenoloxidase sehingga udang dapat bertahan terhadap serangan bakteri. Peningkatan indeks fagositik mengindikasikan bahwa ekstrak G. verrucosa mampu


(5)

meningkatkan aktifitas fagositik sel-sel fagosit. Sel yang berperan besar dalam proses fagositik ini adalah sel hialin. Pemberian ekstrak meningkatkan daya tahan terhadap penyakit infeksi, bukan karena meningkatnya respon imun spesifik tapi oleh meningkatnya mekanisme pertahanan non spesifik atau dengan kata lain ekstrak G. verrucosa dapat menstimulasi sistem ketahanan udang vaname.

Phenoloxidase merupakan enzim yang berperan dalam proses melanisasi. Enzim ini dihasilkan melalui sistem proPO yang dapat diaktifkan oleh adanya imunostimulan. Peningkatan aktifitas phenoloxidase dari hasil pengamatan mengindikasikan bahwa ekstrak G, verrucosa mampu menstimulasi aktifitas proPO pada hemosit udang hingga terbentuknya aktifitas phenoloxidase. Meningkatnya aktifitas phenoloxidase akan meningkatkan kemampuan udang untuk lebih mengenal partikel asing yang masuk misalnya bakteri patogen kemudian dilakukannya fagositosis. Meningkatnya fagositosis akan meningkatkan daya tahan udang, sehingga menghambat atau mengurangi pertumbuhan sel bakteri patogen dalam tubuhnya. Hemolim krustasea mampu untuk menghambat pertumbuhan bakteri karena adanya protein antibakteri. Aktifitas antibakteri ini terdapat dalam sel granular dan semi granular. Pemberian ekstrak yang dilakukan dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa ekstrak G. verrucosa dapat menstimulasi aktifitas antibakteri pada hemolim udang vaname.

Kelangsungan hidup udang vaname pada 1 kali lebih rendah dari perlakuan lain, namun lebih tinggi (p<0,05) dari kelangsungan hidup udang vaname yang tanpa pemberian ekstrak. Pemberian berulang diharapkan dapat memberikan respon lebih atau lebih efisien dalam menstimulasi sistem ketahanan pada udang vaname, sehingga diperoleh perlindungan yang optimal. Pemberian imunostimulan yang terlalu sering bisa saja memberikan dampak pada penambahan bobot mutlak udang vaname. Penambahan bobot mutlak yang tinggi secara nyata dari pada udang kontrol (tanpa pemberian ekstrak) juga dikarenakan kelangsungan hidupnya yang rendah bila dibandingkan dengan kelangsungan hidup udang yang diinjeksi ekstrak dengan frekuensi 2, 4 dan 6 kali. Sehingga tidak terjadi persaingan dalam hal ruangan untuk penambahan bobot mutlak udang vaname.


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

PENGGUNAAN EKSTRAK Gracilaria verrucosa UNTUK

MENINGKATKAN SISTEM KETAHANAN

UDANG VANAME Litopenaeus vannamei

YUDIANA JASMANINDAR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

Judul Tesis : Penggunaan Ekstrak Gracilaria verrucosa untuk Meningkatkan Sistem Ketahanan Udang Vaname Litopenaeus vannamei

Nama : Yudiana Jasmanindar

NIM : C151060031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sukenda, M.Sc Dr. Munti Yuhana, S.Pi., M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(9)

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasilkan diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2008 ini ialah peningkatan sistim imun pada udang, dengan judul ”Penggunaan ekstrak Gracilaria verrucosa untuk meningkatkan sistem ketahanan udang vaname

Litopenaeus vannamei”. Dari hasil penelitian ini diperoleh informasi tentang pemberian ekstrak alga dengan dosis dan interval pemberian tertentu yang dapat meningkatkan sistem ketahanan udang vaname, sehingga meningkatkan daya tahan terhadap infeksi pada penyakit bakterial yang pada penelitian ini digunakan infeksi buatan V. harveyi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Sukenda dan Ibu Dr. Munti Yuhana, S.Pi selaku komisi pembimbing atas saran dan pengarahannya dalam penyusunan tesis ini, serta Bapak Dr. Ir. Eddy Supriyono yang telah banyak memberikan saran. Disamping itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Ranta dari Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen Budidaya Perairan IPB, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Mama, Dianthy, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Diana Y. Syahailatua, Catur A. P., Hidayat S. S., serta rekan-rekan mahasiswa program studi Ilmu Perairan, sekolah pascasarjana IPB angkatan 2006 atas kekompakan, kerjasama yang baik dan bantuannya dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis menyadari masih terdapat kekurangan yang perlu disempurnakan. Oleh karena itu segala segala saran untuk perbaikannya akan sangat dihargai demi kesempurnaan hasil penelitian ini di kemudian hari. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2009


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kupang pada tanggal 24 Nopember 1975 dari ayah Drs. M. Kasim Biat (Alm) dan ibu Siti Maemunah Lebu. Penulis merupakan putri kedua dari enam bersaudara.

Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kupang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk pada Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2001 diterima sebagai staf pengajar pada Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana. Penulis melanjutkan studi ke Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan bantuan dana Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPs) yang diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia pada tahun 2006 dan dinyatakan lulus pada tanggal 20 Januari 2009.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I

PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.4 Hipotesis ... 5

II

TINJAUAN PUSTAKA... 6

1.5 Sistem Imun Udang ... 6

1.6 Budidaya Udang Vaname ... 10

1.7 Vibrio sp ... 11

1.8 Imunostimulan... 13

1.9 Rumput Laut ... 14

III

METODOLOGI PENELITIAN ... 18

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 18

3.2 Bahan dan Alat Penelitian ... 18

3.3 Rancangan Percobaan ... 19

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 19

3.4.1 Ekstraksi Rumput Laut ... 19

3.4.2 Kultur Vibrio harveyi ... 20

3.4.3 Pengaruh Ekstrak Gracilaria verrucosa pada Kerentanan Litopenaeus vannamei terhadap Vibrio harveyi ... 20

3.4.4 Studi Parameter Imun dari Litopenaeus vannamei yang ... Diinjeksi dengan Gracilaria verrucosa ... 21

3.4.5 Periode Pemberian Ekstrak ... 23

3.5 Pemeriksaan Parameter Imun Udang ... 25

3.5.1 Total Hemosit ... 25

3.5.2 Diferensial Hemosit ... 25

3.5.3 Indeks Fagositik ... 25

3.5.4 Aktifitas Phenoloxidase (PO) ... 26

3.5.5 Clearance Efficiency ... 26

3.5.6 Kelangsungan hidup ... 27

3.5.7 Pertambahan Bobot Mutlak ... 27

IV

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

4.1 Hasil ... 28

4.1.1 Kelangsungan Hidup Udang Vaname ... 28

4.1.2 Parameter Imun Udang Vaname yang Diberi Ekstrak Rumput Laut ... 29

4.1.3 Periode Pemberian Ekstrak Gracilaria verrucosa ... 36

4.2 Pembahasan ... 38

V

KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

5.1 Kesimpulan ... 46

5.2 Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1.

Pertumbuhan mutlak udang vaname pada frekuensi pemberian


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1.

Diagram alur sederhana sistem pertahanan krustasea ... 8

2.

Gracilaria verrucosa ... 16

3.

Kelangsungan hidup udang vaname pada masing-masing perlakuan ... 28

4.

Total hemosit udang vaname pada masing-masing perlakuan ... 30

5.

Sel hialin udang vaname pada masing-masing perlakuan ... 31

6.

Sel semi granular udang vaname pada masing-masing perlakuan ... 32

7.

Sel granular udang vaname pada masing-masing perlakuan ... 33

8.

Indeks fagositik sel hemosit udang vaname pada masing-masing perlakuan ... 34

9.

Aktifitas phenoloxidase udang vaname pada masing-masing perlakuan ... 35

10.

Clearance efficiency udang vaname pada masing-masing perlakuan ... 36

11.

Kelangsungan hidup udang vaname pada masing-masing perlakuan ... 37

12.

Jenis sel hemosit udang vaname L. vannamei (H: hialin, SG: semi granular, G: granular). Pewarnaan Giemsa (Skala bar = 10 µm) ... 43


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1.

Skema ekstraksi G. verrucosa menggunakan pelarut etanol 80% ... 56

2.

Kelangsungan hidup (%) udang vaname selama 6 hari pengamatan

setelah uji tantang dengan V. harveyi ... 57

3.

Analisis ragam dan uji lanjut Duncan data kelangsungan hidup (%)

udang vaname selama 6 hari pengamatan setelah uji tantang ... 58

4.

Total haemocyte count (THC) (×105

/ml) udang vaname pada hari

ke- 0, 1, 2, 4 dan 6 setelah pemberian ekstrak G. verrucosa ... 61

5.

Analisis ragam dan uji lanjut Duncan data total haemocyte count (THC) (×105/ml) udang vaname hari ke-0, 1, 2, 4, dan 6 setelah

pemberian ekstrak G. verrucosa ... 62

6.

Sel hialin (%) udang vaname pada hari ke- 0, 1, 2, 4 dan 6

setelah pemberian ekstrak G. verrucosa... 65

7.

Analisis ragam dan uji lanjut Duncan data sel hialin (%) udang vaname pada hari ke-0, 1, 2, 4, dan 6 setelah pemberian ekstrak

G. verrucosa ... 66

8.

Sel semi granular (%) udang vaname pada hari ke- 0, 1,

2, 4 dan 6 setelah pemberian ekstrak G. verrucosa ... 69

9.

Analisis ragam dan uji lanjut Duncan data sel semi granular (%) udang vaname pada hari ke- 0, 1, 2, 4, dan 6 setelah pemberian

ekstrak G. verrucosa ... 70

10.

Sel granular (%) udang vaname pada hari ke- 0, 1, 2, 4

dan 6 setelah pemberian ekstrak G. verrucosa... 73

11.

Analisis ragam dan uji lanjut Duncan data sel granular (%) udang vaname pada hari ke- 0, 1, 2, 4, dan 6 setelah pemberian ekstrak

G. verrucosa ... 74

12.

Indeks fagositik (%) udang vaname pada hari ke- 0, 1, 2, 4

dan 6 setelah pemberian ekstrak G. verrucosa... 77

13.

Analisis ragam dan uji lanjut Duncan data indeks fagositik (%) udang vaname pada hari ke- 0, 1, 2, 4, dan 6 setelah pemberian

ekstrak G. verrucosa ... 78

14.

Aktifitas phenoloxidase (unit) udang vaname pada hari ke- 0, 1,

2, 4 dan 6 setelah pemberian ekstrak G. verrucosa ... 81

15.

Analisis ragam dan uji lanjut Duncan data aktifitas

phenoloxidase (unit) udang vaname pada hari ke- 0, 1, 2, 4,

dan 6 setelah pemberian ekstrak G. verrucosa ... 82

16.

Clearance efficiency (%) udang vaname pada hari ke- 0, 1, 2, 4


(16)

17.

Analisis ragam dan uji lanjut Duncan data clearance

efficiency (%) udang vaname pada hari ke- 0, 1, 2, 4, dan 6 setelah

pemberian ekstrak G. verrucosa ... 85

18.

Kelangsungan hidup (%) udang vaname selama 6 hari pada frekuensi pemberian 0, 1, 2, 4, dan 6 kali selama 30 hari

pemeliharaan ... 88

19.

Analisis ragam dan uji lanjut Duncan data kelangsungan hidup (%) udang vaname hari ke-6 setelah uji tantang

pada frekuensi pemberian ekstrak G. verrucosa tertentu ... 89

20.

Pertambahan bobot mutlak (g) udang vaname pada frekuensi

pemberian 0, 1, 2, 4, dan 6 kali selama 30 hari pemeliharaan ... 90

21.

Log. (Y+1) pertambahan bobot mutlak (g) udang vaname pada frekuensi pemberian 0, 1, 2, 4, dan 6 kali selama 30 hari

pemeliharaan ... 91

22.

Analisis ragam dan uji lanjut Duncan Log. (Y+1) data pertambahan bobot mutlak udang vaname hari ke-6 setelah uji tantang


(17)

I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Produksi udang akhir-akhir ini semakin meningkat, baik di negara lain (China, Thailand, Taiwan dan Equador) maupun di Indonesia. Apalagi saat ini udang ditetapkan sebagai salah satu komoditas utama perikanan, yang sangat berpengaruh pada perekonomian masyarakat. Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu udang yang sekarang ini banyak dibudidayakan karena beberapa keunggulan dalam membudidayakannya.

Salah satu keunggulan dari udang vaname adalah secara genetik lebih sehat dan cenderung dapat bertahan terhadap serangan patogen (Jory, 1996). Selama ini induk udang ini diperoleh melalui impor. Udang vaname impor ini dapat membawa masuk patogen baru, yang dapat menimbulkan masalah pada budidaya udang. Indonesia diharapkan mampu melakukan domestikasi induk udang vaname menjadi induk yang bebas penyakit (specific-pathogen-free) dan induk yang tahan penyakit (specific-pathogen-resistance), sehingga mengurangi ketergantungan dari impor.

Permasalahan yang sering muncul pada budidaya udang vaname salah satunya penyakit necrotizing hepatopancreatitis (NHP) yang disebabkan oleh bakteri dan virus (Jory, 1997). Beberapa jenis bakteri seperti bakteri Vibrio alginolyticus, V. harveyi dan V. damsela biasanya menyebabkan terjadinya penyakit vibriosis (Lee and Chen, 1994; Lee et al. 1996; Liu et al. 1996). Pemicu penyakit vibriosis biasanya akibat dari adanya pengaruh stres lingkungan (Mugnier and Justou, 2004), atau dengan kata lain bakteri vibrio bersifat patogen terutama pada udang yang stres (Reed et al. 2003).

Vibriosis merupakan masalah utama dalam budidaya udang, karena dapat menyebabkan kematian yang tinggi yang berdampak pada kegagalan produksi, sebagaimana yang terjadi pada budidaya udang Penaeus monodon. Bahkan lebih lanjut menurut Nogueira-Lima et al. (2006) keadaan ikan stress dan adanya bakteri vibrio bisa berkembang menjadi ikan mudah terserang penyakit viral.

Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan menggunakan antibiotik dan disinfektan. Bahan antibiotik yang digunakan misalnya berupa oksitetrasiklin (OTC) (Noguire-Lima et al. 2006). Namun menurut Reed et al. (2003) penggunaan antibiotik pada budidaya udang mempunyai dampak negatif pada lingkungan akuatik dan residunya dapat membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Selain itu pula penggunaan antimikrobial dapat menyebabkan berkembangnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik (Williams et al. 1992; Brown, 1989; Tendencia and dela Pena, 2001). Penggunaan disinfektan pada budidaya udang tidak bisa menjamin kolam bebas dari patogen, dimana V. harveyi dapat bertahan pada sedimen dasar kolam yang telah diberi disinfektan (Jory, 1996).

Vaksin biasanya digunakan untuk mencegah ikan terkena penyakit dan sudah diperdagangkan. Vaksinasi merupakan metode yang efektif untuk mengendalikan penyakit pada


(18)

ikan, namun tidak bagi udang karena karena udang tidak memiliki antibodi (Jory, 1997) atau dengan kata lain antibodi spesifik sangat sedikit.

Udang tidak memproduksi limfosit dan tidak memiliki sistim imun adaptive seperti yang dimiliki vertebrata (van de Braak, 2002). Sistem pertahanan udang berdasarkan hanya pada imunitas innate. Strategi yang digunakan pembudidaya udang dalam mengendalikan penyakit pada budidaya udang adalah dengan menggunakan imunostimulan (Dugger and Jory, 1999).

Penggunaan imunostimulan sebagai pakan suplemen dapat meningkatkan pertahanan alami ikan sehingga resisten terhadap patogen selama periode stress (Kumari and Sahoo, 2006). Imunostimulan tidak memperlihatkan efek samping yang negatif sebagaimana yang terjadi pada penggunaan antibiotik terhadap lingkungan dan konsumer. Bahan ini diklasifikasikan sebagai biological response modifiers (Anderson, 1992; Secombes, 1994). Ditambahkan pula oleh Siwicki et al. (1998) bahwa imunostimulan mengaktifkan mekanisme pertahanan non-spesifik, cell-mediated immunity dan respon imun spesifik. Selain itu cara imunostimulan meningkatkan daya tahan terhadap penyakit infeksi, dengan meningkatkan mekanisme pertahanan non spesifik (Sakai, 1999). Imunostimulan yang telah digunakan antara lain glukan, kitin, kitosan, levamisol, selain itu ada juga vitamin C dan B, hormon pertumbuhan dan prolactin. Selain itu beberapa bahan dari ekstrak rumput laut dapat berperan sebagai imunostimulan.

Rumput laut merupakan sumber bahan bioaktif, yang menghasilkan sejumlah senyawa sebagai sitostatik, antiviral, antihelmint, anticendawan dan aktifitas antibakterial. Senyawa ini berasal dari alga hijau, coklat dan merah (Lindeguist and Schweder, 2001). Beberapa jenis rumput laut dapat berperan sebagai antibakteri pada bakteri yang bersifat patogen ikan karena lebih aman dan efektif (Bansemir et al. 2006). Selain itu rumput laut dapat digunakan sebagai imunostimulan yang mengandung polisakarida lebih aman karena tidak bersifat racun maupun patogenik bagi udang (Dugger and Jory, 1999). Terdapat sejumlah laporan yang berhubungan dengan aktifitas dari makroalga dalam melawan penyakit pada manusia dan pada hewan darat lainnya dan juga sebagai imunostimulan. Misalnya Hizikia fusiformis dan Meristotheca papulosa dapat merangsang perkembangan limfosit manusia in vitro dan in vivo (Ivanova et al. 1994).

Alga coklat (Ponce et al. 2003) diketahui mengandung alginat yang mampu meningkatkan sistem ketahanan L. vannamei dan resistensinya terhadap bakteri patogen (Cheng et al. 2004). Fucoidan yang berasal dari alga coklat mampu meningkatkan respon imun Penaeus monodon (Chotigeat et al. 2004). Polisakarida agar yang berasal dari Ulva rigida (alga hijau) diketahui memiliki kemampuan untuk menstimulasi fagosit ikan turbot (Castro et al. 2006). Jenis alga lain yang mempunyai efek ini adalah Gracilaria verrucosa (alga merah) yang dapat menstimulasi fagositosis dan respiratory burst in vitro dan in vivo makrofage tikus (Yoshizawa et al. 1996).

Beberapa bahan yang diperoleh dari rumput laut, terutama polisakarida dapat memodifikasi beberapa komponen sistem imun pada ikan dan meningkatkan proteksi terhadap infeksi bakteri (Castro et al. 2006). Menurut Castro et al. 2006 bahwa polisakarida dari rumput laut dapat menstimulasi sistem imun non spesifik dalam hal ini fagositosis dan aktifitas respiratory burst melalui mekanisme interaksi molekul dengan permukaan reseptor (receptor-mediated).


(19)

1.2 Perumusan masalah

Perkembangan sistem imun pada udang sangat primitif bila dibandingkan dengan ikan dan vertebrata lainnya, karena udang tidak memproduksi antibodi dan/atau antibodi spesifik. Sistem imun pada udang merupakan sistem imun alami (innate immunity) (Kwang, 1996). Sehingga pendekatan untuk mengatasi penyakit pada budidaya udang menggunakan imunostimulan yang dapat menstimulasi sistem non spesifik (Dugger and Jory, 1999).

Penggunaan imunostimulan lebih aman dari pada kemoterapi pada ikan dan udang (Sakai, 1999). Imunostimulan meningkatkan daya tahan terhadap penyakit infeksi, bukan karena meningkatnya respon imun spesifik tapi oleh meningkatnya mekanisme pertahanan non spesifik (Sakai, 1999).

Salah satu jenis alga (rumput laut) seperti Gracilaria telah diketahui sebagai sumber senyawa bioaktif dan juga diketahui merupakan imunostimulan. Selain itu pula penggunaan rumput laut lebih ramah lingkungan dan mudah mengalami degradasi secara sempurna (Felix et al. 2005). Ekstrak dari G. verucosa dapat menstimulasi fagositosis dan respiratory burst in vitro dan in vivo makrofag tikus (Yoshizawa et al. 1996).

Diharapkan ekstrak rumput laut G. verrucosa dapat menstimulasi hemosit udang vaname. Pemberian imunostimulan harus memperhatikan dosis optimal yang digunakan (Anderson, 1992), karena dosis imunostimulan yang tinggi dapat menekan mekanisme pertahanan, dan dosis yang rendah bisa tidak efektif atau tidak cukup untuk memberikan respon imun. Disamping itu juga durasi periode pemberian imunostimulan untuk mencapai proteksi yang optimal juga merupakan hal yang penting dalam pemberian imunostimulan (Couso et al. 2003). Menurut Cheng et al. (2004) bahwa pemberian imunostimulan secara berkelanjutan diperlukan untuk lebih memberikan kemampuan imun. Sehingga penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh penggunaan ekstrak G. verrucosa dalam meningkatkan respon imun pada udang vaname (L. vannamei) terhadap serangan bakteri V. harveyi.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:

1)

Menguji pengaruh penggunaan ekstrak Gracilaria verrucosa dalam meningkatkan sistem imun pada udang vannamei.

2)

Menguji pengaruh penggunaan ekstrak Gracilaria verrucosa yang memberi daya tahan udang terhadap serangan bakteri patogen.

3)

Menguji frekuensi pemberian yang efektif untuk daya tahan terhadap serangan bakteri patogen.


(20)

Sedangkan manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi menggenai bahan imunostimulan dari ekstrak rumput laut G. verrucosa yang dapat menstimulasi dan meningkatkan ketahanan udang terhadap serangan bakteri patogen. Sehingga diharapkan nantinya dapat diterapkan penggunaan imunostimulan pada budidaya udang vaname dan dapat mengatasi permasalahan penyakit.

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah ekstrak Gracilaria verrucosa dapat menstimulasi sistem ketahanan pada udang dengan dosis pemberian tertentu yang responnya bisa diukur melalui parameter-parameter sistem imun. Efek dari respon itu dilihat dari ketahanannya terhadap serangan patogen. Selain itu pemberian dengan interval waktu tertentu bisa memberikan kelangsungan hidup yang optimal.


(21)

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Imun Udang

Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Sedangkan sistem imun merupakan gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi (Baratawidjaja, 2006). Resistensi dapat dilihat dari kelangsungan hidup maupun respon imun yang diberikan berupa reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya (Baratawidjaja, 2006).

Pengetahuan tentang sistem imun udang diawali dari pemahaman sistem imun pada krustasea, dimana udang merupakan bagian dari krustasea (avertebrata). Sistem imun krustasea (avertebrata) dalam hal ini juga udang merupakan sistem imun non spesifik (berperan besar). Seperti vertebrata, garis pertahanan pertama berupa physico-barriers yang sangat efektif juga dimiliki avertebrata. Misalnya skeleton eksternal yang kokoh yang mencegah masuknya agen penyakit (Ratcliffe, 1985). Kebanyakan avertebrata mempunyai sirkulasi yang terbuka, sel darah disebut dengan hemosit atau coelomocytes.

Berbeda dengan vertebrata, imunitas avertebrata tidak berdasarkan pada imunoglobulin dan interaksi subpopulasi limfosit (Ratcliffe, 1985) dalam hal ini tidak memproduksi antibodi spesifik atau antibodi sangat sedikit pada krustasea. Namun imunitas avertebrata efisien dan adanya interaksi komponen selular dan humoral. Sejak dulu dikatakan bahwa imunitas avertebrata dipengaruhi oleh interaksi sel fagositosis dengan patogen, bersamaan dengan sejumlah faktor humoral seperti lisosim.

Organisme krustasea akuatik yang hidup pada lingkungan budidaya (akuakultur) baik pada habitat air tawar, air laut mupun payau sering rentan terkena infeksi baik oleh parasit maupun patogen lainnya. Oleh karena itu krustasea tersebut harus mampu meningkatkan pertahanan yang efisien untuk melawan organisme penyerang. Pertahanan krustasea sebagian besar berdasarkan pada aktifitas sel darah atau hemosit. Sel ini bisa menghilangkan partikel asing pada tubuh krustasea akuatik melalui aktifitas fagositosis atau enkapsulasi. Selain itu juga penutupan luka yang cepat untuk mencegah keluarnya hemolim dan juga untuk mencegah mikroorganisme menempel pada luka, juga ada reaksi pada pertahanan krustasea yang disebut clotting (Söderhäll and Cerenius, 1992).

Hemosit penting dalam menghilangkan partikel asing yang masuk tubuh udang. Terdapat tiga tipe hemosit pada hemolim udang (krustasea) yaitu sel hialin, semi granular dan granular. Ketika sel ini mempunyai morfologi dan fungsinya masing-masing (Söderhäll and Cerenius, 1992).

Sel hialin dicirikan dengan tidak memiliki sitoplasmik yang merupakan agranular, berukuran lebih kecil diantara sel hemosit (Cornick and Stewart, 1978). Sel ini melakukan fungsinya yaitu aktifitas fagositosis. Sel semi granular dicirikan dengan adanya sejumlah kecil granul. Sel ini tidak stabil in vitro cepat lisis dan melepaskan isinya. Aktifitas fagositosis


(22)

(terbatas), enkapsulasi, proPO dan sitotoksitas merupakan fungsi dari sel ini (Thörnqvist et al. 1994; Kobayashi et al. 1990; Johansson and Söderhäll 1985). Granular memiliki sejumlah besar granul, dan melakukan fungsi sebagai proPO dan sitotoksis.

Skema mekanisme bagaimana faktor-faktor pada sistem pertahanan udang berperan penting dalam respon terhadap partikel non self dapat dilihat pada Gambar 1. Pada mekanisme pertahanan udang terlihat bahwa hemosit yang bersirkulasi berperan sangat penting tidak hanya secara langsung menghambat dan membunuh agen infeksi tetapi juga melalui sintesis dan eksositosis sejumlah molekul biaktif yang aktif (Smith et al. 2003).

Menurut Dugger and Jory (1999), fagosit hemosit merupakan salah satu sistem imun non spesifik pada udang. Bagaimana sel ini mengenali stimulan adalah sebagian besar tergantung pada tipe dari permukaan molekul–protein dan karbohidrat yang ditemukan pada permukaan patogen dan bagaimana tipe molekul ini berbeda dari permukaan sel inang. Pengenalan sel itu sendiri meliputi sejumlah struktur kompleks pada permukaan sel inang dimana hemosit dapat mengenalinya dan menginterpretasikan.


(23)

Proses pertama yang penting adalah pengenalan mikroorganisme yang masuk tubuh udang yang dimediasi oleh hemosit dan protein plasma (Van de Braak, 2002). Pengenalan patogen melalui pola molekular, dilakukan oleh beberapa protein pengenal yang disebut pattern recognition protein (PRPs). Protein ini bisa mengenali karbohidrat dari komponen dinding sel mikroorganisme, misalnya lipopolisakarida (LPS) atau peptidoglikan (PG) bakteri (Van de Braak, 2002).

Secara singkat dikatakan bahwa hemosit melakukan reaksi inflammatory-type seperti fagositosis, penggumpalan hemosit, menghasilkan reactive oxgygen metabolites dan melepaskan protein mikrobisidal (Smith et al. 2003). Selain itu reaksi imun yang maksimal dicapai melalui koordinasi dan interaksi antara tipe hemosit atau produknya (Gambar 1). Protein kunci dalam sistem imun adalah peroxinectin.

Hemosit udang berperan penting pada awal dan memelihara respon imun non spesifik. Fagosit hemosit (makrofage pada hewan tingkat tinggi) merupakan sel kompoten immunology yang tertua dan sangat konsisten. Untuk mengaktifkan imunologi, hemosit ini harus melewati keadaan aktifasi dimana termasuk perubahan morfologi tertentu. Hemocyte yang tidak diaktifkan cenderung untuk terlihat halus dan membulat, sementara hemocyte yang aktif berserat (crenellated) dan may extrude pseudopods (mempunyai kaki semu) yang digunakan untuk menangkap dan fagositosis (mencerna) patogen.

Juga yang sangat penting bahwa nyatanya sel ini memproduksi sejumlah rangkaian perubahan metabolik yang hasilnya berupa diproduksinya sejumlah sitosin dan komponen penting lainnya, yang berperan sebagai pengaturan bagian dalam dari sistem imun. Pengaktifan dapat diawali dengan beberapa rangsangan, seperti endotoxins, bakteri dan virus, dan juga oleh bahan kimia seperti polisakarida. Pengecualian bagi polisakarida, kebanyakan stimulan imun dapat bersifat racun atau patogenik untuk digunakan dalam praktek budidaya (Dugger and Jory, 1999).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa imunostimulan tertentu misalnya β-glukan, polisakarida dan peptidoglikan (Vargas-Albores and Yepiz-Plascencia, 2000; Cheng et al. 2004) mengaktifkan aktifitas phenoloxidase (PO). Phenoloxidase merupakan suatu enzim yang paling penting yang terlibat dalam sistem imun alami avertebrata (Cerenius and Söderhäll, 2004). Lebih lanjut dikatakan bahwa dengan aktifnya sistem proPO (prophenoloxidase) bisa lebih meningkatkan mekanisme sistem pertahanan udang ((Vargas-Albores and Yepiz-Plascencia, 2000).

Menurut Johansson dan Söderhäll, 1989, Prophenoloxidase (proPO) dan phenoloxidase dilibatkan dalam encapsulation, cell-adhesion, degranulation, cytotoxic, melanization, serta fagositosis selain itu juga berfungsi sebagai sistem non-self recognition. Hal ini dikarenakan dengan aktifasi sistem proPO maka dihasilkan beberapa protein seperti peroxincetin, transglutamin dan clotting protein.

Udang yang sakit terlihat lemah dan sensitif terhadap stress, berenang dekat permukaan air dan berada pada pinggir kolam. Rangkanya menjadi lunak, buram dan gelap, bekuan hemolim lambat dan bakteri terlihat dengan pengamatan langsung menggunakan dark field mikroskop. Infeksi dari bakteri vibrio pada udang penaeid biasanya berasosiasi juga dengan bakteri


(24)

Gram-negatif batang lainnya (Costa et al. 1998). Infeksi bakteri pada udang dapat menempati tiga tempat (bentuk) yaitu: spots pada cutikula (disebut penyakit bacterial shell), lokasi infeksi pada usus atau hepatopancreas dan generalized septicemia.

Parameter imun udang antara lain haemocyte count, phenoloxidase activity, respiratory burst, superoxidase dismutase activity, phagocytic activity dan clearance efficiency dari Litopenaeus vannamei dan kerentanan terhadap Vibrio spp. ketika udang diberi (disuntik) dengan imunostimulan (Cheng et al. 2004).

2.2 Budidaya Udang vaname

Lingkungan budidaya sering merupakan hal yang sangat berpengaruh pada produksi udang vaname. Dissolved oxygen (DO) merupakan faktor pembatas dalam budidaya. Air pada dasar kolam dimana udang berada, dapat menjadi hypoxic atau bahkan anoxic karena respirasi organisme dan dekomposisi bahan organik dari sisa pakan dan feces, terutama pada malam hari. Kondisi hypoxic dapat membahayakan hidup udang. Nilai DO diatas 5 mg l-1 sering direkomendasikan untuk budidaya intensif (Zhang et al. 2006). Kekurangan oksigen menyebabkan udang mudah terserang bakteri vibriosis dan dapat menyebabkan kematian hingga 48% dari populasi udang (Le Moullac et al. 1998).

Budidaya pembesaran udang di beberapa negara menggunakan oxytetracycline (OTC), oxolinic acid (OXA), chloramphenicol dan furazolidone yang dicampur dalam pakan buatan sebagai perlakuan untuk melawan vibriosis luminous (Cruz-Lacierda et al. 2000). Obat yang digunakan berakibat langsung pada pemberian pakan yang berlebih dan menurunkan nafsu makan organisme yang dibudidayakan. Akibat tidak langsung yaitu adanya agen antimikroba dengan konsentrasi rendah mengakibatkan berkembangnya strain yang resisten (Tendencia and dela Pena, 2002). Selanjutnya Tendencia dan dela Pena (2001) melaporkan bahwa berkembangnya resistensi antibiotik dapat dihubungkan dengan penggunaan antimikrobial pada kolam udang. Penggunaan antibiotik secara berlebihan menyebabkan strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik (Goarant et al, 2006).

Bakteri vibrio yang terdapat pada kolam/air/sedimen dan bagian kolam lainnya pada budidaya udang yang menggunakan antibiotik oxytetracycline menunjukkan resistan terhadap antibiotik tersebut (Tendencia and dela Pena, 2002). Abraham et al (1997) mengisolasi strain V. harveyi yang resisten terhadap antibiotik yang digunakan dalam sistem akuakultur, dari udang yang sakit. Lebih lanjut Hameed and Balasubramaniam (2000) menemukan bahwa bakteri resisten yang diisolasi dari Artemia nauplii resisten terhadap erythromycin, nitrofurazone dan oxytetracycline.

Penggunaan obat yang berlebihan dalam mengendalikan penyakit pada udang dapat beresiko pada kesehatan manusia, akibat dari residu dalam udang dan berdampak pula pada lingkungan dengan adanya residu antibiotik (Reed et al. 2003). Antimikroba yang digunakan di Jepang berupa oxolinic acid dan oxytetracycline (Uno, 2004). Meskipun oxytetracycline belum


(25)

disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk digunakan dalam budidaya udang, di USA obat ini telah digunakan dan sukses dalam treatment vibriosis septicemia (Mohney et al. 1997), namun bersifat residu pada L. vannamei.

2.3 Vibrio spp.

Spesies vibrio merupakan bagian dari autochthonous flora dari organisme laut dan merupakan salah satu kelompok yang penting dalam lingkungan laut, sekitar 80% populasi bakteri pada permukaan air (Tsukamoto et al. 1993). Vibrio dapat menyebabkan kematian pada larva udang pada lingkungan budidaya yang berbeda. Beberapa jenis spesies vibrio yang merupakan patogen utama pada udang penaid antara lain V. vulnificus, V. alginolyticus, V. campbellii, V. splendidus, V. damsela, V. parahaemolyticus, dan V. harveyi (Lightner, 1996). Menyebabkan penyakit vibriosis yang terjadi pada semua level pembesaran, mulai pada tangki hatchery hingga kolam pembesaran.

Walaupun demikian spesifikasi telah dilaporkan baik pada spesies maupun fase perkembangan, sehingga strain vibrio berbeda walaupun pada spesies yang sama. Kematian yang tinggi pada hatchery udang P. monodon biasanya disebabkan oleh V. campbellii. Sedangkan pada L. vannamei biasanya disebabkan oleh V. harveyi dan V. parahaemolyticus (Robertson et al. 1998). Bakteri vibrio juga dapat ditemukan pada udang penaeid yang sehat.

Vibrio opportunistic dapat menyebabkan masalah serius pada larva ketika terdapat tekanan karena lingkungan yang tidak stabil, kepadatan yang tinggi dan manajemen yang buruk (Hameed et al. 2003). Vibriosis merupakan masalah utama pada budidaya udang, menyebabkan kematian tinggi dan berdampak pada ekonomi, biasanya penyebab utama terjadinya penyakit oleh highly virulent strains Vibrio sp. (de la Pena et al. 1993). Ciri-ciri Vibrio spp. merupakan bakteri Gram-negatif, motile, oxidase-positive, lurus atau lengkung rod-shaped, anaerobic fakultatif. Merupakan bentuk dari bagian indigenous microflora, habitat aquatic dari berbagai salinitas (Colwell, 1984).

Terjadinya penyakit dihubungkan dengan meningkatnya proporsi spesies potensial patogenik vibrio pada kolam budidaya (Sung et al, 2001). Meskipun demikian patogenik populasi dari komuniti mikrobial cenderung berubah, dalam respon terhadap tekanan lingkungan, dalam lingkungan yang alami, sulit untuk mengetahui tekanan (stress) secara tepat, terutama jika definisi kondisi stressful bervariasi dari satu organisme dengan organisme lain (Goarant et al. 1998).

Beberapa penelitian tentang identifikasi dan karakteristik toksin dari V. alginolyticus, V. parahaemolyticus dan V. harveyi (Lee et al. 1999) telah dilakukan. Racun yang dihasilkan oleh Vibrio adalah hemolisin yang menyebabkan terjadinya hemolisis pada hemolim udang (Zhang et al. 2001). V. harveyi merupakan patogen yang utama pada udang, yang dapat menyebabkan vibriosis pada beberapa udang budidaya di daerah tropis, dimana daerah ini merupakan wilayah produksi udang dunia (Jiravanichpaisal et al. 1994; Liu et al. 1996).


(26)

2.4 Imunostimulan

Imunostimulasi merupakan cara untuk memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut (Baratawidjaja, 2006). Menurut Treves-Brown (2000) imunostimulan merupakan bahan yang bisa meningkatkan resistensi organisme terhadap infeksi patogen. Pemberian imunostimulan secara luas dengan maksud untuk mengaktifkan sistem imun non spesifik sel seperti makrofag pada vertebrata dan hemocyte pada avertebrata (Dugger and Jory, 1999).

Imunostimulan penting untuk mengontrol penyakit ikan dan berguna pada budidaya ikan. Penggunaan imunostimulan dilakukan pada budidaya ikan karena kemoterapi yang diberikan pada ikan menyebabkan resistensi pada bakteri tertentu. Imunostimulan meningkatkan daya tahan terhadap penyakit infeksi, bukan karena meningkatnya respon imun spesifik tapi oleh meningkatnya mekanisme pertahanan non spesifik (Sakai, 1999). Penggunaan imunostimulan, dengan ditambahkan pada agen kemoterapi dan vaksin, telah diterima luas oleh petani ikan.

Ikan yang diberikan imunostimulan biasanya menunjukkan peningkatan aktifitas sel fagositik. Aktifitas sel fagositik dapat dideteksi dengan fagositosis, killing dan chemotaxis. Meningkatnya genetik yang terbunuh adalah sangat penting pada makrofag dari ikan yang diberi imunostimulan. Killing mechanism makrofage dapat dikategorikan sebagai oxygen-dependent atau oxygen-independent. Oxygen-dependent killing mechanism dimediasikan oleh reactive oxygen species (ROS) dapat dideteksi dengan chemiluminescence dan uji NBT (Kajita et al. 1990). Limfosit juga diaktifkan oleh imunostimulan, aktifitas lisozim juga dipengaruhi oleh pemberian imunostimulan (JØrgensen et al. 1993).

Imunostimulan digunakan untuk meningkatkan mekanisme pertahanan non spesifik pada hewan, termasuk udang (Song and Sung, 1990). Imunostimulan seperti beta 1,3 D glucan dapat digunakan sebagai nutrisi yang dapat mendukung sistem imun non spesifik dari udang laut pada kondisi budidaya. Pemberian imunostimulan dapat dilakukan dengan (Dugger and Jory, 1999):

1.

Penyuntikan

Penyuntikan beta glucan dan stimulant imun lainnya dapat memberikan respon non spesifik yang kuat, tetapi biasa tidak praktis dan efektif dalam hal biaya dalam usaha budidaya, kecuali untuk juvenile yang besar dan dewasa untuk tujuan memperbaiki individu seperti induk atau genetik.

2.

Perendaman

Memberikan respon imun non spesifik yang sedikit, tetapi lebih efektif dalam hal biaya daripada dengan penyuntikan. Namun dapat menimbulkan stress pada udang karena meningkatnya penanganan dan kepadatan dalam perendaman. Makrofag dan hemosit dapat diaktifkan pada fase larva ikan, dan ini sama juga pada udang muda.


(27)

3.

Oral

Memberikan respon imun non spesifik yang baik dan merupakan metode yang lebih efektif. Namun beta glucan yang diberikan secara oral memiliki jalur dan fungsi yang berbeda dengan bahan pakan. Konfigurasi beta glucan merupakan acid resistant, jadi lewat begitu saja dalam saluran pencernaan tanpa melalui perubahan. Sehingga penyerapan beta glucan pada dinding usus menggunakan mekanisme phagocytic transport.

2.5 Rumput laut

Secara taksonomi seaweed atau rumput laut digolongkan ke dalam Divisio Thallophyta dengan empat kelas besar dalam Divisio ini, yaitu: Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceae (alga coklat), Rhodophyceae (alga merah) dan Cyanophyceae (alga biru-hijau). Rumput laut sudah dikenal berabad lampau sebagai makanan dan obat tradisional (Angadiredja et al. 1996). Jenis-jenis rumput laut yang telah dibudidayakan di Indonesia antara lain Eucheuma denticulatum, Kapaphycus alvarezii, Gracilaria verrucosa, G. gigas, G. lichenoides dan G. confervoides. Sedangkan jenis Ulva sp., Hypnea sp., Sargassum sp., Enteromorpha sp. dan Turbinaria sp. terdapat berlimpah pada musim tertentu namun pemanfaatannya belum optimal (Angadiredja et al. 1996).

Struktur molekul agar terdiri dari susunan agarose yang tidak bermuatan dan agaropectin yang bermuatan. Agarose digunakan sebagai media kultur (mikroba, kultur sel dan kultur jaringan), dan digunakan juga dalam proses elektroforesa, tehnik imobilisasi, khromatografi serta immunologi (Angadiredja et al. 1996).

Penerapan teknologi ekstraksi, memberikan kemungkinan melakukan isolasi metabolit sekunder dari rumput laut. Hasil penelitian farmasi-kimia menunjukkan pula, bahwa rumput laut menghasilkan banyak jenis metabolit sekunder, dengan variasi struktur senyawa yang unik dan secara biologi aktif. Pemeriksaan farmakologi dan mikrobiologi dari ekstrak dan isolate, memberikan gambaran yang lebih jelas akan manfaat rumput laut dalam bidang farmasi (Angadiredja et al. 1996).

Dikemukakan oleh Castro et al. (2006) bahwa dinding sel rumput laut berisi matrix polisakarida yang berlimpah yang dibentuk oleh gula netral dan gula asam yang juga ditemukan pada tumbuhan darat. Namun rumput laut juga mengandung polisakarida bersulfat, yang tidak terdapat pada tumbuhan darat (Percival 1979; Kloareg and Quatrano, 1988). Dengan demikian gula terbentuk dan dengan adanya kelompok sulfat diikuti pembentukan sejumlah molekul dengan bentuk dan fungsi biologis yang berbeda termasuk antiviral, antikoagulasi, antitumor dan aktifitas immunomodulatory pada mamalia (Castro et al. 2006).

Kegunaan struktur molekul polisakarida dalam aktifitas immunomodulatory telah diketahui dari beberapa penelitian. Polisakarida dari beberapa spesies rumput laut dapat menstimulasi aktifitas respiratory burst dari fagosit turbot, proses yang berperan penting dalam membunuh mikroba (Castro et al. 2006). Ditambahkan juga bahwa metabolit primer yang umumnya


(28)

merupakan senyawa polisakarida dan bersifat “hidrokoloid” seperti karaginan, agar, alginate dan furcelaran digunakan sebagai senyawa “additive” dalam industri farmasi. Metabolit primer asam-asam amino sebagai sumber gizi, serta metabolit sekunder yang merupakan senyawa “bioactive substances” dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai obat (Angadiredja et al. 1996).

Ekstrak Gracilaria verrucosa dapat menstimulasi fagositosis dan respiratory burst pada makrofage tikus baik secara in vitro maupun in vivo (Yoshizawa et al. 1996). Karagenan, polisakarida bersulfat yang diperoleh dari alga merah, memicu lekosit tikus untuk memproduksi TNF-α sebagai respon terhadap lipopolisakarida bakteri (Ogata et al. 1999). Walaupun demikian beberapa tipe dari karagenan terlihat merusak fungsi dari makrofag (Schmidt et al. 1993). Agar merupakan polisakarida campuran yang terdapat dalam matrix sel dari alga merah (Rhodophyta). Agar terdiri dari dua komponen yang berbeda: agarose dan agaropectin (Marinho-Soriano and Bourret, 2005). Gracilaria diketahui juga mempunyai aktifitas antimicrobial pada ikan terhadap beberapa jenis bakteri (Bansemir et al. 2006)

G. verrucosa merupakan jenis alga merah yang mempunyai nilai ekonomis (Gambar 2) dan telah dibudidayakan. Identitas rumput laut ini ditandai dengan Thallus silindris, licin, berwarna kuning coklat atau kuning hijau. Percabangan berselang seling tidak beraturan, kadang-kadang berulang-ulang memusat ke bagian pangkal. Ciri yang membedakan G. verrucosa dari G. gigas maupun jenis Gracilaria lainnya adalah cabang-cabang lateralnya yang memanjang menyerupai rambut. Ukuran panjang sekitar 25 cm dan diameter thallus sekitar 0,5-1,5 mm. Habitat rumput laut ini menempel pada substrat batu atau benda lainnya. Alga ini banyak ditemukan di tambak budidaya yaitu di daerah Takalar, Sulawesi Selatan (Dirjen, 2005), serta telah dibudidayakan di tambak Karawang Jawa Barat.


(29)

Rhodophyceae termasuk juga didalamnya G. verrucosa mengandung beberapa zat yang penting antara lain: floridin starch, mannoglycerate, dan floridosida. Alga merah menghasilkan komponen utama kimianya yaitu karagenan dan agar (Dirjen, 2005). G. verrucosa merupakan penghasil agar, setiap jenis Gracilaria spp. menghasilkan agar dengan persentase kandungan dan kekuatan gelnya yang berbeda.

Agar merupakan koloid hidropilik yang diekstrak dari alga merah. Komponen kimia ini mengandung polisakarida bersulfat, yang formasinya dengan senyawa lainnya dalam agar membentuk sejumlah molekul yang salah satunya berperan dalam immunomodulatory. Polisakarida pada alga merah biasanya berisi galaktosa maupun galaktan bersulfat (Naidu, 2000).


(30)

III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan. Tempat pelaksanan penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Laboratorium Lingkungan Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Sampel rumput laut G. verrucosa diambil dari lokasi budidaya yaitu di tambak Karawang. Proses pengekstraksian G. verrucosa dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Bogor sedangkan Freeze dryer dilakukan di Laboratorium Industri Perikanan Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Udang uji yang akan digunakan adalah udang vaname (Litopenaeus vannamei) berat 9,1±0,1 g diambil dari lokasi budidaya udang vaname yaitu tambak Bakauheni Lampung. Sebelum perlakuan udang diaklimatisasi selama 2 minggu pada suhu ruangan. Selama aklimatisasi udang diberi pakan formulasi 2 kali sehari. Pergantian air dan aerasi dilakukan secara kontinyu (setiap hari). Perlakuan untuk media udang yaitu dengan menyaring air laut dan mensterilisasi dengan kaporit 24 ppm. Suhu media 28-30oC dan salinitas air 30‰ udang diberi pakan pelet komersial (pakan disterilisasi harian dengan pemanasan pada 80oC selama 15 menit) dengan feeding rate 3% dari bobot biomassa.

Bahan yang akan digunakan sebagai imunostimulan adalah ekstrak rumput laut G. verrucosa. Bakteri untuk uji tantang merupakan V. harveyi strain patogenik (MR 3559Rf), diperoleh dari Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen Budidaya Perairan Institut Pertanian Bogor. Bahan kimia untuk analisis parameter antara lain : alkohol, metanol, Na-sitrat, pewarna Giemsa, TCBSA (Oxoid), L-DOPA (Sigma D9628), trypsin (Sigma T4799), sodium cacodylate (Sigma C0250), MgCl, NaCl, CaCl, bacto agar, yeast extrak, bacto peptone, glycerol dan natrium sitrat (Sigma A731548627).

Wadah perlakuan yang digunakan berupa akuarium dan bak fiber yang dilengkapi peralatan aerasi. Sebelum digunakan wadah disterilisasi menggunakan Kaporit sebanyak 100 ppm selama 24 jam, kemudian dibilas dengan air bersih dan dikeringkan. Alat yang digunakan untuk pemeriksaan parameter imun udang antara lain: sirynge 1 ml, tabung reaksi, kaca obyek dan penutupnya, hemositometer, mikropipet, mikrotube (ependorf 1,5 dan 2,5 ml), yellow tip, blue tip, sentrifus, mikroskop, alat penghitung, autoklaf, jarum ose, inkubator, spektrofotometer, petridish dan gelas Beaker.


(31)

3.3 Rancangan Percobaan

Eksperimen yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu : 1) untuk menguji pengaruh ekstrak G. verrucosa pada pada kerentanan L. vannamei terhadap V. harveyi; 2) Mengukur parameter imun dari L. vannamei yang diinjeksi dengan G. verrucosa; dan 3) Mengetahui frekuensi pemberian ekstrak yang efektif untuk daya tahan optimal terhadap serangan V. harveyi. Rancangan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan dan ulangannya masing-masing. Untuk mengetahui perbedaan setiap perlakuan ekstrak G. verrucosa terhadap kelangsungan hidup udang vaname, parameter total haemocyte count (THC), differential haemocyte count (DHC), aktifitas fagositosis, aktifitas phenoloxidase (PO), dan clearance efficiency hemosit serta pertumbuhan, maka dianalisa keragamannya menggunakan ANOVA. Selanjutnya perbedaan antar perlakuan diuji lanjut lagi menggunakan uji Duncan. Alat bantu yang digunakan yaitu SPSS versi 13.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Ekstraksi Rumput Laut.

Sampel G. verrucosa yang telah berumur 1,5 bulan dikumpulkan dari lokasi budidaya rumput laut, dicuci dengan air laut dan air tawar untuk menghilangkan garam, epiphyte, mikroorganisme dan bahan lainnya. Alga yang telah bersih dikeringkan di udara terbuka (kering udara) tanpa terkena cahaya matahari langsung. Selanjutnya sampel yang sudah kering digiling halus dan diayak menggunakan saringan halus (60 mesh size). Ekstrak freeze dried dan powdered biomass menggunakan pelarut etanol 80% (Balitro Cimanggu). Ekstraksi dilakukan dengan menambahkan etanol dengan perbandingan 1:5 (w/v), diaduk dengan stirrer, diendapkan dan kemudian disaring. Hasil saringan (filtrat) dievaporasi dengan menggunakan penguap putar (rotary evaporator) pada suhu 50oC. Maserat yang diperoleh selanjutnya dikeringkan dalam freeze dryer (Lampiran 1).

3.4.2 Kultur Vibrio harveyi

Strain patogenik V. harveyi MR 3559Rf diperoleh dari Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen Budidaya Perairan Institut Pertanian Bogor. Sebelum digunakan untuk uji, bakteri tersebut ditingkatkan virulensinya dengan menginokulasi kembali pada udang hidup yang sehat dan selanjutnya diisolasi kembali pada media TCBS yang telah dicampur dengan 50 µg/ml antibiotik rifampicin. Kemudian patogen dikultur pada SWC agar selama 24 jam pada suhu ruangan, selanjutnya dipindahkan ke SWC cair (broth) 20 ml selama 12-16 jam pada suhu ruangan sebagai stok kultur untuk uji. Stok kultur disentrifus pada 7155 x g selama 15 menit. Supernatan dipindahkan dan pellet bakteri diresuspended dalam larutan garam pada konsentrasi tertentu


(32)

sebagai stok suspensi bakteri untuk uji tantang dan uji clearance efficiency dari L. vannamei terhadap V. harveyi.

3.4.3 Pengaruh Ekstrak Gracilaria verrucosa pada Kerentanan Litopenaeus vannamei

terhadap Vibrio harveyi

Pada eksperimen ini terdapat enam (6) perlakuan yaitu 10, 20 dan 50 µg/g udang, kontrol (+), kontrol (-) serta physiological saline (PS), dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga (3) kali. Pemberian ekstrak dan physiological saline (PS) dilakukan sehari sebelum uji tantang. Kemudian pada hari pertama diberikan bakteri dengan konsentrasi 106 CFU/ekor udang, pemberian dilakukan melalui penyuntikan secara individu kedalam ventral sinus cephalothorax (segmen kedua abdominal). Perlakuan kontrol positif yaitu tanpa pemberian larutan ekstrak dan diuji tantang; sedangkan perlakuan kontrol negatif yaitu tanpa pemberian ekstrak dan tidak diuji tantang. Jumlah udang yang digunakan untuk masing-masing perlakuan adalah 10 ekor udang, sehingga total udang yang digunakan 180 ekor dengan berat 9,1±0,1 g. Setelah uji tantang diamati kelangsungan hidup setiap hari selama 6 hari.

Skema Pengujian I

V. harveyi 106 CFU/udang (diinjeksi pada udang)

0 1 2 3 4 5 6 7 (hari ke-)

I. Ekstrak (10, 20, dan 50 µg/g bobot udang II. Physiological saline (PS)

3.4.4 Studi parameter imun dari L. vannamei yang diinjeksi dengan

G. verrucosa

Udang dengan berat badan 9,1 ± 0,1 gram secara acak didistribusi dalam akuarium (5 ekor/perlakuan). Namun sebelumnya larutan ekstrak disuntik kedalam ventral sinus cephalothorax (sekitar 20 µl) sesuai perlakuan yaitu: 5 mg ml-1

; 10 mg ml-1; dan 25 mg ml-1, sehingga dosis yang digunakan adalah: 10; 20; dan 50 µg/g udang, dengan perlakuan kontrol tanpa pemberian ekstrak, dan perlakuan pemberian physiological saline (PS).

Udang diberi pakan komersial sebanyak 3% biomassa, 2 kali pemberian pakan dalam sehari. Setiap hari dilakukan pergantian air (50%). Pengambilan hemolim (waktu sampling) dilakukan pada hari 0, 1, 2, 4 dan 6 setelah penyuntikan ekstrak G. verrucosa.

SR (%)


(33)

Pengumpulan data parameter dilakukan dengan mengambil hemolim dari setiap udang uji, empat udang untuk setiap perlakuan dan waktu sampling yang digunakan untuk studi ini. Parameter imun yang diukur yaitu: jumlah total hemosit (THC), diferensial hemosit (DHC), aktifitas fagositosis dan aktifitas phenoloxidase (PO).

Untuk evaluasi clearance efficiency, udang pada masing-masing perlakuan mendapat perlakuan yang sama seperti diatas (lima perlakuan dan empat ulangan). Namun pada uji ini ditambahkan penyuntikan suspensi bakteri sebesar 106 CFU/ekor udang. Suspensi ini disuntikkan ke dalam ventral sinus pada hari ke 0, 1, 2, 4, dan 6. Setelah injeksi, udang dipelihara selama 1 jam, dalam wadah yang bervolume 60 liter. Kemudian 200 µl hemolim diambil dari ventral sinus dicampur dengan 200 µl antikoagulan.

Skema Pengujian IIa

0 1 2 3 4 5 6 (hari ke-)

I. Ekstrak (10, 20, dan 50 µg/g bobot udang II. Physiological saline (PS)

Skema Pengujian IIb

0 1 2 3 4 5 6 (hari ke-)

I. Ekstrak (10, 20, dan 50 µg/g bobot udang II. Physiological saline (PS)

THC, DHC, IP, PO

CE

V. harveyi 106 CFU/udang (1 jam sebelum pengambilan hemolim) (diinjeksi pada udang)

Pengambilan hemolim udang

diinjeksi pada udang

Pengambilan hemolim udang


(34)

3.4.5 Periode Pemberian Ekstrak

Dosis ekstrak yang digunakan dalam eksperimen ini yaitu 50 µg/g udang. Perlakuan yang digunakan pada eksperimen ini adalah periode waktu tertentu pemberian ekstrak G. verrucosa. Terdapat 5 perlakuan yaitu 0 kali (kontrol), 1 kali (pada awal pemeliharaan), 2 kali (interval 14 hari), 4 kali (interval 7 hari), 6 kali (interval 4 hari) selama 30 hari pemeliharaan, setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Kepadatan yang digunakan 10 ekor per perlakuan. Penyuntikan suspensi bakteri (uji tantang) pada semua perlakuan dilakukan pada hari ke-30 pemeliharaan. Parameter yang diamati berupa pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Pengamatan kelangsungan hidup diamati sampai hari ke 6 setelah uji tantang.

Skema Pengujian IIIA (0 kali)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 36

Skema Pengujian IIIB (1 kali)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

E

16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 36

SR (%)+ G (g)

SR (%) + G (g)

V. harveyi 106 CFU/udang

(injeksi pada udang)

V. harveyi 106 CFU/udang

(injeksi pada udang) 1= waktu (hari ke-)

injeksi ekstrak Tanpa injeksi ekstrak (kontrol)


(35)

Skema Pengujian IIIC (2 kali)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

E

16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 36

Skema Pengujian IIID (4 kali)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 36

Skema Pengujian IIIE (6 kali)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 36

SR (%) + G (g)

SR (%)+ G (g)

SR (%)+ G (g)

V. harveyi 106 CFU/udang

(injeksi pada udang)

V. harveyi 106 CFU/udang

(injeksi pada udang)

V. harveyi 106 CFU/udang

(injeksi pada udang) 1, 6, 11, 16, 21, dan 26

= waktu (hari ke-) injeksi ekstrak

1, 8, 16 dan 23 = waktu (hari ke-) injeksi ekstrak 1 dan 16

= waktu (hari ke-) injeksi ekstrak


(36)

3.5 Pemeriksaan Parameter Imun Udang

3.5.1 Total Hemosit.

Jumlah hemosit dihitung sesuai metode Blaxhall dan Daisley (1973). 0,1 ml hemolim diambil dari pangkal kaki renang, menggunakan srynge 1 ml berisi 0,9 ml antikoagulan Na-sitrat, kemudian dihomogenkan, dengan cara menggerakkan tangan membentuk angka delapan selama 5 menit. Satu tetes larutan diletakkan pada hemocytometer dan jumlah sel per ml dihitung.

1000

1

×

×

×

Σ

=

FP

besar

kotak

Volume

terhitung

sel

rata

Rata

hemosit

Total

3.5.2 Diferensial Hemosit

Dihitung dengan cara: hemolim diteteskan pada gelas objek dan dibuat ulasan, dikeringkan dan difiksasi dengan metanol selama 5 menit. Kemudian dikering udarakan dan diwarnai dengan larutan giemsa selama 10 menit, dicuci dengan air mengalir dan dibiarkan kering. Ulasan kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali.

100

×

=

hemosit

Total

hemosit

sel

jenis

tiap

Jumlah

hemosit

Sel

Jenis

Persentase

3.5.3 Indeks Fagositik.

Hemolim udang dimasukkan sebanyak 0,1 ml ke dalam mikroplate dan dicampur secara merata dengan 25 µl bakteri Staphylococcus aureus dan diinkubasi selama 20 menit. Kemudian sebanyak 5 µl diteteskan pada objek glass dan dibuat preparat ulas. Selanjutnya difiksasi dengan Metanol 100% selama 5 menit dan diwarnai dengan Giemsa (10%) selama 15 menit. Aktifitas fagositosis diukur berdasarkan presentase sel-sel fagosit yang menunjukkan proses fagositosis (Anderson dan Siwicki, 1993).

100

×

=

fagosit

sel

Jumlah

s

fagositosi

melakukan

yang

fagosit

sel

Jumlah

Fagositik

Indeks

3.5.4 Aktifitas Phenoloxidase (PO)

Untuk mengukur aktifitas phenoloxidase secara spektrofotometer oleh perekaman pembentukan dopachrome yang dihasilkan dari L-dihydroxyphenylalanine (L-DOPA) (Hernandez-Lopez et al., 1996), hemolim yang diencerkan disentrifus pada 700 × g pada 4o

C selama 20 menit; cairan supernatant dibuang dan pellet dibilas, disuspensikan kembali secara perlahan dalam cacodylate-citrate buffer (0,01 M sodium cacodylate, 0,45 M sodium chloride, 0,10 M trisodium citrate, pH 7,0) dan disentrifuse ulang. Pellet kemudian diresuspended dengan 200 µl cacodylate


(37)

buffer (0,01 M sodium cacodylate, 0,45 M sodium chloride, 0,01 M calcium chloride, 0,26 M magnesium chloride, pH 7,0) dan 100 µl aliqout diinkubasi dengan 50 µl trypsin (1 mg ml-1

), sebagai aktifator, selama 10 menit pada 25-26oC; 50 µl L-DOPA ditambahkan, diikuti oleh 800 µl

cacodylate buffer 5 menit kemudian. Optical density pada 490 nm diukur menggunakan spektrofotometer Hitachi U-2000. Optical density aktifitas phenoloxidase udang untuk semua kondisi uji diekspresikan sebagai pembentukan dopachrome dalam 50 µl hemolim.

3.5.5 Clearance efficiency

Clearance efficiency diukur mengikuti metode Adams (1991). Volume 200 µl hemolim (yang telah diencerkan), diencerkan 4 kali dengan larutan fisiologis. Dua bagian 50 µl dari setiap sample hemolim yang diencerkan disebar pada plate TCBS yang terpisah dan diinkubasi pada suhu ruangan selama 24 jam sebelum koloni dihitung menggunakan koloni counter. Clearance efficiency terhadap V. harveyi, digambarkan sebagai persentase penghambatan (PI) dikalkulasi sebagai:

PI = 100 – {(CFU pada grup uji)/(CFU pada grup kontrol) × 100

3.5.6 Kelangsungan hidup

Dihitung berdasarkan formula Zonneveld et al. 1991:

Survival rate (%) =

x

100

awal

populasi

Jumlah

akhir

populasi

Jumlah

3.5.7 Pertambahan Bobot Mutlak

Dihitung berdasarkan rumus Zonneveld et al. 1991:


(38)

IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil

4.1.1 Kelangsungan hidup Udang Vaname

Hasil pengamatan kelangsungan hidup udang vaname yang diberi ekstrak Gracilaria verrucosa maupun yang mendapat perlakuan kontrol dan pemberian Physiological saline diperoleh data seperti yang terdapat dalam Lampiran 2. Semua udang yang tidak diuji tantang (kontrol [-]) kelangsungan hidupnya 100% hingga hari terakhir pengamatan (Gambar 3 dan Lampiran 3). Pada hari pertama belum terdapat perbedaan persentase kelangsungan hidup antar perlakuan yang diberi ekstrak dengan kontrol positif (Gambar 3). Perbedaan kelangsungan hidup antara perlakuan yang diberi ekstrak Gracilaria dengan perlakuan kontrol positif mulai terlihat pada hari ke dua setelah uji tantang. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kelangsungan hidup udang yang diberi perlakuan ekstrak 10 (90±0,0%), 20 (90±5,8%) dan 50 µg/g bobot udang (93,6±6,8%) lebih tinggi secara nyata terhadap kontrol (+) (73,3±8,8%) (p<0,05) (Lampiran 3B).

-5 10 25 40 55 70 85 100

1 2 3 4 5 6

Waktu (hari)

Ke

la

n

g

s

ung

an h

id

up (

%

)

10 µg/g 20 µg/g 50 µg/g PS K(+) K (-)

a a a a a

a

a ab

abc abc bc

a a b b

a bc

a b b b

b b

b bb

a a

a a

Keterangan : Data (rerata±SD) pada waktu pemaparan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p<0,05)

Gambar 3. Kelangsungan hidup udang vaname pada masing-masing perlakuan

Pada hari ke tiga hingga hari ke lima perlakuan ekstrak memberikan kelangsungan hidup udang (70±0,0%; 73,3±3,3%; 76,7±3,3%) yang lebih tinggi (p<0,05) bila dibandingkan dengan perlakuan physiological saline (PS) maupun kontrol positif (60%±0,0; 56,7±3,3%) (Gambar 3). Perlakuan ekstrak 20 dan 50 µg/g bobot udang, memberikan hasil kelangsungan hidup (70±0,0% dan 73,3±3,3%) lebih tinggi secara nyata bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol yang diuji tantang (kontrol positif) maupun perlakuan pemberian PS ataupun dosis ekstrak 10 µg/g bobot udang (Lampiran 3F).


(39)

Perlakuan pemberian ekstrak G. verrucosa pada dosis 50 µg/g bobot udang memberikan hasil persentase kelangsungan hidup yang lebih baik dibandingkan pada perlakuan dengan dosis 10 dan 20 µg/g bobot udang pada hari kedua. Akan tetapi pada hari berikutnya (3, 4, 5 dan 6) tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) pada kelangsungan hidup antara perlakuan yang mendapat ekstrak, namun berbeda secara nyata (p<0,05) dengan perlakuan kontrol positif dan perlakuan physiological saline (PS). Penggunaan ekstrak G. verrucosa memberikan pengaruh pada kelangsungan hidup pada udang vaname hingga 73,3% pada akhir pengamatan (hari keenam) pada dosis ekstrak 50 µg/g bobot udang (Lampiran 3F dan Gambar 3).

4.1.2 Parameter Imun Udang Vaname yang Diberi Ekstrak Rumput Laut

Parameter imun udang yang diamati selama penelitian meliputi THC (Total haemocyte count) dan DHC (differensial haemocyte count) atau total hemosit dan perbedaan banyaknya jenis hemosit yang masing-masing datanya disajikan pada Lampiran 4, 6, 8, dan 10. Selain itu pula dilakukan pengamatan pada parameter aktifitas fagositosis, aktifitas phenoloxidase dan clearance efficiency atau efisiensi pemusnahan V. harveyi (Lampiran 12, 14 dan 16).

Total hemosit udang yang mendapat perlakuan ekstrak G. verrucosa mulai meningkat pada hari kedua hingga hari keenam pengamatan (Lampiran 4 dan Gambar 4). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada hari pertama perlakuan pemberian ekstrak memberikan hasil total hemosit (70,3±1,9; 71,4±8,7; 77,5±9,7×105

/ml lebih tinggi secara nyata (p<0,05) daripada kontrol (8,6±1,5×105

/ml), walaupun terjadi penurunan total hemosit. Pada hari kedua udang yang mendapat perlakuan ekstrak dengan dosis yang berbeda memiliki total hemosit yang lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan dengan udang kontrol dan PS. Udang yang mendapat perlakuan ekstrak 50 µg/g bobot udang memiliki total hemosit lebih tinggi secara nyata (p<0,05) dari perlakuan lainnya pada hari keempat dan keenam (234,3±31,4 dan 217,8±12,8×105

/ml) (Lampiran 4).

0 50 100 150 200 250 300

0 1 2 4 6

Waktu (Hari ke-)

T

o

ta

l h

e

m

o

s

it

(x

1

0

^

5

/m

l)

PS 10 µg/g 20 µg/g 50 µg/g K

a a a a a a

b

a

a a

d

b bc bc

c

c a

b c

c a

b b

c

b

Keterangan : Data (rerata±SD) pada waktu pengamatan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p<0,05)


(40)

Persentase sel hialin berkisar antara 61,7±7,5% hingga 81,8±2,0% dan terjadi peningkatan mulai dari hari pertama hingga hari keenam baik pada udang kontrol maupun yang mendapat perlakuan ekstrak dan physiological saline (Lampiran 6 dan Gambar 5). Akan tetapi hasil analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak dengan dosis tertentu pada udang mampu meningkatkan persentase sel hialin yang lebih tinggi (p<0.05) daripada udang kontrol (pada hari pertama dan keenam pengamatan). Hari pertama terlihat bahwa perlakuan ekstrak 20 µg/g bobot udang, menunjukkan presentasi hialin lebih tinggi secara nyata dari perlakuan lainnya (79,0±1,5%). Namun pada hari kedua dan keempat (61,7±7,5% dan 61,9±7,4%) justru turun lebih rendah dari perlakuan lainnya. Persentase sel hialin lebih tinggi pada udang yang mendapat perlakuan ekstrak daripada udang kontrol (p<0,05) pada hari keenam (Lampiran 7E dan Gambar 5).

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0

0 1 2 4 6

hari

ke-S

e

l hia

lin (

%

)

PS 10 µg/g 20 µg/g 50 µg/g K

a a a a

a a ba a a

b b

c

c c c c

d

ab bc ab

bc bc c bc

Keterangan : Data (rerata±SD) pada waktu pengamatan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p<0,05)

Gambar 5. Sel hialin udang vaname pada masing-masing perlakuan

Perbedaan persentase sel semi granular antara udang yang mendapat perlakuan ekstrak dan kontrol serta PS terlihat mulai pada hari kesatu hingga keempat (Lampiran 8). Terlihat adanya peningkatan persentase sel semi granular pada hari ke-1,2 dan terjadi penurunan pada hari ke-4 dan 6 (Gambar 6). Hasil analisis ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa pada hari pertama udang yang mendapat perlakuan PS, 10 dan 50 µg/g bobot udang memiliki persentase sel semi granular yang lebih tinggi (24,2±3,0%; 24,5±3,4%; 21,5±2,3%) (p<0,05) daripada udang udang kontrol dan udang pada perlakuan ekstrak 20 µg/g bobot udang (16,9±2,0%; 15,4±2,5%). Persentase sel semi granular udang yang mendapat perlakuan ekstrak pada dosis 10 dan 20 µg/g bobot udang lebih tinggi (p<0,05) daripada udang pada perlakuan 50 µg/g bobot udang maupun udang kontrol (hari kedua) (Lampiran 9B dan Gambar 6). Hari keempat udang pada perlakuan pemberian ekstrak dengan dosis 20 dan 50 µg/g bobot udang, memiliki persentase sel semi


(41)

granular lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan udang pada kontrol (tanpa pemberian ekstrak) (Gambar 6). Namun pada hari keenam persentase sel semi granular udang pada perlakuan dosis ekstrak 50 µg/g bobot udang lebih rendah dari kontrol (p<0,05), tetapi lebih tinggi secara nyata (p<0,05) daripada perlakuan PS dan ekstrak 10 µg/g bobot udang (Lampiran 9E).

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0

0 1 2 4 6

hari

ke-S

el

se

mi

g

ran

u

lar

(

%

)

PS 10 µg/g 20 µg/g 50 µg/g K

a a a a a

a a b

a b b

b

a

b a a c c

c c c

ab

ab ab

bc

Keterangan : Data (rerata±SD) pada waktu pengamatan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p<0,05)

Gambar 6. Sel semi granular udang vaname pada masing-masing perlakuan

Data yang disajikan pada Lampiran 10, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan persentase sel granular pada udang yang mendapat perlakuan esktrak yang teramati pada hari kedua dan keempat (dosis 20 µg/g bobot udang). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada hari pertama terlihat penurunan persentase sel granular pada perlakuan ekstrak 10 µg/g bobot udang (8,8±3,3%), 20 µg/g bobot udang (5,6±2,3%) dan 50 µg/g bobot udang (6,4±2,1%) yang lebih rendah (p<0,05) dari perlakuan kontrol (13,1±0,6%) maupun PS (11,1±1,5%) (Lampiran 11). Pada hari kedua perlakuan pemberian ekstrak 20 µg/g bobot udang menghasilkan persentase sel granular pada udang (13,3±5,2%) yang lebih tinggi (p<0,05) dari kontrol (7,1±3,5%) maupun pada udang yang mendapatkan ekstrak dengan dosis 10 µg/g bobot udang (4,8±2,0%) dan 50 µg/g bobot udang (9,3±3,2%). Peningkatan persentase sel granular pada hari keempat masih sama hanya terlihat pada perlakuan dengan pemberian ekstrak 20 µg/g bobot udang (18,9±2,9%) yang lebih tinggi secara nyata dari perlakuan lainnya. Namun pada hari keenam justru persentase sel granular kontrol lebih tinggi dari perlakuan lainnya (p<0,05) (Lampiran 11E). Persentase sel granular pada hemosit udang berkisar antara 4,8±2,0% hingga 18,9±2,9% (mean ± S.D) (Lampiran 10).


(42)

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0

0 1 2 4 6

hari

ke-S

e

l gr

a

nula

r (

%

)

PS 10 µg/g 20 µg/g 50 µg/g K a a a a a

a

a a

a c ab a a a a a a a a a

b b b

bc ab

Keterangan : Data (rerata±SD) pada waktu pengamatan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p<0,05)

Gambar 7. Sel granular udang vaname pada masing-masing perlakuan

Data indeks fagositik dan aktifitas phenoloxidase (PO) selama waktu pengamatan disajikan pada Lampiran 12 dan 14. Peningkatan indeks fagositik mulai terlihat pada hari ke satu (pada dosis ekstrak 20 µg/g bobot udang) hingga hari keempat (pada perlakuan PS dan dosis ekstrak 10, 20 dan 50 µg/g bobot udang) (Lampiran 12 dan Gambar 8). Pada Lampiran 13 memperlihatkan bahwa hasil analisis ragam indeks fagositik pada hari pertama telah menunjukkan perbedaan (p<0,05) antara udang pada perlakuan yang mendapat ekstrak (19,6±3,6%; 20,5±2,7%; 22,8±10,2%) (lebih tinggi) dengan udang pada kontrol (9,0±6,2%), namun tidak berbeda (p>0,05) dengan indeks fagositik udang yang mendapat perlakuan PS (19,5±3,6). Hari kedua dan hari keempat setelah pemberian ekstrak 50 µg/g bobot udang memperlihatkan aktifitas fagositosis (44,3±3,5% dan 43,5±5,0%) yang lebih tinggi (p<0.05) dari pada perlakuan lainnya. Aktifitas fagositosi udang yang mendapat perlakuan dosis ekstrak 10, 20 dan 50 µg/g bobot udang yaitu 18,0±5,7%; 17,8±3,8%; dan 22,0±4,4% pada hari keenam mengalami penurunan, namun pemberian ekstrak pada dosis 50 µg/g bobot udang, menunjukkan perbedaan indeks fagositik (22,0±4,4%) yang nyata (lebih tinggi) bila dibandingkan dengan kontrol (13,3±5,3%) (Lampiran 13E).


(43)

0 10 20 30 40 50 60

0 1 2 4 6

Waktu (hari ke-)

In

d

eks

fag

o

si

ti

k (%

)

PS 10 µg/g 20 µg/g 50 µg/g K

a a a a a

a

a a

a b

b b

b

b

b b

c c

ab

ab

ab ab bc

d d

Keterangan : Data (rerata±SD) pada waktu pengamatan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p<0,05)

Gambar 8. Indeks fagositik sel hemosit udang vaname pada masing-masing perlakuan

Terdapat peningkatan aktifitas phenoloxidase pada udang yang mendapat perlakuan ekstrak (Lampiran 14 dan Gambar 9). Akan tetapi hasil analisis ragam (Lampiran 15) pada hari pertama setelah pemberian ekstrak (pengamatan) belum terlihat perbedaan yang nyata pada aktifitas phenoloxidase diantara semua perlakuan. Setelah hari kedua, aktifitas phenoloxidase (0,34±0,12 unit) udang yang mendapat ekstrak G. verrucosa pada dosis 50 µg/g bobot udang lebih tinggi secara nyata daripada udang kontrol (0,06±0,12 unit). Udang yang mendapat perlakuan ekstrak dengan dosis 10, 20, dan 50 µg/g bobot udang memperlihatkan aktifitas phenoloxidase yaitu 0,23±0,11; 0,28±0,09; 0,42±0,07 unit) yang lebih tinggi (p<0,05) daripada udang yang mendapat perlakuan kontrol (0,08±0,05 unit) pada hari keempat pengamatan. Hasil analisis ragam aktifitas phenoloxidase pada hari keenam pengamatan menunjukkan bahwa pemberian ekstrak pada dosis 20 dan 50 µg/g bobot udang memberikan peningkatan aktifitas phenoloxidase yang lebih tinggi dari kontrol (Lampiran 15E).


(44)

0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

0

1

2

4

6

Hari

ke-A

k

ti

fi

ta

s p

h

en

o

lo

x

id

as

e

(O

.D

490 n

m

)

PS

10 µg/g

20 µg/g

50 µg/g

K

ab

a a a a

a a a

ab ab

ab b

ab

a a a

a ab

b b b bc

c

a a

Keterangan : Data (rerata±SD) pada waktu pengamatan yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p<0,05)

Gambar 9. Aktifitas phenoloxidase udang vaname pada masing-masing perlakuan

Data hasil pengamatan clearance efficiency pada udang yang diberi perlakuan masing-masing disajikan pada Lampiran 16. Peningkatan clearance efficiency atau efisiensi pemusnahan V. harveyi terlihat pada hari ke-1 hingga hari ke-4 (Lampiran 16 dan Gambar 10), kemudian terjadi penurunan pada hari ke-6. Hasil analisis ragam (Lampiran 17) menunjukkan bahwa pada hari pertama setelah pemberian ekstrak telah ada perbedaan clearance efficiency (p<0,05) antara udang yang mendapat perlakuan ekstrak G. verrucosa (62,2±9,0%; 52,2±8,0%; 58,8±5,9%) dengan udang kontrol maupun pada udang yang mendapat perlakuan PS (0±0,0% dan 3,3±1,1%). Setelah hari kedua hingga hari keenam pemberian ekstrak terlihat bahwa udang yang mendapat perlakuan 50 µg/g bobot udang memberikan hasil persentase clearance efficiency (68,8±2,7%; 74,0±3,3%; 18,6±0,8%) yang lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan perlakuan lainnya. Walaupun pada hari ke-6 terjadi penurunan persentase clearance efficiency pada perlakuan ekstrak dengan dosis yang berbeda akan tetapi masih lebih tinggi (p<0,05) dari udang kontrol dan PS yaitu 0,0±0,0 dan 3,1±0,7 (Lampiran 17E dan Gambar 10).


(1)

C. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan data clearance efficiency (%) udang vaname pada hari ke-6 setelah pemberian ekstrak

ANOVA

Sumber keragaman

db Jumlah

kuadrat

Kuadrat

tengah F P

Perlakuan 4 878,243 219,561 100,421 0,000

Galat 15 32,796 2,186

Total 19 911,038

Uji lanjut Duncan

Subset for alpha = 0,05* Perlakuan

Ulangan

1 2 3 4

K 4 0,000

PS 4 3,075

10 µg/g 4 10,145

20 µg/g 4 12,255

50 µg/g 4 18,578


(2)

Lampiran 18. Kelangsungan hidup (%) udang vaname selama 6 hari pada frekuensi pemberian 0, 1, 2, 4, dan 6 kali selama 30 hari pemeliharaan

Kelangsungan hidup (%) hari ke- Perlakuan injeksi

ekstrak

N0 U

1 2 3 4 5 6 0 Kali (kontrol) 10

10 10 1 2 3 90 80 90 80 70 70 70 60 60 60 50 50 50 40 50 50 40 40 Rerata ± SD 86,7

± 5,8 73,3 ± 5,8 63,3 ± 5,8 53,3 ± 5,8 46,7 ± 5,8 43,3 ± 5,8

1 Kali 10

10 10 1 2 3 90 100 90 80 90 80 80 80 70 70 80 70 70 80 60 70 80 60 Rerata ± SD 93,3

± 5,8 83,3 ± 5,8 76,7 ± 5,8 73,3 ± 5,8 70,0 ± 10,0 70,0 ± 10,0

2 Kali 10

10 10 1 2 3 100 100 100 100 90 100 90 90 100 90 90 90 90 90 90 90 80 90 Rerata ± SD 100,0

± 0,0 96,7 ± 5,8 93,3 ± 5,8 90,0 ± 0,0 90,0 ± 0,0 86,7 ± 5,8

4 Kali 10

10 10 1 2 3 100 100 100 100 100 100 90 100 90 80 100 90 80 100 90 80 100 90 Rerata ± SD 100,0

± 0,0 100,0 ± 0,0 93,3 ± 5,8 90,0 ± 10,0 90,0 ± 10,0 90,0 ± 10,0

6 Kali 10

10 10 1 2 3 90 100 100 90 90 100 90 80 90 90 80 90 90 80 90 90 70 90 Rerata ± SD 96,7

± 5,8 93,3 ± 5,8 86,7 ± 5,8 86,7 ± 5,8 86,7 ± 5,8 83,3 ± 11,5


(3)

Lampiran 19. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan data kelangsungan hidup (%) udang vaname hari ke-6 setelah uji tantang pada frekuensi pemberian ekstrak G. verrucosa tertentu

ANOVA

Sumber keragaman

db Jumlah

kuadrat

Kuadrat

tengah F P

Perlakuan 4 4373,333 1093,333 13,667 0,000

Galat 15 800,000 80,000

Total 19 5173,333

Uji lanjut Duncan

Subset for alpha: 0,05* Perlakuan

N

1 2 3

0 K 3 43,.33

1K 3 70,00

6K 3 83,33

2K 3 86,67

4K 3 90,00


(4)

Lampiran 20. Pertambahan bobot mutlak (g) udang vaname pada frekuensi pemberian 0, 1, 2, 4, dan 6 kali selama 30 hari pemeliharaan

Perlakuan injeksi ekstrak

Ulangan Berat awal (g)

Berat akhir (g) ∆ Pertambahan bobot mutlak (g)

0 Kali 1

2 3

9,1 9,3 9,1

14,0 15,0 12,4

4,9 5,8 3,3 Rerata 4,7 ± 1,3

1 Kali 1

2 3

9,0 9,3 9,1

14,2 13,5 12,2

5,2 4,2 3,1 Rerata 4,2 ± 1,1

2 Kali 1

2 3

9,0 9,0 9,1

11,3 13,8 11,3

2,3 4,8 2,3 Rerata 3,1 ± 1,4

4 Kali 1

2 3

9,0 9,1 9,0

11,3 10,6 12,4

2,3 1,5 3,4 Rerata 2,4 ± 1,0

6 Kali 1

2 3

9,0 9,0 9,0

12,7 11,7 10,6

3,7 2,7 1,6 Rerata 2,7 ± 1,1


(5)

Lampiran 21. Log. (Y+1) pertambahan bobot mutlak (g) udang vaname pada frekuensi pemberian 0, 1, 2, 4, dan 6 kali selama 30 hari pemeliharaan

Perlakuan injeksi ekstrak

U Berat awal

(g)

Berat akhir (g) ∆ Pertambahan bobot mutlak (g)

Log. ∆ Pertambahan bobot mutlak (g)

0 Kali 1

2 3

9,1 9,3 9,1

14,0 15,0 12,4

4,9 5,8 3,3

0,77 0,83 0,63

1 Kali 1

2 3

9,0 9,3 9,1

14,2 13,5 12,2

5,2 4,2 3,1

0,79 0,72 0,61

2 Kali 1

2 3

9,0 9,0 9,1

11,3 13,8 11,3

2,3 4,8 2,3

0,52 0,76 0,52

4 Kali 1

2 3

9,0 9,1 9,0

11,3 10,6 12,4

2,3 1,5 3,4

0,52 0,40 0,64

6 Kali 1

2 3

9,0 9,0 9,0

12,7 11,7 10,6

3,7 2,7 1,6

0,67 0,57 0,41


(6)

Lampiran 22. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan Log. (Y+1) data pertambahan bobot mutlak udang vaname hari ke-6 setelah uji tantang pada frekuensi pemberian ekstrak G. verrucosa tertentu

ANOVA

Sumber keragaman

db Jumlah

kuadrat

Kuadrat

tengah F P

Perlakuan 4 0,318 0,080 8,657 0,000

Galat 46 0,423 0,009

Total 50 0,741

Uji lanjut Duncan

Log

Subset for alpha = 0,05* Perlakuan

N

1 2 3

4 7 0,5517

6 8 0,5843

2 9 0,6426 0,6426

1 12 0,7218 0,7218

0 14 0,7619