2.6.4. Ciri-Ciri Tahu yang Baik
Tahu yang baik adalah tahu yang berkualitas baik, bergizi dan tahan terhadap penyimpanan. Tahu yang baik tidak cepat mengalami kerusakan yang dapat
menurunkan nilai gizi yang rendah bahkan sampai tahu tidak memenuhi syarat sebagai makanan. Misalnya tahu cepat menjadi basi, tahu cepat menjadi bau yang
tidak disenangi, tahu cepat ditumbuhi jamur yang menghasilkan toksinracun yang dapat mengganggu kesehatan tubuh bagi yang memakan tahu tersebut. Faktor-faktor
yang menentukan mutu tahu adalah, kualitas kedelai yang digunakan, proses pembuatan tahu, dan pemakaian bahan-bahan pembantu lainnya Anonimous, 1981.
Ciri-ciri tahu yang baik adalah: 1.
Berbau khas tahu dan tidak berbau asam. 2.
Teksturnya padat dan tidak lunak sehingga bila diolah tidak mudah hancur. 3.
Pori-porinya halus yang menandakan bahwa kualitas tahu bagus. 4.
Tidak berlendir Anonimous, 2010.
2.6.5. Ciri-Ciri Tahu yang Rusak
Umumnya tahu bersifat mudah rusak busuk. Disimpan pada kondisi biasa suhu ruang daya tahannya rata-rata 1 – 2 hari saja. Setelah lebih dari batas tersebut
rasanya menjadi asam lalu berangsur-angsur busuk, sehingga tidak layak dikonsumsi lagi. Akibatnya banyak usaha yang dilakukan produsen tahu untuk mengawetkannya,
termasuk menggunakan bahan pengawet yang dilarang, misalnya formalin. Ciri-ciri tahu yang mengandung formalin:
1. Tahu tidak rusak sampai 3 hari pada suhu kamar 25 derajat Celsius dan bertahan
lebih dari 15 hari pada suhu lemari es 10 derajat Celsius.
Universitas Sumatera Utara
2. Tahu terlampau keras, namun tidak padat, permukaan menjadi lebih kering.
3. Bau khas agak menyengat, bau formalin.
Dengan meningkatnya penggunaan formalin sebagai pengawet tahu, maka dirasakan perlu untuk mencari alternatif lain yang aman untuk mengawetkan tahu
Kusuma, 2010.
2.6.6. Pengawetan Tahu dengan Bahan Alami
Pengawetan merupakan cara untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme. Makanan yang dimasak akan membunuh organisme
tetapi tidak dijamin menjadi awet Mukono, 2000. Makanan yang mengandung formalin umumnya awet dan dapat bertahan lebih lama, tetapi dapat membahayakan
dan merugikan kesehatan masyarakat. Sejak meningkatnya penggunaan formalin
pada bahan makanan sebagai pengawet maka banyak pihak yang mencari alternatif pengganti formalin. Pengawetan tahu tanpa formalin dapat dilakukan dengan cara:
1. Tahu direndam dalam air yang diberi garam dapur 3 atau cuka 0,1 atau
campuran keduanya. Tahu akan awet sampai 3-4 hari. 2.
Tahu dikukus atau direbus dan direndam dengan air perebusannya juga dapat memperpanjang daya awetnya.
Tabel 2.1 Hasil Pengawetan Tahu Tanpa Formalin Perlakuan
Perendaman 1 hari
2 hari 3 hari
Tahu pada suhu kamar tanpa perendaman
Mulai berbau Rusak
Rusak Perendaman dengan air
tidak diganti Normal, air keruh
Berbau Rusak
Perendaman dengan air dan air perendam diganti-ganti
Normal Normal
Rusak
Universitas Sumatera Utara
Perendaman air dan garam 3
Normal, air keruh Normal
Mulai berbau Perendaman air garam 3
dan cuka 0,1 Normal
Normal Normal
Pengukusan 20 menit dan direndam air panas
Normal Normal
Mulai berbau Perebusan 20 menit dan
direndam air rebusan Normal
Normal Mulai berbau
Sumber: Widyaningsih, 2006 Salah satu pengawetan tahu tanpa formalin, tetapi dengan bahan alami juga
dapat dilakukan dengan cara perendaman tahu pada larutan chitosan. Aplikasi chitosan juga sudah dilakukan peneliti dari Departemen Teknologi Hasil Perairan
THP Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor FPIK-IPB yang telah berhasil memanfaatkan limbah dari udang dan rajungan sebagai bahan
pengawet makanan. Keunggulan penggunaan chitosan sebagai bahan pengawet ikan berdasarkan indikator parameter daya awet hasil pengujian antara lain : 1 Pada
keefektifan dalam mengurangi jumlah lalat yang hinggap, di mana pada konsentrasi chitosan 1,5 persen, dapat mengurangi jumlah lalat secara signifikan, 2 Pada
keunggulan dalam uji mutu hedonik penampakan dan rasa, di mana hasil riset menunjukkan penampakan ikan asin dengan coating atau pelapisan chitosan lebih
baik bila dibandingkan dengan ikan asin tanpa formalin dan ikan asin dengan formalin. Coating chitosan pada ikan cucut asin memberikan rasa yang lebih baik
dibanding dengan tanpa formalin dan pelakuan formalin pada penyimpanan minggu ke delapan, 3 Pada keefektifan dalam menghambat pertumbuhan bakteri, di mana
nilai TPC bakteri sampai pada minggu kedelapan perlakuan, pelapisan chitosan masih sesuai dengan SNI Standar Nasional Indonesia ikan asin Anonimous, 2006.
Universitas Sumatera Utara
Swastawati, dkk. 2008 telah mengawetkan ikan pindang layang dengan larutan chitosan 0,25 sehingga masih dapat dikonsumsi sampai hari kedua.
Demikian juga Wardaniati dan Setyaningsih 2009 menggunakan larutan chitosan untuk mengawetkan bakso dengan konsentrasi 1,5 sehingga dapat disimpan sampai
hari ketiga. Chitosan dapat digunakan sebagai pengawet karena sifat-sifat yang
dimilikinya yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi yang minimal
antara produk dan lingkungannya. Mekanisme kerja chitosan lewat dua cara. Pertama, chitosan bisa membunuh bakteri, dengan cara mengikat organisme patogen dengan
polikation bermuatan positif. Organisme pun tidak bisa tumbuh atau bergerak. Kedua, chitosan akan melapisi kulit luar produk yang diawetkan, sehingga rasa dari dalam
tidak bisa keluar dan kontaminan dari luar tidak bisa masuk Swastawati, dkk., 2008.
2.7. Chitosan Tidak Berbahaya Untuk Dikonsumsi Chitosan adalah serbuk yang dihasilkan dari deasetilasi chitin, senyawa yang
banyak diperoleh di kerangka luar eksoskeleton hewan Crustacea seperti udang, kerang, dan kepiting Rhamnosa, 2006. Serbuk yang telah dilepaskan asetilnya
merupakan zat murni, tinggi sifat basanya, serta mengandung banyak molekul glukosa. Dalam chitosan terdapat unsur butylosar yang bermanfaat bagi tubuh
manusia. Butylosar yang telah didapatkan itu hanya larut dalam asam encer dan cairan tubuh manusia. Dengan demikian, butylosar dapat diserap oleh tubuh. Zat itu
merupakan satu-satunya selulosa yang dapat dimakan. Zat ini mempunyai muatan
Universitas Sumatera Utara
positif yang kuat, dan dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Selain itu, zat ini mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun Nasir, 2008.
Selain telah memenuhi standard secara mikrobiologi ditinjau dari segi kimiawi juga aman karena dalam prosesnya chitosan cukup dilarutkan dengan asam
asetat encer 1 hingga membentuk larutan chitosan homogen yang relatif lebih aman Wardaniati, 2009.
Masalah utama yang dihadapi dalam memproduksi chitin dan chitosan di Indonesia adalah kualitas produk masih rendah, kontinuitas suplainya belum pasti dan
belum bisa diakses oleh semua kalangan. Selain itu banyak masyarakat yang belum
mengetahui fungsi dari chitin-chitosan Swastawati, dkk., 2008.
Jurnal Jonathan Rhodes dan Bob Rastall menyebutkan tentang paten produk di Rusia yang menggunakan chitosan sebagai pengawet untuk kaviar, yang dinyatakan
efektif dengan kombinasi masing-masing 0,1 chitosan dan asam sorbat Rhamnosa, 2006. Di Indonesia produksi chitosan dalam skala relatif besar mulai diujicobakan
CV Dinar yang berlokasi di sebuah kawasan nelayan di Jl.Raya Dadap, Tangerang Banten Anonimous, 2006.
2.8. Kerangka Konsep