BAB VI MELANGKAHI KAKAK PERKAWINAN
ADAT MANDAILING
A. Pengertian Perkawinan Melangkahi Kakak
Defenisi atau pengertian tentang pernikahan melangkahi kakak tidak ditemukan secara spesifik pembahasannya dalam literatur fiqh maupun Kompilasi
Hukum Islam. Namun, secara terpisah kedua kata tersebut dapat dirujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata melangkahi
berasal dari akar kata “langkah” yang berawalan
“me” dan berakhiran “i”. salah satu makna dari kata ini adalah “mendahului kawin”. Ada juga ditemukan kata “ke-langka-han” yang bermakna
“didahuli kawin”.
1
Sedangkan kata “kakak” dalam kamus yang sama memiliki makna 1 saudara yang lebih tua 2 panggilan kepada laki-laki atau perempuan yang
dianggap lebih tua 3 panggilan kepada suami. Dari dua akar kata di atas dapat diartikan bahwa perkawinan melangkahi
kakak adalah perkawinan seorang adik yang melangkahi saudara tertua dari laki-laki atau perempuan dalam menikah.
Apabila ada seseorang yang melakukan pernikahan padahal masih ada kakak laki-laki atau perempuan nya yang belum menikah, maka pernikahannya tersebut
dapat digolongkan kepada perkawinan yang melangkahi kakak. Setiap daerah memiliki budaya yang berbeda-beda. Dalam memahami
pernikahan melangkahi kakak juga akan berbeda pemahaman antara satu daerah
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Diakses pada tanggal 09 Nopember 2010 dari Indonesia- gratis-lengkap.php.htm
dengan daerah lainnya, orang Sunda belum tentu memiliki pemahaman yang sama dengan orang Batak
. Apalagi pada kata “kakak” sering terjadi pemahaman yang berbeda, panggilan “kakak” hanya diberikan kepada saudara perempuan yang lebih
tua umurnya pada masyarakat Batak, sedangkan di tempat lain belum tentu demikian.
B. Larangan Perkawinan Melangkahi Kakak
1. Pandangan Masyarakat, Ulama dan Tokoh Adat Mandailing
a. Pandangan Masyarakat Desa Sirambas
Pada dasarnya masyarakat desa Sirambas sudah mulai menganggap perkawinan melangkahi kakak menjadi sesuatu yang biasa, walaupun masih ada
beberapa orang tua yang menghalang-halangi perkawinan tersebut, bahkan dalam pergaulan hidup masyarakat sudah sering melakukannya. Berbeda dengan desa
Sirambas 10 tahun yang lalu, saat itu orang masih menganggap perkawinan tersebut sesuatu yang tabu, karena ada beberapa alasan:
2
Pertama, apabila ada seorang perempuan dilangkahi kawin oleh adiknya yang perempuan, maka diasumsikan kakaknya itu tidak laku atau tidak dapat jodoh.
Kedua, bila seorang perempuan dilangkahi kawin oleh adik perempuannya, dikhawatirkan si kakak sulit untuk mendapatkan jodoh atau jadi perawan tua.
Maka dari hal itu diharuskan bagi seorang yang ingin menikah melangkahi kakak untuk meminta izin terlebih dahulu kepada kakaknya, supaya perkawinannya
nanti tidak mendapat halangan dan rintangan. Karena masih menjadi kepercayaan sebagian masyarakat bila adik tidak meminta izin, maka dikhawatirkan terjadi hal-hal
2
Hasil wawancara dengan Ibu Amaliah Nasution pada hari Rabu 17 Nopember 2010
yang tidak diinginkan dalam perkawinannya atau menimpa sang kakak sendiri, seperti yang dijelaskan di atas.
Menurut data yang diambil dari KUA Panyabungan Barat, bahwa dari 22 orang perempuan yang menikah dari desa Sirambas sepanjang tahun 2009-2010,
terdapat 5 orang diantaranya melakukan pernikahan melangkahi kakak.
3
Hal ini menunjukkan betapa masyarakat sudah mulai mengganggap itu sesuatu yang biasa.
Namun walaupun demikian masih ada anggapan dari sebagian masyarakat bahwa bila masih ada kakak gadis yang mau menikah tersebut yang belum menikah,
maka seharusnya dia bersabar dulu, menunggu kakaknya dapat jodoh, itupun apabila gadis itu belum terlalu tua. Karena bagaimanapun juga antara kakak dengan adik
masih harus saling menghargai. Soal adanya uang pelangkah yang harus dibayarkan bila perkawinan tersebut
melangkahi, ada dua pendapat dikalangan masyarakat; pertama, bahwa kewajiban uang pelangkah itu dibebankan kepada calon suami. Kedua, dibebankan kepada adik
yang mau menikah, dengan cara mengambil sebagian dari maharnya. Sedangkan nominal yang harus dibayarkan tidak ada patokannya, tergantung berapa yang
disepakati pada saat tahapan membicarakan mahar. Dari wawancara peneliti dengan warga masyarakat, dapat keterangan bahwa
dalam bidang perkawinan sebenarnya sudah banyak adatkebiasaan yang sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian masyarakat, misalkan saja tradisi mengkhatam bagi
calon istri pada malam pestanya atau sebelum dilangsungkannya acara akad nikah, ini sudah jarang ditemukan.
3
Data diambil dari KUA Panyabungan Barat pada tangal 19 Nopember 2010
b. Pandangan Ulama
Perkawinan itu merupakan sesuatu yang harus disegerakan bila sudah tiba saatnya, apalagi melihat kondisi masyarakat sekarang ini, yang budaya ketimurannya
sudah digilas oleh budaya barat. Sangat sulit untuk menyelamatkan anak-anak muda dari keterjerumusan kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang agama.
4
Ketika ditanya soal bagaimana pandangan beliau tentang adanya larang melangkahi kakak dalam adat mandailing, beliau menjelaskan bahwa hal tersebut
sangat tidak dibenarkan, apalagi sampai menggagalkan pernikahan tersebut. Karena perkawinan itu merupakan anjuran agama. Banyak ayat maupun hadits yang
menjelaskan betapa pentingnya melangsungkan perkawinan, bahkan ada anjuran mensegerakan perkawinan, bila takut jatuh kepada perbuatan yang diharamkan
agama. Terkait dengan itu, masalah adanya uang pelangkah yang harus diberikan
kepada kakak yang dilangkahi, pak Ustadz memberi penjelasan dengan; a.
Apabila uang pelangkah itu menyebabkan terhalangnya penikahan, misalkan pihak suami tidak mampu untuk membayarkan, maka tindakan tersebut
adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. b.
Apabila uang pelangkah itu tidak sampai memberatkan, maka itu adalah hal- hal yang wajar saja, dan itu memang berguna buat kakaknya yang dilangkahi,
dan pada prinsipnya yang dipraktekkan kebanyakan masyarakat, tidak sampai memberatkan kepada pihak keluarga laki-laki, walaupun tidak menutup
kemungkinan yang menyalahi itu.
4
Hasil wawancara dengan Ustadz Malim Sulaiman pada malam Selasa 22 Nopember 2010
Demikian juga halnya dengan orang tua yang menghalagi anak perempuan untuk menikah, disebabkan masih ada kakaknya yang belum menikah. Ini merupakan
perbuatan yang dicela. Pada dasarnya menikah itu merupakan hak yang sangat asasi, kebutuhan yang sangat mendasar bagi laki-laki dan perempuan yang sudah mencapai
umur dewasa, dan itu merupakan tuntutan fitrahnya.
5
c. Pandangan Tokoh Adat
Hampir seirama dengan Ustadz Malim Sulaiman, menurut tanggapan tokoh adat desa Sirambas ketika diwawancarai menjelaskan bahwa, sebenarnya masalah
jodoh itu merupakan kewenangan Tuhan yang Maha Kuasa, manusia tidak dapat menentukan kapan jodohnya datang.
6
Namun walaupun demikian, menurut adat bila seseorang yang ingin menikah melangkahi kakaknya, maka diharuskan meminta izin kepada sang kakak terlebih
dahulu, sebelum ia melangsungkan perkawinan. Ini bertujuan supaya kakaknya So ulang tarlimpon tondi biar jangan merasa rendah hati. Sebenarnya adat tidak sampai
menghalang-halangi seseorang untuk menikah, jika itu berkaitan dengan persoalan ada kakaknya yang belum menikah, akan tetapi ada kewajiban adik untuk meminta
izin kepada kakaknya. Tapi walaupun demikian masih ada juga orang yang menghalang-halangi
pernikahan tersebut. Itupun sebenarnya bukan karena adatnya, melainkan kembali kepada orang tua gadis tersebut yang tidak menginginkan ada anak perempuannya
5
Hasil wawancara Ustadz Malim Sulaiman pada tanggal 22 Nopember 2010
6
Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad Amin pada tanggal 20 Nopember 2010
yang dilangkahi kawin, dengan mendasarkan kepada keharusan dalam adat untuk meminta izin kepada sang kakak.
Bicara soal adanya uang pelangkah, beliau menjelaskan bahwa itu sebenarnya tidak ditentukan nominalnya, melainkan tergantung seberapa kemampuan
keluarga laki-laki. Dan memang menurut pengamatan beliau selama ini, belum ada yang merasa diberatkan dengan adanya uang pelangkah tersebut.
2. Pandangan Fiqh dan KHI
a. Fiqh
Ketika melakukan pembahasan menggunakan perspektif fiqh, disini penulis akan meninjau apakah ada praktek dalam adat yang berkaitan dengan perkawinan
melangkahi kakak bertentangan dengan fiqh. Dalam literatur fiqh pembahasan mengenai larangan menikah hanya pada
hal-hal yang berkaitan dengan adanya hubungan sedarah, perkawinan, persusuan antara kedua calon suami istri. Sedangkan untuk larangan melangkahi kakak tidak
ditemukan. Justru yang ada adalah anjuran untuk menyegerakan pernikahan. Seperti dijelaskan oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya, jika seseorang
sudah merasa perlu untuk menikah dan dikhawatirkan akan terjerumus kepada perzinaan, maka ia diwajibkan untuk mendahulukan pernikahan daripada kewajiban
haji.
7
Berdasarkan hal tersebut, maka praktek melarang seseorang untuk menikah disebabkan masih ada kakaknya yang belum menikah adalah tidak dibenarkan,
bahkan bisa jatuh perbuatan yang diharamkan. Hal ini berdasarkan kepada ayat al-
7
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 2009, h. 459
Qur’an yang telah menegaskan tentang mensegerakan perkawinan. Sebagaimana yang terdapat dalam surah an-Nur ayat 32
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang- orang yang layak berkawin dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha
mengetahui
”
M. Quraish Shihab dalam tafsir al- Misbahnya menjelaskan kata “al-ayyama”
adalah bentuk jamak dari ayyim yang pada mulanya berarti perempuan yang tidak memiliki pasangan. Tadinya kata ini hanya digunakan untuk para janda, tetapi
kemudian meluas sehingga masuk juga gadis-gadis, bahkan meluas sehingga mencakup juga pria yang hidup membujang, baik jejaka maupun duda. Bahkan Ibnu
„Asyur dalam tafsirnya sebagaimana dikutip oleh M.Quraish Shihab, menjelaskan bahwa perintah ini dapat merupakan perintah wajib jika pengabaiannya melahirkan
kemudharatan agama dan masyarakat.
8
Abdul Aziz bin Abdurrahman dalam bukunya menjelaskan, sesungguhnya Allah maha mengetahui, bahwa manusia seringkali menolak orang yang meminang
anak gadisnya, karena orang tersebut miskin. Padahal sesungguhnya mereka itu
8
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesa, Kesan dan Keserasian al- Qur’an, jilid 9,
Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 335
mengerti, bahwa anaknya itu sekufu dengan orang itu, baik agamanya, akhlaknya, maupun keturunannya.
9
Memang kafa’ah itu diatur dalam perkawinan Islam; namun karena dalil
yang mengaturnya tidak ada yang jelas dan spesifik baik dalam al- Qur’an maupun
dalam hadits, maka kafa’ah menjadi pembicaraan di kalangan ulama, baik mengenai
kedudukannya dalam perkawinan, maupun kriteria apa yang digunakan dalam penentuan
kafa’ah itu.
10
Masalah kafaah yang perlu diperhatikan dan menjadi ukuran sikap hidup yang lurus dan sopan, bukan karena keturunan, pekerjaan, kekayaan, dan sebagainya.
Seorang laki-laki yang saleh walaupun dari keturunan rendah berhak menikah dengan perempuan yang derajat tinggi. Laki-laki yang memiliki kebesaran apapun berhak
menikah dengan perempuan yang memiliki derajat dan kemasyhuran yang tinggi.
11
Sehingga tidak tepat membedakan manusia disebabkan perbedaan keturunan, pekerjaan, kekayaan, dan sebagainya. Karena yang membedakan manusia hanya
ketakwaan. Sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Hujurat ayat 13:
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
9
Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Perkawinan dan Permasalahannya, Jakarta: Pustaka Kautsar, 1993, h. 59
10
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media Group, 2009, h. 140
11
M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2009, h. 56
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dari ulasan tersebut dan dijelaskan bahwa sesungguhnya mempercepat perkawinan dan selalu melapangkan jalannya adalah menjaga kemaslahatan; agar
tidak jatuh dan terjerumus ke dalam perbuatan dosa yang akibatnya ditanggung oleh keluarga khususnya dan masyarakat secara keseluruhan. Semua fitnah dan kerusakan
serta kehancuran moral tidak hanya menimpa kedua belah pihak, tetapi akan menjalar ke seluruh penduduk negeri.
b. KHI
Kompilasi Hukum Islam sebenarnya hampir sejalan dengan fiqh, karena KHI merupakan godokan dari para ulama dengan menggunakan fiqh klasik maupun fiqh
kontemporer, dengan menyesuaikan kepada masyarakat Indonesia. Karena dalam penyusunan KHI, secara subtansial dilakukan dengan mangacu
kepada sumber hukum Islam, yakni al- Qur’an dan Sunnah Rasul; dan secara hirarkial
mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu, para perumus KHI memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global serta
memperhatikan tatanan hukum adat, yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Dengan demikian, KHI merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas
di Indonesia, dengan perkataan lain, KHI merupakan wujud hukum Islam yang bercorak ke-Indonesiaan.
12
12
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 8
Berdasarkan hal itulah, pembahasan mengenai larangan perkawinan tidak berbeda dengan apa yang dijelaskan dalam fiqh. Sehingga tidak ditemukan larangan
yang berkaitan dengan melangkahi kakak perempuan. Hanya saja dalam KHI terdapat 6 pasal yang menjelaskan larangan perkawinan dimulai dari pasal 39 sampai dengan
pasal 46, yang kesemuanya itu telah dimuat pada bab II pada skripsi ini.
C. Analisis Penulis
Dari beberapa penjelasan di atas, ada beberapa hal menurut penulis yang menarik untuk dianalisis, yaitu:
1. Soal larangan melangkahi, apakah kemudian bila pernikahan tersebut
dilangsungkan dapat mempengaruhi sah tidaknya suatu pernikahan. 2.
Apakah praktek membayar uang pelangkah merupakan sesuatu yang dibenarkan atau tidak.
Untuk pembahasan yang pertama, sesuai dengan penjelasan-penjelasan yang tersebut di atas, baik menggunakan perspektif fiqh maupun KHI, sudah sangat jelas
bahwa pernikahan seorang perempuan tidak dapat dipengaruhi oleh kakak perempuannya yang belum menikah. Bahkan menurut penulis seorang kakak tidak
dapat menghalang-halangi adik perempuannya untuk menikah. Sebuah bentuk keegoisan menurut penulis bila itu dilakukan oleh seorang perempuan.
Bahkan bagi seorang ibu sendiripun tidak boleh menghalang-halangi anak perempuannya untuk menikah, apalagi memang sudah saatnya untuk menikah.
Karena banyak hal yang dikhawatirkan, misalnya terjadi perbuatan yang melanggar agama, bahkan bisa dihukumkan haram.
Makanya melangkahi tidaklah mempengaruhi terhadap sah tidaknya suatu pernikahan. Karena itu tidak menjadi persyaratan, dalam adat sendiri larangan
tersebut tidak sampai menjadi sesuatu yang menyebabkan sah tidaknya pernihakan itu.
Namun menurut pandangan penulis, diharuskannya minta izin kepada kakak yang mau dilangkahi, tidak lebih sebagai penghargaan adik kepada kakaknya. Dan
hal memang pantas untuk dilakukan, sebagai bentuk penghormatan kepada sang kakak. Walaupun masih ada di sebagian warga yang melarang anak perempuannya
menikah, disebabkan masih ada kakaknya. Bicara kebiasaan “adat” yang mengharuskan adik untuk meminta izin kepada
kakaknya, penulis mencoba menggunakan salah satu metode ijtihad yang dijadikan ulama sebagai intrumen untuk mengistinbath hukum. Adapun kaidah yang berkaitan
dengan itu adalah:
“adat kebiasaan itu ditetapkan sebagai hukum”
13
Alasan ulama mengenai penggunaan penerimaan mereka terhadap adat tersebut adalah berdasar kepada hadits yang berasal dari Abdullah ibn Mas’ud yang
dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya, yaitu:
14
“Apa yang dipandang ummat Islam sebagai sesuatu yang baik, maka hal tersebut di sisi Allah adalah baik”
13
Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah, h. 94
14
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, h. 376
Menurut penulis dengan menggunakan kaidah tadi, tidak semua dari praktek larangan melangkahi tersebut dapat di
katakan bertentangan dengan syara’. Maka harus dipisahkan antara larangannya dengan diharuskannya untuk meminta izin. Bagi
penulis meminta izin disini mengandung mashlahat buat hubungan persaudaraan dan keluarga nantinya. Karena pada dasarnya pernikahan itu bukan hanya kepentingan
suami istri saja, tapi lebih dari itu. Jangan sampai dengan adanya perkawinan menyebabkan retaknya hubungan antara adik dengan kakaknya.
Dalam hal “menghalangi menikah” penulis sendiri sepakat bahwa perbuatan
tersebut yang sangat tercela. Namun dalam hal meminta izinnya, penulis berpedoman kepada penjelasan Prof. Amir Syarifuddin dalam buku ushul fiqhnya, yang
menjelaskan bahwa terjadinya pertemuan antara syara’ dan adat akan menimbulkan perbenturan. Maka perlu dilakukan proses penyeleksian adat yang dipandang masih
diperlukan untuk dilaksanakan.
15
Salah satu pedoman yang dijadikan pedoman penyeleksian adalah “Adat yang lama yang pada prinsipnya secara substansial mengandung unsur kemaslahatan
”. Maksudnya dalam perbuatan itu terdapat unsur manfaat, namun dalam pelaksanaan
selanjutnya mengalami perubahan dan penyesuaian. Adapun unsur manfaat yang bisa diambil dalam praktek tersebut adalah
supaya kakak yang dilangkahi itu tidak merasa kecil hati, atau tidak merasa bahwa dia seorang gadis yang tidak laku. Jadi menurut penulis untuk yang satu ini memang
harus dipertahankan, tetapi harus dilakukan penyesuaian jangan sampai bertentangan
15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, Jakarta: Prenada Media Group, 2009, h. 153
dengan syara’, misalnya sampai tidak membolehkan adiknya untuk menikah, atau dijadikan alat untuk menghalangi adiknya menikah, maka ini tidaklah dibenarkan.
Selanjutnya pada pembahasan kedua, tentang uang pelangkah. Menurut keterangan yang penulis dapatkan dari hasil wawancara dengan tokoh adat, ulama,
kepala desa, semuanya memiliki pemahaman yang sama tentang “uang pelangkah”. Bahwa uang pelangkah disini hanya sebagai pemberian suka rela, yang tidak ada
patokan dalam adat berapa nominal yang harus diberikan oleh pihak keluarga laki- laki, kepada kakak yang dilangkahi itu.
Namun sedikit tambahan dari Ustadz Malim Sulaiman, beliau menerangkan bila “uang pelangkah” itu dijadikan sebagai persyaratan, maka itu tidak dibenarkan.
Menurut penulis sendiri dengan melihat kepada realitas yang ada di desa Sirambas, bahwa apa yang dipraktekkan masyarakat selama ini hanya sebagai
pemberian suka rela , yang dalam istilah adatnya “so ulang tarlimpon tondi” supaya
jangan merasa rendah diri, dan lagi ini tidak sampai memberatkan kepada pihak keluarga laki-laki, maka itu sah-sah saja dilakukan. Namun apabila sampai
memberatkan, dan dijadikan sebagai alat untuk menghalang-halangi pernikahan, maka sangatlah tidak dibenarkan.
Jadi dari praktek perkawinan adat Mandailing menurut penulis, ada yang harus dihilangkan dan ada juga yang harus dipertahankan sebagaimana dijelaskan
sebelumnya.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam kesimpulan skripsi
“Larangan melangkahi kakak dalam perkawinan adat Mandailing” ini penulis ingin membagi kepada beberapa point
penting yaitu: 1.
Status hukum perkawinan melangkahi kakak. Dari penjelasan pada bab terdahulu dapat disimpulkan bahwa, perkawinan
melangkahi kakak tidak ada larangan dalam fiqh maupun dalam Kompilasi Hukum Islam, bahkan bentuk perkawinan tersebut tidak diatur atau tidak dikenal, karena
memang bentuk berkawinan seperti ini adalah praktek perkawinan yang dilakukan masyarakat desa Sirambas yang mendasarkan kepada aturan adat-adat istiadat
Mandailing Natal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perkawinan tersebut tetap sah menurut fiqh maupun menurut perundang-undangan yang berlaku di Negara ini.
2. Tanggapan Umum Masyarakat, Ulama dan Tokoh Desa Sirambas.
Masyarakat desa Sirambas masih tetap mempertahankan adat istiadat mereka. Hal ini dapat dilihat dari praktek perkawinan, yang masih tetap melalui tahapan-
tahapan yang sudah menjadi ketetapan adat istiadat sejak dahulu. Namun seiring perkembangan peradaban, banyak juga yang sudah melakukan penyesuaian-
penyesuaian. Melangkahi kakak di desa Sirambas pada saat peneliti melakukan wawancara
dengan masyarakat yang meliputi warga, kepala desa, tokoh adat, dan ulama,