Pengertian Perkawinan PENGERTIAN DAN TUJUAN PERKAWINAN

BAB II PENGERTIAN DAN TUJUAN PERKAWINAN

A. Pengertian Perkawinan

Prof. Muhammad Amin Suma dalam bukunya, sebagaimana beliau mengutip dari pendapat Abdur Rahman al-Jaziri menjelaskan, bahwa kata “kawin” paling tidak dapat didekati dari tiga aspek pengertian, yakni makna lughawi etimologis, makna ushuli syari’i dan makna fiqh hukum. Namun pembahasan di depan ini hanya ingin mencoba menjabarkan pengertian “nikah” dengan menggunakan paling tidak dua dari tiga pendekatan tersebut di atas, yaitu dari sudut pandang lughawi dan makna fiqh hukum. 1 Adapun pendekatan makna ushuli yang menitikberatkan pembahasannya pada filsafat hukum tidak menjadi pembahasan dalam tulisan ini, demi untuk mempersingkat penulisan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. 2 Sedangkan Dalam kamus istilah fiqh dijelaskan bahwa nikah adalah suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. 3 Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah حاكن dan zawaja جاوز. Kedua kata ini yang 1 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h. 41 2 Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, h. 456 3 M. Abdul Mujieb, dan Mabruri Tholhah, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994, h.249 terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al- Qur’an dan hadits Nabi. 4 Secara arti kata nikah berarti “bergabung” مض , “hubungan kelamin” ءطو dan juga berarti “akad” دقع. Adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat dalam al- Qur’an memang mengandung arti tersebut. 5 Kata nikah yang bermakna hubungan kelamin terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 230:                                  Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya sesudah talak yang kedua, Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya bekas suami pertama dan isteri untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang mau m engetahui” Ayat ini mengandung arti “hubungan kelamin” bukan hanya sekedar akad nikah, karena ada petunjuk dari hadits Nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki- laki yang kedua perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang kedua telah merasakan nikmatnya hubungan kelamin dengan perempuan tersebut. Dalam al- Qur’an terdapat pula kata nikah dengan arti akad, seperti tersebut dalam firman Allah surat an- Nisa’ ayat 22: 4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006, h. 35 5 Ibid.,                     Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk- buruk jalan yang ditempuh” Ayat tersebut seolah ingin menegaskan bahwa hakikat dari perkawinan itu adalah akadnya. Asalkan saja seorang ayah sudah melangsungkan akad pernikahan dengan seorang perempuan, sekalipun belum pernah disetubuhi, maka tidak ada kebolehan bagi anak-anaknya untuk menikahi perempuan tersebut. Adapun dalam arti terminologis terdapat beberapa defenisi yang berbeda, tetapi saling melengkapi satu sama lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan dalam titik pandangan di kalangan ulama. Salah satu di antaranya ialah: “Akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalakan bersenang-senangnya perempuan dengan laki- laki” 6 Sedangkan dari kalangan Syafi’iyah merumuskan nikah sebagai berikut: “Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa- ja” 7 6 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group, 2003, h. 8 7 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 37 Pemberian defeni si oleh kalangan Syafi’iyah sebagaimana disebutkan di atas melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami dan istri yang berlaku sesudahnya yaitu bolehnya bergaul, sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung di antara keduanya tidak ada kebolehan. Hampir senada dengan itu kalangan Hanafiyah mendefenisikan dengan: “Akad yang ditentukan untuk memberi hak kepada seorang laki-laki menikmati kesenangan dengan seorang perempuan secara sengaja”. 8 Defenisi lainnya dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya al- Akhwal al-Syakhsiyyah, sebagai berikut: “Akad yang berfungsi untuk membolehkan bersenang-senang berhubungan badan antara dua orang yang berakad dengan cara yang disyariatkan” 9 Namun yang dimaksud dengan dua orang yang berakad di sini adalah antara calon suami dengan calon istrinya. Defenisi-defenisi yang diberikan oleh ulama terdahulu sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab fiqh klasik tersebut di atas begitu pendek dan sederhana hanya mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan, yaitu kebolehan melakukan hubungan kelamin setelah berlangsungnya perkawinan itu. 10 Oleh karena itu ulama kontemporer mencoba memperluas jangkauan defenisi ataupun pengertian 8 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, jilid 9, Damaskus: Dar al-Fikr, 2007, h. 6514 9 Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, Qahirah: Dar al-Fikr, 2005, h. 19 10 Ibid., perkawinan, misalnya defenisi yang diberikan oleh Dr. Ahmad Ghundur dalam bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyah fi al- Tasyri’ al-Islamiy, mendefenisikan: “Akad yang membolehkan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua belah pihak secara timbal balik hak dan kewajiban”. 11 Sedangkan di dalam UU No. 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefenisikan sebagai: 12 “Ikatan lahir dan bathin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujaun membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 13 Dalam undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, perkawinan tidak hanya dilihat dari segi hukum formal, tapi juga dilihat dari sifat sosial sebuah perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga. 14 Perkawinan adalah sendi keluarga, sedangkan keluarga adalah sendi masyarakat, bangsa, dan umat manusia. Hanya bangsa yang tidak mengenal nilai-nilai hidup dan kehormatan yang tidak mengutamakan tata aturan perkawinan. 15 11 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 39 12 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 42 13 Kamarusdiana dan Jaenal Arifin, Perbandingan Hukum Perdata, Ciputat: UIN Jakarta Press, 2007, h. 4 14 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 42 15 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2008, h. 2 Pencantuman kata berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena Negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pernikahan adalah, “Akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Dari perumusan defenisi pernikahan di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: 1. Digunakannya kata “seorang pria dengan seorang perempuan”. Hal ini mengandung arti bahwa perkawinan hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. 2. Ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam satu rumah tangga, bukan hanya dala m istilah “hidup bersama”. 3. Penyebutan “berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”, menandaskan bahwa bagi Islam perkawinan adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama. 16 Dari semua penjelasan yang disebutkan di atas, paling tidak dapat disimpulkan bahwa pernikahan itu adalah “suatu akad yang membolehkan hubungan suami istri untuk membangun keluarga yang sakinah, kekal, dan diridhoi Allah SWT ” 16 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 40

B. Dasar Hukum Perkawinan