Pandangan Fiqh dan KHI

yang dilangkahi kawin, dengan mendasarkan kepada keharusan dalam adat untuk meminta izin kepada sang kakak. Bicara soal adanya uang pelangkah, beliau menjelaskan bahwa itu sebenarnya tidak ditentukan nominalnya, melainkan tergantung seberapa kemampuan keluarga laki-laki. Dan memang menurut pengamatan beliau selama ini, belum ada yang merasa diberatkan dengan adanya uang pelangkah tersebut.

2. Pandangan Fiqh dan KHI

a. Fiqh Ketika melakukan pembahasan menggunakan perspektif fiqh, disini penulis akan meninjau apakah ada praktek dalam adat yang berkaitan dengan perkawinan melangkahi kakak bertentangan dengan fiqh. Dalam literatur fiqh pembahasan mengenai larangan menikah hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan adanya hubungan sedarah, perkawinan, persusuan antara kedua calon suami istri. Sedangkan untuk larangan melangkahi kakak tidak ditemukan. Justru yang ada adalah anjuran untuk menyegerakan pernikahan. Seperti dijelaskan oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya, jika seseorang sudah merasa perlu untuk menikah dan dikhawatirkan akan terjerumus kepada perzinaan, maka ia diwajibkan untuk mendahulukan pernikahan daripada kewajiban haji. 7 Berdasarkan hal tersebut, maka praktek melarang seseorang untuk menikah disebabkan masih ada kakaknya yang belum menikah adalah tidak dibenarkan, bahkan bisa jatuh perbuatan yang diharamkan. Hal ini berdasarkan kepada ayat al- 7 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 2009, h. 459 Qur’an yang telah menegaskan tentang mensegerakan perkawinan. Sebagaimana yang terdapat dalam surah an-Nur ayat 32                     Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang- orang yang layak berkawin dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba- hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui ” M. Quraish Shihab dalam tafsir al- Misbahnya menjelaskan kata “al-ayyama” adalah bentuk jamak dari ayyim yang pada mulanya berarti perempuan yang tidak memiliki pasangan. Tadinya kata ini hanya digunakan untuk para janda, tetapi kemudian meluas sehingga masuk juga gadis-gadis, bahkan meluas sehingga mencakup juga pria yang hidup membujang, baik jejaka maupun duda. Bahkan Ibnu „Asyur dalam tafsirnya sebagaimana dikutip oleh M.Quraish Shihab, menjelaskan bahwa perintah ini dapat merupakan perintah wajib jika pengabaiannya melahirkan kemudharatan agama dan masyarakat. 8 Abdul Aziz bin Abdurrahman dalam bukunya menjelaskan, sesungguhnya Allah maha mengetahui, bahwa manusia seringkali menolak orang yang meminang anak gadisnya, karena orang tersebut miskin. Padahal sesungguhnya mereka itu 8 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesa, Kesan dan Keserasian al- Qur’an, jilid 9, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 335 mengerti, bahwa anaknya itu sekufu dengan orang itu, baik agamanya, akhlaknya, maupun keturunannya. 9 Memang kafa’ah itu diatur dalam perkawinan Islam; namun karena dalil yang mengaturnya tidak ada yang jelas dan spesifik baik dalam al- Qur’an maupun dalam hadits, maka kafa’ah menjadi pembicaraan di kalangan ulama, baik mengenai kedudukannya dalam perkawinan, maupun kriteria apa yang digunakan dalam penentuan kafa’ah itu. 10 Masalah kafaah yang perlu diperhatikan dan menjadi ukuran sikap hidup yang lurus dan sopan, bukan karena keturunan, pekerjaan, kekayaan, dan sebagainya. Seorang laki-laki yang saleh walaupun dari keturunan rendah berhak menikah dengan perempuan yang derajat tinggi. Laki-laki yang memiliki kebesaran apapun berhak menikah dengan perempuan yang memiliki derajat dan kemasyhuran yang tinggi. 11 Sehingga tidak tepat membedakan manusia disebabkan perbedaan keturunan, pekerjaan, kekayaan, dan sebagainya. Karena yang membedakan manusia hanya ketakwaan. Sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Hujurat ayat 13:                        Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku 9 Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Perkawinan dan Permasalahannya, Jakarta: Pustaka Kautsar, 1993, h. 59 10 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media Group, 2009, h. 140 11 M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2009, h. 56 supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Dari ulasan tersebut dan dijelaskan bahwa sesungguhnya mempercepat perkawinan dan selalu melapangkan jalannya adalah menjaga kemaslahatan; agar tidak jatuh dan terjerumus ke dalam perbuatan dosa yang akibatnya ditanggung oleh keluarga khususnya dan masyarakat secara keseluruhan. Semua fitnah dan kerusakan serta kehancuran moral tidak hanya menimpa kedua belah pihak, tetapi akan menjalar ke seluruh penduduk negeri. b. KHI Kompilasi Hukum Islam sebenarnya hampir sejalan dengan fiqh, karena KHI merupakan godokan dari para ulama dengan menggunakan fiqh klasik maupun fiqh kontemporer, dengan menyesuaikan kepada masyarakat Indonesia. Karena dalam penyusunan KHI, secara subtansial dilakukan dengan mangacu kepada sumber hukum Islam, yakni al- Qur’an dan Sunnah Rasul; dan secara hirarkial mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu, para perumus KHI memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global serta memperhatikan tatanan hukum adat, yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Dengan demikian, KHI merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di Indonesia, dengan perkataan lain, KHI merupakan wujud hukum Islam yang bercorak ke-Indonesiaan. 12 12 Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 8 Berdasarkan hal itulah, pembahasan mengenai larangan perkawinan tidak berbeda dengan apa yang dijelaskan dalam fiqh. Sehingga tidak ditemukan larangan yang berkaitan dengan melangkahi kakak perempuan. Hanya saja dalam KHI terdapat 6 pasal yang menjelaskan larangan perkawinan dimulai dari pasal 39 sampai dengan pasal 46, yang kesemuanya itu telah dimuat pada bab II pada skripsi ini.

C. Analisis Penulis