Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Naluri seksual bukanlah kekurangan yang harus dihilangkan dari diri manusia, namun ia adalah keniscayaan fitrah yang perlu diarahkan dengan cara dipraktekkan dalam koridor Manhaj Ilahi, untuk mewujudkan ketenangan jiwa, serta menjauhkan dari masalah dan penyakit. Islam tidak mengenal pengebirian naluri seksual, Islam juga bukan pendukung seks bebas. Oleh karena itu dalam ajaran agama samawi, masalah perkawinan mendapat tempat yang sangat terhormat dan sangat dijunjung tinggi. 1 Naluri seks merupakan naluri yang paling kuat, yang selamanya menuntut adanya jalan keluar, menuntut adanya solusi yang jitu untuk mengatasinya. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami kegoncangan, kacau dan menerobos jalan yang jahat. Maka perkawinan merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. 2 Sesuai dengan firman Allah dalam surah ar-Rum:                       1 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2008, h. 2 2 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group, 2008, h. 69 Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cendrung dan merasa tentram kepadanya, dan menjadikannya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. al-Rum: 21 Dalam al-Hadist juga dijelaskan: Artinya: “Rasulullah SAW bersabda:“Hai para pemuda siapa saja kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih memejamkan pandangan mata dan lebih dapat memelihara kemaluan; dan siapa yang belum tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu adalah obat pengekan g baginya”HR. Muslim 3 Melalui perkawinan telah menempatkan manusia dalam koridor yang sangat mulia dan menaikkan derajat manusia dari kehinaan hayawaniah. Bahkan hal ini jugalah yang membedakan antara manusia dengan makhluk Tuhan yang lainnya, seperti kambing, lembu, kerbau dan lainnya, makhluk Tuhan tersebut tidak memerlukan adanya perkawinan, karena bagi mereka juga tidak ada rasa malu sekalipun harus berhubungan badan dengan ibunya sendiri. Makanya apalah bedanya manusia yang melakukan hubungan dengan lawanan jenisnya tanpa melalui pernikahan yang sah. Disisi lain pernikahan bertujuan besar dan asasi sebagai sarana untuk melanggengkan kelangsungan ras manusia dan membangun peradaban dunia, sehingga terbentuklah sebuah keluarga yang sakinah mawaddah warahmah sebagai cerminan yang menentukan terbentuknya sebuah masyarakat yang madani. 3 Abi Husein Muslim Ibnu Hajjaj, Shaheh Muslim, jilid 2, Kairo: Dar al-Ihya, 1918, h. 1018 Dalam al- Qur’an dijelaskan:                                Artinya: “Hai sekalian manusia Bertakwalah kamu kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah ciptakan pasanganistrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki yang banyak dan perempuan dalam jumlah yang banyak. Dan bertakwalah kamu kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahim, sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” an-Nisa: 1 Dalam hukum adat, perkawinan tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami-istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan rumah tangga saja, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan dari pihak suami. Terjadinya perkawinan berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai. 4 Oleh karena itulah Islam dengan ajaran yang luhur memberikan perhatian yang serius terhadap persoalan perkawinan. Islam menjelaskan dengan sangat detail dalam al- Qur’an maupun al-Hadits, apa yang seharusnya dilakukan seseorang apabila ingin melangsungkan pernikahan. Betapapun demikian, dalam praktek pelaksanaannya perkawinan tidak selamanya lepas dari pengaruh kebudayaan di mana pernikahan itu dilaksanakan. Di 4 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990, h.70 Mandailing Natal misalnya, walaupun daerah ini tergolong masyarakat yang sangat religius dalam mengamalkan ajaran Islam, bahkan diberikan julukan serambi Mekkahnya Sumatera Utara. 5 Akan tetapi dalam praktek perkawinan masih saja berbaur dengan adat istiadat yang memang sudah ada dan tertanam dalam jiwa masyarakatnya. Praktek perkawian di Mandailing Natal memang masih tergolong unik, bila dibandingkan dengan praktek perkawinan di daerah lain di Indonesia. Misalkan saja tradisi “mamodomi boru” menemani calon istri, artinya ada seorang gadis dari keluarga perempuan yang menemani calon istri tersebut tidur di rumah calon suami sebelum dilangsungkannya perkawinan, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya fitnah. 6 Dan lagi ada tradisi mengaririt boru dalam adat Mandailing, yaitu menjajaki guna memperoleh informasi apakah seorang gadis telah menerima pinangan atau telah dijodohkan dengan orang lain. 7 Namun dari sekian banyak keunikan praktek perkawinan di Mandailing, ada satu hal yang menjadi perhatian penulis, yaitu praktek perkawinan “mangalangkai” melangkahi kakak perempuan bagi seorang perempuan yang ingin melangsungkan perkawinan di Mandailing Natal. Suatu tradisi apabila ada seorang perempuan ingin menikah, namun masih ada kakak perempuannya yang belum menikah, maka lamaran yang datangpun untuknya 5 Basyral Hamidi Harahap, Madina Yang Madani, Jakarta: PT. Metro Pos, 2004, h. 277 6 Musor Lubis Tobing dan Mr. Tanjung , “Mamodomi Boru” artikel diakses pada 25 Oktober 2010 dari http:www.panyabungan.page.tlAdat-Mandailing.htm 7 Pandapotan Nasution, Uraiang Singkat Adat Mandailing, Serta Tata Cara Perkawinannya, Jakarta: Widya Press, 1994, h. 56 akan ditolak oleh pihak keluarga, karena menurut pemahaman masyarakatnya, apabila ada seorang anak gadis dilangkahi oleh adik perempuannya, maka kemungkinan sang kakak tersebut sulit untuk mendapatkan jodoh. Bahkan bisa diasumsikan kakaknya tersebut tidak laku. Oleh karena itulah pihak keluargapun akan menolak lamaran kepada sang gadis tersebut. Memang dalam asas hukum adat “perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan kerabat ”. 8 Hal inilah yang kemudian mengakibatkan adanya praktek kawin lari, sebagai jalan pintas menghindari penolakan lamaran tersebut. Dalam kasus ini terjadi dua pilihan yang sangat sulit bagi keluarga dalam menentukan keputusan, yang pertama menikahkan anak gadis yang dilamar tersebut dan mengorbankan kakak perempuannya. Kedua menolak lamaran dan mengorbankan hak anak yang memang sudah saatnya untuk menikah. Namun ada juga yang mempraktekkan tetap menerima lamaran, tetapi dengan persyaratan harus membayar uang pelangkah kepada kakak perempuan yang dilangkahi. Dalam literatur fiqh klasik maupun yang kontemporer dan juga dalam Kompilasi Hukum Islam KHI, tidak ditemukan adanya larangan bagi perkawinan seorang perempuan yang melangkahi kakak perempuannya, bahkan istilah melangkahi kakakpun tidak dikenal. Karena memang hal ini hanyalah praktek perkawinan yang menggunakan hukum adat istiadat. Sehingga muncul suatu persoalan apakah perkawinan tersebut sah atau tidak bila tetap dilaksanakan. 8 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, h. 71 Dari permasalahan inilah penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Larangan Melangkahi Kakak dalam Perkawinan Adat Mandailing Desa Sirambas Mandailing Natal Sumatera Utara”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah