Penetapan Kadar Residu Tetrasiklin Dalam Daging Ayam Pedaging Secara Adisi Standar Dengan Spektrofotometri Ultraviolet

(1)

SKRIPSI

PENETAPAN KADAR RESIDU TETRASIKLIN

DALAM DAGING AYAM PEDAGING SECARA ADISI

STANDAR DENGAN SPEKTROFOTOMETRI

ULTRAVIOLET

OLEH:

CHRISTINA

NIM 071501028

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENETAPAN KADAR RESIDU TETRASIKLIN

DALAM DAGING AYAM PEDAGING SECARA ADISI

STANDAR DENGAN SPEKTROFOTOMETRI

ULTRAVIOLET

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

CHRISTINA

NIM 071501028

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

PENETAPAN KADAR RESIDU TETRASIKLIN DALAM

DAGING AYAM PEDAGING SECARA ADISI STANDAR

DENGAN SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET

OLEH:

CHRISTINA NIM 071501028

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pada tanggal : Desember 2011

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Prof. Dr. Jansen Silalahi, M. AppSc.,Apt. Prof. Siti Morin Sinaga, M.Sc., Apt. NIP 195006071979031001 NIP 195008281976032002

Pembimbing II,

Prof. Dr. Jansen Silalahi, M. AppSc.,Apt. NIP 195006071979031001

Drs. Fathur Rahman Harun, M.Si., Apt. NIP 195201041980031002

Dra. Salbiah, M.Si., Apt. NIP 194810031987012001

Drs. Immanuel S. Meliala, M.Si., Apt. NIP 195001261983031002

Medan, Desember 2011 Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Dekan,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Penetapan Kadar Residu Tetrasiklin dalam Daging Ayam Pedaging secara Adisi Standar dengan Spektrofotometri Ultraviolet”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penetapan kadar residu pada daging ayam pedaging dapat dilakukan dengan spektrofotometri ultraviolet secara adisi standar dan apakah kadar residu tetrasiklin dalam daging ayam pedaging yang diuji melebihi BMR menurut SNI 01-6366-2000. Hendaknya hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi instansi yang bersangkutan dalam penyampaian informasi maupun bimbingan teknis kepada peternak ayam pedaging sehingga residu obat-obatan dalam produk ternak dapat dikurangi.

Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.AppSc., Apt dan Bapak Drs. Fathur Rahman Harun, M.Si., Apt. yang telah banyak memberikan bimbingan dan bantuan yang tak ternilai harganya selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan fasilitas dan banyak masukan selama masa pendidikan dan penelitian.

Dalam kesempatan ini, penulis juga hendak menyampaikan penghargaan tertinggi kepada kedua orang tua dan ketiga saudara penulis, juga terima kasih


(5)

setulusnya kepada Kak Mustika Furi, Kak Tina dan Bang Abdi selaku operator di laboratorium penelitian serta Sylvia Halim yang sangat membantu selama penelitian ini dan seluruh teman-teman farmasi stambuk 2007 yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu, atas segala dorongan motivasi dan bantuannya kepada penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Medan, Desember 2011 Penulis,


(6)

PENETAPAN KADAR RESIDU TETRASIKLIN DALAM DAGING AYAM PEDAGING SECARA SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET

DENGAN METODE ADISI STANDAR Abstrak

Tetrasiklin termasuk dalam antibiotik yang umum digunakan sebagai obat-obatan veteriner oleh peternak ayam untuk pencegahan dan pengobat-obatan penyakit. Penggunaan yang berlebihan dapat meninggalkan residu dalam produk peternakan tersebut termasuk daging ayam. Implikasi klinis akibat mengonsumsi produk ternak yang mengandung residu antibiotik antara lain alergi, keracunan, dan resistensi terhadap antibiotik tertentu. Tujuan penelitian ini adalah untuk menetapkan kadar residu tetrasiklin dalam daging ayam pedaging yang beredar di pusat perbelanjaan Kota Medan.

Sampel diambil dari 2 pusat perbelanjaan yakni Hypermart (Sun Plaza) dan Carrefour (Jl. Gatot Subroto). Penetapan kadar residu tetrasiklin dalam ayam pedaging dilakukan secara spektrofotometri ultraviolet dengan metode adisi standar. Sampel terlebih dahulu diekstraksi dengan larutan buffer McIlvaine-EDTA kemudian dilewatkan dalam Cartridge SPE C18.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua sampel yang diperiksa ternyata mengandung residu tetrasiklin dengan kadar 4,9141 µg/g dalam sampel Hypermart dan 8,5556 µg/g dalam sampel Carefour. Validasi metode menunjukkan bahwa prosedur penelitian yang dilakukan memiliki akurasi dan presisi yang baik yakni dengan persen perolehan kembali 103,8225% (RSD = 0,6143%).

Kata kunci: daging ayam pedaging, residu tetrasiklin, spektrofotometri ultraviolet dengan metode adisi standar, validasi.


(7)

DETERMINATION OF TETRACYCLINE RESIDUE IN BROILER CHICKEN MEAT BY ULTRAVIOLET SPECTROPHOTOMETRY

BY STANDARD ADDITION METHOD Abstract

Tetracyline included in antibiotic that has been widely used by poultryman to prevent or treat diseases in broiler chicken. Overuse of this antibiotic may lead to the presence of its residue in animal products including chicken meat. Clinic implication which are caused by the consumption of animal products contain antibiotic residues are allergy, intoxication, and spesific of antibiotic resistance. The objective of this research was to determine level of tetracycline residue in broiler chicken meat that acquired at supermarket in Medan City.

Samples were obtained from 2 supermarkets that is Hypermart (Sun Plaza) and Carrefour (Gatot Subroto. Determination of the level of tetracycline residue in broiler chicken meat was done by ultraviolet spectrophotometry by standard addition method. The sample was extracted with McIlvaine-EDTA buffer solution firstly and then pass through SPE C18 cartridge.

The results show that both of studied samples contain tetracycline residue by level 4.9141 µg/g in Hypermart sample and 8.5556 µg/g in Carefour sample. Method validation has performed that research procedure have good accuracy and precision with percent recovery 103.8225% (RSD = 0.6143%).

Keywords: broiler chicken meat, tetracycline residue, ultraviolet specrophotometry by standard addition method, validation


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Tetrasiklin ... 5

2.1.1 Sifat Fisikokimia Tetrasiklin HCl ... 5

2.1.2 Pemakaian Tetrasiklin pada Ternak ... 6

2.1.3 Residu Tetrasiklin pada Ternak ... 7

2.1.4 Efek Residu Antibiotik dalam Produk Ternak terhadap kesehatan ... 8


(9)

2.2 Analisis Residu Tetrasiklin ... 8

2.2.1 Proses Ekstraksi ... 9

2.2.2 Ekstraksi Fase Padat... 9

2.3 Spektrofotometri Ultraviolet ... 11

2.3.1 Teori Spektrofotometri Ultraviolet ... 11

2.3.2 Analisis Kuantitatif secara Spektrofotometri Ultraviolet 13 2.3.3 Metode Adisi Standar ... 13

2.4 Validasi ... 15

BAB III METODE PENELITIAN ... 18

3.1 Alat dan Bahan ... 18

3.2 Sampel ... 18

3.3 Prosedur Penelitian... 19

3.3.1 Pembuatan Pereaksi ... 19

3.3.1.1 Larutan HCl 0,1 N ... 19

3.3.1.2 Buffer McIlvaine pH 4 ... 19

3.3.1.3 Buffer McIlvaine-EDTA ... 19

3.3.1.4 Larutan Metanol Asam Oksalat 0,01 M ... 19

3.3.2 Pembuatan Larutan Induk Baku Tetrasiklin Hidroklorida BPFI ... 19

3.3.3 Penentuan Panjang Gelombang Serapan Maksimum 20

3.3.4 Ekstraksi Sampel... 20

3.3.5 Penentuan Kadar Residu Tetrasiklin dalam Daging Ayam Pedaging ... 21

3.3.6 Analisi Data Penetapan Kadar Secara Statistik ... 22 3.3.7 Uji Validasi dengan Parameter Akurasi dan Presisi . 23


(10)

3.3.7.1 Uji Akurasi dengan Persen Perolehan

Kembali... .. 23

3.3.7.2 Presisi... 23

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

4.1 Pemilihan Panjang Gelombang ... 24

4.2 Penyiapan Larutan Sampel ... 25

4.3 Analisis Kuantitatif ... 27

4.4 Validasi Metode ... 30

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 31

5.1 Kesimpulan ... 31

5.2 Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Hasil Penetapan kadar Residu Tetrasiklin pada Sampel Daging

Ayam Pedaging ... 29 Tabel 2 Data Uji Validasi dengan Metode Penambahan Baku ... 30


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 Rumus Struktur Tetrasiklin HCl ... 6 Gambar 2 Empat langkah dalam Penggunaan ekstraksi Fase Padat ... 11 Gambar 3 Grafik Penentuan Kadar dalam Metode Adisi Standar ... 14 Gambar 4 Kurva Serapan Tetrasiklin Hidroklorida Baku Pembanding

Farmakope Indonesia (konsentrasi 10µg/ml) dalam Pelarut HCl 0,1 N ... 25 Gambar 2 Grafik Penentuan Konsentrasi Residu Tetrasiklin dalam

Larutan Sampel Hypermart dengan Metode Adisi Standar (perulangan I) ... 28


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Perhitungan Konsentrasi Pengukuran pada Pemilihan

Panjang Gelombang ... 34 Lampiran 2 Data Absorbansi dan Grafik Penentuan Konsentrasi

Residu Tetrasiklin dalam Larutan Sampel Daging Hypermart dengan Metode Adisi Standar ... 35 Lampiran 3 Perhitungan Persamaan Regresi dan Penetapan Kadar

Residu Tetrasiklin dalam Sampel Daging Hypermart ... 41 Lampiran 4 Analisis Data secara Statistik dari Hasil Penetapan Kadar

Residu Tetrasiklin dalam Sampel Daging Hypermart ... 53 Lampiran 5 Data Absorbansi dan Grafik Penentuan Konsentrasi

Residu Tetrasiklin dalam Larutan Sampel Daging Carefour dengan Metode Adisi Standar ... 56 Lampiran 6 Perhitungan Persamaan Regresi dan Penetapan Kadar

Residu Tetrasiklin dalam Sampel Daging Carefour ... 62 Lampiran 7 Analisis Data secara Statistik dari Hasil Penetapan Kadar

Residu Tetrasiklin dalam Sampel Daging Carefour ... 74 Lampiran 8 Data Absorbansi dan Grafik Penentuan Konsentrasi

Residu Tetrasiklin pada Uji Perolehan Kembali Tetrasiklin Baku yang Ditambahkan pada Sampel Daging Hypermart dengan Metode Adisi Standar ... 78 Lampiran 9 Perhitungan Persamaan Regresi Hasil Perolehan Kembali

Tetrasiklin Baku yang Ditambahkan pada Sampel Daging Hypermart ... 81 Lampiran 10 Contoh Perhitungan Persen Perolehan Kembali ... 87 Lampiran 11 Analisis Data secara Statistik dari Hasil Perolehan

Kembali Tetrasiklin Baku yang Ditambahkan pada Sampel Daging Hypermart ... 88 Lampiran 12 Gambar Instrumen Spektrofotometer dan Cartridge SPE

C18 ... 89 Lampiran 13 Gambar Alat Pendukung Lainnya ... 90 Lampiran 14 Sertifikat Analisis Tetrasiklin HCl baku ... 92


(14)

(15)

PENETAPAN KADAR RESIDU TETRASIKLIN DALAM DAGING AYAM PEDAGING SECARA SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET

DENGAN METODE ADISI STANDAR Abstrak

Tetrasiklin termasuk dalam antibiotik yang umum digunakan sebagai obat-obatan veteriner oleh peternak ayam untuk pencegahan dan pengobat-obatan penyakit. Penggunaan yang berlebihan dapat meninggalkan residu dalam produk peternakan tersebut termasuk daging ayam. Implikasi klinis akibat mengonsumsi produk ternak yang mengandung residu antibiotik antara lain alergi, keracunan, dan resistensi terhadap antibiotik tertentu. Tujuan penelitian ini adalah untuk menetapkan kadar residu tetrasiklin dalam daging ayam pedaging yang beredar di pusat perbelanjaan Kota Medan.

Sampel diambil dari 2 pusat perbelanjaan yakni Hypermart (Sun Plaza) dan Carrefour (Jl. Gatot Subroto). Penetapan kadar residu tetrasiklin dalam ayam pedaging dilakukan secara spektrofotometri ultraviolet dengan metode adisi standar. Sampel terlebih dahulu diekstraksi dengan larutan buffer McIlvaine-EDTA kemudian dilewatkan dalam Cartridge SPE C18.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua sampel yang diperiksa ternyata mengandung residu tetrasiklin dengan kadar 4,9141 µg/g dalam sampel Hypermart dan 8,5556 µg/g dalam sampel Carefour. Validasi metode menunjukkan bahwa prosedur penelitian yang dilakukan memiliki akurasi dan presisi yang baik yakni dengan persen perolehan kembali 103,8225% (RSD = 0,6143%).

Kata kunci: daging ayam pedaging, residu tetrasiklin, spektrofotometri ultraviolet dengan metode adisi standar, validasi.


(16)

DETERMINATION OF TETRACYCLINE RESIDUE IN BROILER CHICKEN MEAT BY ULTRAVIOLET SPECTROPHOTOMETRY

BY STANDARD ADDITION METHOD Abstract

Tetracyline included in antibiotic that has been widely used by poultryman to prevent or treat diseases in broiler chicken. Overuse of this antibiotic may lead to the presence of its residue in animal products including chicken meat. Clinic implication which are caused by the consumption of animal products contain antibiotic residues are allergy, intoxication, and spesific of antibiotic resistance. The objective of this research was to determine level of tetracycline residue in broiler chicken meat that acquired at supermarket in Medan City.

Samples were obtained from 2 supermarkets that is Hypermart (Sun Plaza) and Carrefour (Gatot Subroto. Determination of the level of tetracycline residue in broiler chicken meat was done by ultraviolet spectrophotometry by standard addition method. The sample was extracted with McIlvaine-EDTA buffer solution firstly and then pass through SPE C18 cartridge.

The results show that both of studied samples contain tetracycline residue by level 4.9141 µg/g in Hypermart sample and 8.5556 µg/g in Carefour sample. Method validation has performed that research procedure have good accuracy and precision with percent recovery 103.8225% (RSD = 0.6143%).

Keywords: broiler chicken meat, tetracycline residue, ultraviolet specrophotometry by standard addition method, validation


(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pangan hewani sangat dibutuhkan manusia sebagai sumber protein yang sangat penting karena mengandung asam-asam amino yang mendekati susunan asam amino yang dibutuhkan manusia sehingga lebih mudah dicerna dan lebih efisien pemanfaatannya. Namun demikian, pangan hewani yang tidak aman (tercemar oleh mikroba maupun bahan kimia) akan menjadi tidak berguna dan membahayakan kesehatan manusia (Bahri, dkk., 2005).

Antibiotika seperti tetrasiklin secara luas digunakan dalam dunia peternakan baik untuk pengobatan, pencegahan penyakit maupun sebagai tambahan dalam pakan yang mendorong pertumbuhan pada ternak (Botsoglou dan Fletouris, 2001). Hampir semua pabrik pakan menambahkan senyawa obat berupa antibiotik ke dalam ransum jadi (Bahri, 2008). Pengaruh pemberian antibiotik yang menguntungkan disebabkan oleh adanya faktor pengendali infeksi subklinis. Antibiotik juga mampu meningkatkan digesti pati dengan jalan menekan aktivitas mikroba yang bertanggung jawab terhadap produksi gas di lambung (Soeparno, 1998). Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa sebagian besar sampel pakan ayam dari Cianjur, Sukabumi, Bogor, Tangerang dan Bekasi positif mengandung antibiotik golongan tetrasiklin dan obat golongan sulfonamida (Bahri, 2008).

Pemakaian obat-obatan yang tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan, misalnya waktu henti obat tidak dipatuhi menjelang hewan akan dipotong, tentu akan menyebabkan obat tertinggal di dalam jaringan/organ tubuh yang


(18)

selanjutnya disebut sebagai residu yang kemudian terakumulasi dalam jaringan/organ tubuh dengan konsentrasi yang bervariasi. Kandungan residu obat yang melewati batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan dapat menimbulkan reaksi alergis, keracunan, resistensi mikroba tertentu atau gangguan fisiologis pada manusia. Adapun waktu henti pemakaian antibiotik golongan tetrasiklin adalah 5 hari menjelang ternak dipotong (Lastari, dkk., 1987). Menurut SNI 01-6366-2000, BMR antibiotik golongan tetrasiklin dalam daging dan susu tidak boleh melebihi 100 ppb. Hasil penelitian pada produk ternak asal beberapa daerah di Jawa menunjukkan bahwa pada daging, telur, dan susu ditemukan residu antibiotik golongan tetrasiklin dan sulfonamida (Bahri, 2008).

Muriuki, et.al. (2001) dan Suryani (2009) telah melakukan penetapan kadar residu antibiotik golongan tetrasiklin secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Perbedaannya terletak pada detektor yang digunakan, Muruiki menggunakan detektor penangkap elektron dengan fase gerak metanol-asetonitril-asam oksalat 0,01 M (1 : 1,5 : 2,5) pada laju alir 2 ml/menit, sementara Suryani memanfaatkan detektor fotodioda dengan fase gerak asam oksalat 0,0025 M-asetonitril (4:1) pada laju alir 1 ml/menit. Laboratory Quality Assurance Division (2007) telah mengembangkan suatu metode analisis residu tetrasiklin pada daging secara KCKT dengan pengekstraksi buffer McIlvaine-EDTA serta memanfaatkan ekstraksi fase padat (Solid Phase Extraction/SPE) C-18 dengan pengkondisi metanol dan air, pembilasan dengan air serta pengelusi metanol asam oksalat 0,01 M.

Dilihat dari struktur tetrasiklin yang mempunyai gugus kromofor (ikatan rangkap terkonjugasi) dan gugus auksokrom (gugus hidroksil, gugus amida dan


(19)

gugus amina), maka senyawa ini dapat menyerap radiasi pada panjang gelombang di daerah ultraviolet. Menurut Budavari (2001), tetrasiklin memiliki serapan maksimum dalam larutan asam pada panjang gelombang 220 nm, 268 nm, dan 355 nm. Sedangkan menurut Moffat (2004) tetrasiklin memiliki serapan maksimum dalam larutan asampada panjang gelombang 270 nm ( A11 = 417 a)

dan 356 nm.

Berdasarkan hal tersebut di atas, peneliti memilih metode spektrofotometri ultraviolet sebagai metode yang digunakan pada penetapan kadar residu tetrasiklin dalam daging ayam pedaging. Karena metode ini mempunyai banyak keuntungan antara lain dapat digunakan untuk analisa suatu zat dalam jumlah kecil, pengerjaannya mudah, sederhana, cukup sensitif dan selektif, biayanya relatif murah dan mempunyai kepekaan analisis cukup tinggi (Munson, 1991).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penetapan kadar residu pada daging ayam pedaging dapat dilakukan dengan spektrofotometri ultraviolet secara adisi standar yang memanfaatkan prosedur preparasi sampel menurut Laboratory Quality Assurance Division (2007) dan apakah kadar residu tetrasiklin dalam daging ayam pedaging yang diuji melebihi BMR menurut SNI 01-6366-2000. Untuk menguji keabsahan dari metode yang dikerjakan maka pada akhir penelitian ini dilakukan validasi. Parameter validasi yang dilakukan meliputi akurasi dan presisi.

1.2. Perumusan Masalah

a. Apakah spektrofotometri ultraviolet secara adisi standar yang memanfaatkan prosedur preparasi sampel menurut Laboratory Quality


(20)

Assurance Division dapat digunakan pada penetapan kadar residu tetrasiklin dalam daging ayam pedaging dan memenuhi uji validasi?

b. Apakah kadar residu tetrasiklin dalam daging ayam pedaging yang diuji melebihi BMR yang ditetapkan oleh SNI?

1.3. Hipotesis

a. Spektrofotometri ultraviolet secara adisi standar yang memanfaatkan prosedur preparasi sampel menurut Laboratory Quality Assurance Division dapat digunakan pada penetapan kadar residu tetrasiklin dalam daging ayam pedaging dan memenuhi uji validasi.

b. Kadar residu tetrasiklin dalam daging ayam pedaging yang diuji tidak melebihi BMR yang ditetapkan oleh SNI.

1.4 Tujuan Penelitian

a. Menggunakan spektrofotometri ultraviolet secara adisi standar yang memanfaatkan prosedur preparasi sampel menurut Laboratory Quality Assurance Division dalam penetapan kadar residu tetrasiklin dalam daging ayam pedaging dan menguji keabsahan metode yang digunakan.

b. Untuk mengetahui kadar residu tetrasiklin dalam daging ayam pedaging yang dijual di pusat perbelanjaan di Kota Medan.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tetrasiklin

Antibiotika adalah golongan sintetis, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan bakteri. Kegiatan antibiotik untuk pertama kalinya ditemukan secara kebetulan oleh dr. Alexander Fleming. Tetapi penemuan ini baru dikembangkan dan digunakan pada permulaan perang dunia II di tahun 1941, ketika obat-obat antibakteri sangat diperlukan untuk menanggulangi infeksi dari luka-luka akibat pertempuran (Tan dan Rahardja, 2008).

Tetrasiklin merupakan kelompok antibiotika yang dihasilkan oleh jamur Streptomyces aureofaciens atau S. rimosus. Tetrasiklin merupakan derivat dari senyawa hidronaftalen, dan berwarna kuning (Subronto, 2001). Tetrasiklin merupakan antibiotika berspektrum luas yang aktif terhadap bakteri gram-positif maupun gram-negatif yang bekerja merintangi sintesa protein (Tan dan Rahardja, 2008).

2.1.1 Sifat Fisikokimia Tetrasiklin HCl

Tetrasiklin HCl memiliki rumus molekul C22H24N2O8.HCl dengan berat

molekul 480,90 dan nama kimia 4-(Dimetilamino)-1,4,4a,5,5a,6,11,12a-oktahidro -3,6,10,12,12a–pentahidroksi–6-metil-1,11-diokso - 2 - naftasenakarboksamida monohidroklorida. Pemeriannya berupa serbuk hablur, kuning; tidak berbau; agak higroskopis, mudah larut dalam air, larut dalam larutan alkali hidroksida dan dalam larutan karbonat; larut dalam methanol, etanol; praktis tidak larut dalam kloroform dan dalam eter; bersifat stabil di udara tetapi pada pemaparan terhadap


(22)

cahaya matahari yang kuat dalam udara lembab menjadi gelap. Dalam larutan dengan pH lebih kecil 2, potensi berkurang dan cepat rusak dalam larutan alkali hidroksida serta memiliki suhu lebur 2140. Rumus struktur dari Tetrasiklin HCL dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Rumus struktur tetrasiklin HCl

(Ditjen POM, 1979; Ditjen POM, 1995; Budavari, 2001). 2.1.2 Pemakaian Tetrasiklin pada Ternak

Pada unggas (ayam, kalkun), untuk pencegahan CRD tetrasiklin diberikan dengan dosis 100-200 mg/gallon air minum, sedangkan untuk pengobatan CRD dan air sacculitis, hexamitiasis dan bleucomb, sinusitis, dan sinivovitis, tetrasiklin diberikan dengan dosis 200-400 mg/gallon air minum (Subronto, 2001).

Di bidang peternakan, selain untuk tujuan terapetik, antibiotik juga dipakai sebagai imbuhan pakan untuk merangsang pertumbuhan pada ternak (Bahri, 2008). Beberapa antibiotika yang banyak dipakai sebagai perangsang pertumbuhan antara lain dari golongan tetrasiklin, penisilin, macrolida, dan lincomisin. Pengaruh pemberian antibiotik yang menguntungkan disebabkan oleh adanya faktor pengendali infeksi subklinis. Antibiotik juga mampu meningkatkan digesti pati dengan jalan menekan aktivitas mikroba yang bertanggung jawab terhadap produksi gas di lambung (Soeparno, 1998).

Namun akhir-akhir ini penggunaan senyawa antibiotik dalam pakan ternak telah menjadi perdebatan sengit oleh para ilmuwan akibat efek buruk yang ditimbulkan melalui residu yang ditinggalkan baik pada daging, susu maupun

HCl

OH H CH3

H

H N(CH3)2

OH CONH2 O OH O OH OH


(23)

telur. Larangan penggunaan antibiotik dalam pakan ternak bukan merupakan hal yang baru bagi sebagian negara Eropa. Beberapa negara tertentu telah membatasi penggunaan zat aditif tersebut dalam pakan ternak seperti di Swedia tahun 1986, Denmark tahun 1995, Jerman tahun 1996 dan Swiss tahun 1999. Akan tetapi pelarangan tersebut tidak menyeluruh dan hanya terbatas pada jenis antibiotik tertentu misalnya avoparcin (Denmark), vancomisin (Jerman), spiramisin, tilosin, dan virginiamicin (Uni Eropa). Hingga kini hanya tersisa empat antibiotik yang masih diizinkan penggunaannya dalam pakan ternak pada masyarakat Eropa yaitu flavophospholipol, avilamycin, monensin-Na dan salinomycin-Na. Sementara di Indonesia larangan penggunaan beberapa antibiotik dalam imbuhan pakan tercantum dalam revisi UU no 6 tahun 1967 (masih dalam tahap penyelesaian). Hanya saja ada sedikit kerancuan karena tidak mencantumkan jenis antibiotik apa saja yang dilarang penggunaannya dalam pakan ternak (Sjofjan, 2011).

2.1.3 Residu Tetrasiklin pada Ternak

Residu obat atau bahan kimia adalah akumulasi obat atau bahan kimia dan atau metabolitnya dalam jaringan atau organ hewan setelah pemakaian obat atau bahan kimia untuk tujuan pencegahan/pengobatan atau sebagai imbuhan pakan untuk pemacu pertumbuhan. Residu antibiotik dalam makanan asal hewan erat kaitannya dengan penggunaan antibiotik untuk pencegahan dan pengobatan penyakit serta penggunaannya sebagai imbuhan pakan. Sebagai imbuhan pakan, antibiotika dapat memacu pertumbuhan ternak agar dapat tumbuh lebih besar dan lebih cepat serta dapat mencegah terjadinya infeksi bakteri. Penggunaan antibiotik yang berlebihan serta tidak dipatuhinya waktu henti obat menyebabkan timbulnya residu di dalam daging ternak, telur, susu atau produk ternak lainnya. Waktu henti


(24)

adalah kurun waktu dari saat pemberian obat terakhir hingga ternak boleh dipotong atau produknya dapat dikonsumsi (Bahri, 2008). Waktu henti pemakaian antibiotik golongan tetrasiklin adalah 5 hari menjelang ternak dipotong (Lastari, dkk., 1987).

2.1.4 Efek Residu Antibiotik dalam Produk Ternak terhadap Kesehatan

Pemakaian yang luas dari obat-obatan pada ternak menimbulkan kemungkinan yang besar terjadinya residu obat maupun metabolitnya dalam produk ternak. Kehadiran residu obat-obatan di dalam makanan tentu akan mempengaruhi kesehatan manusia. Salah satunya misalnya terjadinya reaksi

alergi dari antibiotik golongan β-laktam pada konsumen yang sensitif. Efek lain yang mungkin timbul yaitu terjadinya keracunan, resistensi mikroba dan gangguan fisiologis pada manusia (Botsoglou dan Fletouris, 2001).

2.2 Analisis Residu Tetrasiklin

Analisis residu antibiotik golongan tetrasiklin secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) telah dikembangkan oleh Muriuki, et.al. (2001) dan Suryani (2009). Muriuki menganalisis residu tetrasiklin dalam daging sapi dengan menggunakan detektor penangkap elektron dengan fase gerak metanol-asetonitril-asam oksalat 0,01 M (1 : 1,5 : 2,5) pada laju alir 2 ml/menit. Kadar residu yang diperoleh berkisar 524 µg/kg – 1046 µg/kg. Sementara Suryani menganalisis residu tetrasiklin dalam daging ayam pedaging dengan memanfaatkan detektor berkas fotodioda dengan fase gerak asam oksalat 0,0025 M-asetonitril (4:1) pada laju alir 1 ml/menit. Kadar residu tetrasiklin yang diperoleh berkisar 5 µg/kg – 68 µg/kg.


(25)

Ekstraksi merupakan suatu metode yang digunakan dalam proses pemisahan suatu komponen dari campurannya dengan menggunakan bantuan pelarut sebagai tenaga pemisah. Tetrasiklin mampu berikatan dengan protein (membentuk konjugat) dan ion logam (membentuk khelat) sehingga sulit diekstraksi dari matriks biologi. Untuk melepaskan ikatan tersebut dapat dilakukan dengan mendenaturasi protein menggunakan pereaksi pengendap protein dengan penambahan etilendiamin tetra-asetat (EDTA), asam sitrat, suksinat, atau oksalat untuk meningkatkan efisiensi ekstraksi (Botsoglou dan Fletouris, 2001).

Muriuki et.al. (2001) menggunakan buffer McIlvaine pH 4 dan metanol pada proses ekstraksi awal dengan perbandingan 3:7, sementara Suryani (2009) menggunakan asam trikloroasetat dan buffer McIlvaine-EDTA sebagai pengekstraksi awal. Selanjutnya keduanya menggunakan ekstraksi fase padat C18 sebagai proses ekstraksi lanjutan.

2.2.2 Ektraksi Fase Padat

Ekstraksi fase padat (Solid Phase Extraction/ SPE) merupakan suatu proses ekstraksi yang dilakukan dengan melewatkan larutan sampel melalui suatu lapisan partikel penjerap, analit yang diinginkan akan berpindah dari larutan sampel dan terkonsentrasi pada lapisan penjerap. Analit kemudian dipindahkan dari penjerap dengan penambahan pelarut pengelusi. Metode ekstraksi ini biasanya dipakai untuk mengekstraksi analit dalam matriks yang kompleks seperti urin, darah, dan jaringan otot (Anonim c, 2005). Ekstraksi fase padat mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan ekstraksi fase cair-cair yaitu hemat pelarut, waktu pengerjaan relatif singkat, hasil ektraksi tidak membentuk emulsi serta cukup selektif (Botsoglou dan Fletouris, 2001).


(26)

Pelarut pengkondis Sampel = analit+matrik Pelarut pembilas Pelarut pengelusi

Ekstraksi fase padat dapat dibagi menjadi 4 berdasarkan jenis fase diam atau penjerap yang dikemas dalam cartridge, yakni fase normal (normal phase), fase terbalik (reversed phase), adsorpsi (adsorption) dan pertukaran ion (ion exchange) (Anonim a, 1998). Pemilihan penjerap didasarkan pada kemampuannya berikatan dengan analit, dimana ikatan antara analit dengan penjerap harus lebih kuat dibandingkan ikatan antara analit dengan matriks sampel. Sehingga analit akan tertahan pada penjerap. Selanjutnya dipilih pelarut yang mampu melepaskan ikatan antara analit dengan penjerap pada tahap elusi (Botsoglou dan Fletouris, 2001).

Adapun 4 langkah utama dalam penggunaan ekstraksi fase padat adalah seperti terlihat pada Gambar 2 halaman 11. Tahap pertama yaitu pengkondisian (conditioning), merupakan tahapan yang dilakukan dengan penambahan pelarut yang mampu mengaktifkan penjerap serta mampu membasahi permukaan penjerap sehingga analit yang terdapat dalam larutan sampel dapat berinteraksi dengan penjerap. Tahap kedua yaitu retensi (retention/loading) merupakan proses pemasukan larutan sampel, dimana pada proses ini analit yang diinginkan akan tertahan pada penjerap sementara komponen lain dari matriks yang tidak diinginkan akan keluar dari cartridge. Tahap ketiga dilanjutkan dengan pembilasan (washing) yang dilakukan dengan penambahan larutan yang mampu menghilangkan sisa matriks yang tertinggal tetapi tidak mempengaruhi interaksi analit dengan penjerap. Tahap terakhir yaitu pengelusian (elutioning) yang dilakukan dengan penambahan larutan yang mampu memutuskan ikatan analit dengan penjerap (Anonim a, 1988) .


(27)

Gambar 2. Empat langkah dalam penggunaan ekstraksi fase padat (Anonim c, 2005).

2.3 Spektrofotometri Ultraviolet

2.3.1 Teori Spektrofotometri Ultraviolet

Spektrofotometri ultraviolet adalah suatu teknik pengukuran serapan radiasi elektromagnetik yang diserap oleh zat pada daerah ultraviolet (panjang gelombang 190 nm - 380 nm) (Ditjen POM, 1979). Radiasi ultraviolet diabsorpsi oleh molekul organik aromatik, molekul yang mengandung elektron-π terkonjugasi dan/ atau atom yang mengadung elektron-n, menyebabkan transisi elektron di orbit terluarnya dari tingkat energi elektron dasar ke tingkat energi elektron tereksitasi lebih tinggi (Satiadarma, 2004).

Gugus atau atom dalam molekul organik yang mampu menyerap sinar ultraviolet dan sinar tampak disebut kromofor (misalnya C=C, C=O, dan NO2).

Sedangkan auksokrom (misalnya –OH, –NH2 dan –OCH3) merupakan gugus

fungsional yang mempunyai elektron bebas sehingga mampu memberikan transisi n→π*. Terikatnya gugus ini pada gugus kromofor akan mengakibatkan


(28)

pergeseran pita absorpsi menuju ke panjang gelombang yang lebih besar (pergeseran merah atau pergeseran batokromik) disertai dengan peningkatan intensitas (efek hiperkromik) (Gandjar dan Rohman, 2007).

Untuk mengukur banyaknya radiasi yang diserap oleh suatu molekul dapat dibuat suatu grafik (spektrum absorpsi) yang menghubungkan banyaknya sinar yang diserap dengan frekuensi (atau panjang gelombang) sinar. Transisi yang dibolehkan untuk suatu molekul dengan struktur kimia yang berbeda adalah tidak sama sehingga spektrum absorpsinya juga berbeda. Dengan demikian, spektrum absorpsi dapat digunakan sebagai bahan informasi yang bermanfaat untuk analisis kualitatif. Banyaknya sinar yang diabsorpsi pada panjang gelombang tertentu sebanding dengan banyaknya molekul yang menyerap radiasi. Dengan demikian spektrum absorpsi juga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif (Gandjar dan Rohman, 2007).

Pada penentuan analit yang terdapat dalam suatu matriks diperlukan pengukuran dari blanko matriks untuk meralat kesalahan yang disebabkan oleh matriks. Bila komponen matriks untuk blanko tidak dapat diperoleh, maka dapat digunakan metode adisi standar, yaitu dengan menambahkan standar ke dalam larutan sampel yang diukur dengan konsentrasi yang meningkat secara teratur (Satiadarma, 2004).

2.3.2 Analisis kuantitatif secara Spektrofotometri Ultraviolet

Penggunaan utama spektroskopi ultraviolet-sinar tampak adalah dalam analisis kuantitatif. Apabila terdapat senyawa yang mengabsorpsi radiasi, maka akan terjadi pengurangan kekuatan radiasi yang mencapai detektor. Parameter kekuatan energi radiasi khas yang diabsorpsi oleh molekul adalah absorbansi (A)


(29)

yang nilainya sebanding dengan banyaknya molekul yang mengabsorpsi radiasi dan merupakan dasar analisis kuantitatif. Senyawa yang tidak mengabsorpsi radiasi ultraviolet-sinar tampak dapat juga ditentukan dengan spektroskopi ultraviolet-sinar tampak, apabila ada reaksi kimia yang dapat mengubahnya menjadi kromofor atau dapat disambungkan dengan suatu pereaksi kromofor (Satiadarma, 2004).

2.3.3 Metode Adisi Standar

Metode adisi standar dipakai secara luas karena mampu meminimalkan kesalahan yang disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan (matriks) sampel dan standar (Anonim b, 2010). Idealnya kalibrasi standar seharusnya mendekati komposisi dari sampel yang dianalisis, tidak hanya pada konsentrasi analit tetapi juga dalam hal konsentrasi dari elemen lain yang ada dalam matriks sampel, sehingga dapat meminimalkan pengaruh dari berbagai komponen dalam sampel terhadap absorbansi yang terukur (Skoog dan West, 1996). Pemanfaatan teknik adisi standar sangat membantu terutama untuk analisa senyawa yang kadarnya kecil (Ramette, 1981).

Dalam metode ini, sejumlah volume dari sampel dipindahkan ke dalam beberapa labu ukur. Satu larutan diencerkan sampai volume tertentu (tidak ditambah dengan larutan standar) kemudian larutan yang lain ditambahkan terlebih dahulu sejumlah larutan standar sehingga diperoleh serangkaian konsentrasi larutan standar. Kemudian larutan tersebut diukur, dan hasilnya dibuat grafik absorbansi versus konsentrasi standar yang ditambahkan (Anonim b, 2010), seperti terlihat pada Gambar 3.


(30)

Gambar 3. Grafik Penentuan Kadar dalam Metode Adisi Standar (Harris, 1987) Seperti terlihat pada Gambar 3, sumbu X merupakan konsentrasi standar yang ditambahkan sementara sumbu Y menunjukkan nilai absorbansinya. Ekstrapolasi garis pada sumbu X (titik potong pada sumbu X, mensubstitusikan nilai Y = 0 pada persamaan regresi) inilah yang setara dengan konsentrasi analit (concentration of unknown) yang terkandung dalam larutan sampel yang diukur (Harris, 1987).

Berdasarkan hukum Beer akan berlaku hal – hal berikut: Ax = k. Ck

At = k ( Cs + Ck )

Dimana : Cx = kadar zat sampel

Cs = kadar zat yang ditambahkan ke dalam larutan sampel Ax = absorbansi zat sampel (tanpa penambahan zat standar) At = absorbansi zat sampel + zat standar

Jika kedua rumus digabung maka diperoleh Cx = Cs ×


(31)

-Konsentrasi analit dalam sampel dapat dihitung dengan membuat grafik At lawan Cs seperti pada Gambar 3. Dengan mengekstrapolasi At = 0 pada grafik atau mensubstitusikan nilai Y = 0 (absorbansi = 0) akan diperoleh kadar analit dalam sampel, sehingga diperoleh :

Cx = Cs × - Cx = Cs ×

-Cx = − Cs (Harris, 1987). 2.4. Validasi

Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaanya (Harmita, 2004).

Menurut USP (United States Pharmacopeia), ada 8 langkah dalam validasi metode analisis yakni akurasi, presisi, batas deteksi, batas kuantifikasi, spesifisitas, linieritas dan rentang, kekasaran (Ruggedness) dan ketahanan (Robutness) (Gandjar dan Rohman, 2007).

Akurasi dari suatu metode analisis adalah kedekatan nilai yang terukur dengan nilai sebenarnya, sering kali dinyatakan dalam persen perolehan kembali analit pada penentuan kadar sampel yang mengandung analit dalam jumlah diketahui. Akurasi merupakan ukuran ketepatan prosedur analisis. Akurasi prosedur analisis ditentukan dengan menerapkan prosedur tersebut pada sampel atau campuran komponen matriks yang telah dibubuhi analit dalam jumlah diketahui.


(32)

Presisi dari suatu metode analisis adalah derajat kesesuaian di antara masing-masing hasil uji, jika prosedur analisis ditetapkan berulang kali pada sejumlah cuplikan yang diambil dari satu sampel homogen. Presisi dinyatakan sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (Relative Standard Deviation).

Batas deteksi adalah nilai parameter uji batas, yaitu konsentrasi analit terendah yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi pada kondisi percobaan yang dilakukan. Limit deteksi dinyatakan dalam konsentrasi analit dalam sampel.

Batas kuantifikasi didefenisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan. Batas kuantifikasi juga dinyatakan dalam konsentrasi analit dalam sampel.

Spesifisitas adalah kemampuan untuk mengukur analit yang dituju secara tepat dan spesifik dengan adanya komponen-komponen lain dalam matriks sampel seperti ketidakmurnian, produk degradasi, dan komponen matriks.

Linieritas merupakan kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasil-hasil uji yang secara langsung proporsional dengan konsentrasi analit pada kisaran yang diberikan. Rentang didefenisikan sebagai konsentrasi terendah dan tertinggi yang mana suatu metode analisis menunjukkan akurasi, presisi, dan linieritas yang mencukupi.

Kekasaran merupakan tingkat reprodusibilitas hasil yang diperoleh di bawah kondisi yang bermacam-macam yang diekspresikan sebagai persen standar deviasi relatif (%RSD).


(33)

Ketahanan merupakan kapasitas metode untuk tetap tidak terpengaruh oleh adanya variasi parameter metode yang kecil (Gandjar dan Rohman, 2007; Satiadarma, 2004).


(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif yang mengarah pada pengembangan metode, dengan tujuan mengembangkan spektrofotometri ultraviolet secara adisi standar dalam penetapan residu tetrasiklin dalam daging ayam pedaging.

3.1 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas, spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu UV-Vis 1800), sentrifugator (Hitachi), vortex (Boeco), blender (National), cartridge SPE C18 (Isolute C18), vacum manifold (Agilent) dan neraca analitik (Boeco).

Bahan yang digunakan jika tidak dinyatakan lain merupakan kualitas p.a. (pro analysis) keluaran E.Merck antara lain asam klorida, asam sitrat monohidrat, asam oksalat dihidrat, dinatrium hidrogen pospat anhidrat, Dinatrium edetat dihidrat, tetrasiklin hidroklorida baku (BPFI), dan air suling (Brataco).

3.2 Sampel

Sampel yang diperiksa dalam penelitian ini adalah daging ayam pedaging bagian paha yang dijual di 2 pusat perbelanjaan Kotamadya Medan yakni Hypermart (Sun Plaza) dan Carrefour (Gatot Subroto). Sampel yang diambil dalam kondisi segar (bukan daging beku atau yang sudah diolah) kemudian dibersihkan (dibuang kulit dan tulang) dan disimpan dalam lemari pendingin. Sebelum digunakan untuk pemeriksaan, sampel terlebih dahulu dihaluskan dengan blender.


(35)

3.3. Prosedur Penelitian 3.3.1 Pembuatan Pereaksi 3.3.1.1 Larutan HCl 0,1 N

Sebanyak 8,4 ml HCl pekat diencerkan dengan air suling dalam labu ukur 1000 ml hingga garis tanda.

3.3.1.2 Buffer McIlvaine pH 4

Buffer McIlvaine dibuat dengan mencampurkan larutan natrium pospat dengan larutan asam sitrat. Larutan natrium pospat dibuat dengan melarutkan 7,1025 g dinatrium hidrogen pospat anhidrat dengan air suling hingga garis tanda dalam labu ukur 250 ml. Larutan asam sitrat dibuat dengan melarutkan 5,2525 g asam sitrat monohidrat dengan air suling hingga garis tanda dalam labu ukur 250 ml. Buffer McIlvaine dibuat dengan mencampurkan 200 ml larutan asam sitrat dengan 125 ml larutan natrium fosfat. Kemudian di cek pH nya (Laboratory Quality Assurance Division, 2007).

3.3.1.3 Buffer McIlvaine-EDTA

Sebanyak 12,98 g dinatrium EDTA dihidrat dilarutkan ke dalam 325 ml buffer McIlvaine (Laboratory Quality Assurance Division, 2007).

3.3.1.4 Larutan metanol asam oksalat 0,01 M

Sebanyak 0,126 g asam oksalat dihidrat dilarutkan dengan metanol dalam labu ukur 100 ml, cukupkan hingga garis tanda (Laboratory Quality Assurance Division, 2007).

3.3.2 Pembuatan Larutan Induk Baku Tetrasiklin HCl BPFI

Sejumlah lebih kurang 25,0 mg tetrasiklin BPFI ditimbang seksama, dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml, dilarutkan dengan asam klorida (HCl) 0,1


(36)

N lalu dicukupkan sampai garis tanda dengan HCl 0,1 N dan dikocok homogen, sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 500 µg/ml, larutan ini disebut larutan induk baku (LIB I). Dari larutan ini dipipet 5,00 ml, dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml, lalu diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda sehingga diperoleh konsentrasi 50 µg/ml (LIB II).

3.3.3 Penentuan Panjang Gelombang Serapan Maksimum

Sejumlah 5,00 ml larutan induk baku (LIB) II (50 µg/ml) dipipet, dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml, kemudian diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda (10 µg/ml). Lalu dikocok sampai homogen sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 10 µg/ml. kemudian diukur serapan pada panjang gelombang 200-400 nm. Perhitungan konsentrasi pengukuran pada pemilihan panjang gelombang dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman 32.

3.3.4 Ekstraksi Sampel

Sampel yang telah dihaluskan kemudian ditimbang sebanyak 10 g, ditambahkan 20,0 ml buffer McIlvaine-EDTA (pH 4), lalu divortex selama 10 menit. Kemudian di sentrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm pada suhu 150C selama 10 menit. Larutan supernatan diambil dan endapan ditambahkan lagi dengan 10,0 ml buffer McIlvaine-EDTA dan disentrifugasi lagi dengan kecepatan 3500 rpm pada suhu 150C selama 10 menit. Supernatan diambil dan endapan ditambahkan lagi dengan 10,0 ml buffer McIlvaine-EDTA dan disentrifugasi lagi dengan kecepatan 3500 rpm pada suhu 150C selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh kemudian dikumpulkan kemudian di sentrifugasi lagi dengan kecepatan 5000 rpm selama 20 menit pada suhu 150 C.


(37)

Dipasang Cartridge SPE C18 pada Vacum manifold. Cartridge dikondisikan dengan 10,0 ml metanol dan 20,0 ml air suling dalam kondisi vakum pada laju 1,5 – 2,5 ml/menit (conditioning step). Supernatan yang diperoleh pada tahap akhir sentrifugasi dimasukkan ke dalam cartridge lalu dijalankan dalam kondisi vakum pada laju yang sama (loading step). Selanjutnya cartridge dibilas dengan 20,0 ml air suling lalu didiamkan selama 5 menit. Tetrasiklin yang terikat pada fase diam dielusi dari cartridge dengan 6 ml metanol asam oksalat 0,01 M (elutioning step) (Laboratory Quality Assurance Division, 2007). Hasilnya dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml dan dicukupkan dengan HCl 0,1 N hingga garis tanda (larutan sampel).

3.3.5 Penentuan Kadar Residu Tetrasiklin dalam Daging Ayam Pedaging Sebanyak masing-masing 4,00 ml larutan sampel dipipet ke dalam 5 labu ukur 25 ml, tambahkan berturut-turut 0,00; 2,50; 3,75; 5,00; dan 6,25 ml LIB II, cukupkan dengan HCl 0,1 N hingga garis tanda sehingga diperoleh masing-masing larutan tetrasiklin baku dengan konsentrasi 0,0; 5,0; 7,5; 10,0; dan 12,5 µg/ml. Absorbansi dari masing-masing larutan diukur pada panjang gelombang 270 nm kemudian dibuatgrafik absorbansi versus konsentrasi standar.

Dengan mengekstrapolasikan garis pada sumbu X (garis memotong sumbu X) atau mensubstitusikan absorbansi (Y) = 0 pada persamaan regresi yang diperoleh maka akan diperoleh konsentrasi residu tetrasiklin dalam larutan sampel yang diukur (Cx) (Harris, 1987). Hasilnya lalu dikali faktor pengenceran 6,25 dan volume larutan sampel (25 ml) kemudian dibagi berat penimbangan sampel daging ayam sehingga diperoleh kadar residu tetrasiklin dengan satuan µg/g sampel.


(38)

Rumus perhitungan kadar residu tetrasiklin dalam sampel ditulis sebagai berikut. Kadar residu tetrasiklin dalam sampel (µg/g sampel)

=

3.3.6. Analisis Data Penetapan kadar Secara Statistik

Data perhitungan kadar residu tetrasiklin pada bagian 3.3.5 dianalisis secara statistik menggunakan uji t.

Rumus yang digunakan untuk menghitung simpangan baku adalah :

SD =

-Sedangkan untuk mendapatkan thitung digunakan rumus:

thitung =

-Data diterima jika –ttabel < thitung < ttabel pada interval kepercayaan 95% dengan nilai α = 0,05.

Untuk menghitung kadar residu tetrasiklin dalam sampel secara statistik digunakan rumus:

Kadar residu tetrasiklin = ± (t × SD/ ) Keterangan :

SD = standard deviation/simpangan baku Xi = kadar residu tetrasiklin

= kadar rerata residu tetrasiklin n = jumlah pengulangan


(39)

CF - CA

C*A

3.3.7 Uji Validasi dengan Parameter Akurasi dan Presisi 3.3.7.1 Uji Akurasi dengan Persen Perolehan Kembali

Akurasi ditentukan dengan menggunakan metode penambahan baku (the method of standard additives), yakni ke dalam sampel daging ayam ditambahkan tetrasiklin HCl baku sebanyak 100% dari kadar tetrasiklin yang diketahui terdapat dalam sampel, kemudian dianalisis dengan prosedur yang sama seperti pada sampel. Hasil dinyatakan dalam persen perolehan kembali (% recovery). Persen perolehan kembali dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

% Perolehan Kembali = _________ x 100% Keterangan:

CF = kadar analit yang diperoleh setelah penambahan tetrasiklin baku

CA = kadar analit sebelum penambahan tetrasiklin baku

C*A = kadar tetrasiklin baku yang ditambahkan

3.3.7.2 Presisi

Presisi metode penelitian dinyatakan oleh simpangan baku relatif (Relative Standard Deviation/RSD) dari serangkaian data uji perolehan kembali. RSD dapat dirumuskan sebagai berikut.

RSD = × 100%

Keterangan : SD = standard deviation/simpangan baku

= kadar rerata tetrasiklin dalam sampel yang diuji


(40)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pemilihan Panjang Gelombang

Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimum. Untuk memilih panjang gelombang maksimum, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu (Gandjar dan Rohman, 2007).

Penentuan panjang gelombang ini dilakukan pada konsentrasi yang memberikan serapan dengan kesalahan fotometrik terkecil (absorbansi ± 0,4343). Untuk mendapatkan konsentrasi tersebut dapat dihitung menggunakan nilai koefisien ekstingsi, A11, dari literatur. Dimana menurut Moffat (2004) nilai A11

dalam larutan asam pada panjang gelombang 270 nm adalah 417a.

Dari perhitungan pada Lampiran 1 diperoleh konsentrasi pengukuran adalah 10 µg/ml dan hasil pengukuran menunjukkan panjang gelombang maksimum tetrasiklin dalam larutan HCl 0,1 N adalah 270 nm dengan serapan 0,403 seperti terlihat pada Gambar 4 halaman 23.

Menurut Gandjar dan Rohman (2007), pengukuran dilakukan pada panjang gelombang maksimum karena pada panjang gelombang tersebut kepekaannya juga maksimum dalam arti perubahan absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar, disekitar panjang gelombang maksimum, bentuk kurva absorbsi datar sehingga pada kondisi tersebut hukum Lambert – Beer akan terpenuhi. Selain itu jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali.


(41)

Gambar 4. Kurva Serapan Tetrasiklin Hidroklorida Baku Pembanding Farmakope Indonesia (konsentrasi 10 µg/ml) dalam Pelarut HCl 0,1 N.

Keterangan : puncak 1 muncul pada panjang gelombang 355,8 nm dengan absorbansi 0,286; puncak 2 muncul pada panjang gelombang 270 nm dengan absorbansi 0,403; puncak 3 muncul pada panjang gelombang 219 nm dengan absorbansi 0,302.

Dari Gambar 4, dapat dilihat bahwa serapan maksimum tetrasiklin dalam suasana asam adalah pada panjang gelombang 270 nm. Hal ini sesuai dengan Moffat (2004) yang menyatakan bahwa tetrasiklin mempunyai serapan maksimum pada panjang gelombang 270 nm dalam suasana asam. Selanjutnya untuk penetapan kadar residu tetrasiklin dalam daging ayam pedaging dilakukan pada panjang gelombang tetrasiklin hidroklorida BPFI yang memberikan serapan maksimum yaitu pada 270 nm.

4.2 Penyiapan Larutan Sampel

Prosedur ekstraksi sampel diadopsi dari Laboratory Quality Assurance Division (2007), yakni dimulai dari ekstraksi residu tetrasiklin dari sampel daging


(42)

ayam menggunakan buffer McIlvaine-EDTA. Tertasiklin mampu berikatan dengan protein membentuk konjugat sehingga sukar diekstraksi dari matriks sampel. Selain itu kendala lain dalam ekstraksi tetrasiklin dari sampel daging yaitu pembentukan kelat antara tetrasiklin dengan ion logam yang terkandung dalam matriks. Sehingga untuk ekstraksi sampel dan deproteinasinya biasanya dipakai pelarut yang sedikit asam untuk membebaskan tetrasiklin yang terikat nonkovalen dengan makromolekul tersebut. Untuk itu dipakai buffer McIlvaine-EDTA pH 4, dimana penambahan McIlvaine-EDTA dalam larutan buffer dimaksudkan untuk meningkatkan effisiensi ekstraksi, karena EDTA mampu bersaing dengan tetrasiklin dalam membentuk kelat dengan logam (Botsoglou dan Fletouris, 2001).

Setelah proses sentrifugasi selesai, prosedur dilanjutkan dengan ekstraksi lebih lanjut menggunakan ekstraksi fase padat (Solid Phase Extraction/ SPE). Ekstraksi fase padat telah digunakan secara luas dalam proses isolasi tetrasiklin dari matriks biologi. Pemanfaatan ekstraksi fase padat tersebut memiliki beberapa keuntungan diantaranya tidak memerlukan pelarut dalam jumlah besar, waktu pengerjaan relatif lebih singkat, cukup selektif dan hasil ekstraksi tidak membentuk emulsi. Jenis SPE yang digunakan dalam ekstraksi tetrasiklin adalah tipe fase terbalik (reversed phased) C18. Tipe ini diaktifkan (dikondisikan/conditioning) dengan menggunakan pelarut organik yang bercampur dengan air, yaitu metanol, yang diikuti dengan air. Metanol akan membuka rantai hidrokarbon sehingga meningkatkan luas area permukaan penjerap dan memungkinkan air untuk membasahi permukaan penjerap. Selanjutnya larutan sampel dimasukkan ke dalam cartridge (loading step) yang dijalankan dalam kondisi vakum dan dilanjutkan ke tahap pembilasan (washing


(43)

step) dengan menggunakan pelarut yang tidak mampu mengelusi analit tetapi mampu memindahkan komponen matriks yang tidak diinginkan. Pelarut yang dipakai pada tahap ini adalah air (Botsoglou dan Fletouris, 2001). Selanjutnya cartridge didiamkan hingga kering (± 5 menit) dan kemudian analit dielusi dengan metanol asam oksalat 0,01 M (acidic methanol). Metanol dalam suasana asam ini dimaksudkan untuk menetralkan gugus silanol yang tersisa pada penjerap, dan memutuskan ikatan hidrogen antara analit dengan gugus hidroksil pada permukaan penjerap (Anonim a, 1998).

4.3 Analisis kuantitatif

Untuk analisis kuantitatif ditentukan dengan spektrofotometri ultraviolet secara adisi standar. Metode adisi standar dipilih karena mampu meminimalkan kesalahan yang disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan (matriks) sampel dan standar (Anonim b, 2010). Idealnya kalibrasi standar seharusnya mendekati komposisi dari sampel yang dianalisis, tidak hanya pada konsentrasi analit tetapi juga dalam hal konsentrasi dari elemen lain yang ada dalam matriks sampel, sehingga dapat meminimalkan pengaruh dari berbagai komponen dalam sampel terhadap absorbansi yang terukur (Skoog dan West, 1996). Pemanfaatan teknik adisi standar sangat membantu terutama untuk analisa senyawa yang kadarnya kecil (Ramette, 1981).

Dalam metode ini, sejumlah volume tertentu dari larutan sampel (masing-masing 4 ml) dipindahkan ke dalam 5 buah labu ukur 25 ml. Satu larutan diencerkan hingga garis tanda (tanpa penambahan larutan standar) kemudian larutan yang lain ditambahkan dengan sejumlah larutan standar sehingga diperoleh serangkaian konsentrasi dari standar yang ditambahkan, yakni 0,0; 5,0;


(44)

7,5; 10,0; dan 12,5 µg/ml. Kemudian diukur absorbansinya dan hasilnya diplot pada grafik (seperti terlihat pada Gambar 5).

Gambar 5. Grafik Penentuan Konsentrasi Residu Tetrasiklin dalam Larutan Sampel Hypermart dengan Metode Adisi Standar (perulangan I) Pada Gambar 5 di atas, sumbu X merupakan konsentrasi standar yang ditambahkan sementara sumbu Y menunjukkan nilai absorbansinya. Dengan mengekstrapolasikan garis pada sumbu X (titik potong pada sumbu X) atau mensubstitusikan nilai Y = 0 pada persamaan regresi, maka akan diperoleh konsentrasi analit (concentration of unknown) yang terkandung dalam larutan sampel yang diukur (Harris, 1987).

Data absorbansi dan grafik dari masing – masing pengukuran dari masing – masing sampel terlihat pada Lampiran 2 halaman 33 dan Lampiran 5 halaman 54. Perhitungan persamaan regresi dan penetapan kadar residu tetrasiklin dalam sampel dapat dilihat pada Lampiran 3 halaman 39 dan Lampiran 6 halaman 60. Data kemudian diolah secara statistik pada Lampiran 4 halaman 51 dan Lampiran


(45)

7 halaman 72 sehingga diperoleh kadar residu tetrasiklin pada kedua sampel yang diperlihatkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Penetepan Kadar Residu Tetrasiklin pada Sampel Daging Ayam Pedaging

No Sampel Kadar residu tetrasiklin (µg/g)

1 Hypermart 4,9141 ± 0,8061 2 Carrefour 8,5556 ± 0,4169

Menurut SNI 01-6366-2000, kadar residu antibiotik golongan tetrasiklin dalam daging dan susu tidak boleh melebihi 100 ppb (0,1 µg/g) , sedangkan dari hasil penelitian diperoleh kadar residu tetrasiklin hingga 40 sampai 80 kali lipat dari batas maksimum residu yang diperbolehkan.

Kandungan residu obat yang melewati batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan akan meyebabkan bahan makanan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi karena dapat menimbulkan reaksi alergis, keracunan, resistensi mikroba tertentu atau mengakibatkan gangguan fisiologis pada manusia. Kasus gangguan resistensi terhadap bakteri Campylobacter yang berkaitan dengan masalah residu antibiotik bahkan telah dilaporkan di Amerika Serikat (Bahri, dkk., 2005).

Residu antibiotik pada produk ternak terjadi karena pemakaian antibiotik khususnya pada peternakan ayam yang cenderung berlebihan serta kurangnya pemahaman terhadap waktu henti (withdrawal time) obat. Pemakaian antibiotik yang kurang tepat kemungkinan berkaitan dengan pola pemasaran obat hewan di lapangan, yang mana peternak dapat memperoleh obat langsung dari distributor tanpa harus melalui dokter hewan (Bahri, dkk., 2005).


(46)

4.4 Validasi Metode

Validasi metode juga dilakukan terhadap prosedur yang dikerjakan pada penelitian ini. Tujuan validasi ini adalah untuk menunjukkan bahwa metode yang digunakan telah sesuai dengan maksud yang dikehendaki, serta sebagai suatu persyaratan dasar yang diperlukan untuk menjamin kualitas dan reabilitas hasil dari semua aplikasi analitik (Ermer, 2005). Parameter validasi yang diuji adalah akurasi dan presisi.

Akurasi prosedur ditentukan dengan menggunakan metode penambahan baku (the method of standard additives). Metode ini dilakukan pada sampel Hypermart dan hasilnya dinyatakan dalam persen perolehan kembali (% recovery). Data absorbansi dan grafik hasil perolehan kembali dapat dilihat pada Lampiran 8 halaman 76, sedangkan contoh perhitungan persen perolehan kembali dapat dilihat pada Lampiran 10 halaman 85. Data hasil pengujian akurasi (dengan 3 kali perulangan) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Data Uji Validasi dengan Metode Penambahan Baku Rerata kadar sebelum ditambah baku (µg/g) Kadar analit yang ditambah (µg/g) Rerata kadar analit setelah ditambah baku (µg/g) Rerata Perolehan kembali (%) Simpangan Baku Relatif (RSD) (%)

4,9141 5 10,1019 103,7563 0,6143

Keterangan : data merupakan hasil dari 3 kali perulangan.

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa rerata persen perolehan kembali dan RSD yang didapat telah memenuhi syarat karena dengan kadar analit yang berkisar 1-10µg/g rentang perolehan kembali yang masih diterima yaitu 80-110% dengan RSD lebih kecil dari 7,3 (Botsouglou dan Fletouris, 2001).


(47)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Metode spektrofotometri ultraviolet secara adisi standar dapat digunakan pada penetapan kadar residu tetrasiklin dalam daging ayam pedaging karena memenuhi uji validasi, dimana metode ini menunjukkan kecermatan dan keseksamaan yang baik dengan persen perolehan kembali 103,8225% dan RSD 0,6143%.

Dari hasil penelitian diperoleh kadar residu tetrasiklin dalam sampel Hypermart dan Carrefour berturut – turut adalah 4,9141 µg/g dan 8,5556 µg/g. Kadar residu tetrasiklin dalam kedua sampel yang diuji melebihi BMR menurut SNI 01-6366-2000 y aitu 100 ppb (0,1 µg/g).

5.2. Saran

Berkaitan dengan tingginya kadar residu dalam daging ayam disarankan kepada instansi yang bersangkutan untuk memberikan informasi maupun bimbingan teknis kepada peternak ayam pedaging mengenai pentingnya petunjuk penggunaan obat hewan, baik yang terdapat dalam pakan komersial maupun yang digunakan untuk pengobatan.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim a. (1988). Guide to Solid Phase Extraction. [diakses 19 Januari 2011]; [12 screen].

http://www.sigmaaldrich.com/Graphics/Supelco/objects/4600/4538.pdf Anonim b. (2010). Makalah AAS. [diakses 24 Mei 2011]; [21 screen].

http://www.scribd.com/doc/39329390/Makalah-AAS

Anonim c. (2005). Solid-Phase Extraction. [diakses 31 Oktober 2011]; [45 screen].

http://www.odn.slupsk.pl/SPE_introduction_by_HG_in_English.ppt

Bahri, S., Masbulan, E., dan Kusumaningsih, A. (2005). Proses Praproduksi sebagai Faktor Penting dalam Menghasilkan Produk Ternak yang Aman untuk Manusia. Jurnal Litbang Pertanian 24(I): 27-33.

Bahri, S. (2008). Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal Ternak di Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(III): 225-242.

Botsoglou, N.A. dan Fletouris, D.J. (2001). Drug Residues in Foods pharmacology, Food Safety, and Analysis. New York: Marcel Dekker, Inc.: 985-987, 582-586.

Budavari, S. (2001). The Merck Index. An Encyclopedia of Chemicals, Drugs, and Biologicals. 13th ed. Whitehouse: Merck & Co., Inc.: 1641.

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia Edisi ke III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI: 595-596.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi ke IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI: 781-782, 1061.

Ermer, J. (2004). Method Validation in Pharmaceutical Analysis. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA: 3-6.

Gandjar, I. G. dan Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Cetakan ke IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 229-231, 252-254.

Harmita. (2004). Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya. Majalah Ilmu Kefarmasian 1(III): 117-135.

Harris, D. C. (1987). Quantitative Chemical Analysis. 2nd ed. New York : W. H. Freeman and Company: 585-586.

Khopkar, S. M. (2003). Konsep Dasar Kimia Analitik. Penerjemah A. Saptorahardjo. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia: 215-217.


(49)

Laboratory Quality Assurance Division. (2007). Qualitative Identification of Tetracyclines. USA: United States Department of Agriculture Food Safety and Inspection Service, Office of Public Health Science: 1-9.

Lastari, P., Kristyanto, E.H., Pracoyo, N.I. (1987). Analisa Residu Tetrasiklin dalam Ayam Broiler. Cermin Dunia Kedokteran 46: 28-30.

Moffat, A. C. (2004). Clarke’s Isolation and Identification of Drugs. 3rd ed. London: The Pharmaceutics Press.

Munson, J. W. (1991). Analisis Farmasi Metode Modern. Penerjemah: Parwa Harjana B. Surabaya: Airlangga University Press: 334.

Muriuki, F.K., Ogara, W.O., Njeruh, F.M. dan Mitema, E.S. (2001). Tetracycline Residue Levels in Cattle Meat from Nairobi Salughter House in Kenya. Journal of veterinary Science 2 (II): 97-101.

Ramette, R.W. (1981). Chemical Equilibrium and Analysis. London: Addison-Wesley Publishing Company: 74.

Satiadarma, K., dkk. (2004). Asas Pengembangan Prosedur Analisis. Edisi ke I. Cetakan Pertama. Surabaya: Airlangga University Press: 87, 90-91, 378-388.

Sjofjan, O. (2011). Aspek Keamanan Pakan untuk Menghasilkan Kualitas Produk Peternakan yang Aman. [diakses 26 November 2011].

http://www.disnak-jatim.go.id

Skoog, D.A., West, D.M. dan Holler, F.J. (1996). Fundamental of Analytical Chemistry. 7th ed. New York: Saunders College Publishing: 572-574. Soeparno. (1998). Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke III. Yogyakarta:

gadjah mada university press: 113-114.

Subronto. (2001). Ilmu Penyakit Ternak II. Cetakan pertama. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 257- 259, 315- 321.

Suryani, D. (2009). Validasi Metode Analisis Antibiotik Tetrasiklin dalam Daging Ayam Pedaging secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Skripsi Departemen Kimia FMIPA IPB Bogor.


(50)

Lampiran 1. Perhitungan Konsentrasi Pengukuran pada Pemilihan Panjang gelombang

Diketahui nilai A11 = 417a (Moffat, 2004)

A = A11.b.c (g/100ml)

0,4343 = 417.1.c

C = g/100ml

= 1,0141 × 10-3 g/100ml = 1,0141 × 10-3 × 104 µg/ml = 10,141 µg/ml


(51)

Lampiran 2. Data Absorbansi dan Grafik Penentuan Konsentrasi Residu Tetrasiklin dalam Larutan Sampel Daging Hypermart dengan Metode Adisi Standar


(52)

Lampiran 2. (lanjutan) Pengulangan II


(53)

Lampiran 2. (lanjutan) Pengulangan III


(54)

Lampiran 2. (lanjutan) Pengulangan IV


(55)

Lampiran 2. (lanjutan) Pengulangan V


(56)

Lampiran 2. (lanjutan) Pengulangan VI

I, II, III, IV, V, dan VI merupakan data absorbansi dan grafik penentuan konsentrasi sampel Hypermart dengan metode adisi standar untuk enam kali pengulangan dengan menggunakan pelarut HCl 0,1 N pada panjang gelombang 270 nm.


(57)

Lampiran 3. Perhitungan Persamaan Regresi dan Penetapan Kadar Residu Tetrasiklin dalam Sampel Daging Hypermart

Pengulangan I

= 0,0393 b =

= 0,2848 – (0,0393)×7 = 0,0099

Sehingga diperoleh persamaan garis regresi

Y = 0,0393X + 0,0099

Untuk mencari hubungan linier antara konsentrasi (X) dengan absorbansi (Y) maka dihitung koefisien korelasi (r) sebagai berikut

r =

--

-=

--

-= 0,9998

No. X Y XY X2 Y2

1 0 0,013 0 0 0,0002

2 5 0,202 1,01 25 0,0408

3 7,5 0,301 2,2575 56,25 0,0906 4 10 0,407 4,07 100 0,1656 5 12,5 0,501 6,2625 156,25 0,2512 35 1,424 13,6 337,5 0,5482 Rerata 7 0,2848 2,72 67,5 0,1096


(58)

Lampiran 3. (lanjutan)

Menurut metode adisi standar Cx = −Cs, ketika Absorbansi (Y) = 0 Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh

Y = 0,0393X + 0,0099 Ketika Y = 0

Maka X (Cs) = (0 – 0,0099) ∕ 0,0393 = − 0,2519 µg/ml Cx = − (− 0,2519 µg/ml)

= 0,2519 µg/ml

Kadar analit dalam sampel adalah (X1)

=

=

= 3,9267 µg/g Keterangan :

Cx = konsentrasi analit dalam larutan yang diukur Cs = konsentrasi larutan standar


(59)

Lampiran 3. (lanjutan) Pengulangan II

= 0,0395 b =

= 0,2878 – (0,0395)×7 = 0,0114

Sehingga diperoleh persamaan garis regresi

Y = 0,0395X + 0,0114

Untuk mencari hubungan linier antara konsentrasi (X) dengan absorbansi (Y) maka dihitung koefisien korelasi (r) sebagai berikut

r =

--

-=

--

-= 0,9999

No. X Y XY X2 Y2

1 0 0,012 0 0 0,0001

2 5 0,209 1,045 25 0,0437

3 7,5 0,304 2,28 56,25 0,0924 4 10 0,410 4,10 100 0,1681 5 12,5 0,504 6,3 156,25 0,2540 35 1,439 13,725 337,5 0,5584 Rerata 7 0,2878 2,745 67,5 0,1117


(60)

Lampiran 3. (lanjutan)

Menurut metode adisi standar Cx = −Cs, ketika Absorbansi (Y) = 0 Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh

Y = 0,0395X + 0,0114 Ketika Y = 0

Maka X (Cs) = (0 – 0,0114) ∕ 0,0395 = − 0,2886 µg/ml Cx = − (−0,2886 µg/ml)

= 0,2886 µg/ml

Kadar analit dalam sampel adalah (X2)

=

=

= 4,4985 µg/g Keterangan :

Cx = konsentrasi analit dalam larutan yang diukur Cs = konsentrasi larutan standar


(61)

Lampiran 3. (lanjutan) Pengulangan III

= 0,0387 b =

= 0,2866 – (0,0387)×7 = 0,0154

Sehingga diperoleh persamaan garis regresi

Y = 0,0387X + 0,0154

Untuk mencari hubungan linier antara konsentrasi (X) dengan absorbansi (Y) maka dihitung koefisien korelasi (r) sebagai berikut

r =

--

-=

--

-= 0,9997

No. X Y XY X2 Y2

1 0 0,015 0 0 0,0002

2 5 0,208 1,04 25 0,0433

3 7,5 0,305 2,2875 56,25 0,0930 4 10 0,410 4,10 100 0,1681 5 12,5 0,495 6,1875 156,25 0,2450 Σ 35 1,433 13,615 337,5 0,5496 Rerata 7 0,2866 2,723 67,5 0,1099


(62)

Lampiran 3. (lanjutan)

Menurut metode adisi standar Cx = −Cs, ketika Absorbansi (Y) = 0 Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh

Y = 0,0387X + 0,0154 Ketika Y = 0

Maka X (Cs) = (0 – 0,0154) ∕ 0,0387 = − 0,3979 µg/ml Cx = − (−0,3979 µg/ml)

= 0,3979 µg/ml

Kadar analit dalam sampel adalah (X3)

=

=

= 6,1748 µg∕g Keterangan :

Cx = konsentrasi analit dalam larutan yang diukur Cs = konsentrasi larutan standar


(63)

Lampiran 3. (lanjutan) Pengulangan IV

= 0,0393 b =

= 0,2872 – (0,0393)×7 = 0,0119

Sehingga diperoleh persamaan garis regresi

Y = 0,0393X + 0,0119

Untuk mencari hubungan linier antara konsentrasi (X) dengan absorbansi (Y) maka dihitung koefisien korelasi (r) sebagai berikut

r =

--

-=

--

-= 0,9999

No. X Y XY X2 Y2

1 0 0,013 0 0 0,0002

2 5 0,208 1,04 25 0,0433

3 7,5 0,303 2,2725 56,25 0,0918 4 10 0,409 4,09 100 0,1673 5 12,5 0,503 6,2875 156,25 0,2530 Σ 35 1,436 13,69 337,5 0,5555 Rerata 7 0,2872 2,738 67,5 0,1111


(64)

Lampiran 3. (lanjutan)

Menurut metode adisi standar Cx = −Cs, ketika Absorbansi (Y) = 0 Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh

Y = 0,0393X + 0,0119 Ketika Y = 0

Maka X (Cs) = (0 – 0,0119) ∕ 0,0393 = − 0,3028 µg/ml Cx = − (−0,3028 µg/ml)

= 0,3028 µg/ml

Kadar analit dalam sampel adalah (X4)

=

=

= 4,7084 µg∕g Keterangan :

Cx = konsentrasi analit dalam larutan yang diukur Cs = konsentrasi larutan standar


(65)

Lampiran 3. (lanjutan) Pengulangan V

No. X Y XY X2 Y2

1 0 0,015 0 0 0,0002

2 5 0,209 1,045 25 0,0437

3 7,5 0,307 2,3025 56,25 0,0924 4 10 0,412 4,12 100 0,1697 5 12,5 0,503 6,2875 156,25 0,2530 Σ 35 1,446 13,755 337,5 0,5609 Rerata 7 0,2892 2,751 67,5 0,1122

= 0,0393 b =

= 0,2892 – (0,0393)×7 = 0,0143

Sehingga diperoleh persamaan garis regresi

Y = 0,0393X + 0,0143

Untuk mencari hubungan linier antara konsentrasi (X) dengan absorbansi (Y) maka dihitung koefisien korelasi (r) sebagai berikut

r =

--

-=

--


(66)

Lampiran 3. (lanjutan)

Menurut metode adisi standar Cx = −Cs, ketika Absorbansi (Y) = 0 Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh

Y = 0,0393X + 0,0143 Ketika Y = 0

Maka X (Cs) = (0 – 0,0143) ∕ 0,0393 = − 0,3639 µg/ml Cx = − (−0,3639 µg/ml)

= 0,3639 µg/ml

Kadar analit dalam sampel adalah (X5)

=

=

= 5,6508 µg∕g Keterangan :

Cx = konsentrasi analit dalam larutan yang diukur Cs = konsentrasi larutan standar


(67)

Lampiran 3. (lanjutan) Pengulangan VI

No. X Y XY X2 Y2

1 0 0,013 0 0 0,0002

2 5 0,209 1,045 25 0,0437

3 7,5 0,305 2,2875 56,25 0,0930 4 10 0,413 4,13 100 0,1760 5 12,5 0,504 6,3 156,25 0,2540 Σ 35 1,444 13,7625 337,5 0,5615 Rerata 7 0,2888 2,7525 67,5 0,1123

= 0,0395 b =

= 0,2888 – (0,0395)×7 = 0,0122

Sehingga diperoleh persamaan garis regresi

Y = 0,0395X + 0,0122

Untuk mencari hubungan linier antara konsentrasi (X) dengan absorbansi (Y) maka dihitung koefisien korelasi (r) sebagai berikut

r =

--

-=

--


(68)

Lampiran 3. (lanjutan)

Menurut metode adisi standar Cx = −Cs, ketika Absorbansi (Y) = 0 Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh

Y = 0,0395X + 0,0122 Ketika Y = 0

Maka X (Cs) = (0 – 0,0122) ∕ 0,0395 = − 0,3089 µg/ml Cx = − (−0,3089 µg/ml)

= 0,3089 µg/ml

Kadar analit dalam sampel adalah (X6)

=

=

= 4,7988 µg∕g Keterangan :

Cx = konsentrasi analit dalam larutan yang diukur Cs = konsentrasi larutan standar


(69)

Lampiran 4. Analisis Data secara Statistik dari Hasil Penetapan Kadar Residu Tetrasiklin dalam Sampel Daging Hypermart

No. Xi (µg/g) Xi (Xi )2

1 3,9267 -1,0330 1,0671

2 4,4985 -0,4612 0,2127

3 6,1748 1,2151 1,4765

4 4,7084 -0,2513 0,0632

5 5,6508 0,6911 0,4776

6 4,7988 -0,1609 0,0259

= 4,9597 Σ(Xi − )2= 3,3229

SD =

--

=

-= 0,8152

Pada interval kepercayaan 95% dengan nilai α = 0,05, dk = 6 – 1 diperoleh nilai ttabel = 2,57. Data diterima bila − ttabel < thitung < ttabel.

thitung =

-thitung data 1 = −1,0330 ×

=

−3,1039 (data ditolak)

thitung data 2 = −0,4612 × = −1,3858

thitung data 3 = 1,2151 × = 3,6510 (data ditolak)

thitung data 4 = −0,2513 × = −0,7551


(70)

Lampiran 4. (lanjutan)

thitung data 6 = −0,1609 × = −0,4835

Untuk itu dihitung kembali dengan cara yang sama tanpa mengikutsertakan data 1 dan 3.

No. Xi (µg/g) Xi (Xi )2

1 4,4985 -0,4156 0,1727

2 4,7084 -0,2057 0,0423

3 5,6508 0,7367 0,5427

4 4,7988 -0,1153 0,0133

= 4,9141 Σ(Xi − )2= 0,7711

SD =

--

=

-= 0,5070

Pada interval kepercayaan 95% dengan nilai α = 0,05, dk = 4 – 1 diperoleh nilai ttabel = 3,18. Data diterima bila − ttabel < thitung < ttabel.

thitung =

-thitung data 1 = −0,4156 ×

=

−1,6396

thitung data 2 = −0,2057 × = −0,8116


(71)

Lampiran 4. (lanjutan)

thitung data 4 = −0,1153 × = −0,4550

(semua data diterima) Kadar residu tetrasiklin = ± (ttabel × SD ∕ )

= 4,9141 ± (3,18 × 0,5070 ∕ ) = 4,9141 ± 0,8061 µg/g


(72)

Lampiran 5. Data Absorbansi dan Grafik Penentuan Konsentrasi Residu Tetrasiklin dalam Larutan Sampel Daging Carefour dengan Metode Adisi Standar


(73)

Lampiran 5. (lanjutan) Pengulangan II


(74)

Lampiran 5. (lanjutan) Pengulangan III


(75)

Lampiran 5. (lanjutan) Pengulangan IV


(76)

Lampiran 5. (lanjutan) Pengulangan V


(77)

Lampiran 5. (lanjutan) Pengulangan VI

I, II, III, IV, V, dan VI merupakan data absorbansi dan grafik penentuan konsentrasi sampel Carefour dengan metode adisi standar untuk enam kali pengulangan dengan menggunakan pelarut HCl 0,1 N pada panjang gelombang 270 nm.


(78)

Lampiran 6. Perhitungan Persamaan Regresi dan Penetapan Kadar Residu Tetrasiklin dalam Sampel Daging Carefour

Pengulangan I

= 0,0366 b =

= 0,2764 – (0,0366)×7 =0,0204

Sehingga diperoleh persamaan garis regresi

Y = 0,0366X + 0,0204

Untuk mencari hubungan linier antara konsentrasi (X) dengan absorbansi (Y) maka dihitung koefisien korelasi (r) sebagai berikut

r =

--

=

--

-= 0,9998

No. X Y XY X2 Y2

1 0 0,019 0 0 0,0004

2 5 0,209 1,045 25 0,0437

3 7,5 0,288 2,16 56,25 0,0829 4 10 0,389 3,89 100 0,1513 5 12,5 0,477 5,9625 156,25 0,2275 Σ 35 1,382 13,057 337,5 0,5058 Rerata 7 0,2764 2,6114 67,5 0,1012


(79)

Lampiran 6. (lanjutan)

Menurut metode adisi standar Cx = −Cs, ketika Absorbansi (Y) = 0 Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh

Y = 0,0366X + 0,0204 Ketika Y = 0

Maka X (Cs) = (0 – 0,0204) ∕ 0,0366 = − 0,5564 µg/ml Cx = − (−0,5564 µg/ml)

= 0,5564 µg/ml

Kadar analit dalam sampel adalah (X1)

=

=

= 8,6448 µg∕g Keterangan :

Cx = konsentrasi analit dalam larutan yang diukur Cs = konsentrasi larutan standar


(80)

Lampiran 6. (lanjutan) Pengulangan II

= 0,0365 b =

= 0,275 – (0,0365)×7 = 0,0192

Sehingga diperoleh persamaan garis regresi

Y = 0,0365X + 0,0192

Untuk mencari hubungan linier antara konsentrasi (X) dengan absorbansi (Y) maka dihitung koefisien korelasi (r) sebagai berikut

r =

--

-=

--

-= 0,9996

No. X Y XY X2 Y2

1 0 0,018 0 0 0,0003

2 5 0,208 1,04 25 0,0433

3 7,5 0286 2,145 56,25 0,0818 4 10 0,387 3,87 100 0,1498 5 12,5 0,476 5,95 156,25 0,2266 Σ 35 1,375 13,005 337,5 0,5017 Rerata 7 0,275 2,601 67,5 0,1003


(81)

Lampiran 6. (lanjutan)

Menurut metode adisi standar Cx = −Cs, ketika Absorbansi (Y) = 0 Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh

Y = 0,0365X + 0,0192 Ketika Y = 0

Maka X (Cs) = (0 – 0,0192) ∕ 0,0365 = − 0,5259 µg/ml Cx = − (−0,5259 µg/ml)

= 0,5259 µg/ml

Kadar analit dalam sampel adalah (X2)

=

=

= 8,1842 µg∕g Keterangan :

Cx = konsentrasi analit dalam larutan yang diukur Cs = konsentrasi larutan standar


(82)

Lampiran 6. (lanjutan) Pengulangan III

= 0,0379 b =

= 0,2814 – (0,0379)×7 = 0,0161

Sehingga diperoleh persamaan garis regresi

Y = 0,0379X + 0,0161

Untuk mencari hubungan linier antara konsentrasi (X) dengan absorbansi (Y) maka dihitung koefisien korelasi (r) sebagai berikut

r =

--

-=

--

-= 0,9998

No. X Y XY X2 Y2

1 0 0,019 0 0 0,0004

2 5 0,200 1,000 25 0,04

3 7,5 0,299 2,2425 56,25 0,0894 4 10 0,400 4,000 100 0,16 5 12,5 0,489 6,1125 156,25 0,2391 Σ 35 1,407 13,355 337,5 0,5289 Rerata 7 0,2814 2,671 67,5 0,1058


(83)

Lampiran 6. (lanjutan)

Menurut metode adisi standar Cx = −Cs, ketika Absorbansi (Y) = 0 Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh

Y = 0,0379X + 0,0161 Ketika Y = 0

Maka X (Cs) = (0 – 0,0161) ∕ 0,0379 = − 0,4243 µg/ml Cx = − (−0,4243 µg/ml)

= 0,4243 µg/ml

Kadar analit dalam sampel adalah (X3)

=

=

= 6,6144 µg∕g Keterangan :

Cx = konsentrasi analit dalam larutan yang diukur Cs = konsentrasi larutan standar


(84)

Lampiran 6. (lanjutan) Pengulangan IV

= 0,0368 b =

= 0,2672 – (0,0368)×7 = 0,0095

Sehingga diperoleh persamaan garis regresi

Y = 0,0368X + 0,0095

Untuk mencari hubungan linier antara konsentrasi (X) dengan absorbansi (Y) maka dihitung koefisien korelasi (r) sebagai berikut

r =

--

-=

--

-= 0,9992

No. X Y XY X2 Y2

1 0 0,009 0 0 0,0001

2 5 0,195 0,975 25 0,0380

3 7,5 0,279 2,0925 56,25 0,0778 4 10 0,389 3,89 100 0,1513 5 12,5 0,464 5,8 156,25 0,2153 Σ 35 1,336 12,7575 337,5 0,4826 Rerata 7 0,2672 2,5515 67,5 0,0965


(85)

Lampiran 6. (lanjutan)

Menurut metode adisi standar Cx = −Cs, ketika Absorbansi (Y) = 0 Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh

Y = 0,0368X + 0,0095 Ketika Y = 0

Maka X (Cs) = (0 – 0,0095) ∕ 0,0368 = − 0,2577 µg/ml Cx = − (−0,2577 µg/ml)

= 0,2577 µg/ml

Kadar analit dalam sampel adalah (X4)

=

=

= 4,0218 µg∕g Keterangan :

Cx = konsentrasi analit dalam larutan yang diukur Cs = konsentrasi larutan standar


(86)

Lampiran 6. (lanjutan) Pengulangan V

No. X Y XY X2 Y2

1 0 0,019 0 0 0,0004

2 5 0,209 1,045 25 0,0437

3 7,5 0,288 2,16 56,25 0,0829 4 10 0,386 3,86 100 0,1490 5 12,5 0,476 5,95 156,25 0,2266 Σ 35 1,378 13,015 337,5 0,5026 Rerata 7 0,2756 2,603 67,5 0,1005

= 0,0364 b =

= 0,2756 – (0,0364)×7 = 0,0206

Sehingga diperoleh persamaan garis regresi

Y = 0,0364X + 0,0206

Untuk mencari hubungan linier antara konsentrasi (X) dengan absorbansi (Y) maka dihitung koefisien korelasi (r) sebagai berikut

r =

--

-=

--


(87)

Lampiran 6. (lanjutan)

Menurut metode adisi standar Cx = −Cs, ketika Absorbansi (Y) = 0 Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh

Y = 0,0364X + 0,0206 Ketika Y = 0

Maka X (Cs) = (0 – 0,0206) ∕ 0,0364 = − 0,5669 µg/ml Cx = − (−0,5669 µg/ml)

= 0,5669 µg/ml

Kadar analit dalam sampel adalah (X5)

=

=

= 8,7979 µg∕g Keterangan :

Cx = konsentrasi analit dalam larutan yang diukur Cs = konsentrasi larutan standar


(88)

Lampiran 6. (lanjutan) Pengulangan VI

No. X Y XY X2 Y2

1 0 0,018 0 0 0,0003

2 5 0,210 1,05 25 0,0441

3 7,5 0,286 2,145 56,25 0,0818 4 10 0,387 3,87 100 0,1498 5 12,5 0,475 5,9375 156,25 0,2256 Σ 35 1,376 13,0025 337,5 0,5016 Rerata 7 0,2752 2,6005 67,5 0,1003

= 0,0364 b =

= 0,2752 – (0,0364)×7 = 0,0201

Sehingga diperoleh persamaan garis regresi

Y = 0,0364X + 0,0201

Untuk mencari hubungan linier antara konsentrasi (X) dengan absorbansi (Y) maka dihitung koefisien korelasi (r) sebagai berikut

r =

--

-=

--


(89)

Lampiran 6. (lanjutan)

Menurut metode adisi standar Cx = −Cs, ketika Absorbansi (Y) = 0 Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh

Y = 0,0364X + 0,0201 Ketika Y = 0

Maka X (Cs) = (0 – 0,0201) ∕ 0,0364 = − 0,5526 µg/ml Cx = − (−0,5526 µg/ml)

= 0,5526 µg/ml

Kadar analit dalam sampel adalah (X6)

=

=

= 8,5954 µg∕g Keterangan :

Cx = konsentrasi analit dalam larutan yang diukur Cs = konsentrasi larutan standar


(90)

Lampiran 7. Analisis Data secara Statistik dari Hasil Penetapan Kadar Residu Tetrasiklin dalam Sampel Daging Carefour

No. Xi (µg/g) Xi (Xi )2

1 8,6448 1,1684 1,3652

2 8,1842 0,7078 0,5010

3 6,6144 -0,862 0,7430

4 4,0218 -3,4546 11,9343

5 8,7979 1,3215 1,7464

6 8,5954 1,119 1,2522

= 7,4764 Σ(Xi − )2= 17,5420

SD =

--

=

-= 1,8731

Pada interval kepercayaan 95% dengan nilai α = 0,05, dk = 6 – 1 diperoleh nilai ttabel = 2,57. Data diterima bila − ttabel < thitung < ttabel.

thitung =

-thitung data 1 = 1,1684 ×

= 1,5280

thitung data 2 = 0,7078 × = 0,9256

thitung data 3 = −0,862 × = −1,1272

thitung data 4 = −3,4546 × = −4,5177 (data ditolak)


(91)

(92)

Lampiran 7. (lanjutan)

thitung data 6 = 1,119 × = 1,4634

Untuk itu dihitung kembali dengan cara yang sama tanpa mengikutsertakan data 4.

No. Xi (µg/g) Xi (Xi )2

1 8,6448 0,4775 0,2280

2 8,1842 0,0169 0,0003

3 6,6144 −1,5529 2,4116

4 8,7979 0,6306 0,3916

5 8,5954 0,4281 0,1832

= 8,1673 Σ(Xi − )2= 3,2207

SD =

--

=

-= 0,8973

Pada interval kepercayaan 95% dengan nilai α = 0,05, dk = 5 – 1 diperoleh nilai ttabel = 2,78. Data diterima bila − ttabel < thitung < ttabel.

thitung =

-thitung data 1 = 0,4775 × = 1,1899

thitung data 2 = 0,0169 × = 0,0420


(93)

Lampiran 7. (lanjutan)

thitung data 4 = 0,6306 × = 1,5713

thitung data 5 = 0,4281 × = 1,0667

Untuk itu dihitung kembali dengan cara yang sama tanpa mengikutsertakan data 3.

No. Xi (µg/g) Xi (Xi )2

1 8,6448 0,0892 0,0080

2 8,1842 −0,3714 0,1379

3 8,7979 0,2423 0,0587

4 8,5954 0,0398 0,0016

= 8,5556 Σ(Xi − )2= 0,2062

SD =

--

=

-= 0,2622

Pada interval kepercayaan 95% dengan nilai α = 0,05, dk = 4 – 1 diperoleh nilai ttabel = 3,18. Data diterima bila − ttabel < thitung < ttabel.

thitung =

-thitung data 1 = 0,0892 × = 0,6805


(94)

Lampiran 7. (lanjutan)

thitung data 3 = 0,2423 × = 1,8485

thitung data 4 = 0,0398 × = 0,3036

(semua data diterima) Kadar residu tetrasiklin = ± (ttabel × SD ∕ )

= 8,5556 ± (3,18 × 0,2622 ∕ ) = 8,5556 ± 0,4169 µg/g


(95)

Lampiran 8. Data Absorbansi dan Grafik Penentuan Konsentrasi Residu Tetrasiklin pada Uji Perolehan Kembali Tetrasiklin Baku yang Ditambahkan pada Sampel Daging Hypermart dengan Metode Adisi Standar


(96)

Lampiran 8. (lanjutan) Pengulangan II


(97)

Lampiran 8. (Lanjutan) Pengulangan III

I, II, dan III merupakan data absorbansi dan grafik penentuan konsentrasi pada uji perolehan kembali tetrasiklin baku pada sampel Hypermart dengan metode adisi standar untuk tiga kali pengulangan dengan menggunakan pelarut HCl 0,1 N pada panjang gelombang 270 nm.


(98)

Lampiran 9. Perhitungan Persamaan Regresi Hasil Perolehan Kembali Tetrasiklin Baku yang Ditambahkan pada Sampel Daging Hypermart

Pengulangan I

No. X Y XY X2 Y2

1 0 0,021 0 0 0,0004

2 5 0,216 1,08 25 0,0467

3 7,5 0,342 2,565 56,25 0,1170 4 10 0,443 4,43 100 0,1962 5 12,5 0,504 6,3 156,25 0,2540 Σ 35 1,526 14,375 337,5 0,6143 Rerata 7 0,3052 2,875 67,5 0,1229

= 0,0399 b =

= 0,3052 – (0,0399)×7 = 0,0257

Sehingga diperoleh persamaan garis regresi

Y = 0,0399X + 0,0257

Untuk mencari hubungan linier antara konsentrasi (X) dengan absorbansi (Y) maka dihitung koefisien korelasi (r) sebagai berikut

r =

--

-=

--


(1)

(2)

Lampiran 12. Gambar Instrumen Spektrofotometer dan Cartridge SPE C18

Seperangkat instrumen spektrofotometer (Shimadzu UV- Vis 1800) dan komputer sebagai perangkat pendukung.


(3)

Lampiran 13. Gambar Alat Pendukung Lainnya


(4)

Lampiran 13. (lanjutan)

Vortex (Boeco)


(5)

(6)