21
semakin dewasa anak, mereka akan semakin mampu mengendalikan rasa amarah, takut, sedih dan lain sebagainya dengan berbagai cara yang dikuasainya.
Memilih dan mengatur konteks dan hubungan merupakan trend berikutnya dalam mengatur emosi anak. Semakin dewasa anak, maka semakin mampu anak untuk memilih dan
mengatur situasu dan hubungan sosialnya, sehingga dapat mengurangi ekspresi emosinya yang negatif. Misalnya ketika anak merasa frustrasi karena permintaannya tidak dipenuhi
oleh orang tuanya, maka anak akan bermain-main dengan temannya, sehingga anak dapat meminjam atau menggunakan benda milik temannya secara bersama-sama.
Trend lain yang digunakan oleh anak untuk mengatur emosinya adalah dengan melakukan coping terhadap stress. Dengan bertambahnya usia, anak-anak akan lebih mampu
untuk mengembangkan strategi coping stress yang lebih baik.
j. Kompetensi Emosional
Pada bagian sebelumnya sudah dikemukakan bahwa emosi memiliki peranan yang penting dalam kehidupan anak, baik kehidupan secara pribadi maupun dalam konteks sosial.
Oleh karena itu, keterampilan emosi dan pengaturan emosi anak akan berpengaruh terhadap kehidupan anak sehari-hari. Gunarti, dkk.2008 mengemukakan bahwa keterampilan emosi
anak adalah sebagai berikut. Pada usia 1-3 tahun, anak mulai merasakan senang dan bergairah untuk mengembangkan makna pada dirinya. Anak mulai menjajagi kemandiriannya
serta mulai menjauhkan diri dari sumber eksternal dalam mengendalikan emosinya. Sementara pada usia 4-8 tahun, anak mulai belajar mengembangkan emosinya dengan
teman sebaya, mulai belajar mengkomunikasikan atau mengekspresikan emosinya dengan jelas. Anak mulai bertukar informasi dengan teman-temannya serta mulai belajar menunggu
giliran dalam berbicara dan bermain. Sementara itu Saarni dalam Santrock, 2007 mengemukakan bahwa untuk bisa
dikatakan kompeten secara emosional, seseorang harus mengembangkan beberapa keterampilan yang berhubungan dengan konteks sosial. Keterampilan emosional yang
dimaksud, antara lain sebagai berikut. 1 pemahaman tentang keadaan emosi yang dialaminya; 2 kemampuan untuk mendeteksi emosi orang lain; 3 menggunakan kosa kata
yang berhubungan dengan emosi dengan tepat pada konteks sosial dan budaya tertentu; 4
22
memiliki sensitivitas empatik dan simpatik terhadap pengalaman emosional orang lain; 5 memahami bahwa keadaan emosional di dalam tidak harus selalu berhubungan dengan
ekspresi yang tampak di luar; 6 coping adaptif terhadap emosi negatif dengan menggunakan strategi self-regulatory yang dapat mengurangi durasi dan intensitas dari
emosi tersebut; 7 menyadari bahwa ekspresi emosi memiliki peranan yang penting dalam hubungan interpersonal; dan 8 memandang bahwa keadaan emosi diri adalah cara
seseorang mengatur emosinya. Berdasarkan keterampilan emosi yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwa keterampilan sosial anak berkembang dari dalam diri dan secara bertahap berkembang ke dalam ekspresi emosi dalam konteks hubungan sosial. Misalnya, ketika anak
mengalami suatu kejadia tertentu, pertama anak dapat membedakan apakah ia sedang sedih, gembira, gelisah, cemas dan lain sebagainya. Keterampilan berikutnya adalah anak
bisa mendeteksi bagaimana emosi orang-orang yang ada di sekitarnya. Anak belajar memahami ekspresi yang ditunjukkan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Sebagai
contoh, ketika anak meminta sesuatu kepada ibunya, anak bisa melihat ibunya sedih, gembira, menyetujui atau menunjukkan keikhlasan.
Pada perkembangan selanjutnya anak akan menunjukkan bagaimana bersikap empati dan simpati terhadap orang lain. Misalnya ketika anak melihat pengemis yang sedang
meminta-minta di depan rumahnya, anak akan menunjukkan rasa iba dan berusaha memberikannya sedekah. Demikian seterusnya sampai anak mampu mengadakan
pengaturan terhadap emosinya secara wajar sehingga anak bisa beradaptasi dengan lingkungannya yang lebih luas.
k. Mekanisme Emosi
Mekanisme Emosi menurut Lewis Rosenblum dalam Nugraha dan Rachmawati, 2008 meliputi: 1 elicitor; 2 receptor; 3 state; 4 expression; 5 Experience. Tahap Elicitor
ditandai adanya dorongan berupa situasi atau peristiwa kebakaran dll. Tahap receptor: Aktivitas di pusat sistem syaraf setelah indra menerima stimulusrangsangan dari luar mata
melihat peristiwa kebakaran, maka sebagai indrera penerima stimulusreseptor awal, melanjutkan stimulus tersebut ke otak sebagai pusat sistem syaraf. Tahap state: Perubahan
23
spesifik yang terjadi dalam aspek fisiologi. Setelah stimulusrangsang mencapai otak maka diterjemahkan dan diolah serta disebarkan kembali ke berbagai bagian tubuh lain yang
terkait sehingga terjadi perubahan fisiologis, seperti jantung berdetak keras, tekanan darah naik, badan tegang atau perubahan pada hormon lainnya. Tahap expression: terjadinya
perubahan pada daerah yang dapat diamati, seperti pada wajah, tubuh, suara atau tindakan yang terdorong oleh perubahan fisiologis otot wajah mengencang, tubuh tegang, mulut
terbuka, dan suara keras berteriak atau bahkan lari kencang mejauh. Tahap experience: Persepsi dan iterprestasi individu pada kondisi emosionalnya. Dengan pengalaman individu
dalam menterjemahkan dan merasakan perasaannya sebagai rasa takut, stres, terkejut, dan ngeri.
Adapun varibel yang menimbulkan emosi menurut Syamsudin 2000, ada tiga variabel yaitu:
1 Variabel stimulus: Rangsangan yang menimbulkan emosi. Peristiwa sebagai rangsangan
bermakana bagi individu yang diterima melalui panca indra. 2
Variabel organik: Perubahan fisiologis yang terjadi saat mengalami emosi. Setelah individu menerima rangsangan, proses selanjutnya adalah meneruskan rangsangan
tersebut ke pusat syaraf. Pusat sistem syaraf meneruskan rangsangan yang telah diolah ke seluruh tubuh sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan fisiologis.
3 Variabel respons: Pola sambutan ekspresif atas terjadinya pengalaman emosi. Individu
merespon stimulus yang ia terima dengan cara mengekspresikannya melalui prilaku ataupun bahasa tubuhnya
l. Fungsi Emosi pada Perkembangan Anak