Proses Perkembangan Sosial BIDANG PENGEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL

11

c. Proses Perkembangan Sosial

Dalam perkembangan sosial, anak mengalami sebuah proses sosialisasi yang panjang. Gunarti dkk.2008, mengemukakan bahwa alur proses sosialisasi pada setiap individu mulai sejak lahir sampai dewasa adalah imitasi, identifikasi dan internalisasi. Pada proses imitasi, anak melakukan peniruan terhadap tingkah laku atau sikap serta cara pandang orang dewasa —yang dijadikan model—dalam aktivitas yang dilihat anak yang secara sengaja belajar bergaul dari orang-orang terdekatnya. Pada masa ini, orang-orang yang ada di sekitarnya hendaknya mampu menjadi model yang baik, yang layak ditiru oleh anak. Seorang ayah yang merokok di samping anaknya, maka lama kelamaan anak akan menjadi perokok karena meniru perilaku ayahnya. Dalam hal ini ayah tidak akan mampu melarang anaknya sebagai perokok, karena dia sendiri adalah perokok. Di sinilah aka terjadi konflik bathin, antara ayah sebagai model dan ayah sebagai model bagi anaknya. Pada proses ide tifikasi, a ak aka e gide tifikasika diri ya seolah-olah sebagai mana yang diperolehnya dari tokoh anutan atau tokoh acuannya. Dengan demikian, proses identifikasi merupakan proses terjadinya pengaruh sosial pada seseorang yang didasarkan pada orang tersebut untuk menjadi seperti individu lain yang dikaguminya. Sering kali kita melihat anak melihat film fiksi seperti Superman. Setelah melihat film tersebut, anak-anak memakai atribut sebagaimana tokoh yang dikaguminya dan memperlihatkan perilaku seaka -aka ’ ia adalah super a . Tahap berikutnya adalah proses internalisasi. Pada tahap ini, anak mengalami proses penanaman serta penyerapan nilai-nilai. Dalam hal ini, anak akan menjadikan nilai-nilai yang ada di masyarakat manjadi bagian dari dirinya. Misalnya budaya antri. Anak-anak dalam situasi apa pun, tanpa diperintah atau diperingatkan oleh orang lain, maka anak akan antri ketika ada dalam peristiwa yang menuntutnya antri dan bisa mengingatkan orang lain bahwa dalam kejadian ini mereka harus taat aturan untuk antri. Di samping itu, Wiyani 2014 mengemukakan bahwa perkembangan hubungan sosial anak adalah sebagai berikut. 1 Sejak awal kehidupan seorang bayi, respon terhadap perilaku dan kehadiran bayi lain yang sebaya sudah muncul. Misalnya anak bayi mulai mengamati bayi lain yang seusianya dan akan menyentuh bayi lainnya sebagai upaya mencari dan mengharapkan respon sosial dari bayi lainnya. 2 Pada usia 6 bulan, hubungan sosial 12 bayi mulai benar-benar muncul. Bayi mulai mengenali bayi lainnya sebagai rekan sosialnya. 3 pada usia 1 tahun, berbagai perilaku sosial terjadi dalam interaksi bayi dengan bayi lainnya, seperti tertawa, penggunaan bahasa tubuh, meniru perilaku bayi lainnya dan lebih antusias untuk berinteraksi dengan bayi lainnya. 4 Pada usia 2 tahun, hubungan sosial antar bayi semakin kompleks karena anak sudah mulai bisa berbahasa dan melakukan gerakan- gerakan tubuh. Aspek kerja sama mulai muncul dan terdapat konflik dalam hubungannya dengan bayi lain. 5 Pada usia 2-3 tahun, anak lebih suka berinteraksi dengan teman sebayanya dari pada dengan orang dewasa. Gejala yang muncul pada usia ini antara lain, kemampuan berbagi makna dengan anak lain, mulai mengerti bagaimana alat permainan dimainkan, mulai mengenal satu sama lain, mulai muncul berbagai perasaan seperti cinta, benci, persahabatan, permusuhan, simpati, antipasti dan sejenisnya. 6 Pada usia 4-6 tahun, anak mulai menyadari bahwa kepercayaan seseorang sangat mempengaruhi perilakunya sesuai psikologikal yang sangat kongkrit, misalnya kepemilikian, mengenai gambaran fisik dan berbagai kegiatan yang dilakukannya. Dalam konteks bermain dan permainan, perkembangan sosial anak terjadi dengan enam kategori Parten, dalam Wiyani, 2014. Keenam kategori tersebut adalah sebagai berikut. 1 Unocupied play, di mana anak dalam bermain anak mungkin hanya berjalan berkeliling ruangan atau tetap diam dan duduk sambil memandangi ruangan. 2 Solitary play, anak sudah mulai asyik dengan permainannya sendiri, begitu pula dengan anak lainnya. Meskipun mereka berada dalam satu ruangan bermain, anak belum melakukan komunikasi satu sama lain. Mereka juga tidak mengakui keberadaan satu sama lain. 3 Onlooker play, anak melihat orang lain sedang terlibat dalam suatu kegiatan bermain tetapi tidak membuat pendekatan sosial. Anak hanya diam dan mengamati anak lainnya yang sedang bermain. 4 Parallel play, dalam konteks ini anak sudah mulai bermain secara berdampingan. Walaupun mereka bermain atau melakukan hal yang sama, tetapi belum ada kontak atau komunikasi dengan anak lainnya. 13 5 Assosiative play, anak mulai bermain bersama, berbagi alat permainan dan berbicara sedikit. Mereka sudah mulai saling menukar alat permainannya dan kadang-kadang berkomentar terhadap pa yang sedang dilakukannya. 6 Cooperative play, anak secara aktif mengkoordinasikan kegiatan mereka, bertukar mainan, mengambil peran tertentu dan dapat memelihara interaksi yang sedang berlangsung. Dengan memperhatikan perkembangan sosial tersebut, para pendidik dan orang dewasa lainnya perlu memahami perkembangan tersebut. Hal ini bermanfaat agar bisa dijadikan alat deteksi dini bagi perkembangan anak. Dengan demikian upaya memfasilitasi dan memotivasi perkembangan sosial anak dapat dilakukan secara optimal.

d. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak