Analisis Pesan Moral dalam Novel “Furinkazan” Karya Yasushi Inoue

(1)

ANALISIS PESAN MORAL DALAM NOVEL “FURINKAZAN” KARYA YASUSHI INOUE

YASUSHI INOUE NO “FURIKAZAN” TO IU SHOUSETSU NI OKERU DOUTOKU NO DENGON NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana dalam

Bidang Ilmu Sastra Jepang

Disusun oleh : Asri Sartika NIM : 080708042

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

ANALISIS PESAN MORAL DALAM NOVEL “FURINKAZAN” KARYA YASUSHI INOUE

YASUSHI INOUE NO “FURIKAZAN” TO IU SHOUSETSU NI OKERU DOUTOKU NO DENGON NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana dalam

Bidang Ilmu Sastra Jepang Disusun oleh : ASRI SARTIKA NIM : 080708042

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Amin Sihombing Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum

NIP : 1960 0403 1991 03 1 001 NIP : 19600919 1988 03 1 001

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Disetujui oleh:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Departemen Sastra Jepang Ketua,

Drs. Eman Kusdiyana. M.Hum NIP: 19600919 1988 03 01 001 Medan,


(4)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkah, rahmat dan pertolongannya yang telah menyertai penulis selama menyelesaikan skripsi ini, walaupun tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi dalam penyelesaian skripsi ini. Baik itu dari segi keterbatasan bahan maupun keterbatasan penulis sendiri dalam menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul Analisis Pesan Moral dalam Novel “Furinkazan” Karya Yasushi Inoue ini, penulis susun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana pada Departemen Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terimakasih yang begitu sederhana rasanya tidaklah cukup untuk mengucapkan rasa terimakasih saya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, izinkanlah saya haturkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada sejumlah pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini. :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai Dosen Pembimbing II yang telah membimbing dan mengarahkan penulis.

3. Bapak Drs. Amin Sihombing, selaku Dosen Pembimbing I atas kesabarannya membimbing dan mengarahkan penulis.


(5)

ii

4. Seluruh staf pengajar serta staf administrasi Departemen Sastra Jepang USU yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis. 5. Kedua orang tua dan juga saudara-saudara penulis yang telah memberikan

dukungan, baik moral maupun materil.

6. Teman-teman di Sastra Jepang Stambuk ‘08 : Ade Fitriani, Della Dinila Reza, Farah Dian Mierza, Milani Rayi Arum dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

7. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penulisan ini.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat memperbaiki kesalahan pada masa mendatang. Akhir kata, penulis berharap kiranya skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi penulis dan para pembaca.

Medan,


(6)

iii DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Perumusan Masalah ... 5

1.3Ruang Lingkup Pembahasan ... 7

1.4Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 7

1.5Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1.6Metode Peneltian ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NOVEL, NILAI MORAL DAN BIOGRAFI PENGARANG ... 14

2.1 Defenisi Novel ... 14

2.1.1 Novel Sebagai Salah Satu Genre Sastra ... 14

2.1.2 Unsur-Unsur dalam Novel ... 15

2.1.2.1Tema ... 16

2.1.2.2Alur ... 17

2.1.2.3Penokohan ... 18

2.1.2.4Latar (Setting) ... 19


(7)

iv

b. Latar Tempat ... 20

c. Latar Budaya ... 22

2.2 Nilai-Nilai Moral dalam Masyarakat Jepang ... 24

2.2.1 Giri ... 24

2.2.2 Ninjō ... 27

2.2.3 Kejujuran ... 28

2.2.4 Kesetiaan ... 29

2.3 Biografi Pengarang ... 30

BAB III ANALISIS PESAN MORAL DALAM NOVEL “FURINKAZAN” ... 32

3.1 Sinopsi Cerita Novel Furinkazan ... 32

3.2 Analisis Pesan Moral Pada Novel Furinkazan ... 38

3.2.1 Giri ... 38

3.2.2 Ninjō ... 40

3.2.3 Kejujuran ... 42

3.2.4 Kesetiaan ... 44

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan………47

4.2 Saran………..48 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

ANALISIS PESAN MORAL DALAM NOVEL “FURINKAZAN” KARYA YASUSHI INOUE

いのうえ

,井上 やすし靖 の「ふ う り ん か ざ ん風林火山」という小説における道徳どうとくのでんごん伝言の分析

Sastra dengan segala ekspresinya merupakan pencerminan dari kehidupan manusia. Adapun permasalahan manusia merupakan ilham bagi pengarang untuk mengungkapkan dirinya dengan media karya sastra. Temasuk dalam menyampaikan pesan berupa moral.

ぜんぶ

,全部の 表 現

ひょうげん

である 文 学

ぶんがく

というは 人 間

にんげん

の 人 生

じんせい

から 反 射

はんしゃ

である。 人 間

にんげん

のある 問 題

もんだい

は 文 学 作 品

ぶんがくさくひん

のメディアで 作 者

さくしゃ

を 表 現

ひょうげん

れたインスピレーションである。 道 徳

どうとく

の 伝 言

でんごん

を 伝

つた

えるのは 含

ふく

まれてい

る。

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Melalui cerita, sikap dan tingkah laku para tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan atau diamanatkan.


(9)

ぶんがくさくひん

,文学作品の 道 徳

どうとく

は普通

ふつう

、その 作 者

さくしゃ

の 生 活 意 見

せいかついけん

を 反 射

はんしゃ

する。事実

じじつ

の 得 点

とくてん

ある意見

いけん

である。そのことからこそ、 読 者

どくしゃ

つた

えたい。 物 語

ものがたり

の 主 人 公

しゅじんこう

の態度

たいど

から 読 者

どくしゃ

は 伝

つた

えたい 道 徳

どうとく

のある

伝 言 教 訓

でんごんきょうくん

を取

れる。

Konsep moral yang diutarakan dapat dijadikan sebagai inspirasi dalam menciptakan karya sastra berupa novel oleh para pengarang. Salah satunya adalah novel yang berjudul Furinkazan. Novel ini mengungkapkan nilai moral pada masyarakat Jepang. Novel ini berisi tentang kisah seorang samurai bernama Yamamoto Kansuke yang hidup pada zaman Sengoku Jidai, di mana perang saudara dan perebutan wilayah melingkupi wilayah Jepang. Furinkazan merupakan salah satu novel karya Yasushi Inoue.

べた 道 徳

どうとく

の下書

したが

きは 作 者

さくしゃ

に 小 説

しょうせつ

のような 文 学 作 品

ぶんがくさくひん

を 創 作

そうさく

するインスピレーションになれる。 例

たと

えば、「風林火山ふ う り ん か ざ ん」の 小 説

しょうせつ

であ

る。この 小 説

しょうせつ

は 日 本 社 会

にほんしゃかい

の 道 徳

どうとく

の 得 点

とくてん

を 表 現

ひょうげん

する。 戦 国 時 代

せんごくじだい

「やまもと▪かんすけ」 侍

さむらい

の 物 語

ものがたり

である。日本地域

にほんちいき

で地方

ちほう

の 併 合


(10)

と 内 戦

ないせん

の時代

じだい

である。「風林火山ふ う り ん か ざ ん」の 小 説

しょうせつ

は「 靖やすししかく 井上いのうえ」のある

作 品

さくひん

である。

Menurut Inazo Nitobe dalam Fatonah (2008:37) mengatakan bahwa pedoman moral dan etika bangsa Jepang berupa Bushido yang artinya “Jalan Ksatria”. Bushido mengajarkan kesetiaan, kejujuran, etika sopan santun dan tata krama, disiplin, rela berkorban, kerja keras, kebersihan, hemat, kesabaaran, ketajaman berpikir, serta kesehatan jasmani dan rohani.

「Fatonah、 2 0 0 8 : 3 7 」 「 い な ぞ ▪ に と べ 」 に と っ て 、

日 本 社 会 道 徳

にほんしゃかいどうとく

の 基 準

きじゅん

は「武士道

ぶ し ど う

」である。武士

ぶ し

の 道

みち

の意味

い み

である。

武士道

ぶ し ど う

は 忠 実

ちゅうじつ

、 正 直

しょうじき

、 礼儀

れいぎ

、 行 儀

ぎょうぎ

、 規律

きりつ

、 犠牲

ぎせい

、 仕 事 熱 心

しごとねっしん

衛 生

えいせい

、 節 約

せつやく

、 辛 抱

しんぼう

、抜

け目

のない、元気

げんき

な 肉 体

にくたい

と 精 神

せいしん

を 教

おし

える。

Di dalam novel Furinkazan dapat dilihat para tokoh yang menunjukkan sikap berupa giri, ninjou, kejujuran dan kesetiaan. Giri menurut Ruth Benedict (1982:125) adalah utang-utang yang wajib dibayar dalam jumlah yang tepat sama dengan kebaikan yang diterima dan ada batas waktunya. Ninjō secara umum merupakan perasaan manusia yang merupakan perasaan kasih sayang, perasaan cinta, perasaan belas kasih, rasa simpati, rasa iba hati yang dirasakan terhadap orang lain seperti hubungan orang tua dengan anaknya atau antara kekasihnya. Kejujuran merupakan kekuatan untuk menentukan sikap dan perilaku yang akan


(11)

dijalani tanpa adanya sikap keragu-raguan. Sedangkan setia berarti tidak mengkhianati.

「風林火山ふ う り ん か ざ ん」の 小 説

しょうせつ

の 中

なか

に 主 人 公

しゅじんこう

の 忠 実

ちゅうじつ

、 正 直

しょうじき

、 人 情

にんじょう

義理

ぎ り

が見

えた。「1982:125」Ruth Benedictにとって、義理

ぎ り

は受

た 善 行

ぜんこう

と 同

おな

じ 正 確

せいかく

な 量

りょう

を 返

かえ

さなければならなくて、期限

きげん

がある負債

ふさい

である。 人 情

にんじょう

は普通他人

ふつうたにん

に 愛 情

あいじょう

、 同 情

どうじょう

を 感

かん

じた 感

かん

じである。 例

たと

えば、 両 親

りょうしん

と子供

こども

の 関 係

かんけい

とか 恋 人

こいびと

の 関 係

かんけい

である。 正 直

しょうじき

は 躊 躇

ちゅうちょ

がないで態度を決

めた 力

ちから

である。それで、 忠 実

ちゅうじつ

は裏切

うらぎ

りをしない。

Giri ditunjukkan oleh Yamamoto Kansuke ketika berhadapan dengan Iohara. Kansuke meminta izin kepada Iohara untuk pamit pergi karena dia akan bekerja pada Klan Takeda. Tetapi, Iohara menolak kepergiannya. Kansuke yang tidak terima penolakan, menuduh Iohara bahwa ia takut pada Kansuke. Iohara yang mendapat tuduhan seperti itu langsung membentak Kansuke. Kansuke yang merasa telah dirawat selam 9 tahun oleh Iohara mendadak mengubah nada bicaranya. Dari cerita tersebut terdapat sikap giri terhadap atasan yang ditunjukkan oleh Kansuke. Giri yang ditunjukkan oleh Kansuke adalah giri terhadap dunia, yaitu adalah kewajiban terhadap orang-orang yang bukan keluarga karena kebaikan yang diterima oleh mereka.


(12)

「やまもと▪かんすけ」の義理

ぎ り

は「いおはら」に向

き合

う 時

とき

であっ

た。かんすけはたけだ 群

ぐん

に 働

はたら

きから、行

く許可

きょか

をもらうために、いお

はらに 頼

たの

んだ。しかし、いおはらは行

く許可

きょか

を 断

ことわ

る。拒否

きょひ

がもらえな

いかんすけ、いおはらはかんすけが 怖

こわ

がると 訴

うった

えられた。そんな 訴

うった

えがもらうと、かんすけに怒鳴

ど な

る。かんすけはいおはらに 九 年 間

きゅうねんかん

に 育

そだ

てて、 急

きゅう

に 口 調

くちょう

が変

わった。その 話

はなし

からかんすけは 上 司

じょうし

に義理

ぎ り

態度

たいど

があった。かんすけで義理を見せられたのは世界に義理である。それ

はそれらが受信じゅしんしたやさ優しさの家族か ぞ くでないひと人に義務ぎ む

Sikap giri juga ditunjukkan oleh Kansuke yang mengkhawatirkan keadaan Puteri Yuu saat melarikan diri. Kansuke berusaha mencari keberadaan sang puteri dan berharap keadaannya baik-baik saja. Giri tersebut adalah giri terhadap dunia yaitu kewajiban terhadap tuan pelindung.

である。

かんすけは義理の態度

たいど

も見

せられた。逃

げる 時

とき

、ゆう 王 女

おうじょ

状 態

じょうたい

が 心 配

しんぱい

して、 王 女

おうじょ

を 探

さが

しつづけて、ご無事

ぶ じ

を 祈

いの

る。 世界せ か いに

ぎ り


(13)

Sikap ninjo diperlihatkan oleh Harunobu ketika membela Kansuke yang tidak dipercaya oleh anak buahnya dikarenakan fisik Kansuke yang aneh. Harunobu yang memiliki pengalaman masa kecil yang tidak bahagia merasa sedih ketika Kansuke diperlakukan tidak adil. Karena itu, Harunobu langsung menolongnya dengan menjadikan Kansuke sebagai anak buahnya.

はるのぶの 人 情 態 度

にんじょうたいど

はかんすけを 守

まも

る 時

とき

であった。かんすけの

へん

な 肉 体

にくたい

から、部下

ぶ か

に 信

しん

じられなかった。不幸

ふこう

な 幼

おさな

い 頃

ころ

の 経 験

けいけん

あったはるのぶはかんすけが不 公 平

ふこうへい

で 扱

あつか

われる 時

とき

、 悲

かな

しくなった。は

るのぶは 助

たす

けると、かんすけと部下

ぶ か

になった。

Kejujuran diperlihatkan oleh Puteri Yuu yang tidak ingin melakukan seppuku dikarenakan dia masih ingin hidup. Dalam masyarakat Jepang, jika ada kelompok yang kalah perang maka anggota keluarga yang masih hidup diharuskan melakukan seppuku agar tidak hidup menanggung malu akibat kekalahan. Namun, sikap Puteri Yuu jelas berbanding terbalik. Dia memerlihatkan kejujurannya untuk tetap hidup melalui perbuatan dan kata-katanya.

ゆう 王 女

おうじょ

は 正 直

しょうじき

の態度

たいど

が見

せられた。生

きたいから、 切 腹

せっぷく

したくなかった。日 本 社 会

にほんしゃかい

の 中

なか

に、負

けで 恥

はじ

の 生 活

せいかつ

を負


(14)

し 戦 争

せんそう

の負

けた 群

ぐん

があったら、生

きている家族

かぞく

の 一 員

いちいん

は 切 腹

せっぷく

をしな

ければならない。しかし、ゆう 王 女

おうじょ

の態度

たいど

ははっきりと 異

こと

なる。言葉

ことば

行為

こうい

で、 王 女

おうじょ

の生

きたい 正 直

しょうじき

を見

せた。

Dan kesetiaan ditunjukkan oleh Kansuke yang tetap berada di samping Harunobu untuk memastikan keselamatan Harunobu. Saat perang, Klan Takeda yang terdesak mengharuskan Harunobu untuk mundur. Kansuke yang ingin memastikan tidak apa-apa terhadap tuannya, tetap memperhatikan kemana pun Harunobu bergerak. Dan sebagai seorang bawahan ia telah menunjukkan sikap kesetiaan kepada tuannya.

そして、かんすけの 忠 実

ちゅうじつ

ははるのぶの 安 全

あんぜん

を 確

たし

かめるために、

いつもはるのぶのそばにいる。 戦 争

せんそう

の 時

とき

、 迫

せま

られたたけだ 群

ぐん

のははる

のぶが 退

しりぞ

かなければならない。かんすけは 主 人

しゅじん

が 大 丈 夫

だいじょうぶ

を 確

たし

かめた

いから、はるのぶの 動

うご

きを 注 意

ちゅうい

つづける。それで、部下

ぶ か

として、 主 人

しゅじん

に 忠 実

ちゅうじつ

の態度

たいど

を見

せた。

Kesimpulan dari keseluruhan cerita novel “Furinkazan” adalah novel ini baik dimana novel tesebut mampu menggambarkan giri, ninjo, kejujuran dan


(15)

kesetiaan yang ada dalam masyarakat jepang melalui sikap dan perilaku para tokohnya.

「風林火山ふ う り ん か ざ ん」の 小 説

しょうせつ

の 全 部 話

ぜんぶばなし

の 結 論

けつろん

はいい 小 説

しょうせつ

である。こ

の 小 説

しょうせつ

は 主 人 公

しゅじんこう

の態度

たいど

から 日 本 社 会

にほんしゃかい

の義理

ぎ り

、 人 情

にんじょう

、 正 直

しょうじき

忠 実

ちゅうじつ

が見


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra sebagai hasil cipta manusia selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran hidup. Orang dapat mengetahui Nilai- Nilai Hidup, susunan adat istiadat, suatu keyakinan, dan pandangan hidup orang lain atau masyarakat melalui karya sastra. Dengan hadirnya karya sastra yang membicarakan persoalan manusia, antara karya sastra dengan manusia memiliki hubungan yang tidak terpisahkan.

Sastra dengan segala ekspresinya merupakan pencerminan dari kehidupan manusia. Adapun permasalahan manusia merupakan ilham bagi pengarang untuk mengungkapkan dirinya dengan media karya sastra. Hal ini dapat dikatakan bahwa tanpa kehadiran manusia, sastra mungkin tidak ada.

Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa (Sumardjo, 1997:3).

Karya sastra bukan hanya mengejar bentuk ungkapan yang indah, tetapi juga menyangkut masalah isi ungkapan, bahasa ungkapannya, dan nilai ekspresinya. Kepadatan isi dan bentuk, bahasa dan ekspresinya merupakan hasil kepekatan sastrawan dalam menghayati kehidupannya.

Karya sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Sastra merupakan segala sesuatu yang ditulis dan tercetak. Selain itu, karya sastra juga


(17)

2

merupakan karya imajinatif yang dipandang lebih luas pengertiannya daripada karya fiksi (Wellek dan Werren, 1995:3-4).

Sebagai hasil imajinatif, sastra berfungsi sebagai hiburan yang menyanangkan, juga guna menambah pengalaman batin bagi para pembacanya. Membicarakan yang memiliki sifat imajinatif, kita berhadapan dengan tiga jenis (genre) sastra, yaitu prosa, puisi, dan drama. Salah satu jenis prosa adalah novel.

Menurut Nursisto (2000:168) mengatakan bahwa novel adalah penuangan pikiran, perasaan dan gagasan penulis dalam merespon kehidupan di sekitarnya. Ketika di dalam kehidupan muncul permasalahan baru, nurani penulis novel akan terpanggil untuk segera menciptakan suatu cerita.

Sedangkan menurut Nurgiyantoro (1994:31) novel merupakan struktur organisme yang kompleks, unik dan mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung.

Jadi sebuah karya sastra yang dibentuk oleh beberapa unsur struktur yang merupakan sebuah keseluruhan. Keseluruhan tersebut saling berkaitan. Novel dibangun dari sejumlah unsur dan setiap unsur akan saling berhubungan dan saling menentukan, yang kesemuanya akan menyebabkan novel tersebut menjadi sebuah karya yang bermakna. Dengan memenuhi ketentuan di atas, maka novel dapat dibuat dengan tidak membosankan dan ada ketegangan-ketegangan sehingga menarik untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan sebagai sebuah karya sastra.

Kehadiran karya sastra ditengah-tengah masyarakat pembaca adalah berupaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk berbudaya, berpikir dan berketuhanan. Oleh karena itu, dalam penyajian karya sastra hendaknya memiliki moral. Moral merupakan suatu norma tentang


(18)

3

kehidupan yang telah diberikan kedudukan istimewa dalam kegiatan atau kehidupan masyarakat.

Menurut Semi (1993:71) mengatakan bahwa karya sastra yang bernilai tinggi adalah karya sastra yang mengandung moral yang tinggi, yang dapat mengangkat harakat umat manusia. Dalam hal ini, karya sastra yang diciptakan oleh seorang penulis tidak semata-mata mengandalkan bakat dan kemahiran berekspresi, tetapi lebih dari itu, seorang penulis melahirkan karya sastra karena ia juga memiliki visi, aspirasi, itikad baik, dan perjuangan, sehingga karya sastra yang dihasilkannya memiliki nilai tinggi.

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Melalui cerita, sikap dan tingkah laku para tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan atau diamanatkan.

Menurut Lillie moral berasal dari kata mores (bahasa Latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat (dalam Budianingsih, 2004:24).

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan bahwa moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Pengertian moral juga memiliki kesetaraan atau kesamaan arti dengan pengertian akhlak, budi pekerti dan susila (dalam http://artikel2.com/kumpulan-bermacam2-artikel/04/pengertian-moral).

Konsep moral yang diutarakan di atas dapat dijadikan sebagai inspirasi dalam menciptakan karya sastra berupa novel oleh para pengarang. Salah satunya adalah novel yang berjudul Furinkazan. Novel ini mengungkapkan nilai moral


(19)

4

pada masyarakat Jepang. Novel ini berisi tentang kisah seorang samurai bernama Yamamoto Kansuke yang hidup pada zaman Sengoku Jidai, di mana perang saudara dan perebutan wilayah melingkupi wilayah Jepang. Keterbatasan fisik membuatnya dipandang sebelah mata. Namun, Takeda Shingen yang berencana memperluas wilayah kekuasaannya mengangkat Yamamoto Kansuke sebagai ahli strateginya. Dan berkat bakatnya dalam diplomasi dan pemahamannya akan strategi perang berhasil membuat Klan Takeda sukses besar.

Furinkazan merupakan salah satu novel karya Yasushi Inoue. Yasushi Inoue lahir di Asahikawa pada tanggal 6 Mei 1907. Yasushi Inoue terkenal serius dalam membuat cerita fiksi sejarah, keakuratannya membuat buku-bukunya banyak diminati dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Melalui karya-karyanya, Yasushi Inoue telah mendapatkan berbagai penghargaan.

Berdasarkan konsep sastra dan novel di atas, bahwa dalam novel Furinkazan terdapat nilai moral yang diambil dari para tokoh yang dapat dijadikan sebagai wawasan dan pengetahuan yang bermanfaat bagi para pembaca.

Nilai-nilai moral yang berkembang di dalam masyarakat Jepang berakar dari ajaran konfusianisme Cina dan diajarkan kepada seluruh masyarakat Jepang pada abad ke-6. Meskipun berasal dari luar Jepang, tetapi ajaran ini tidak semuanya diserap mentah oleh masyarakat Jepang (Bary dalam Fatonah, 2008:36).

Menurut Inazo Nitobe dalam Fatonah (2008:37) mengatakan bahwa pedoman moral dan etika bangsa Jepang adalah Bushido yang artinya “Jalan Ksatria”. Bushido mengajarkan kesetiaan, kejujuran, etika sopan santun dan tata krama, disiplin, rela berkorban, kerja keras, kebersihan, hemat, kesabaaran,


(20)

5

ketajaman berpikir, serta kesehatan jasmani dan rohani (Beasley dalam Fatonah, 2008:37).

Sedangkan menurut Masakatsu Ishii seorang wartawan media Jepang Jiji Press mengatakan bahwa ada empat prinsip moral rakyat Jepang yang merupakan semacam kewajiban sosial yang harus dimiliki oleh setiap rakyat Jepang, yaitu on, gimu, giri dan ninjō. Keempat unsur ini berasal dari kebudayaan samurai Jepang (dalam http://zidiyuto.blogspot.com/2012/01/prinsip-hidup-negara-jepang.html).

Berdasarkan uraian dan pernyataan di atas, penulis mencoba memaparkan dan membahas nilai moral yang terdapat dalam novel Furinkazan yang dicerminkan oleh para tokoh berupa giri, ninjo, kejujuran dan kesetiaan yang diungkapkan oleh Yasushi Inoue dalam skripsi yang berjudul “Analisis Pesan Moral Dalam Novel Furinkazan Karya Yasushi Inoue”.

1.2Perumusan Masalah

Kepribadian dan karakter moral bangsa Jepang dibentuk sedari mereka kecil dan nilai-nilai moral yang berembang dalam masyarakat Jepang banyak diungkapkan dalam setiap genre sastra, salah satunya novel Furinkazan.

Novel Furinkazan karya Yasushi Inoue merupakan novel yang menceritakan kehidupan seorang samurai yang bernama Yamammoto Kansuke. Keterbatasan fisik membuatnya dipandang sebelah mata. Namun, pertemuannya dengan Jenderal Itagaki membuatnya memiliki kesempatan untuk mengabdi kepada Daimyo Takeda. Takeda Shingen yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya, mengangkat Yamamoto Kansuke sebagai ahli strateginya. Bakat Kansuke dalam


(21)

6

diplomasi dan pemahamannya akan strategi perang mengantarkan klan Takeda sukses besar.

Novel ini menggambarkan peristiwa-peritiwa yang mengandung nilai-nilai yang bermanfaat bagi para pembaca. Salah satunya yaitu nilai moral. Nilai-nilai moral yang terdapat dalam novel tersebut adalah giri, ninjō, kejujuran dan kesetiaan. Giri merupakan pembayaran kembali atas kebaikan dari orang lain yang jumlahnya setara dengan kebaikan yang diterima dan waktunya terbatas. Ninjō adalah perasaan kemanusiaan yang dirasakan terhadap orang lain. Kejujuran adalah kekuatan untuk menentukan sikap dan perilaku yang akan dijalani tanpa adanya sikap keragu-raguan. Sedangkan kesetiaan adalah kesediaan melaksanakan perintah atau keinginan orang lain dengan mengorbankan kepentingan pribadi. Nilai-nilai ini tercermin dalam setiap isi novel yang berkaitan dengan para tokoh dalam novel tersebut. Untuk mengetahui perbuatan dan kejadian yang mengandung nilai moral, panulis akan mencoba melihatnya dalam novel Furinkazan.

Berdasarkan keterangan tersebut, dalam bentuk pertanyaan permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Apa saja pesan moral yang diangkat dalam Novel Furinkazan karya Yasushi Inoue?

2. Bagaimana perilaku giri, ninjō, kejujuran dan kesetiaan diungkapkan oleh Yasushi Inoue melalui para tokoh cerita dalam novel Furinkazan?


(22)

7 1.3Ruang Lingkup Pembahasan

Ditinjau dari permasalahan-permasalahan yang ada, maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasannya. Hal ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak terlalu luas dan berkembang jauh, sehingga penulisan dapat terarah dan terfokus.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan yang difokuskan pada nilai moral seperti giri, ninjō, kejujuran dan kesetiaan yang dapat dilihat dari tingkah laku dan cara berpikir para tokoh dalam novel tersebut. Untuk lebih akurat dalam menunjukkan sikap perilaku berlandaskan nilai moral dari para tokoh, terlebih dahulu penulis akan membahas tentang defenisi novel, setting novel dan nilai moral dalam masyarakat Jepang.

Nilai-nilai moral yang ada dalam masyarakat Jepang akan digunakan sebagai acuan untuk menganalisis pesan pesan moral yang muncul dalam novel Furinkazan.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Karya sastra adalah suatu kegiataan kreatif sebuah karya seni. Sastra merupakan segala sesuatu yang ditulis dan dicetak. Selain itu, karya sastra juga merupakan karya imajinatif yang dipandang lebih luas pengertiannya daripada karya fiksi (Wellek dan Werren, 1995:3-4). Selain itu, menurut Boulton dalam Aminuddin (2000:37) mengungkapkan bahwa cipta sastra, selain menyajikan


(23)

nilai-8

nilai keindahan sarta paparan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan kompleksitas kehidupan ini.

Sastra secara umum terdiri atas berbagai jenis (genre) sastra seperti puisi, prosa, drama, roman dan lain sebagainya. Salah satu karya sastra dalam bentuk prosa adalah novel.

Menurut Nursisto (2000:168) novel adalah media penuangan pikiran, perasaan dan gagasan penulis dalam merespon kehidupan di sekitarnya. Ketika di dalam kehidupan muncul permasalahan baru, nurani penulis novel akan terpanggil untuk segera menciptakan suatu cerita. Di dalam sebuah novel terdapat tokoh yang memainkan sebuah cerita.

Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1994:165) mengatakan bahwa tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam tindakan. Dan hal ini sangat tergantung pada si pengarang agar dapat melukiskan tokoh sesuai dengan pesan, amanat atau moral yang ingin disampaikan kepada pembacanya.

Di dalam novel Furinkazan, melalui penokohannya pengarang mencoba menyajikan suatu karya sastra yang mengandung nilai-nilai moral yang tergambar dari sikap, sifat serta ucapan-ucapan para tokohnya yang memiliki pesan yang dapat bermanfaat bagi para pembacanya.


(24)

9 1.4.2 Kerangka Teori

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan moral, konsep giri, ninjo, kejujuran dan kesetiaan dan pendekatan semiotik. Menurut Semi (1993:71) pendekatan moral bertolak dari asumsi bahwa salah satu tujuan kehadiran karya sastra di tengah-tengah pembaca adalah berupaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk berbudaya, berpikir dan berketuhanan. Dengan pendekatan moral ini, peneliti hendak melihat sejauh mana sebuah karya sastra itu memiliki moral.

Adapun yang dimaksud dengan moral disini adalah suatu norma etika, suatu konsep tentang kehidupan yang dijunjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat. Moral terutama berkaitan dengan pengertian baik dan buruk. Apa yang baik dianggap bermoral, sedangkan yanng buruk dianggap sebagai amoral.

Menurut Darma dalam Wiyatmi (2009:109-120) latar belakang munculnya pendekatan moral adalah pandangan yang mengatakan bahwa karya sastra yang baik selalu memberikan pesan moral kepada pembaca untuk berbuat baik.

Pendekatan moral menghendaki sastra menjadi medium perekaman keperluan zaman, yang memiliki semangat menggerakkan masyarakat ke arah budi pekerti yang terpuji. Karya sastra dalam hal ini dinilai sebagai guru yang dapat dijadikan panutan. Karena itu, pendekatan moral menempatkan karya sastra lebih dari hanya sebagai sebuah karya seni (Semi, 1993:71-72).

Penulis berdasarkan pendekatan moral akan melihat dan menjelaskan segi-segi moral dari para tokoh yang ada di dalam novel ini, untuk konkritnya moral yang berkaitan dengan giri, ninjo, kejujuran dan kesetiaan penulis menggunakan


(25)

10

teori giri yang dikemukakan oleh Ruth Benedict, teori ninjō yang dikemukakan oleh Nobuyuki Honna dalam Wahyuliana, serta teori kejujuran dan kesetiaan yang dikemukakan oleh Izano Nitobe dalam Fatonah.

Secara umum, giri adalah tindakan balas budi, dimana orang Jepang jika menerima suatu kebaikan dari orang lain, maka harus membalas kebaikan tersebut dengan setimpal. Menurut Ruth Benedict (1982:125) mengatakan bahwa giri adalah kewajiban yang wajib dibayar dalam jumlah yang tepat sama dengan kebaikan yang diterima dan ada batas waktu pembayarannya. Giri memiliki dua pembagian, yaitu giri kepada dunia yang artinya kewajiban seseorang untuk membayar on kepada sesamanya dan giri kepada nama sendiri yang artinya kewajiban untuk tetap menjaga kebersihan nama serta seseorang dari noda fitnah.

Sedangkan ninjō berkaitan dengan berbagai macam ekspresi emosi manusia seperti perasaan simpati, cinta, pertemanan dan lain sebagainya. Menurut Nobuyuki Honna dalam Wahyuliana (2005:10) menyatakan bahwa ninjō merupakan perasaan kemanusiaan dan semua orang Jepang mempercayai bahwa perasaan cinta, kasih sayang, belas kasihan dan simpati merupakan perasaan yang paling penting dalam menjaga hubungan kemanusiaan. Orang Jepang selalu mengukur sesuatu atau berusaha mempertimbangkan segala sesuatu berdasarkan perasaan manusiawi.

Kejujuran merupakan kekuatan untuk menentukan sikap dan perilaku yang akan dijalani tanpa adanya sikap keragu-raguan. Ketika seseorang berlaku, maka orang tersebut akan selau berada di jalan lurus sebab ia berani untuk mengatakan salah atas sesuatu yang salah, begitupun sebaliknya. Menurut Nitobe dalam


(26)

11

Fatonah (2008:48) sifat jujur dimiliki seseorang memang bakat dari dalam dirinya, tetapi ada pun yang berasal dari pembelajaran. Kejujuran juga dapat diartikan mengakui, berkata atau memberikan informasi yang sesuai dengan kenyataan dan kebenaran.

Kesetiaan berasal dari kata setia. Setia artinya tidak mengkhianati. Pada saat seseorang setia kepada sesamanya, maka orang tersebut telah percaya bahwa dirinya tidak akan dikhianati. Nitobe dalam Fatonah (2008:51) mengatakan bahwa kesetiaan seorang samurai kepada atasannya akan menimbulkan sikap kepatuhan dalam diri individu samurai. Dalam ajaran konfusiusme Cina kesetiaan kepada orang tua menempati posisi teratas sebagai tugas utama manusia. Namun, di Jepang kesetiaan terhadap atasan menempati urutan teratas dibanding kesetiaan terhadap siapapun.

Selain pendekatan moral, penulis juga menggunakan pendekatan semiotik. Luxemburg(1989:44) mengatakan bahwa semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda, lambang-lambang, sistem lambang dan proses perlambangan. Ilmu tentang semiotik ini menganggap fenomena sosial ataupun masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.

Pradopo dkk (2001:71) mengatakan bahwa semiotik itu ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, komveksi-konveksi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Tanpa memperhatikan sistem tanda, tanda dan maknanya, dan konveksi tanda, maka struktur karya sastra ataupun karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal.


(27)

12

Berdasarkan teori semiotik di atas, penulis dapat menginterpretasikan kondisi dan sikap tokoh utama ke dalam tanda. Tanda-tanda yang terdapat dalam sebuah novel akan diinterpretasikan dan kemudian akan dipilih bagian mana saja yang merupakan tindakan maupun perbuatan para tokoh yang mencerminkan nilai moral seperti giri, ninjo, kejujuran dan kesetiaan.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pesan moral apa saja yang disampaikan Yasushi Inoue dalam novel Furinkazan.

2. Untuk mengetahui perilaku giri, ninjo, kejujuran dan kesetiaan yang terdapat dalam novel Furinkazan karya Yasushi Inoue.

1.5.2 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Diharapkan dapat menambah wawasan mengenai aspek moral dalam karya sastra.

2. Diharapkan penelitian ini sebagai bahan penunjang untuk Departemen Sastra Jepang FIB Universitas Sumatera Utara, guna memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan yang berkaitan dengan bidang Sastra Jepang.


(28)

13 1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang termasuk dalam cakupan penelitian kualitatif dan pendekatan semiotik. Menurut Koentjaraningrat (1976:30) bahwa penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberi gambaran yang secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Metode deskriptif juga merupakan suatu metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji dan menginterpretasikan data. Dengan metode tersebut peneliti akan menjelaskan sejauh mana aspek moral yang terkandung dalam novel “Furinkazan” karya Yasushi Inoue. Pendekatan semiotik digunakan untuk menunjukkan adanya nilai-nilai moral yang diungkapkan di dalam novel.

Data yang digunakan adalah data tulisan, yaitu dikutip dari buku-buku yang berhubungan dengan sastra, novel, aspek moral, dan lain sebagainya. Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi pustaka (library research), yaitu dengan menelusuri sumber-sumber kepustakaan dengan cara membaca buku-buku maupun referensi yang berkaitan dengan masalah yang akan dipecahkan. Data yang diperoleh dari berbagai referensi kemudian dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan dan saran. Selain itu, penulis juga mengambil data dari berbagai situs internet.


(29)

14 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG NOVEL, NILAI MORAL DAN BIOGRAFI PENGARANG

2.1 Defenisi Novel

2.1.1 Novel Sebagai Salah Satu Genre sastra

Dalam arti luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Kata novel berasal dari bahasa Italia yaitu novella yang berarti “sebuah kisah, sepotong berita” yang kemudian berkembang di Inggris dan Amerika Serikat. Novel dapat dibagi menjadi tiga golongan, yakni novel percintaan, novel petualangan, dan novel fantasi.

Novel percintaan melibatkan peranan tokoh wanita dan pria secara berimbang, bahkan kadang-kadang peranan wanita lebih dominan. Dalam jenis novel ini digarap hampir semua tema, dan sebagian besar novel termasuk jenis ini.

Novel petualangan sedikit sekali memasukkan peranan wanita. Jika wanita tersebut dalam jenis novel ini, maka hampir stereotip dan kurang berperan. Jenis novel petualangan adalah “bacaan kaum pria” karena tokoh-tokoh di dalamnya pria dan dengan sendirinya melibatkan banyak masalah dunia lelaki yang tidak ada hubungannya dengan wanita. Meskipun dalam jenis novel petualangan ini sering ada percintaan juga, namun hanya bersifat sampingan belaka, artinya novel ini tidak semata-mata berbicara soal percintaan.


(30)

15

Novel fantasi bercerita tentang hal-hal yang tidak realistis dan serba tidak mungkin dilihat dari pengalaman sehari-hari. Novel jenis ini mempergunakan karekter yang tidak realistis, setting dan plot yang juga tidak wajar untuk menyampaikan ide-ide penulisnya. Jenis novel ini mementingkan ide, konsep, dan gagasan sastrawannya yang hanya dapat kalau diutarakan dalam bentuk cerita fantastik, artinya menyalahi hukum empiris, hukum pengalaman sehari-hari.

Novel Furinkazan termasuk dalam novel petualangan. Pada novel ini menceritakan tentang kehidupan seorang samurai bernama Yamamoto Kansuke. Novel petualangan identik dengan banyaknya tokoh pria beserta berbagai permasalahan pria dan sedikit memasukkan peranan wanita. Sebagian besar tokoh yang ada dalam novel Furinkazan adalah samurai yang merupakan pria. Di dalam novel Furinkazan juga banyak melibatkan masalah dunia lelaki seperti pertarungan dan peperangan. Di novel ini juga ada sedikit unsur percintaan yang merupakan ciri dari novel petualangan, dimana unsur percintaan hanya cerita sampingan dalam novel petualangan. Seperti pimpinan klan Takeda yang tertarik pada putri penguasa klan Suwa dan bermaksud untuk menjadikannya sebagai istri.

2.1.2 Unsur-Unsur dalam Novel

Novel sebagai salah satu karya fiksi, dibentuk oleh satu kesatuan yang terdiri dari berbagai unsur yang merupakan sebuah keseluruhan. Novel dibangun dari sejumlah unsur, dan unsur-unsur itu saling berkaitan berkaitan dan saling menentukan dan kesemuanya akan menyebabkan novel tersebut menjadi sebuah karya yang bermakna.


(31)

16

Unsur-unsur yang membangun novel terdiri dari unsur ektrinsik dan intrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan dari karya sastra tersebut. Unsur ekstrinsik merupakan segala faktor yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Unsur ektrinsik karya sastra cukup berpengaruh terhadap totalitas keterpaduan cerita yang dihasilkan oleh pengarang. Unsur ekstrinsik meliputi tradisi dan nilai-nilai, struktur kehidupan sosial, keyakinan dan pandangan hidup, suasana politik, lingkungan hidup, agama dan sebagainya. Sedangkan unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri yang menyebabkan karya itu hadir (Nurgiyantoro, 1998:23). Unsur-unsur yang dimaksud seperti tema, alur (plot), penokohan dan latar (setting).

2.1.2.1 Tema

Menurut Fananie (2000:84) tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra bisa beragam. Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial agama, teknologi, tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan. Namun, tema bisa berupa pandangan pengarang, ide atau keinginan pengarang dalam menyiasati persoalan yang muncul.

Tema yang diungkapkan dalam novel Furinkazan adalah kehidupan samurai yang bernama Yamamoto Kansuke. Dalam novel tersebut diceritakan kehidupan Kansuke yang hidup pada zaman Sengoku Jidai, dimana perang


(32)

17

saudara dan perebutan wilayah melingkupi wilayah Jepang. Kansuke dipandang sebelah mata karena kakinya pincang dan matanya buta sebelah. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan Jenderal Itagaki, yang memberinya kesempatan untuk mengabdi kepada daimyo Takeda di Provinsi Kai. Takeda Shingen yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya, mengangkat Yamamoto Kansuke sebagai ahli strateginya. Banyak kejadian yang melibatkan kondisi seperti itulah yang menjadi fokus utama cerita dalam novel Furinkazan karya Yasushi Inoue.

2.1.2.2 Alur

Alur dikenal juga dengan istilah plot. Alur (plot) merupakan unsur terpenting dalam membentuk sebuah karya fiksi seperti novel. Menurut Stanton dalam Nurgiyantoro (1998:113) bahwa alur (plot) adalah cerita yang berisi urutan kejadian namun tetap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain.

Alur awal yang terdapat dalam novel Furinkazan bercerita tentang tokoh utama yang bernama Yamamoto Kansuke yang tinggal di wilayah Sunpu. Suatu ketika Kansuke bertemu dengan salah satu pengikut klan Takeda yang bernama Itagaki dan Kansuke menyelamatkannya dari serang seorang samurai bernama Aoki Daizen. Berkat peristiwa penyelamatan tersebut, Itagaki bermaksud membawa Kansuke ke klan Takeda dan mempekerjakannya sebagai salah satu bawahan di klan tersebut. Pada alur ini juga diceritakan sikap Kansuke yang bersikeras meninggalkan daerah Sunpu untuk bekerja pada klan Takeda yang


(33)

18

berakhir dengan perdebatan Kansuke pada salah satu anggota klan tempat Kansuke tinggal selama ini.

Pada alur tengah diceritakan tentang pimpinan klan Takeda yang bernama Harunobu. Harunobu berniat untuk memperluas wilayah kekuasaannya dengan menyerang klan lain di luar Provinsi Kai. Kepiawaan Kansuke dalam menyusun strategi membuahkan berbagai kemenangan pada klan Takeda.

Pada alur terakhir diceritakan tentang peperangan pasukan Takeda dengan pasukan Uesugi dari Echigo. Peperangan yang begitu sulit sejak awal karena perbedaan jumlah pasukan, membuat pasukan Takeda mengalami kekalahan. Kansuke yang terus berada di sisi Harunobu untuk melindunginya, memutuskan untuk menyerang kemah utama tempat Uesugi berada. Tetapi, usahanya gagal dan berakhir dengan tewasnya diri Kansuke.

2.1.2.3 Penokohan

Sebagian besar tokoh-tokoh karya fiksi adalah tokoh-tokoh rekaan. Jones dalam Nurgiyantoro (1998:165) mengemukakan bahwa penokohan adalah gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh dalam novel lebih dari satu. Tokoh cerita merupakan pembawa atau penyampai pesan, amanat moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.

Tokoh utama dalam novel ini bernama Yamamoto Kansuke. Kansuke merupakan seorang samurai yang fisiknya tidak sempurna. Sebelah matanya buta


(34)

19

dan kakinya pincang. Kansuke merupakan ahli strategi perang yang handal. Bakat inilah yang membuat pimpinan klan Takeda tertarik untuk mempekerjakannya. Bakat Kansuke dalam diplomasi dan pemahamannya akan strategi perang, membuat klan Takeda sukses dalam berbagai peperangan.

Tokoh-tokoh tambahan lainnya adalah pimpinan klan Takeda yaitu Harunobu. Kemudian ada puteri Yuu, seorang puteri dari penguasa Suwa yang berhasil ditaklukkan klan Takeda. Itagaki Nobutaka yang merupakan pengikut klan Takeda yang membantu Kansuke agar dipekerjakan di klan tersebut.

2.1.2.4 Latar (Setting)

Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1998:126) latar (setting) mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan.

Dalam karya sastra, latar merupakan lingkungan tempat peristiwa terjadi. Latar bukan hanya menunjukkan tempat saja tetapi juga ada hal-hal lainnya seperti waktu, keadaan sekitar dan sebagainya. Latar dan unsur-unsur lain saling melengkapi agar bisa menampilkan cerita yang utuh.

Di dalam novel Furinkazan terdapat beberapa setting seperti latar tempat, latar waktu dan latar budaya.


(35)

20 a. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Biasanya dapat dihubungkan dengan waktu faktual atau waktu yang ada kaitannya dengan peristiwa sejarah.

Latar waktu pada novel Furinkazan berlangsung pada masa sengoku-azuchi momoyama. Zaman Sengoku (戦 国 時 代 sengoku jidai, zaman negara-negara berperang) (sekitar1493 – sekitar 1573) adalah salah satu pembagian periode dalam sejarah Jepang yang dimulai sekitar tahun 1493. Hal ini jelas terlihat pada kalimat berikut “Pada pertengahan Februari tahun Tenbun ke-12 utusan dari klan Takeda di Provinsi Kai mendatangi Yamamoto Kansuke di Sunpu untuk menawari pekerjaan.” (hal 21)

Tenbun juga dikenal sebagai Tembun atau Temmon merupakan nama era di Jepang sebelum Koji dan sesudan Kyoroku. Periode tahun Tenbun adalah Juli 1532-Oktober 1555. Dan periode Sengoku Jidai sekitar1493 – sekitar 1573. Itu artinya tahun Tenbun yang disebutkan di dalam novel merupakan salah satu era di dalam Sengoku Jidai.

b. Latar Tempat

Latar tempat menjelaskan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya sastra. Adapun latar tempat terjadinya peristiwa di dalam cerita adalah sebagai berikut :


(36)

21

1. Sunpu dan Provinsi Kai : “Pada pertengahan Februari tahun Tenbun ke-12, utusan dari Klan Takeda di Provinsi Kai mendatangi Yamamoto Kansuke di Sunpu.” (hal.21)

Provinsi Kai (甲斐国 kai no kuni) adalah nama provinsi lama Jepang, dilewati jalur Tokaido dan sekarang menjadi prefektur Yamanashi. Daerah bekas provinsi Kai juga dikenal dengan nama Kōshū (甲州).Terletak di bagian tengah pulau Honshu, sebelah barat Tokyo, wilayah terkurung daratan dan sebagian besar merupakan kawasan pegunungan, termasuk di antaranya Gunung Fuji di perbatasan dengan prefektur Shizuoka.

Provinsi Kai sudah ada sejak abad ke-7, dilewati percabangan jalur Tokaido yang menuju provinsi Suruga.Ibu kota provinsi Kai diperkirakan berada di tempat yang sekarang disebut Kasugai-chō atau di Ichinomiya-chō di kota Fuefuki. Kantor penguasa provinsi belum diketahui dengan jelas, tapi sejak akhir zaman Kamakura diperkirakan berada di Isawa yang masih berada di dalam kawasan kota Fuefuki. Kota Kōfu menjadi pusat pemerintahan sejak tahun 1519 sesudah Takeda Shingen membangun rumah kediaman megah bernama Tsutsujigasaki.

2. Kofu : “Sudah berapa kali kau ke Kofu?” tanya Itagaki. (hal. 27)

Kōfu (甲府市 Kōfu-shi) merupakan sebuah ibu kota Prefektur Yamanashi. Kota ini letaknya di bagian barat di negara itu. Pada tahun 2006, kota ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 201.184 jiwa dengan memiliki luas wilayah 212,41 km².Kota ini terkenal dengan sebuah industri dan kebudayaannya. Hasil industri utama di kota ini ialah permata.

3. Provinsi Suwa : “Malam ini, Kansuke meninggalkan kota benteng Kofu bersama beberapa prajurit menuju Provinsi Suwa.” (hal 91).


(37)

22

Suwa adalah kota di Prefektur Nagano. Kota ini didirikan pada tanggal 10 Agustus 1941. Kota ini terletak di pinggir Danau Suwa. Wilayah Suwa adalah kawasan industri terkemuka di Nagano dan dulu dikenal sebagai “The Oriental Swiss” di Jepang.

4. Shinano : “Harunobu menghancurkan Benteng Shiga di wilayah Shinano kemudian memasuki dan tinggal di Benteng Komuro bersama 10.000 prajurit.” (hal. 117)

Provinsi Shinano (信濃国 shinano no kuni) adalah provinsi lama Jepang yang dilewati jalur Tokaido dan mempunyai batas-batas wilayah yang hampir sama Prefektur Nagano sekarang. Wilayah Shinano sampai sekarang dikenal sebagai Shinshū (信州). Provinsi Shinano dikelilingi provinsi Echigo, Etchu, Hida, Kozuke, Mikawa, Mino, Musashi, Suruga dan Tōtōmi.Ibu kota berada di dekat kota yang sekarang bernama Matsumoto . Di zaman Sengoku, wilayah Shinano dibagi-bagi menjadi wilayah han yang lebih kecil dengan istana penguasa yang berada di kota Komoro, Ina dan Ueda. Shinano merupakan pusat kekuasaanTakeda Shingen selama perang berulang-ulang dengan Uesugi Kenshin. Provinsi Shinano berganti nama menjadi Prefektur Shizuoka setelah pemberlakuan sistem prefektur pada tahun 1871.

c. Latar Budaya

Latar budaya yang mencakup dalam novel Furinkazan adalah ruang lingkup kehidupan masyarakat Bushi. Jadi jelas berhubungan dengan kehidupan dan etos bushi yaitu Bushido.


(38)

23

Bushido merupakan konsep pengabdian diri bushi pada zaman feodal Jepang. Bushido terdiri dari kata “bushi” (ksatria atau prajurit) dan “do” (jalan). Bushido atau “jalan ksatria” merupakan suatu sistem etika atau aturan moral keksatriaan yang berlaku dikalangan samurai khususnya di zaman feodal Jepang (abad 12-19).

Di dalam ajaran bushido terdapat nilai-nilai kejujuran, kesopanan, kesetiaan, kehormatan, kebajikan dan keteguhan hati. Pada awalnya konsep pengabdian diri bushi disebut dengan bushido yang ditandai dengan pengabdian diri yang mutlak dari anak buah terhadap tuannya. Makna bushido secara umum adalah sikap rela mati negara atau kerajaan dan kaisar. Bushi merupakan golongan masyarakat birokrat pada zaman Edo. Sejarah bushi sangat identik dengan sejarah feodalisme di Jepang, karena bushi itu sendiri lahir dari fungsinya sebagai pengawas di daerah pertanian yang pada mulanya mereka adalah petani, tetapi mereka dipersenjatai untuk menjalankan fungsi keamanan di wilayah tuannya.

Meski masa feodalisme di Jepang berakhir dan memasuki masa modern yang ditandai dengan adanya restorasi Meiji, nilai-nilai bushido ini tetap dianut sebagian besar orang Jepang karena sudah terinternalisasi dalam masyarakat secara kuat melalui proses selama ratusan tahun.

Di dalam novel Furinkazan juga mencakup latar budaya masyarakat Jepang berupa giri dan ninjō. Dalam kehidupan masyarakat Jepang, konsep giri dan ninjō menjadi nilai yang mempengaruhi tindakan mereka dalam berinteraksi satu sama lain. Nilai giri merupakan konsep nilai yang berlaku timbal balik yang


(39)

24

mengharuskan mereka untuk berinteraksi sepantasnya terhadap satu sama lain. Sedangkan konsep ninjō menjadi nilai yang menggambarkan pertentangan antara keinginan manusiawi seseorang yang tidak melihat norma-norma yang mengikat mereka, dengan konsep giri yang mengharuskan mereka bertindak sebagaimana diinginkan oleh masyarakat. Apabila giri bersifat moral dan sosial, maka ninjō bersifat psikologis dan personal.

Giri dan ninjō merupakan satu kesatuan dalam kebudayaan orang Jepang. Namun ada yang berpendapat bahwa giri sebagai konsep umum ditempatkan lebih tinggi daripada ninjō.

2.2 Nilai-nilai Moral dalam Masyarakat Jepang 2.2.1 Giri

Kata giri mempunyai bermacam-macam arti. Dilihat dari huruf kanjinya (義 理) giri terdiri dari dua karakter kanji yaitu gi (義) yang memiliki arti “keadilan”, “kewajiban”, atau “perasaan terhormat”, dan ri (理) yang memiliki arti “alasan”, “logika”, atau “teori”. Apabila digabungkan kata giri berarti rasa tanggung jawab atau kehormatan, atau hutang budi. Giri lebih menekankan kepada hutang budi seseorang terhadap orang lain. Hutang budi yang dimaksud adalah jika seseorang telah menerima sesuatu kebaikan dari orang lain, maka ia harus membalas kebaikan itu dengan memberikan kebaikan kepadanya. Kebaikan


(40)

25

yang akan dibalas bias dalam bentuk jasa, materi, atau bahkan harga diri dan sebagainya.

Giri menurut Ruth Benedict (1982:125) adalah utang-utang yang wajib dibayar dalam jumlah yang tepat sama dengan kebaikan yang diterima dan ada batas waktunya. Dengan adanya ketentuan-ketentuan pembayaran ini, maka giri menjadi begitu mengikat orang Jepang sehingga pemberian dengan resiko giri ini biasanya sedapat mungkin dihindari oleh orang Jepang. Dalam hal ini, apabila pembayaran ditangguhkan melewati jatuh temponya, maka utang bertambah besar seakan-akan terkena bunga.

Giri pada dasarnya, dirasakan sebagai beban yang berat bagi orang Jepang, maksudnya giri merupakan suatu tindakan yang terpaksa harus dikerjakannya atau dilakukannya karena ia telah menerima bantuan orang lain.

Ruth Benedict (1982:125) menjelaskan bahwa giri berdasarkan tujuan kepada siapa akan diberikan balasan dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Giri terhadap dunia

1. Kewajiban terhadap tuan pelindung 2. Kewajiban terhadap sanak keluarga

3. Kewajiban terhadap orang-orang yang bukan keluarga karena kebaikan yang diterima oleh mereka misalnya hadiah atau uang

4. Kewajiban terhadap keluarga tidak begitu dekat, seperti paman, bibi dan kemanakan.

Giri terhadap dunia adalah suatu kewajiban untuk membayar kembali kebaikan-kebaikan. Secara umum, giri kepada dunia dapat digambarkan dalam


(41)

26

hubungan-hubungan yang bersifat kontrak. Pernikahan di Jepang merupakan kontrak antara dua keluarga dan melaksanakan kewajiban-kewajiban kontrak tersebut terhadap keluarga mertua selama hidup seseorang adalah ‘bekerja untuk giri’ sehingga bagi seorang istri yang tinggal dengan mertuanya maka hal tersebut dirasakan paling berat.

b. Giri terhadap nama

1. Kewajiban seseorang untuk membersihkan reputasinya dari penghinaan, atau tuduhan atas kegagalannya. Dapat juga berupa pembalas dendam.

2. Kewajiban seseorang untuk tidak menunjukkan atau mengakui kegagalan atau ketidaktahuannya dalam melaksanakan jabatannya. 3. Kewajiban untuk mengindahkan sopan santun Jepang, misalnya

mengekang emosi.

Giri terhadap nama seseorang adalah kewajiban untuk menjaga agar reputasinya tidak ternoda. Giri terhadap nama juga menuntut tindakan-tindakan yang menghilangkan noda yang telah mengotori nama seseorang dan karena itu harus dihilangkan. Giri terhadap nama lebih cenderung mancakup masalah pembalasan dendam.

Giri terhadap nama juga mewajibkan seseorang untuk hidup sesuai kedudukan atau tempatnya di dalam bermasyarakat. Jika ada orang gagal dalam giri tersebut maka ia tidak berhak untuk menghormati dirinya sendiri. Dapat dikatakan bahwa konsep harga diri orang Jepang, merupakan salah satu manifestasi dari giri terhadap nama. Giri ini banyak mencakup tingkah laku yang tenang dan terkendali. Orang Jepang berusaha untuk tidak memperlihatkan


(42)

27

perasaan, pengendalian diri yang diharuskan dari seorang Jepang yang mempunyai hal ini merupakan bagian dari giri terhadap nama. Sebagai contoh, ketika terjadi gempa maka orang Jepang yang mempunyai harga diri ia tidak akan sibuk atau panik, tetapi ia akan berusaha membereskan barang-barang miliknya dengan sikap yang tenang.

2.2.2 Ninjō

Ninjō terdiri dari dua karakter kanji yaitu nin (人) yang memiliki arti “orang” atau “manusia”. Dan (情) yang memiliki arti “emosi”, “perasaan”, “cinta kasih”. Sehingga ninjō (人情) berarti kebaikan hati manusia. Ninjō ini timbul dari hati yang paling dalam karena adanya perasaan kemanusiaan itu sendiri sehingga menyebabkan munculnya suatu kebaikan.

Ninjō secara umum merupakan perasaan manusia yang merupakan perasaan kasih sayang, perasaan cinta, perasaan belas kasih, rasa simpati, rasa iba hati yang dirasakan terhadap orang lain seperti hubungan orang tua dengan anaknya atau antara kekasihnya.

Menurut Nobuyuki Honna dalam Wahyuliana (2005:24) bahwa ninjō merupakan perasaan kemanusiaan dan semua orang Jepang mempercayai bahwa perasaan cinta, kasih sayang, belas kasihan, dan simpati adalah perasaan yang paling penting dalam menjaga hubungan kemanusiaan.

Ninjō merupakan perasaan yang muncul tanpa adanya maksud tertentu dan memperlihatkan adanya ketulusan dari hati manusia itu sendiri. Semua orang di


(43)

28

belahan bumi mana pun mempunyai perasaan tersebut, hanya istilahnya saja yang berbeda. Di Jepang perasaan manusiawi tersebut disebut dengan ninjō.

Ninjō ini berlaku bagi setiap orang dalam semua hubungan di berbagai lingkup kehidupan, baik antara ayah dan anaknya, hubungan sepasang kekasih, maupun hubungan antarsesama.

2.2.3 Kejujuran

Kejujuran dalam Bahasa Jepang disebut shoujiki (正直). Sifat jujur adalah sifat yang paling penting dimiliki oleh semua manusia di muka bumi ini. Menurut Izano Nitobe dalam Fatonah (2008:47) mengatakan bahwa :

“jalan lurus ini, jika diumpamakan dengan badan manusia bagaikan tulang punggung yang berperan penting untuk menegakkan tubuh. Oleh karena itu, tanpa jalan lurus, keberaniaan serta kemampuan yang dimiliki seorang samurai akan menjadi tidak berarti.”

Berdasarkan kutipan di atas dikatakan bahwa pentingnya kejujuran dan berada di jalan yang lurus. Seorang samurai Jepang harus memiliki sifat jujur dan senantiasa berada di jalan lurus sebab tanpa adanya kejujuran dan tidak berada di jalur yang seharusnya, maka semua perbuatan akan terasa sia-sia. Dikarenakan Bushido menjadi dasar perilaku masyarakat Jepang, maka sikap jujur pun harus diterapkan dalam kehidupan semua orang Jepang.

Kejujuran merupakan kekuatan untuk menentukan sikap dan perilaku yang akan dijalani tanpa adanya sikap keragu-raguan. Ketika seseorang berlaku jujur,


(44)

29

maka orang tersebut akan selalu berada di jalan yang lurus sebab ia berani untuk mengatakan salah atas sesuatu yang salah begitu pun sebaliknya. Menurut Nitobe dalam Fatonah (2008:48) sifat jujur dimiliki seseorang memang bakat dari dalam dirinya, tetapi adapun yang berasal dari pembelajaran. Nitobe menambahkan meskipun seseorang mempunyai kekurangan dalam berkomunikasi dengan orang lain, namun ia selalu berlaku jujur, maka kekurangan tersebut bukanlah suatu masalah.

2.2.4 Kesetiaan

Kesetian berasal dari kata setia. Dalam bahasa Jepang kesetiaan adalah chuugi (忠義). Setia berarti tidak mengkhianati. Nitobe dalam Fatonah (2008:50) mengatakan bahwa nilai kesetiaan dalam masyarakat feodal Jepang dianggap sangat penting. Dalam zaman feodal Jepang yang dipimpin oleh pemerintahan Tokugawa, kesetiaan merupakan salah satu sikap yang harus dimiliki oleh setiap samurai. Kesetiaan seorang samurai diperlihatkan dengan perilaku terhadap atasannya. Para samurai setia terhadap atasannya atas dasar kecintaan mereka terhadap atasan itu sendiri sehingga mereka tidak pernah meminta balasan atas kesetiaan yang telah berikan kepada atasan.

Bagi bangsa Jepang, samurai bukan saja suatu kelas masyarakat yang pernah ada dalam kehidupan lampau negeri Jepang, tetapi golongan ini juga merupakan penyebar benih dari sebuah semangat, yakni semangat Bushido. Bushido sebagai kode etik bangsa Jepang bisa saja lenyap, tetapi kekuatannya tidak akan hilang.


(45)

30

Nitobe dalam Fatonah (2008:51) mengatakan bahwa kesetiaan seorang samurai kepada atasannya akan menimbulkan sikap kepatuhan dalam diri individu samurai. Kesetiaan dan kesungguhan hati seorang samurai terhadap atasannnya dapat ditunjukkan dengan sikap berani mati demi atasannya.

Dalam ajaran konfusiusme Cina kesetiaan kepada orang tua menempati posisi teratas sebagai tugas utama manusia. Namun di Jepang, kesetiaan terhadap atasan menempati urutan teratas dibandingkan kesetiaan terhadap siapapun (Nitobe dalam Fatonah, 2008:51).

Nilai kesetiaan merupakan salah satu pedoman moral samurai dalam bertingkah laku yang pada akhirnya harus menembus kepada seluruh lapisan masyarakat Jepang.

2.3 Biografi Pengarang

Yashushi Inoue lahir di Asahikawa di pulau utara Hokkaido pada tanggal 6 Mei 1907. Dia adalah novelis Jepang yang produktif, penulis cerita pendek, esai dan penyair. Saat berumur 6 tahun, Inoue dikirim ke neneknya di Prefektur Shizuoka. Pada saat di Sekolah Menengah Numazu, Inoue mulai membaca puisi. Pada tahun 1926, Inoue pindah ke Kanazawa dimana orangtuanya tinggal.

Inoue gagal pada ujian masuk untuk sekolah kedokteran di Universitas Imperial Kyushu sehingga menyebabkan keluarganya kecewa. Akhirnya, ia diterima di Universitas Imperial Kyoto, Departemen Bahasa Inggris. Disana ia belajar estetika dan filsafat dan menyelesaikan studinya pada tahun 1936.


(46)

31

Inoue menerbitkan beberapa puisi dan cerita pendek di majalah, tetapi ia kemudian meninggalkan karirnya dalam sastra dan menjadi reporter untuk majalah mingguan Sande Mainichi di Osaka.

Pada tahun 1949, saat Inoue berusia 42 tahun ia menerbitkan karya pertamanya berupa dua novel, yaitu Ryoju dan Togyu. Setahun kemudian, dia menerima penghargaan Akutagawa Prize untuk karyanya Togyu.

Tahun 1951 Inoue pindah ke Tokyo dan mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk menulis. Inoue mengunjungi Cina pada akhir 1950-an. Dari tahun 1969 sampai 1972 ia menjabat sebagai ketua dewan direksi untuk Asosiasi Sastra Jepang. Pada tahun 1976 dia menerima Order of Cultural Merit, kehormatan tertinggi yang diberikan oleh pemerintah Jepang. Inoue meninggal pada 29 Januari 1991 di Tokyo.


(47)

32 BAB III

ANALISIS PESAN MORAL DALAM NOVEL “FURINKAZAN”

3.1 Sinopsi Cerita Novel Furinkazan

Yamamoto Kansuke adalah seorang ronin yang tinggal di kota benteng Sunpu daerah Klan Imagawa. Kansuke dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekitarnya karena kakinya yang pincang dan matanya yang buta sebelah. Pertemuaannya dengan Itagaki Nobutaka yang ditolongnya dari serangan Aoki Daizen memberinya kesempatan untuk mengabdi kepada Daimyo Takeda dari Provinsi Kai. Sebelum meninggalkan Sunpu, Kansuke berpamitan kepada Iohara Tadatane yang merupakan pengikut Klan Imagawa. Iohara telah menafkahi Kansuke selama sembilan tahun dan karena hal itu ia merasa berhutang budi dan mengatakan bahwa ia hanya menjual diri pada Takeda, tetapi hatinya tetap tinggal di Sunpu.

Pada awal Maret tahun Tenbun ke-12, Kansuke menuju Kofu dengan dikawal oleh tiga samurai. Di tengah perjalanan Itagaki menjemputnya untuk menuju kediaman Takeda. Keesokan harinya ia ditemani Itagaki bertemu dengan pimpinan Klan Takeda yaitu Takeda Harunobu di kediamannya. Setelah bertemu dengan Harunobu, Kansuke langsung mengutarakan niatnya untuk ikut dalam pertempuran menaklukan benteng. Beberapa pengikut Takeda tidak setuju dengan permintaan tersebut. Tetapi, Harunobu berpendapat lain. Dia menerima Kansuke sebagai salah satu bawahannya dan akan mempekerjakannya di Klan Takeda. Hanya Itagaki yang tahu alasannya mengapa Harunobu begitu membela Kansuke.


(48)

33

Salah satu pengikut klan Takeda, yaitu Amari yang tidak terima dengan keputusan Harunobu menantang Kansuke untuk menunjukkan aliran pedangnya dan menyuruhnya bertarung dengan beberapa ahli pedang. Harunobu yang melihat kejadian itu memanggil Kansuke untuk menyelamatkannya. Pada malam harinya, diadakan pertemuan dan Kansuke berhasil menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya. Setelah pertemuan selesai, Kansuke dan Itagaki kembali tempat peristirahatan dan mengatakan kepada Kansuke bahwa mulai bulan depan mereka akan terus menghadapi pertempuran dan saat itu ia menyuruh Kansuke untuk menunjukkan kesetiaannya.

Pada Februari tahun Tenbun ke-13, Harunobu berencana menyerang Klan Suwa. Alih-alih menyerang dengan kekuatan militer, Kansuke menyarankan untuk berdamai dan Harunobu menyetujui ide tersebut. Setelah perdamaian antara Takeda dan Suwa terjadi, penguasa Suwa berkunjung ke Kofu. Tetapi pada kunjungan ke-3 penguasa Suwa dibunuh atas saran dari Kansuke. Kemudian Harunobu menyerang Suwa dengan kekuatan militer. Di kediaman penguasa Suwa yaitu Benteng Takashima, Kansuke bertemu puteri penguasa Suwa dan menyelamatkannya.

Setelah penyerangan ke Suwa berakhir Harunobu berniat mengambil Puteri Yuu, puteri penguasa Suwa sebagai selirnya. Kansuke diminta Itagaki untuk membujuk Harunobu agar membatalkan niatnya tersebut karena semua jenderal utama dan senior menentang keinginan Harunobu. Tetapi Kansuke berpikir lain, Kansuke menyetujui tindakan Harunobu. Itagaki yang terbujuk oleh perkataan Kansuke akhirnya menyetujui niat Harunobu lalu meminta Kansuke untuk membujuk Puteri Yuu agar mau menjadi selir dari tuannya. Awalnya, Puteri


(49)

34

Yuu menolak untuk dijadikan selir karena merasa dendam terhadap Klan Takeda karena telah membunuh ayah. Tetapi, Kansuke berhasil membujuknya sehingga ia setuju untuk menjadi istri Harunobu.

Harunobu menjadikan Suwa sebagai basis untuk mulai menyerang wilayah-wilayah di sekitarnya. Harunobu mulai melakukan operasi militer untuk menyerang Benteng Toishi di Provinsi Shinano. Ia berhasil memenangkan pertempuran di Benteng Toishi berkat taktik dari Kansuke. Satu setengah bulan setelah pertempuran di Benteng Toishi, Puteri Yuu melahirkan anak lelaki dan meminta Kansuke untuk menjadikannya sebagai pewaris Klan Takeda. Kansuke takjub dengan keterbukaan Puteri Yuu dengan langsung mengutarakan keinginannya tanpa sedikitpun rasa takut.

Pada November di tahun Tenbun ke-15, Puteri Yuu kembali ke Suwa. Saat perjalanan pulang dari Kofu ke Suwa keadaan baik-bak saja. Setibanya di Kuil Kan-non-in, Puteri Yuu menghilang dari usungan. Kansuke yang mencemaskan keadaan Puteri Yuu memutuskan untuk mencarinya seorang diri. Setelah dicari sekian lama, Kansuke berhasil menemukan Puteri Yuu di sebuah kuil tua. Alasan Puteri Yuu melarikan diri adalah karena ia tidak ingin berpisah dari Harunobu. Kansuke mengingatkan jika sang puteri kembali ke Kofu maka ia harus berpisah dari Katsuyori, puteranya. Puteri Yuu yang tidak menginginkan hal itu terjadi memutuskan untuk membawa puteranya juga namun, Kansuke menolak permintaan tersebut demi keselamatan Katsuyori dan puteri sendiri. Akhirnya, Puteri Yuu memutuskan untuk kembali ke Kofu seorang diri dan meninggalkan Katsuyori di Suwa.


(50)

35

Setelah kejadian Putri Yuu, Harunobu harus berperang melawan musuh-musuhnya di wilayah utara. Saat menghadapi Murakami, Itagaki gugur di medan pertempuran. Keadaan yang mendesak membuat Kansuke terus berada di samping Harunobu untuk memastikan keselamatannya. Ketika pertempuran berakhir, pihak musuh tercatat 2919 orang dan pihak Takeda 700 orang. Tak lama setelah pertempuran, seluruh pasukan meneriakkan jeritan kemenangan.

Setelah pertempuran dengan Murakami selesai, Klan Takeda harus menghadapi Nagao Kagetora dari Echigo. Disaat yang bersamaan, Kansuke terusik oleh sesuatu. Seorang putri dari Aburagawa Gyobu-ni-kami sedang menuju ke Kofu atas perintah dari Harunobu. Kansuke yang berpikir bahwa akan ada wanita lain yang akan menggantikan Putri Yuu tidak dapat berkonsentrasi dalam pertempuran.

Pertempuran dua kekuatan dimulai pada pukul dua malam dan berakhir pada pukul dua siang. Sebuah pertempuran yang singkat. Dalam peristiwa itu, pasukan Echigo kehilangan 236 prajurit dan Takeda kehilangan 132 prajurit. Harunobu tetap berdiam diri sampai semua pasukan berkumpul di medan pertempuran itu, seolah-olah pertempuran pertama dengan Kagetora telah membuatnya menjadi seorang pemimpin yang bijaksana.

Setelah menerima berita bahwa pasukan Uesugi sudah menarik diri kembali ke Echigo, Harunobu memutuskan kembali bersama pasukannya ke Kofu sementara Kansuke menuju Suwa. Harunobu berpesan kepada Kansuke agar menjaga Puteri Yuu. Begitu selesai mengatakan hal itu, Kansuke meninggalkan


(51)

36

iring-iringan pasukan Suwa untuk menuju Kofu secara diam-diam. Tujuannya adalah untuk membunuh Puteri Aburagawa Gyobu-no-kami.

Hari sudah menjelang pagi ketika Kansuke memasuki kota benteng Kofu. Kansuke tiba di kaki bukit Yogai dan di tengah perjalanan menuju bukit, ada sebuah kuil kecil bernama Sekisui yang sengaja dibangun tersembunyi di tengah hutan. Kansuke menduga, pasti disinilah puteri dari Aburagawa disembunyikan. Kansuke mengetuk pintu kuil dan masuk ke dalam. Kemudian ia bertemu seseorang yang datang dari dalam kuil.

Kansuke mengangkat wajah menatap Sang Puteri. Tidak salah lagi inilah puteri Aburagawa Gyobu-no-kami. Kansuke bermaksud menebas batang leher Sang Puteri mengurungkan niatnya karena Sang Puteri tidak memiliki sedikit pun rasa tidak percaya kepadanya. Kansuke benar-benar kehilangan keinginan untuk membunuh puteri itu begitu mengetahui bahwa Sang Puteri yang sedang berdiri dihadapannya adalah seorang ibu. Kansuke berjanji untuk melindungi sang puteri yang diketahui bernama Puteri Ogoto beserta anaknya.

Dari tahun Tenbun ke-18 hingga ke-19, armada perang Takeda terus-menerus dalam peperangan. Pada saat itu, kedua selir Harunobu memutuskan untuk menjadi rahib. Puteri Yuu meminta Kansuke untuk membujuk Harunobu untuk menjadi rahib juga dan meninggalkan keduniawian. Harunobu setuju dan sejak menjadi rahib ia dikenal sebagai Shingen.

Pada 7 Maret tahun Tenbun ke-24, Shingen mengerahkan pasukannya menyerang Kiso. Sejak awal pasuka Takeda mampu mengalahkan musuh dengan mudah. Hanya dalam sehari pertempuran, Kiso Yoshimasa yang telah lama


(52)

37

melawan Takeda, akhirnya menyerah. Saat ini, Uesugi Kagetora di Echigo menjadi satu-satunya musuh yang harus dihancurkan dan dihadapi oleh Takeda.

Pada bulan November, Kansuke menerima berita kematian Puteri Yuu. Kansuke sama sekali tidak percaya bahwa puteri yang sangat dicintainya telah meninggal dunia. Pada Oktober tahun Tenbun ke-24, telah terjadi perubahan, era Tenbun berganti menjadi era Koji.

Pada Maret tahun Koji ke-2, Shingen mengirim pasukan untuk berperang di Ina. Pasukan Takeda berhasil menaklukan begitu banyak benteng pertahanan di Ina di bawah pimpinan Kansuke. Secara tak terduga Shingen menerima surat rahasia dari Shogun Yoshiteru yang menyarankan perjanjian damai antara pasukan Kai dengan Echigo. Tapi, baik kedua pimpinan sama sekali tidak memperdulikan saran tersebut.

Akhirnya pertempuran antara Takeda dengan Uesugi terjadi. Sejak awal, perang ini begitu sulit buat pasukan Takeda. Ada perbedaan yang sangat besar antara kedua pihak. Bagaimanapun juga, pasukan Takeda harus menghadapi serangan kejutan mendadak pasukan Echigo yang jauh lebih besar dan lebih kuat. Kekalahan tidak terelakkan lagi dari kubu Takeda. Disaat itulah Kansuke memutuskan untuk menyerang kemah utama tempat Uesugi berada. Tetapi usaha Kansuke gagal dan ia tewas di tangan salah satu pengikut Uesugi.


(53)

38

3.2 Analisis Pesan Moral Pada Novel Furinkazan 3.2.1 Giri

Cuplikan hal. 24

“Meski dibicarakan berkali-kali pun, hasilnya tetap akan sama saja. Jelas bahwa kau tak ingin melepas saya, tetapi kau juga takut mempekerjakan saya di klanmu.”

“Bicaramu kelewatan!” bentak Iohara.

Kansuke berkata, “Tapi benar, kan? Kau takut pada Yamamoto Kansuke? Saking takutnya sampai tak bisa mempekerjakan saya?”

Mendadak Kansuke mengubah nada bicaranya. “Bagaimanapun, kau telah memberiku makanan dan pakaian selama sembilan tahun. Untuk itu saya tetap merasa berhutang budi, karenanya saya akan menjual diri pada Takeda, tetapi hati saya tetap tinggal di Sunpu.”

Analisis :

Cuplikan di atas merupakan dialog antara Kansuke dengan Iohara di kediaman Iohara. Kansuke menyalahkan Iohara yang tidak memperkerjakannya selama sembilan tahun. Tetapi, saat Kansuke ingin bekerja dengan klan lain, Iohara tidak mengizinkannya. Saat Kansuke menunjukkan kemarahannya dengan nada bicara yang keras tiba-tiba ia mengubah nada bicaranya. Kansuke teringat atas apa yang telah dilakukan Iohara padanya selama sembilan tahun. Sikap dan perbuatan Kansuke dengan mengubah nada bicaranya karena teringat jasa-jasa Iohara yang telah membiayainya selama sembilan tahun menunjukkan adanya indeksikal perilaku giri.


(54)

39

Giri yang ditunjukkan oleh Kansuke merupakan giri terhadap nama yaitu kewajiban terhadap orang-orang yang bukan keluarga karena kebaikan yang diterima oleh mereka misalnya hadiah atau uang. Iohara telah membiayai Kansuke selama sembilan tahun dan merupakan kewajiban Kansuke untuk membalas apa yang telah dilakukan oleh Iohara. Kansuke ingin membalas kebaikan yang telah diterimanya dari Iohara yang telah memeliharanya dengan baik dengan menunjukkan sikap yang baik sebelum ia pergi. Kansuke juga berjanji bahwa hatinya tetap berada di Sunpu untuk mengenang kebaikan Iohara.

Bagi orang Jepang, giri adalah sesuatu yang paling berat ditanggung sebab ada kewajiban moral di dalamnya yang sudah seharusnya dilakukan atau dibayar meskipun bukan dalam waktu dekat.

Cuplikan hal. 105

Salju masih turun. “Dimana Tuan Puteri dalam cuaca bersalju seperti ini dan apa yang ia lakukan?” Kansuke tidak tahu kapan dan dimana Sang Puteri melarikan diri. Ketika keluar pintu gerbang benteng, ia berhenti sebentar. Tidak pasti arah mana yang harus diambil. Biasanya Kansuke bisa memikirkan segala sesuatu. Namun kali ini, pikirannya seperti terperangkap kabut tebal. Sama sekali tidak mempunyai ide dimana Puteri Yuu berada. Kansuke memacu kuda sepanjang jalan menuju Kai. Inilah jalan tadi yang dilalui bersama Puteri Yuu empat hari yang lalu. Sekarang semuanya terlihat berbeda. Dengan turunnya hujan salju pertama ini, pemandangan di sekitar tidak dapat dikenali lagi.


(55)

40 Analisis :

Saat Puteri Yuu merasa akan dijauhkan dari Harunobu, ia melarikan diri di tengah perjalanan saat kembali ke Suwa. Mengetahui bahwa puteri tidak ada, Kansuke berusaha mencari sambil terus memikirkan kemana arah sang puteri pergi. Pada cuplikan cerita di atas terdapat indeksikal penyampaian pesan moral berupa perilaku giri. Hal itu tercermin dalam kalimat “Dimana Tuan Puteri dalam cuaca bersalju seperti ini dan apa yang ia lakukan?”. Perilaku giri yang ditunjukkan Kansuke adalah giri terhadap dunia yaitu kewajiban terhadap tuan pelindung.

Hubungan tradisional giri yang besar, yang oleh banyak orang Jepang dianggap lebih penting daripada giri mertua, adalah giri seorang pengikut terhadap tuannya dan giri terhadap sesama rekan prajurit. Itu adalah kesetiaan yang diwajibkan atas seseorang terhadap atasannya. Pada cuplikan terlihat jelas Kansuke yang memikirkan keadaan majikannya yang menghilang entah kemana. Hal itu menunjukkan perilaku giri Kansuke terhadap majikannya puteri Yuu. Kewajiban giri ini diidentifikasikan sebagai kebajikan seorang samurai.

3.2.2 Ninjō

Cuplikan hal 29-30

Sepeninggalan Kansuke, Amari maju ke hadapan Harunobu dan berkata “Tidak sekali pun pernah terlibat dalam pertempuran, tetapi ,menyombongkan kemampuan soal strategi militer. Ini memaksa kami yakin bahwa dia tak lebih penipu yang hanya pintar bicara dan menginginkan imbalan belaka.”


(56)

41

Obu Toramasa menambahkan, “Bagaimana jika kita pekerjakan dia selama setahun untuk melihat kemampuannya. Namun, karena Tuanku memiliki kemampuan setara dewa untuk menilai seseorang, apakah ada pemikiran tersendiri mengenainya?”

Harunobu hanya menjawab demikian, “Sepuluh tahun lalu, ketika aku masih berusia 13 tahun, aku pergi ke Ushikubo di Provinsi Mikawa dan bertemu Kansuke. Waktu itu kami sepakat menjadi majikan dan pengikut. Sejak itu pula kubiarkan dia bertualang ke seluruh negeri.” Tak ada ekspresi di wajah Harunobu.

Semua orang tahu bahwa pernyataan itu tidak benar tetapi karena yang mengatakan adalah Harunobu sendiri tak seorang pun berani menentang. Hanya Itagaki Nobutaka yang mengetahui alasan Harunobu melindungi Kansuke. Harunobu telah disia-siakan oleh ayahnya, Nobutora, dan melalui masa kecil yang tidak bahagia. Itu sebabnya Harunobu punya kecenderungan memihak samurai berpenampilan aneh atau samurai yang tidak mendapatkan kepercayaan dari orang lain.

Analisis :

Pada cuplikan di atas memperlihatkan Harunobu yang melindungi Kansuke yang tidak diakui oleh para bawahannya dikarenakan penampilan Kansuke yang aneh dan hanya dianggap sebagai penipu yang menginginkan imbalan. Dan pada cuplikan di atas terdapat sikap yang merupakan indeksikal dari adanya ninjōyang ditunjukkan oleh Harunobu yaitu merasa iba atas apa yang terjadi pada Kansuke. Hal itu terlihat dalam kalimat “Hanya Itagaki Nobutaka yang mengetahui alasan Harunobu melindungi Kansuke. Harunobu telah disia-siakan oleh ayahnya,


(57)

42

Nobutora, dan melalui masa kecil yang tidak bahagia. Itu sebabnya Harunobu punya kecenderungan memihak samurai berpenampilan aneh atau samurai yang tidak mendapatkan kepercayaan dari orang lain..Harunobu merasa iba dikarenakan ia dapat melihat dirinya sendiri di dalam diri Kansuke. Sewaktu kecil Harunobu telah disia-siakan oleh ayahnya, Nobutora dan melalui masa kecil yang tidak bahagia. Hal itulah yang menyebabkan Harunobu membela Kansuke dan membantunya dengan cara menjadikannya sebagai salah satu bawahannya.

3.2.3 Kejujuran Cuplikan hal 56-57

“Tidak, tidak, aku tidak ingin melakukan seppuku!” Sang Puteri berjalan terhuyung mengitari ruangan.

Lalu, mereka mendengar suara keras. Banyak samurai menerobos masuk ke ruangan besar itu. Kansuke yang sejak tadi memandangi puteri dengan kagum, tiba-tiba bangkit, memegang lengan sang puteri dan berkata, “kenapa Tuan Puteri tidak mau melakukan seppuku?”

Anak perempuan Yorishige berusaha memberontak dan mendongakkan wajah ke arah wajah Kansuke. Tatapannya sarat rasa permusuhan. Tatapan yang pernah dilihatnya sebelum ini.

“Semua orang sekarat. Hanya aku yang masih ingin hidup,” katanya. Kata-kata jujur ini menyimpan keindahan yang belum pernah didengar Kansuke sebelumnya. Anak perempuan samurai manapun akan ragu mengucapkan kata-kata itu, tetapi kejujurannya menyentuh hati Kansuke.


(1)

45

sehingga Kansuke tetap memperhatikan kemana pun Harunobu bergerak. Dan sebagai seorang bawahan ia telah menunjukkan sikap kesetiaan kepada tuannya.

Cuplikan hal 226

“Tidak ada satupun wilayah di Ina yang tidak mengakui Tuanku sebagai pemimpin,” kata Kansuke.

“Bagaimana dengan Mizoguchi, Kurokawaguchi, dan Odagiri?”

“Mereka semua dihukum mati.”

“Bagaimana dengan Miyata, Matsushima, Tonojima?”

“Saya juga menghukum mati mereka.”

“Bagaimana dengan Hanyu, Inabe, dan...?”

“Mereka juga...”

“Mati?”

Kansuke tidak mengubah ekspresi sama sekali. Membuat Shingen merasa takut.

“Berarti kau membunuh mereka semua.”

“Ya, karena mereka memperlihatkan keraguan terhadap kepemimpinan Tuanku, saya pikir akan lebih baik membasmi kejahatan hingga ke akar-akarnya. Namun mereka yang selamat, tidak aku sakiti sama sekali.”


(2)

46

Nilai kesetiaan masyarakat Jepang lebih diperlihatkan dari sikap seorang samurai kepada atasannya. Nilai kesetiaan yang paling tinggi bukan nilai kesetiaan kepada orang tua seperti yang dikatakan ajaran konfusiusme yang sebenarnya, tetapi kesetiaan yang tertinggi yaitu kesetiaan kepada atasan. Kesetiaan seorang samurai ditunjukkan dengan kemauan berperang para samurai untuk membela kelompoknya.

Cuplikan dialog di atas merupakan dialog antara Harunobu dan Kansuke. Harunobu menanyakan pada Kansuke bagaimana nasib para bawahannya yang lain. Kansuke langsung dengan tegas menjawab untuk membunuh mereka dikarenakan memperlihatkan keraguan atas kepimpinan Harunobu. Kansuke mengatakan demikian karena Kansuke mengkhawatirkan kepimpinan Harunobu akan goyah jika Harunobu memiliki anak buah yang ragu akan kepimpinannya. Dari cuplikan dialog di atas menunjukkan adanya indeksikal penyampaian pesan moral kesetiaan Kansuke kepada Harunobu. Hal itu terlihat dalam kalimat “karena mereka memperlihatkan keraguan terhadap kepemimpinan Tuanku, saya pikir akan lebih baik membasmi kejahatan hingga ke akar-akarnya”. Sebagai bawahan, Kansuke akan melaksanakan tugas yang diberikan secara sungguh-sungguh. Kesetiaan Kansuke ditunjukkan dengan sikapnya yang tidak ragu untuk membunuh para bawahannya yang meragukan kepeimpinan Harunobu.


(3)

47 BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Novel merupakan suatu karya sastra. Salah satu karya sastra Jepang yang terkenal adalah novel yang berjudul Furinkazan. Di dalam novel tersebut mengungkapkan penyampaian pesan moral berupa giri, ninjō, kejujuran dan kesetiaan melalui sikap maupun perbuatan tokoh-tokoh ceritanya. 2. Novel Furinkazan menceritakan tentang kehidupan Yamamoto Kansuke

yang bekerja sebagai seorang samurai di klan Takeda.

3. Dalam novel Furinkazan pesan moral berupa giri ditunjukkan Kansuke ketika akan meninggalkan tempat lahirnya menuju klan Takeda. Kansuke sama sekali tidak akan melupakan kebaikan yang diberikan Iohara kepadanya selama sembilan tahun. Perilaku giri juga ditunjukkan Kansuke yang mengkhawatirkan puteri Yuu saat sang puteri melarikan diri. Giri yang ditunjukkan Kansuke adalah giri seorang pengikut terhadap tuannya. Giri terjadi jika seseorang telah memberikan kebaikan kepada orang lain, dan orang lain yang menerima itu harus membayar kembali kebaikan yang diterima.

4. Penyampaian pesan moral ninjō dalam novel Furinkazan ditunjukkan oleh Harunobu. Harunobu membela Kansuke yang tidak dipercaya oleh anak buahnya sendiri. Kecenderungan Harunobu membela Kansuke adalah karena ia dapat melihat dirinya sendiri di dalam diri Kansuke dimana ia sendiri melalui masa kecil yang tidak bahagia . Ninjō merupakan sifat alamiah manusia dan identik dengan perasaan manusia. Ninjō dapat


(4)

48

muncul dengan adanya perasaan kasihan, iba hati dan cinta kepada orang lain. Dan perasaan iba hati telah ditunjukkan Harunobu untuk Kansuke. 5. Moral kejujuran ditunjukkan oleh Puteri Yuu yang tanpa ragu

menyebutkan bahwa ia masih ingin hidup walaupun keadaan memaksaanya harus melakukan seppuku. Tetapi, sang puteri menolak dan menginginkan tetap hidup. Tak ada keraguan dalam kata-katanya yang menyatakan bahwa ia masih ingin tetap hidup. Kejujuran merupakan kekuatan untuk menentukan sikap dan perilaku yang akan dijalani tanpa adanya sikap keragu-raguan. Dan hal itu ditunjukkan oleh puteri Yuu. 6. Moral kesetiaan ditunjukkan oleh Kansuke terhadap Harunobu melalui

kesediaannya untuk membunuh para bawahan Harunobu yang meragukan kepemimpinan Harunobu. Kesetiaan didasarkan sikap kerelaan hati. Kesetiaan dalam menjalankan tugas dengan sungguh-sungguh membawa kita menuju keberhasilan.

4.2 Saran

Kepada para pembaca, khususnya Mahasiswa Sastra Jepang, diharapkan tidak hanya belajar bahasa Jepang, tetapi alangkah lebih baik jika kita juga mengetahui kebudayaan Jepang. Salah satunya adalah budaya giri, ninjō, kejujuran dan kesetiaan yang merupakan cerminan interaksi dalam kehidupan masyarakat Jepang.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Percetakan PT Sinar Baru Algesindo.

Budianingsih, Asri. 2004. Pembelajaran Moral. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni: Pola-Pola Kebudayaan Jepang (Terj. Pamudji). Jakarta: Yayasan Sinar Harapan.

Fatonah, Noneng. 2008. Skripsi: Nilai-Nilai Moral yang Tercermin dalam Manga Doraemon. Jakarta : UI.

Inoue, Yasushi. 2010. Furinkazan. Jakarta: Kansha Books.

Keotjaraningrat. 1976. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:Gramedia.

Luxemburg, Jan van. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Nurgiyantoro, Burhan. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nursisto. 2000. Ikhtisiar Kesustraan Indonesia. Cet I. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Pradopo, Rahmat Djoko. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.

Semi, Atar.1985. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

_________1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan Kesetian Bushi dati Tuan kepada Keshogunan dalam Feodalisme Zaman Edo. Medan: USU Press.


(6)

Sumardjo, Jakob. 1997. Apresiasi Kesustraan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Wahyuliana. 2005. Skripsi:Budaya Giri dan Ninjo dalam Novel Yukigini Karya Yasunari Kawabata. Medan:USU.

Wellek, Rene dan Warren Austin. 1995. Teori Kesustraan, terj Melani Budianta. Jakarta: Gramedia

Wiyatmi.2009. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

http://en.wikipedia.org/wiki/Suwa,_Nagano

http://rainhardkun.blogspot.com/2008/09/giri-ninjo-honne-tatemae-dan-wa-dalam.html