Analisis gender terhadap kelembagaan koperasi bina usaha (KBUW) di Kelurahan Cipageran Kecamatan Cimahi Utara Kota Cimahi

(1)

ANALISIS GENDER TERHADAP KELEMBAGAAN

KOPERASI BINA USAHA WANITA (KBUW)

DI KELURAHAN CIPAGERAN

KECAMATAN CIMAHI UTARA KOTA CIMAHI

UCEU PIPIP AVILLIA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir dengan judul “Analisis Gender Terhadap Kelembagaan Koperasi Bina Usaha Wanita (KBUW) di Kelurahan Cipageran Kecamatan Cimahi Utara Kota Cimahi” adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain yang telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas ini.

Bogor, Desember 2006

Uceu Pipip Avillia NRP. A.154 050 255


(3)

ABSTRAK

UCEU PIPIP AVILLIA. Analisis Gender Terhadap Kelembagaan Koperasi Bina Usaha (KBUW) di Kelurahan Cipageran Kecamatan Cimahi Utara Kota Cimahi. Dibimbing oleh EKAWATI SRI WAHYUNI dan ADI FAHRUDIN.

Program Peningkatan Peranan Wanita Menuju Keluarga Sehat Sejahtera (P2WKSS) merupakan salah satu program pemerintah dalam pemberdayaan wanita untuk menanggulangi masalah kemiskinan. Salah satu bentuk kegiatan Program P2WKSS adalah Koperasi Bina Usaha Wanita (KBUW). Tujuan program ini memberikan pinjaman modal usaha untuk keluarga miskin khususnya wanita yang mempunyai kemampuan berusaha dalam rangka meningkatkan pendapatan keluarga.

Dewasa ini, KBUW menghadapi masalah yaitu wanita tidak berdaya dalam mengikuti kegiatan KBUW. Dalam menganalisis permasalahan tersebut, penulis melakukan kajian dengan menggunakan Analisis Harvard dan Pemberdayaan Longwe. Analisis Pemberdayaan Longwe merupakan salah satu alat untuk melihat pencapaian aspek pemberdayaan wanita yang menggunakan lima dimensi, yaitu kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi dan kontrol. Sebelum itu terlebih dahulu dilakukan Analisis Harvard yang bertujuan untuk menganalisis pembagian peran antara wanita dan laki-laki baik di dalam rumah tangga dan di dalam mengikuti kegiatan KBUW.

Hasil analisis Harvard menunjukkan bahwa wanita lebih banyak melakukan peran reproduktif. Keadaan ini sangat mempengaruhi wanita dalam mengikuti kegiatan KBUW. Analisis Pemberdayaan Longwe yang menggunakan lima dimensi menunjukkan hasil yang bersifat negatif, artinya tingkat keberdayaan wanita dalam mengikuti kegiatan KBUW belum tercapai. Hal ini berarti wanita terlibat dalam kegiatan KBUW bukan atas kesadaran dirinya dan wanita belum dilibatkan di dalam pengambilan keputusan penggunaan pinjaman dan pengelolaan KBUW. Konsekuensinya wanita belum merasakan manfaat KBUW untuk meningkatkan pengetahuan, meningkatkan pendapatan keluarga dan memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.

Berdasarkan hasil kajian tersebut, rencana kegiatan yang akan dilakukan adalah penguatan organisasi KBUW dan penguatan sasaran program (wanita). Dengan rencana kegiatan tersebut, diharapkan wanita bisa menyadari bahwa program tersebut pada dasarnya ditujukan untuk pemberdayaan diri mereka sendiri dan pada akhirnya wanita dapat memanfaatkan KBUW secara optimal dan terlibat aktif dalam kegiatan KBUW sehingga menjadi kegiatan yang berkelanjutan.


(4)

ABSTRACT

UCEU PIPIP AVILLIA. Gender Analysis of Koperasi Bina Usaha Wanita (KBUW) institutions at Kelurahan Cipageran, Cimahi Utara Subdistrict,Cimahi City.Advised byEKAWATI SRI WAHYUNIand ADI FAHRUDIN.

Increasing Program of Womens Role in Developing a Healthy and Prosperous Family (P2WKSS) is one of governments programs in empowering women to handle the poverty problem.One of the activities of these programs is

Koperasi Bina Usaha Wanita (KBUW)establishment.The purpose of this activity is to give some loan as for poor family to run a business, especially for women who have an ability to run a business in increasing their family income.

Nowadays, KBUW is facing a main problem that is a woman cannot participate to the KBUW program.In analyzing this problem, the writer studies this problem by using the Harvard and Longwe Empowerment Analysis.Longwe empowerment analysis is one of the ways to see women empowerment aspects by using five dimensions, which are welfare,access,critical awareness,participation and control. Before using the Longwe Empowerment Analysis, the writer used Harvard Analysis to analyze the separation of men and women role in both household andKBUWactivity.

The Harvard analysis result shows that women are more active than men. This is much influenced some women to participate in KBUW activity. Longwe Empowerment Analysis with its five dimensions shows a negative result, it means that empowerment of women in participating on KBUW activity cannot be reached.It also shows the involvement of women in KBUW activity is not based on their awareness and they are not involved in making decision to use some loans and pay the installment. The consequence to women is they don’t feel the advantage of this program such as to increase their knowledge,to increase their family income,and to full-fill their own needs.

Based on the studies,the activity plan that should be done are strengthening the organization KBUWand strengthening target program (women). Hopefully,

they will notice that the program is given for their own empowerment and finally women can use KBUW optimally and participated actively for the continuity of


(5)

©Hak cipta milikInstitut Pertanian Bogor, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,


(6)

ANALISIS GENDER TERHADAP KELEMBAGAAN

KOPERASI BINA USAHA WANITA (KBUW)

DI KELURAHAN CIPAGERAN

KECAMATAN CIMAHI UTARA KOTA CIMAHI

UCEU PIPIP AVILLIA

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Pengembangan Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(7)

Judul Tugas Akhir : ANALISIS GENDER TERHADAP

KELEMBAGAAN KOPERASI BINA USAHA WANITA (KBUW) DI KELURAHAN CIPAGERAN KECAMATAN CIMAHI UTARA KOTA CIMAHI

Nama Mahasiswa : UCEU PIPIP AVILLIA

Nomor Pokok : A. 154 050 255

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS Adi Fahrudin, Ph.D

Ketua Anggota

Diketahui

Tanggal Ujian :16 Oktober 2006 Tanggal Lulus :

Dekan Sekolah Pasca Sarjana Ketua Program Studi

Pengembangan Masyarakat


(8)

PRAKATA

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Illahi Robbi, atas rahmat dan hidayahNya hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Akhir Kajian Pengembangan Masyarakat sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Magister Pengembangan Masyarakat Konsentrasi Pekerjaan Sosial. Adapun judul Kajian Pengembangan Masyarakat ini adalah ”ANALISIS GENDER TERHADAP KELEMBAGAAN KOPERASI BINA USAHA (KBUW) DI KELURAHAN CIPAGERAN KECAMATAN CIMAHI UTARA KOTA CIMAHI”.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni MS dan Adi Fahrudin Ph.D selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan kajian. 2. Dra. Winati Wigna MDS selaku Penguji Luar Komisi yang banyak

memberikan masukan-masukan untuk perbaikan kajian.

3. Sekolah tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti sekolah Pascasarjana Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB).

4. Pemerintah Kota Cimahi yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti Sekolah Pascasarjana Magister Profesional Pengembangan Masyarakat IPB. 5. Ketua Program Studi dan seluruh dosen Program Studi Pengembangan

Masyarakat yang telah membekali ilmu-ilmu pengembangan masyarakat. 6. Suami, anak-anakku tercinta dan kedua orang tuaku yang telah memberi

dorongan, do’a dan semangat dalam mengikuti pendidikan hingga selesai. 7. Semua pihak yang banyak membantu hingga dapat diselesaikan kajian ini.

Semoga kajian ini dapat memberikan sumbangan kepada pihak-pihak yang akan melakukan penelitian lebih lanjut dan bermanfaat bagi program-program pengembangan masyarakat khususnya program pemberdayaan perempuan.

Bogor, Desember 2006


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumedang Propinsi Jawa Barat pada tanggal 12 Agustus 1967 dari pasangan Suryaman Yudhadinata dan Tien Rostini dan merupakan putri kedua dari empat bersaudara.

Tahun 1986 lulus dari SMAN Situraja Sumedang dan pada tahun 1986 melanjutkan sekolah di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung dan lulus pada tahun 1991 .

Pada tahun 1994, penulis menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Departemen Sosial RI dan ditempatkan di Dinas Sosial Pandeglang Propinsi Jawa Barat. Tahun 1997, penulis dipindahtugaskan ke UPT Kantor Wilayah Departemen Sosial Propinsi Jawa Barat. Tahun 2000, penulis pindah tugas ke Pemerintah Kota Cimahi dan ditempatkan di Sekretariat DPRD Kota Cimahi sampai saat ini.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

PENDAHULUAN Latar Belakang ………... 1

Masalah Kajian ………... 4

Tujuan Kajian ………... 5

Manfaat Kajian ... 6

KERANGKA TEORI Kemiskinan ... 7

Wanita dan Pembangunan ... 10

Budaya Patriarki ... 13

Ketidakadilan Gender ... 14

Kebutuhan Praktis dan Strategis Gender ... 18

Analisis Gender Dalam Penanggulangan Masalah Kemiskinan ... 19 Kerangka Pemikiran ... 26

METODA KAJIAN Batas Kajian ... 28

StrategiKajian ... 28

Tempat dan Waktu Kajian ... 29

Penentuan Responden dan Informan... 29

Metoda Pengumpuan Data dan Analisis Data ... 31

Perancangan Strategi dan Penyusunan Program ... 33

PETA SOSIAL KELURAHAN CIPAGERAN Lokasi ... 35

Kependudukan ... 38

Pendidikan ... 40

Sistem Ekonomi ... 41

Struktur Komunitas ... 42

Lembaga Kemasyarakatan ... 43


(11)

SEJARAH PENGEMBANGAN KOMUNITAS

Program P2WKSS ... 46

Kelompok Pengolah Dendeng Jantung Pisang ... 52

ANALISIS PEMBERDAYAAN PEREMPUAN TERHADAP KELEMBAGAAN KOPERASI BINA USAHA WANITA (KBUW) Data Demografi Responden ... 57

Analisis Pembagian Peran ... 60

Pembagian Peran di dalam Rumah Tangga ... 60

Pembagian Peran di dalam KBUW ... 62

Analisis Pemberdayaan Longwe ... 63

Dimensi Kesejahteraan ... 63

Dimensi Akses ... 65

Dimensi Kesadaran Kritis ... 67

Dimensi Partisipasi ... 69

Dimensi Kontrol ... 71

STRATEGI DAN PERENCANAAN PROGRAM BERDASARKAN ANALISIS HARVARD DAN PEMBERDAYAAN LONGWE Proses Pelaksanaan FGD ..………... 78

Program Aksi .. ………... 87

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan ... 95

Rekomendasi ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 98


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Jadual Pelaksanaan Kajian Pengembangan Masyarakat di Kel.

Cipageran Tahun 2005 ... 29 2. Data Responden Penelitian di Kel Cipageran Tahun 2006 ... 30 3. Teknik Pengumpulan Data di Kel Cipageran Tahun 2005... 32 4. Orbitasi, Jarak dan Waktu Tempuh di Kel. Cipageran Tahun 2005.... 35 5. Penggunaan Tanah di Kel. Cipageran Tahun 2005 ... 36 6. Jumlah Penduduk Kel. Cipageran Berdasarkan Usia Tahun 2005... 38 7. Komposisi Penduduk Kel. Cipageran Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tahun 2005 ... 40 8. Komposisi Penduduk Kel. Cipageran Berdasarkan Mata Pencaharian

Tahun 2006 ... 41 9. Daftar Kelompok dan Kegiatan Usaha Program P2WKSS di Kel

Cipageran Tahun 2005 ... 48 10. Daftar Anggota KBUW Berdasarkan Jenis Kelamin di Kel. Cipageran

Tahun 2005 - 2006 ... 58 11. Daftar Jenis Usaha Anggota KBUW di Kel. Cipageran Tahun 2005

-2006 ... ... 59 12. Profil Aktivitas Pembagian Peran/Kerja Berdasarkan Analisa Harvard

di kel. Cipageran Tahun 2006 ... 61 13. Hasil Analisa Pemberdayaan Longwe dalam kegiatan KBUW di Kel.

Cipageran Tahun 2006 ... ... 74 14. Permasalahan/Kelemahan dan Alternatif Pemecahan Masalah

Berdasarkan Hasil FGD Kel. Cipageran Tahun 2006 ... 80 15. Strategi Pemecahan Masalah Berdasarkan Analisa Pemberdayaan

Longwe di Kel. Cipageran Tahun 2006 .. ... 86 16. Rencana Program dalam Mengatasi Permasalahan KBUW

Berdasarkan Analisa Harvard dan Pemberdayaan Longwe di Kel.

Cipageran Tahun 2006 ... 89 17. Rencana Program dalam Kelembagaaan KBUW Berdasarkan Analisa


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Piramida Analisa Pemberdayaan Longwe ... 25 2. Kerangka Pemikiran Analisa Gender Terhadap Kelembagaan

Koperasi Bina Usaha Wanita (KBUW) ... 27 3. Piramida Penduduk Kel. Cipageran Tahun 2005... 39 4. Piramida dan Hasil Analisis Pemberdayaan Longwe dalam

kelembagaan KBUW ... 75 5. Analisa Pohon Masalah ... 84


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Peta Sosial Kelurahan Cipageran Kecamatan Cimahi Utara

Kota Cimahi ... 102

2. Jadual Pengumpulan Data ... 103

3. Panduan Wawancara bagi Pengurus dan Anggota Koperasi Wanita Bina Usaha (KWBU) ... 106

4. Panduan Wawancara bagi Informan ( Aparat Kelurahan, BPMKB dan Tokoh Masyarakat) ... 110

5. Panduan Studi Dokumentasi ... 111

6. Panduan Pengamatan (Observasi)... 112

7. Panduan Diskusi Kelompok Terarah (Focus Group Discussion) ... 113

8. Daftar Hadir Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) ... 115


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu upaya pemberdayaan masyarakat miskin adalah melalui pemberdayaan wanita sebagai mitra sejajar dengan pria, peran nafkah tidak lagi didominasi hanya oleh pria sebagai kepala keluarga tetapi wanita sebagai ibu rumah tangga berperan dalam mencari nafkah keluarga. Kendala yang dihadapi oleh wanita khususnya di pedesaan adalah kurang modal, kurang bekal pengetahuan dan keterampilan yang menunjang (Padmi & Haryanto, 2003).

Dewasa ini wanita dituntut untuk memiliki sikap mandiri kebebasan untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Profil wanita dewasa ini dapat digambarkan sebagai manusia yang harus hidup dalam situasi dilematis. Pada satu sisi dituntut untuk berperan serta dalam semua sektor kehidupan tetapi di sisi lain muncul pula tuntutan agar wanita tidak melupakan kodrat mereka. Contoh wanita karier umumnya terpanggil untuk mendarmabaktikan bakat dan keahliannya, namun di sisi lain dihantui oleh opini masyarakat yang melihat wanita karier sebagai salah satu penyebab ketidakberhasilan pendidikan anak (Soetrisno, 1997 : 61).

Dilema yang dihadapi wanita yang bekerja adalah munculnya tuntutan atau peran-peran dari masyarakat yang harus dilakukan wanita, seperti merawat anak atau mengurus keluarga. Pekerjaan tersebut dianggap sebagai kodrat wanita. Sesungguhnya kodrat wanita itu adalah sesuatu yang diterima dari Illahi dan tidak bisa dipertukarkan, seperti melahirkan dan menyusui anak, namun yang berkembang dalam masyarakat seolah-olah merawat dan mengurus keluarga hanya merupakan kewajiban wanita. Keadaaan ini menyebabkan peran-peran yang harus dilakukan wanita yang bekerja lebih banyak daripada laki-laki, sementara laki-laki hanya melakukan peran yang terbatas yaitu sebagai pencari nafkah.

Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan peran wanita dalam pembangunan, antara lain dalam bentuk organisasi perempuan, seperti Dharma Pertiwi, Dharma Perempuan, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) (Soetrisno, 1997 : 67). Organisasi-organisasi


(16)

tersebut dibentuk sebagai wadah untuk menampung aspirasi wanita agar mereka turut serta dalam kegiatan pembangunan.

Program-program pembangunan untuk wanita sesungguhnya masih belum menjamin kesempatan para wanita untuk melaksanakan peran mereka. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

a. Program-program tersebut masih dihubungkan dengan usaha-usaha yang mendukung kelestarian jabatan pelaksana program, seperti proyek PKK. b. Sifat administratif program tersebut sama dengan program pembangunan

lainnya yang berorientasi pada kemudahan pimpinan proyek mengawasi tercapainya target program itu daripada menyesuaikan program itu dengan kepentingan serta kondisi sosial-ekonomi manusia yang menjadikan objek program.

(Soetrisno, 1997 : 99)

Selain itu salah satu program penanggulangan kemiskinan bagi kaum wanita yaitu Program Peningkatan Peranan Wanita Menuju Keluarga Sehat Sejahtera (P2WKSS). Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan sumber daya manusia, sumber daya alam dan lingkungan guna mewujudkan dan mengembangkan keluarga sehat sejahtera dan bahagia dalam rangka pembangunan masyarakat desa/kelurahan dengan wanita sebagai penggeraknya (Pedoman Umum Pelaksanaan Program P2WKSS, 1991 : 1).

Program P2WKSS adalah program peningkatan peranan wanita yang menggunakan pola pendekatan lintas sektoral yang terkoordinasi, berupaya untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan keluarga bagi keluarga-keluarga yang tergolong berpendidikan, berketerampilan dan berpenghasilan serta berstatus kesehatan rendah di desa/wilayah yang tergolong masih rawan sosial dan ekonomi. Tujuan Program P2WKSS adalah terwujudnya dan berkembangnya keluarga sehat, sejahtera dan bahagia termasuk pembinaan anak dan remaja melalui peningkatan kedudukan, peranan, kemampuan, kemandirian serta ketahanan mental dan spiritual wanita dengan pendekatan lintas sektoral dalam rangka mengembangkan pembangunan masyarakat pedesaan. Sementara itu sasaran Program P2WKSS adalah wanita yang berusia 16-50 tahun pada keluarga yang berpendidikan dan berketerampilan rendah, berstatus kesehatan dan


(17)

penghasilan rendah atau keluarga-keluarga yang termasuk kategori pra-sejahtera yang bermukim di desa-desa yang tergolong rawan sosial ekonomi (Pedoman Umum Pelaksanaan P2WKSS,1991 : 2 - 6).

Pada awal kegiatan dilakukan upaya menggerakkan keluarga binaan (keluarga miskin) yang memperoleh bantuan Program P2WKSS dan wanita yang tergabung dalam kegiatan Posyandu. Mereka diharapkan mampu mengajak seluruh masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan program tersebut. Pelaksanaan Program P2WKSS melibatkan semua masyarakat karena kegiatan yang dilaksanakan mencakup semua sektor kehidupan masyarakat. Berdasarkan wawancara dengan pihak Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana Pemerintah Kota Cimahi bahwa masyarakat sulit sekali digerakkan dan mereka baru bergerak setelah mengetahui adanya bantuan. Sementara itu berdasarkan wawancara dengan salah seorang kader PKK bahwa pihak penanggung jawab kegiatan kurang memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pelaksanaan program tersebut.

Kegiatan yang dilaksanakan di dalam Program P2WKSS untuk meningkatkan pendapatan keluarga yaitu Kelompok Wanita Tani (KWT) sebanyak dua kelompok, Koperasi Bina Usaha Wanita (KBUW) sebanyak dua kelompok, Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dengan jenis kegiatan pembuatan

rangining dan keripik bawang sebanyak lima kelompok serta Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dengan jenis kegiatan pembuatan bata merah sebanyak satu kelompok. Kelompok-kelompok tersebut dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan potensi masyarakat.

Sebagai contoh di Kota Cimahi, Program P2WKSS dilaksanakan di Kelurahan Cipageran (RW 06 dan 07) yang merupakan salah satu kelurahan paling luas wilayahnya yaitu 597,14 Ha dan jumlah penduduk sebanyak 30.666 jiwa. Program tersebut dilaksanakan selama satu tahun yaitu mulai bulan Januari sampai dengan bulan Desember tahun 2005.

Program tersebut dilaksanakan di Kelurahan Cipageran (RW 06 dan 07) atas beberapa alasan, yaitu :

1. Jumlah penduduknya lebih padat dibandingkan dengan RW lain. 2. Jumlah KK miskin sebanyak 169 KK.


(18)

3. Pada umumnya Kepala Keluarga tidak mempunyai pekerjaan tetap. 4. Kondisi sosial dan ekonomi yang rendah.

Masalah Kajian

Kaum wanita seringkali merupakan kelompok tidak berdaya, mereka pada umumnya hanya melakukan kegiatan domestik, yaitu mengurus rumah tangga, seperti merawat anak, membersihkan rumah dan melayani suami. Hal ini mengakibatkan adanya anggapan bahwa peran wanita hanya mengurus rumah tangga dan merawat anak, sedangkan sebagai pencari nafkah adalah tugas laki-laki (suami). Keadaan ini merupakan realita yang terjadi di masyarakat sehingga menempatkan wanita kurang berperan dalam kegiatan masyarakat (Wiludjeng H

et al2005 : 3 ).

Kaum wanita dianggap tidak berdaya karena mereka tidak bisa memilih untuk melakukan kegiatan lain selain mengurus rumah tangga dan merawat anak. Peran domestik tersebut kurang dihargai dalam kehidupan masyarakat karena tidak menghasilkan upah. Hal ini dipengaruhi pula oleh budaya patriarki yang menempatkan laki-laki paling berperan dalam mencari nafkah keluarga. Akibatnya masyarakat lebih menghargai laki-laki (suami) daripada wanita sehingga laki-laki dianggap lebih berkuasa dan mempunyai posisi lebih tinggi. Adapun Kondisi wanita di lokasi kajian adalah sebagai berikut : pada umumnya hanya melakukan pekerjaan domestik, wanita kurang terlibat dalam kegiatan pembangunan, tingkat pendidikan rata-rata SLTP dan tidak mempunyai kegiatan usaha.

Fokus kajian yaitu dua kelompok KBUW yang masing-masing mempunyai anggota 60 orang dan 64 orang. KBUW tersebut menerima bantuan dana masing-masing sebesar Rp.10 Juta yang merupakan dana bergulir dan harus dikembalikan selama tiga tahun. Saat ini KBUW mengalami permasalahan, yaitu usaha anggota koperasi yang belum perkembangan, kurangnya tanggung jawab anggota dalam pembayaran iuran koperasi, kepengurusan KBUW tidak komplit, pinjaman digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif, pengambilan keputusan penggunaan pinjaman berada di tangan suami, pengetahuan pengurus KBUW terbatas dan wanita kurang aktif dalam kegiatan KBUW.


(19)

Dengan kondisi tersebut kegiatan KBUW kurang berjalan secara optimal. Berdasarkan hal itu pula, penulis mencoba melakukan kajian dengan menggunakan analisis Pemberdayaan Longwe dengan lima dimensi yaitu “kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi dan kontrol”. Analisis Pemberdayaan Longwe digunakan untuk menganalisis pencapaian aspek pemberdayaan wanita di dalam mengikuti kegiatan KBUW. Namun demikian, sebelum dilakukan analisis Pemberdayaan Longwe terlebih dahulu dilakukan Analisa Harvard untuk menganalisis pembagian peran antara wanita dan laki-laki di dalam rumah tangga maupun kelembagaan KBUW. Analisis tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa pembagian peran di dalam rumah tangga akan mempengaruhi wanita di dalam mengikuti kegiatan KBUW.

Berdasarkan gambaran latar belakang dan permasalahan tersebut, maka dapat dirumuskan masalah kajian sebagai berikut :

1. Bagaimana pembagian peran antara wanita dan laki-laki di dalam rumah tangga dan kegiatan KBUW ?

2. Bagaimana hasil analisis Pemberdayaan Longwe antara wanita dan laki-laki dalam kegiatan KBUW ?

3. Sejauh mana pencapaian aspek pemberdayaan dalam kegiatan KBUW ? 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan KBUW.

5. Bagaimana hasil analisis tersebut dapat menunjang kegiatan KBUW dalam memberdayakan kaum wanita ?

Tujuan Kajian

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis setiap tahap kegiatan KBUW dengan menggunakan lima dimensi Analisis pemberdayaan longwe yaitu kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi dan kontrol. Tujuan yang ingin dicapai dari kajian ini secara khusus adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan KBUW.

2. Menganalisis pembagian peran antara wanita dan laki-laki di dalam rumah tangga dan kegiatan KBUW


(20)

4. Menyusun strategi berdasarkan Analisis Harvard dan Pemberdayaan Longwe sehingga dapat menunjang kegiatan KBUW dalam memberdayakan kaum wanita.

Manfaat Kajian

Manfaat kajian ini adalah sebagai berikut :

1. Memberi wawasan mengenai analisis gender terhadap program-program pemberdayaan wanita.

2. Hasil kajian dapat digunakan wanita untuk mengembangkan modal pembangunan sesuai kemampuan/pengetahuan mulai dari perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi program.

3. Sebagai bahan masukan untuk menyusun strategi dengan alat analisis Harvard dan pemberdayaan Longwe sehingga dapat menunjang kegiatan KBUW dalam memberdayakan kaum wanita.


(21)

KERANGKA TEORI

Kemiskinan

Masalah kemiskinan merupakan isu sentral dalam pembangunan terutama setelah Indonesia dilanda krisis ekonomi pada tahun 1997. Peningkatan jumlah penduduk miskin dengan tajam dan pengaruh krisis ekonomi masih terasa sampai sekarang. Akibat krisis ekonomi ada kecenderungan semakin banyak penduduk yang bekerja di sektor informal bahkan para wanita turut serta ambil bagian dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Menurut Ihromi (1995), bekerja di sektor informal, seperti : menjadi pembantu rumah tangga, namun demikian kelompok seperti ini berada dalam kondisi miskin dan rentan

Dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar, kemiskinan dianggap sebagai ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal. Kebutuhan dasar meliputi kebutuhan makan, pakaian dan tempat tinggal, jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka seseorang berada dalam kondisi miskin. Menurut David Cox (dalam Suharto, 2005 :132) bahwa kemiskinan dapat dibagi beberapa dimensi, yaitu :

1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi.

Globalisasi menghasilkan pemenang dan yang kalah. Pemenang umumnya negara-negara maju, sedangkan negara-negara berkembang seringkali terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi.

2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan.

Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang disebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan).

3. Kemiskinan sosial.

Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak dan kelompok minoritas. 4. Kemiskinan konsekuensial.


(22)

Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal diluar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan dan tingginya jumlah penduduk.

Menurut Suharto (2005 : 135), kemiskinan bisa diakibat oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri si miskin, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya, sedangkan faktor eksternal berasal dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, seperti birokrasi atau peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumber daya. Kemiskinan diakibatkan pula oleh sumber daya alam, artinya ketersediaan sumber daya semakin langka dibandingkan dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, sehingga mengakibatkan seseorang menjadi miskin karena tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dari sumber daya alam tersebut. Kualitas sumber daya alam merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kemiskinan karena kualitas sumber daya alam mempengaruhi kegiatan produksi yang menghasilkan tingkat efisiensi yang rendah. Hal ini mengakibatkan produksi yang dihasilkan tidak bisa dijadikan sumber mata pencaharian yang secara tidak langsung mempengaruhi seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Konsep kemiskinan menurut Sen (dalam Sari 2003 : 94) bahwa kemiskinan sebagai suatu keadaan yang individunya mengalami keterbatasan pilihan dan kemampuan atau ”lack of choice and capability”. Dalam konsep tersebut, kemiskinan dikaitkan dengan suatu keadaan atau kondisi hilangnya hak serta peluang seseorang atau sekelompok orang terhadap penguasaan, pemilikan, dan peraturan atau kontrol terhadap sumber daya yang diperlukan bagi terjaminnya kehidupan seseorang. Dalam dimensi kemiskinan dapat didefinisikan sebagai adanya perbedaan kemampuan di dalam :

1. Pengambilan keputusan sehingga kelompok miskin tidak masuk dalam agenda pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya.

2. Menjangkau sumber-sumber ekonomi dan kesempatan-kesempatan yang tidak sama untuk bertindak.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam menanggulangi masalah kemiskinan tetapi upaya tersebut sampai saat ini belum membuahkan hasil yang memuaskan bahkan banyak kegiatan/program penanggulangan kemiskinan


(23)

mengalami kegagalan. Strategi yang dilakukan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan perlu mendapat tanggapan serius, seperti memacu pertumbuhan ekonomi, menyediakan fasilitas kredit bagi lapisan miskin, membangun infrastruktur pedesaan dalam hal ini pembangunan pertanian. Ketidakberhasilan penanggulangan kemiskinan disebabkan dari cara pemahaman kemiskinan berdasarkan kondisi ekonomi semata (Sukmana , 2005 : 138).

Di dalam perspektif gender, konsep kemiskinan dianggap lebih tepat jika dilihat dari sisi ketidakadilan gender, yaitu kurang akses dan kontrol wanita dalam pengambilan keputusan yang penting dan mempengaruhi kehidupannya. Pandangan ini menjadi titik tolak melihat wanita tidak hanya di wilayah domestik tetapi juga di wilayah publik, dimana wanita mengalami hal yang sama yaitu opresi dan subordinasi, yang memberi implikasi pada banyaknya keputusan penting menyangkut hidup wanita ditentukan oleh laki-laki (Sari, 2003 : 94).

Wanita mengalami kemiskinan yang lebih parah dibandingkan laki-laki yang berpenghasilan rendah dalam komunitasnya, khususnya wanita yang mengepalai rumah tangganya sendiri. Mereka tidak mempunyai akses terhadap sumber pembangunan, misalnya akses terhadap kredit. Ketika terjadi resesi ekonomi dan pemerintah melakukan penghematan anggaran dalam pelayanan kesejahteraan, maka wanita harus menanggung beban kerja lebih banyak karena wanita harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan mengerjakan peran domestik. Tugas mempertahankan keluarga tetap menjadi tanggung jawab wanita, kaum wanita akan terus memikul beban yang tidak seimbang akibat gagalnya pembangunan (Mosse, 1996 : 26-27 ).

Wanita miskin biasanya terlalu banyak pekerjaan dan sering mengejar beberapa sumber pendapatan demi menjamin kelangsungan hidup mereka dan keluarganya. Mereka melakukan peran ganda yaitu melakukan pekerjaan produktif sebagaimana lelaki tetapi juga melakukan pekerjaan reproduktif di dalam rumah tangganya. Kegiatan/program penciptaan pendapatan jarang untuk mengurangi beban kerja wanita, bahkan tak ada jaminan bahwa wanita juga mempunyai kontrol terhadap pendapatan yang mereka. Hal ini terjadi karena di kebanyakan negara, wanita tersubordinasi, apabila rumah tangga dikontrol lelaki


(24)

sangat tidak mungkin bahwa wanita tidak mempunyai kekuasaan terhadap pendapatan mereka (Saptari R & Holzner B, 1997 : 178).

Wanita dan Pembangunan

Wanita dalam kegiatan pembangunan khususnya wanita miskin masih tetap dilibatkan dalam program-program yang bertujuan peningkatan kesejahteraan keluarga. Hal ini menunjukkan kecenderungan untuk memanfaatkan wanita sebagai ”alat” untuk meningkatkan kesehatan anak dan menurunkan pertumbuhan penduduk (Ihromi T O,1995 : 187). Artinya sementara ini program-program pembangunan yang ditujukan kepada wanita miskin hanya untuk mengurangi jumlah penduduk dan meningkatkan kesehatan keluarga. Keadaan ini memperlihatkan bahwa wanita hanya djadikan objek dari kegiatan pembangunan, mereka jarang dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi kegiatan pembangunan.

Nilai dan norma budaya pembagian peran pria dan wanita mempunyai dampak besar terhadap kedudukan wanita dan merupakan variabel penting yang mendukung dan memperkuat perbedaan mendasar dalam kedudukan ekonomi wanita yang lebih rendah daripada pria. Krisis ekonomi yang melanda dunia telah mengakibatkan pengaruh yang lebih mempersulit dan merendahkan kedudukan wanita terutama wanita miskin di pedesaan dan perkotaan yang gajinya menjadi semakin kurang tapi beban kerjanya semakin meningkat (Tjandraningsih I, 2003 : 39 ).

Saat ini program pembangunan untuk wanita telah diarahkan pada kegiatan untuk peningkatan pendapatan keluarga, namun pada pelaksanaannya banyak mengalami kesulitan karena pengetahuan dan keterampilan wanita rata-rata rendah, tidak mempunyai akses dalam pemasaran, produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan selera masyarakat. Seperti yang dikemukakan Ihromi (1995 : 194) bahwa kegagalan program untuk wanita umumnya karena tidak ada komitmen yang serius dalam pelaksana proyek untuk menjadikan kegiatan peningkatan pendapatan sebagai kelompok usaha ekonomi yang serius. Dalam pengadaan modal usaha tidak menampilkan bagaimana jika program nanti berakhir dan


(25)

adanya stereotip bahwa wanita miskin mempunyai banyak waktu luang dan hanya membutuhkan penghasilan sampingan.

Pemberdayaan wanita dalam wacana ekonomi secara khusus ditujukan untuk meningkatkan independensi wanita. Pendekatan yang digunakan dalam program-program pemberdayaan ini ditujukan untuk meningkatkan akses dan kontrol wanita terhadap sumber daya ekonomi. Pemberdayaan wanita dalam wacana politik yaitu melibatkan wanita dalam pengambilan keputusan di ruang publik. Hal ini ditempuh dengan membuka ruang bagi wanita untuk masuk kedalam lembaga-lembaga pengambilan keputusan baik eksekutif maupun legislatif. Dalam pengambilan keputusan hanya terjadi pada tataran formal dan wanita yang dilibatkan dalam politik masih terbatas pada wanita yang berada di kelas menengah (Dewayanti R et al. 2003 : 6).

Beberapa pendekatan pembangunan dalam penanggulangan kemiskinan yang berwawasan gender di tingkat Internasional (Saptari R & Holtzner B, 1997 : 158-160) adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan Kesejahteraan (Welfare Approach)

Pendekatan ini meletakkan wanita sebagai penerima pasif program pembangunan. Peran keibuan merupakan peranan yang paling penting bagi wanita di dalam masyarakat dan mengasuh anak merupakan peranan wanita yang efektif dalam semua aspek pembangunan ekonomi. Tujuan dari pendekatan ini untuk mendukung peran keibuan sebagai peranan paling penting bagi wanita dalam masyarakat dan pembangunan. Program-program yang dilaksanakan dititikberatkan pada program untuk memenuhi kebutuhan fisik keluarga, seperti menyediakan perumahan, sandang dan pangan, kebersihan, kesehatan dan gizi keluarga, nutrisi anak, cara memasak, menyiapkan makanan dan lain-lain.

2. Pendekatan Kesamaan (Equity Approach)

Pendekatan ini mengakui bahwa wanita merupakan partisipan aktif dalam proses pembangunan dan mengakui bahwa wanita mempunyai kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Kontribusi tersebut yaitu melalui kerja produktif dan reproduktif walaupun kontribusi tersebut seringkali tidak diakui. Tujuan pendekatan ini menuntut kesamaan wanita dalam


(26)

pembangunan dengan menerapkan wawasan gender dalam pembangunan. Program yang dilaksanakan diarahkan langsung pada hak yuridis : hak cerai, hak atas anak, hak waris, hak milik harta, hak untuk mendapatkan kredit, dan hak sebagai warga negara seperti hak suara serta hak ekonomi wanita berubah : tuntutan akan persamaan upah untuk pekerjaan yang sama.

3. Pendekatan Anti Kemiskinan (Poverty Approach)

Pendekatan ini berasumsi bahwa asal mula kemiskinan wanita dan ketimpangannya dengan laki-laki diakibatkan oleh kesenjangan peluang untuk memiliki tanah dan modal serta diskriminasi seksual dalam pasar tenaga kerja. Tujuan pendekatan ini untuk meningkatkan produktivitas wanita dan mengintegrasikan wanita dalam pembangunan. Hal ini karena kemiskinan wanita diyakini sebagai masalah pembangunan bukan masalah subordinasi. Program yang dilaksanakan adalah usaha ekonomi skala kecil bagi wanita untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

4. Pendekatan Efisiensi (Efficiency Approach)

Pendekatan ini berasumsi bahwa peningkatan partisipasi ekonomi wanita di negara dunia ketiga secara otomatis berkaitan dengan peningkatan kesamaan. Tujuan pendekatan ini untuk menjamin pembangunan lebih efisien dan lebih efektif, karena partisipasi ekonomi wanita dianggap menyatu dengan prinsip kesamaan.

5. Pendekatan Pemberdayaan (Empowerment Approach)

Pendekatan ini berasumsi bahwa memperbaiki posisi wanita tidak akan berhasil dilakukan melalui intervensi dari atas jika tidak disertai upaya untuk meningkatkan kekuasaan wanita dalam melakukan negosiasi dan tawar menawar untuk mengubah situasinya. Tujuan pendekatan ini untuk memberdayakan wanita melalui peningkatan kepercayaan diri untuk membangun politik, ekonomi, dan struktur sosial yang baru agar keluar dari struktur yang ekspolitatif. Program yang dilaksanakan tidak selalu menyibukkan diri dalam program-program pembangunan tetapi melalui kegiatan-kegiatan gerakan wanita di dunia ketiga.

Berdasarkan pendekatan pembangunan yang berwawasan gender, maka Program P2WKSS cenderung menggunakan ”Pendekatan Anti Kemiskinan dan


(27)

Pemberdayaan”. Hal ini sesuai dengan tujuan Program P2WKSS yaitu merupakan salah satu program penanggulangan kemiskinan dengan memberdayakan wanita. Salah satu bentuk kegiatan Program P2WKSS yaitu dibentuknya KBUW dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan keluarga melalui pinjaman modal usaha. Hal ini bermakna bahwa pinjaman modal yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan usaha masyarakat dalam rangka meningkatkan pendapatan keluarga. Kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan dalam Program tersebut juga merupakan salah satu bentuk kegiatan pemberdayaan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan wanita serta memberi kesempatan kepada wanita untuk turut serta dalam setiap program pembangunan.

Budaya Patriarki

Pada mulanya kata ”patriarki” memiliki pengertian sempit, yaitu kepala rumah tangga laki-laki memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak atas anggota keluarga laki-laki dan wanita yang menjadi tanggungannya. Dalam perkembangannya istilah ”patriarki” mulai digunakan di seluruh dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas wanita dan anak-anak di dalam keluarga. Hal ini berlanjut kepada dominasi laki-laki atas semua lingkup kehidupan masyarakat lainnya (Mosse, 1996 : 64).

Patriarki adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat, pemerintahan dan militer. Pada dasarnya wanita tidak mempunyai akses terhadap kekuasaan itu. Pandangan ini berpengaruh dalam mengubah peran gender tradisional yang sukar berubah. Hal ini merupakan masalah pokok di masyarakat yang terorganisir sepanjang garis patriarkal, dimana ada ketidaksetaraan hubungan gender antara laki-laki dan wanita dan merembes ke semua aspek masyarakat dan sistem sosial (Mosse, 1996 : 65). Selain itu, hukum hegemoni patriarki, ketidakseimbangan gender juga disebabkan karena sistem kapitalis yang berlaku, yaitu siapa yang mempunyai modal besar itulah yang menang. Hal ini mengakibatkan laki-laki dilambangkan lebih kuat daripada wanita dan akan mempunyai peran dan fungsi yang lebih besar (Muniarti , 2004 : 120).


(28)

Dalam budaya patriarki, perbedaan peran antara laki-laki dan wanita dipandang sebagai akibat perbedaan jenis kelamin. Tugas wanita seperti memasak di dapur, berhias untuk suami, mengasuh anak dan pekerjaan domestik lainnya merupakan konsekuensi dari jenis kelamin. Tugas domestik wanita tersebut bersifat abadi sebagaimana keabadian identitas jenis kelamin yang melekat pada dirinya. Secara sosiologis, budaya patriarkal terbentuk dari pergeseran relasi gender tersebut. Pada masyarakat seperti ini, laki-laki diposisikan berkuasa atau superior terhadap wanita dalam berbagai sektor kehidupan baik domestik maupun publik. Hegemoni laki-laki dalam masyarakat tampaknya menjadi fenomena universal dalam sejarah manusia di masyarakat di manapun di dunia ini (Kadarusman, 2005 :21).

Ketidakadilan Gender

Gender yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan wanita yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, misalnya wanita dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan, sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan, artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara ada juga wanita yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat yang lain maupun dari kelas ke kelas lain yang ada di masyarakat (Fakih, 1996 : 8).

Perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai ”kodrat laki-laki maupun kaum wanita”,namun perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki maupun kaum wanita. Perbedaan gender antara laki-laki dan wanita terjadi melalui proses yang sangat panjang, oleh karena itu terbentuknya gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikontruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Ketidakadilan gender dimanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni : marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan(violence), beban


(29)

kerja lebih panjang dan lebih banyak(burden)serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih, 1996 : 10-12).

Manifestasi ketidakadilan gender terjadi di berbagai tingkatan, yaitu :

1. Manifestasi ketidakadilan gender terjadi di tingkat negara, baik pada satu negara maupun organisasi antar negara seperti PBB.

Banyak kebijakan dan hukum negara, perundang-undangan serta program kegiatan yang masih mencerminkan sebagian dari ketidakadilan gender.

2. Manifestasi terjadi di tempat kerja, organisasi maupun dunia pendidikan. Banyak aturan kerja, manajemen, kebijakan keorganisasian serta kurikulum pendidikan yang masih melanggengkan ketidakadilan gender.

3. Manifestasi ketidakadilan gender terjadi dalam adat istiadat masyarakat pada berbagai kelompok etnik, dalam kultur suku-suku atau dalam tafsiran keagamaan. Bagaimanapun mekanisme interaksi dan pengambilan keputusan di masyarakat masih banyak mencerminkan ketidakadilan gender.

4. Manifestasi ketidakadilan gender terjadi di lingkungan rumah tangga. Bagaimana proses pengambilan keputusan, pembagian kerja dan interaksi antar anggota keluarga dalam banyak rumah tangga sehari-hari dilaksanakan dengan menggunakan asumsi bias gender. Ketidakadilan gender telah mengakar mulai dalam keyakinan dan menjadi ideologi kaum wanita dan laki-laki. Dengan demikian bahwa manifestasi ketidakadilan gender telah mengakar mulai dari keyakinan di masing-masing orang, keluarga hingga pada tingkat negara yang bersifat global (Fakih, 1996 : 22-23).

Marginalisasi

Proses marginalisasi yang mengakibatkan kemiskinan sesungguhnya banyak terjadi dalam masyarakat dan negara baik yang menimpa kaum laki-laki dan wanita dan disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya penggusuran, bencana alam dan proses eksploitasi. Marginalisasi terhadap kaum wanita dilihat dari sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi, kebiasaan bahkan asumsi ilmu pengetahuan (Fakih, 1996 : 13-14). Misalnya program swasembada pangan atau revolusi hijau secara ekonomis telah menyingkirkan kaum wanita dari pekerjaannya sehingga memiskinkan mereka.


(30)

Akibatnya banyak kaum wanita miskin di desa termaginalisasi yakni semakin miskin dan tersingkir karena tidak mendapatkan pekerjaan di sawah pada musim panen. Hal ini berarti program revolusi hijau dirancang tanpa mempertimbangkan aspek gender.

Marginalisasi terhadap wanita yang terjadi di dalam rumah tangga berbentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dan wanita. Hal ini diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir agama. Misalnya banyak diantara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum wanita untuk mendapatkan warisan sama sekali, sebagian tafsir keagamaan memberi hak waris setengah dari hak waris laki-laki terhadap wanita.

Subordinasi

Subordinasi yaitu memposisikan wanita lebih rendah daripada laki-laki, dipandang kurang mampu sehingga diberi tugas yang ringan dan mudah (Muniarti, 2004 : 78). Bentuk subordinasi terhadap wanita yang menonjol adalah semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai kaum laki-laki. Hal ini menyebabkan banyak laki-laki dan wanita itu sendiri menganggap bahwa pekerjaan reproduksi lebih rendah dan ditinggalkan. Subordinasi terhadap jenis pekerjaan wanita tidak hanya terjadi di dalam rumah tangga tetapi juga terproyeksi di tingkat masyarakat dan tempat pekerjaan. Keyakinan gender ternyata ikut menyumbangkan diskriminasi terhadap posisi buruh wanita dalam struktur perusahaan dan pabrik-pabrik (Handayani T & Sugiarti , 2002 : 17).

Anggapan bahwa wanita irasional atau emosional mengakibatkan wanita tidak bisa tampil memimpin dan munculnya sikap yang menempatkan wanita pada posisi yang tidak penting. Subordinasi karena gender terjadi dalam segala bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Di dalam rumah tangga masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya, maka anak laki-laki akan mendapat prioritas utama. Praktik tersebut berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil.


(31)

Stereotip

Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu, celakanya stereotip selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip yang bersumber dari pandangan gender, banyak sekali ketidakadilan terhadap wanita yang bersumber dari penandaan yang dilekatkan pada kaum wanita (Fakih, 1996 : 16). Contohnya wanita bersolek dalam rangka memancing lawan jenisnya, maka setiap kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotip ini. Stereotip terhadap kaum wanita terjadi dalam berbagai aspek. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotip tersebut.

Pelabelan memunculkan banyak stereotip, maka wanita identik dengan pekerjaan di dalam rumah, sehinga peluang wanita untuk bekerja di luar rumah sangat terbatas. Akibat adanya pelabelan banyak tindakan-tindakan yang seolah-olah sudah merupakan kodrat wanita. Misalnya: karena secara sosial budaya laki-laki dikonstruksikan sebagai kaum yang kuat maka laki-laki-laki-laki mulai kecil biasanya terbiasa atau berlatih untuk menjadi yang kuat, sementara wanita mempunyai label yang lembut maka perlakuan orang tua mendidik anak seolah-olah mengarah untuk terbentuknya wanita yang lemah lembut (Handayani T & Sugiarti , 2002 : 18).

Kekerasan

Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut”gender-related violence”. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada di masyarakat (Fakih, 1996 : 18).

Kekerasan terhadap wanita sering terjadi karena budaya dominasi laki-laki terhadap wanita. Kekerasan digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat untuk menyatakan rasa tidak puas dan seringkali hanya untuk


(32)

menunjukkan bahwa laki-laki berkuasa atas wanita. Pada dasarnya kekerasan terhadap wanita yang berbasis gender adalah refleksi dari sistem patiarkhi yang berkembang di masyarakat (Handayani T & Sugiarti , 2002 : 19).

Beban Kerja

Adanya anggapan bahwa wanita memiliki sifat memelihara dan rajin serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga berakibat semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum wanita. Konsekuensinya banyak wanita yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya. Di kalangan keluarga miskin beban yang sangat berat harus ditanggung oleh wanita itu sendiri terlebih lagi jika wanita tersebut harus bekerja, maka ia harus memikul beban kerja ganda (Fakih, 1996 : 21).

Bias gender yang mengakibatkan beban kerja seringkali diperkuat oleh adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa ”jenis pekerjaan perempuan (pekerjaan domestik)” dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan pekerjaan laki-laki dan dikategorikan sebagai ”bukan produktif”, sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Sementara kaum wanita karena anggapan gender, sejak dini telah disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka. Di lain pihak kaum lelaki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik. Hal ini telah memperkuat pelanggengan secara kultural dan struktural beban kerja kaum wanita (Fakih, 1996 : 21).

Pekerjaan yang diberikan kepada wanita lebih lama pengerjaannya jika dibandingkan dengan pekerjaan untuk laki-laki. Wanita yang bekerja di sektor publik masih diberi tugas rumah tangga di dalam keluarga dan masyarakat. Padahal secara ekonomis mereka tidak mampu menyerahkan tugas-tugas tersebut kepada pembantu rumah tangga yang juga perempuan. (Muniarti, 2004 : 97)

Kebutuhan Praktis dan Strategis Gender

Analisis kebutuhan praktis dan strategis gender berguna untuk menyusun suatu perencanaan atau evaluasi suatu kegiatan pembangunan. Hal ini diperlukan


(33)

untuk melihat apakah suatu kegiatan pembangunan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan laki-laki maupun wanita (Moser, 1993).

Kebutuhan praktis gender merupakan kebutuhan yang meringankan beban kehidupan wanita tetapi tidak menyinggung ketaksejajaran(inequality)pembagian kerja secara seksual ataupun kesejajaran antara-gender. Misalnya : tempat-tempat penitipan anak, dapur-dapur umum, alat-alat kontrasepsi dan tempat perlindungan wanita yang dianiaya. Kebutuhan strategis gender merupakan kebutuhan jangka panjang yang menghilangkan ketidakseimbangan gender di dalam dan di luar rumah tangga serta menjamin hak dan peluang wanita untuk mengungkapkan kebutuhan mereka, seperti undang-undang persamaan hak dan persamaan upah untuk pekerjaan yang sama. (Saptari R & Holzner B, 1997 : 158).

Menurut Handayani dan Sugiarti (2002), pemenuhan kebutuhan praktis gender melalui kegiatan pembangunan hanya memerlukan jangka waktu yang relatif pendek, meringankan beban kerja wanita dan lebih mudah dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan strategis gender lebih berjangka panjang, mengacu pada peran ideal wanita, merubah hubungan gender dan memerlukan strategi tertentu dalam proses pemenuhannya.

Kepentingan strategis gender adalah kepentingan yang berasal dari suatu analisis mengenai subordinasi wanita. Identifikasi kepentingan strategis gender merupakan bagian dari strategi feminis yang ditujukan untuk mengubah hubungan kekuasaan yang ada antara laki-laki dan wanita dalam menyusun semua kawasan kehidupan keluarga, pendidikan, kesejahteraan, dunia kerja, politik, kultural dan hiburan (Mosse, 1996 : 216).

Analisis Gender Dalam Penanggulangan Masalah Kemiskinan

Pengakuan terhadap pentingnya peranan wanita dalam proses pembangunan semakin meningkat dan secara khusus mengakui pentingnya peranan wanita dalam pembangunan sosial ekonomi nasional. Sejalan dengan itu telah meningkat kesadaran dan pengakuan terhadap kelemahan perencanaan pembangunan dalam memperhatikan dan memperhitungkan secara tepat dan sistematis sumbangan wanita terhadap proses pembangunan maupun dampak pembangunan terhadap aspirasi dan kepentingan wanita. Berdasarkan hal tersebut perlu dikembangkan


(34)

strategi perencanaan pembangunan yang dapat mengintegrasikan aspirasi, kepentingan, peranan wanita dan laki-laki dalam arus utama pembangunan. Wanita dan laki-laki secara bersama-sama menjadi pelaku sekaligus pemanfaat pembangunan (Handayani T & Sugiarti , 2002 : 169).

Pendekatan analisis gender dalam penanggulangan masalah kemiskinan berkembang pada tahun 1990-an dan mendapat perhatian serius dengan dimasukkanya analisis gender dalam World Development Report 1990 (World Bank, 1990) dan Bank’s Poverty Assesments juga ”The Beijing Platform for Action” yang diadopsi oleh Fourth World Cinference on Women ( Andrijani R, 2003 : 130).

Menurut Razavi (dalam Andrijani R 2003:131), analisis gender dalam kemiskinan diperlukan karena alasan metodologis dan politis. Hal ini berimplikasi terhadap pengukuran dan analisis kemiskinan di masa yang akan datang, perumusan kebijakan yang sensitif gender dan ditujukan untuk pemberantasan kemiskinan. Selama ini pengukuran yang digunakan untuk keberhasilan pembangunan hanya berdasarkan ekonomi yaitu tingkat pendapatan. Pengukuran beralih kepada pengukuran non-ekonomi yang lebih menekankan pada kualitas kehidupan dengan pendekatan ke arah analisis ekonomi mikro dan pengukuran pada tingkat individu. Dengan perubahan tersebut terlihat adanya ketidaksetaraan gender. Sementara itu menurut Sen (dalam Andrijani R 2003:132), bahwa berdasarkan perspektif gender, konsep kemiskinan tidak hanya terfokus pada tingkat pendapatan rumah tangga tetapi memungkinkan pemahaman lebih baik pada aspek multidimensi dari ketidaksetaraan gender, seperti kurangnya kontrol atas keputusan penting yang mempengaruhi kehidupan seseorang.

Analisis gender adalah analisis sosial (mencakup ekonomi dan budaya) yang melihat perbedaan wanita dan laki-laki dari segi (a) kondisi (situasi) dan kedudukan (posisi) di dalam keluarga dan masyarakat. Fokus utama analisis situasi gender adalah (1) pembagian kerja/peran (2) akses dan kontrol (peluang) dan penguasaan terhadap sumber daya serta manfaat program pembangunan (3) partisipasi dalam kelembagaan dan pengambilan keputusan di dalam keluarga (Handayani T & Sugiarti, 2002 : 169).


(35)

Dengan teknik analisis gender berbagai kesenjangan maupun isu gender yang terjadi di dalam masyarakat dan lingkungan akan dapat teridentifikasi. Ketidakpahaman isu gender sangat mempengaruhi kebijaksanaan dan strategi pembangunan yang berdampak merugikan aspirasi dan kepentingan wanita. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan dan keterampilan teknik analisis gender bagi peneliti dan perencana program dan proyek pembangunan. Teknik ini digunakan sebagai dasar dalam meneliti, merencanakan dan menyusun program maupun pemantauan dan evaluasi program pembangunan, sehingga dapat mengintegrasikan semua aspirasi, kepentingan laki-laki dan wanita serta keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat dapat terwujud.

Sebagai suatu alat analisis, analisis gender tidak hanya melihat ”peran, aktivitas tetapi juga hubungan”. Secara garis besar terdapat tiga teknik analisis gender yang dapat menganalisa situasi dan posisi gender dalam masyarakat dan keluarga, yaitu :

1. Kerangka Harvard

Kerangka Harvard merupakan suatu analisis yang digunakan untuk melihat suatu profil gender dari suatu kelompok sosial dan peran gender dalam proyek pembangunan. Ada tiga komponen yang diperlukan dan berinterelasi satu sama lain, yaitu profil aktivitas, profil akses dan profil kontrol (Overholt et al. 1985 dalam Handayani T & Sugiarti, 2002 : 170).

Kerangka Analisis Harvard digunakan untuk menggali data (umum dan rinci) yang berguna pada tahap analisis situasi, mudah adaptasi untuk beragam situasi, merupakan alat bantu untuk meningkatkan kesadaran gender dan alat latihan yang efektif untuk menganalisis hubungan gender dalam masyarakat atau suatu organisasi pembangunan. Kerangka analisis Harvard terdiri dari tiga komponen utama, yaitu :

a. Profil aktivitas berdasarkan pada pembagian kerja gender (siapa yang mengerjakan apa, di dalam rumah tangga dan masyarakat yang memuat daftar tugas laki-laki dan wanita).

b. Profil akses dan kontrol (siapa yang mempunyai akses terhadap sumber daya produktif termasuk sumber daya alam, seperti tanah, hutan, peralatan, pekerja, kapital atau kredit, pendidikan atau pelatihan). Profil kontrol


(36)

berkaitan dalam pengambilan keputusan, artinya wanita dilibatkan dalam mengambil keputusan atau mengontrol penggunaan sumber daya).

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi profil kegiatan, akses dan kontrol terhadap sumber daya, manfaat, partisipasi dalam lembaga dan pengambilan keputusan.

Kerangka Analisis Harvard digunakan untuk melihat bagaimana peran antara wanita dan laki-laki di dalam suatu proyek pembangunan, apakah wanita dapat mengakses dan mempunyai kontrol terhadap kegiatan pembangunan tersebut. 2. Kerangka Moser

Kerangka analisis Moser berguna untuk menyusun perencanaan atau mengevaluasi, apakah suatu kegiatan pembangunan telah mempertimbangkan atau ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan baik oleh laki-laki maupun wanita. Kebutuhan spesifik gender yaitu kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis. Kebutuhan praktis bersifat jangka pendek, meringankan beban kerja wanita dan berkaitan dengan kondisi, misalnya; hidup yang tidak memadai, kurangnya sumber daya seperti pangan, air, kesehatan, pendidikan anak dan pendapatan. Kebutuhan strategis berkaitan dengan posisi dan memperhatikan sejauh mana kendala-kendala dan permasalahan yang dihadapi wanita, misalnya : posisi yang tersubordinasi dalam masyarakat atau keluarga (Handayani T & Sugiarti, 2002 : 170).

Kegiatan-kegiatan pembangunan pada umumnya ditujukan untuk menanggulangi kebutuhan praktis wanita dan bersifat jangka pendek, seperti bantuan modal usaha, pemberian pelatihan keterampilan. Wanita kurang dilibatkan dalam kegiatan pembangunan termasuk dalam pengambilan keputusan, sehingga tetap terjadi ketidaksetaraan antara wanita dengan laki-laki dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan.

3. Kerangka Pemberdayaan Longwe

Pemberdayaan mensyaratkan suatu transformasi struktur-struktur yang mensubordinasi dan telah menindas wanita. Perubahan hukum/aturan, institusi sosial dan legal yang melindungi kontrol dan privilege laki-laki merupakan hal yang sangat penting jika wanita ingin memperoleh keadilan dalam


(37)

masyarakat. Selain itu pemberdayaan diberi batasan luas sebagai penguasaan atas aset material, sumber-sumber intelektual dan ideologi.

Pendekatan pemberdayaan mengandung makna bahwa model perubahan harus dihasilkan oleh wanita sendiri, ketidakberhasilan mempertimbangkan penemuan sebagai individu dengan kebutuhan, hak dan kemampuan khusus hanya akan mengakibatkan peningkatan beban kerja dan tingkat ketegangan wanita dan bukannya perbaikan status dan pilihan mereka (Handayani T & Sugiarti, 2002 : 183).

Pemberdayaan menurut Longwe S (dalam Smyth I.,C. March & M Mukhopapay, 1998) yaitu :

“Empowerment in this context is intended to mean the achievement of equal participation in and control of the development process and its benefits by men and women. It means enabling women to take greater control of their own lives. It encourages gender awareness in development projects, and helps develop the ability to recognize women’s issues, whether in projects that involve only women or those that involve both women and men”.

Teknik analisis Pemberdayaan Longwe digunakan dalam setiap siklus proyek untuk memahami isu wanita dalam implementasi program, mulai kebutuhan sampai dengan evaluasi program. Dalam teknik Analisis Pemberdayaan Longwe terdapat lima dimensi analisis, yaitu ”kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi dan kontrol”. Kelima dimensi tersebut saling berkaitan dan melengkapi di dalam pelaksanaan setiap kegiatan.

Adapun lima dimensi teknik analisis Pemberdayaan Longwe adalah sebagai berikut :

1. Dimensi Kesejahteraan

Dimensi ini merupakan tingkat kesejahteraan material yang diukur dari tercukupinya kebutuhan dasar, seperti makanan, penghasilan, perumahan dan kesehatan. Dalam menganalisis suatu kegiatan pembangunan, dimensi kesejahteraan diukur dengan cara melihat tingkat kesejahteraan antara wanita dan laki-laki, artinya apakah program pembangunan telah memberikan kesejahteraan baik wanita maupun laki-laki.

2. Dimensi Akses

Kesenjangan gender terlihat dari adanya perbedaaan akses antara wanita dan laki-laki terhadap sumber daya dan rendahnya akses terhadap sumber daya.


(38)

Hal ini menyebabkan produktivitas wanita cenderung lebih rendah daripada laki-laki. Selain itu wanita lebih banyak diberi tanggung jawab untuk melaksanakan semua pekerjaan domestik, sehingga tidak mempunyai cukup waktu untuk meningkatkan kemampuan dirinya. Dimensi ini untuk menganalisis bagaimana wanita dan laki-laki dapat mengakses suatu program pembangunan, sehingga tidak menyebabkan terjadinya diskriminasi dalam pelaksanaan suatu program pembangunan.

3. Dimensi Kesadaran Kritis

Kesenjangan terjadi karena adanya anggapan bahwa posisi sosial ekonomi wanita lebih rendah daripada laki-laki dan pembagian kerja gender adalah bagian tatanan abadi. Dimensi ini untuk melihat sejauh mana peran-peran wanita yang terlibat dalam kegiatan pembangunan, sehingga terjadi kesetaraan antara wanita dan laki-laki dalam mengikuti kegiatan pembangunan.

4. Dimensi Partisipasi

Aspek partisipasi adalah keterlibatan atau keikutsertaan aktif wanita mulai dari penetapan kebutuhan, formulasi proyek, implementasi, monitoring dan evaluasi. Dimensi ini untuk melihat bagaimana keterlibatan wanita dalam suatu kegiatan pembangunan karena di dalam suatu proyek pembangunan, wanita hanya dilibatkan dalam keanggotaan atau pemanfaat/objek pembangunan, sedangkan dalam penentuan kebutuhan sampai dengan evaluasi kurang dilibatkan.

5. Dimensi Kontrol

Kesenjangan gender terjadi dari adanya hubungan kuasa yang timpang antara wanita dan laki-laki baik di tingkat rumah tangga maupun komunitas. Dimensi ini untuk melihat sejauh mana wanita mempunyai kekuasaan dalam pengambilan keputusan, artinya wanita mempunyai kekuasaan yang sama dengan laki-laki dalam pengambilan keputusan.

Kelima dimensi alat Analisis Pemberdayaan Longwe dapat disusun dalam bentuk piramida sebagai berikut :


(39)

5

1

Piramida analisa Pemberdayaan Longwe menunjukkan setiap dimensi bergerak meningkat dari setiap tahap ke tahap berikutnya. Hal tersebut menunjukkan pencapaian aspek pemberdayaan wanita di dalam mengikuti suatu program pembangunan. Analisis Pemberdayaan Longwe digunakan pula pada setiap tahap siklus proyek dan evaluasi program pembangunan serta melihat derajat sensitivitas terhadap isu-isu wanita, yaitu dengan menilai negatif, netral atau positif. Negatif berarti tujuan proyek tanpa mengaitkan isu wanita. Netral berarti isu wanita sudah dilihat tetapi tidak diangkat dan ditangani serta intervensi proyek tidak berakibat buruk pada wanita. Positif berarti tujuan proyek betul-betul positif, memperhatikan isu wanita dan menanganinya, sehingga hasilnya meningkatkan kedudukan wanita relatif terhadap laki-laki (Handayani T & Sugiarti, 2002 : 184).

Dengan menggunakan analisis Pemberdayaan Longwe dapat dianalisis sejauh mana pencapaian aspek pemberdayaan wanita dalam mengikuti kegiatan KBUW pada kelima dimensi dan apakah hasilnya bersifat negatif, netral atau positif. Artinya apakah program tersebut telah memperhatikan isu gender dan sejauh mana isu gender tersebut telah dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan kegiatan maupun evaluasi program. Sebelum digunakan analisis Pemberdayaan Longwe terlebih dahulu digunakan analisis Harvard untuk melihat bagaimana

Kontrol

Partisipasi

Akses

Kesejahteran Kesadaran Kritis


(40)

pembagian peran antara laki-laki dan wanita di dalam rumah tangga maupun di dalam mengikuti kegiatan KBUW.

Kerangka Pemikiran

Pemberdayaan kaum wanita masih banyak mengalami kendala karena dibatasi oleh norma/nilai, stereotip masyarakat yang menempatkan peran wanita hanya dalam peran domestik dan juga rendahnya pengetahuan/keterampilan yang dimiliki wanita. Pemberdayaan wanita melalui Program P2WKSS dengan kegiatan penyuluhan, pelatihan keterampilan, dan pembentukan KBUW bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan wanita serta memberi pinjaman modal usaha kepada wanita yang mempunyai kemampuan berusaha untuk meningkatkan pendapatan keluarga.

KBUW saat ini menghadapi masalah, yaitu usaha anggota belum menujukkan perkembangan, kurangnya tanggung jawab anggota dalam pengembalian pinjaman maupun iuran anggota, kepengurusan KBUW tidak komplit, pinjaman modal usaha digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif, kurangnya pelatihan bagi pengurus koperasi, adanya anggapan dana hibah, wanita kurang aktif dalam kegiatan KBUW dan pengambilan keputusan penggunaan pinjaman di tangan suami. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis mencoba melakukan analisis dengan analisis Pemberdayaan Longwe menggunakan kelima dimensi, yaitu ”kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi dan kontrol”. Sebelum dilakukan analisis Pemberdayaan Longwe terlebih dahulu dilakukan analisis Harvard untuk menganalisis bagaimana ”pembagian kerja/peran antara wanita dan laki-laki di dalam rumah tangga dan di dalam mengikuti kegiatan KBUW”. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pembagian kerja/peran antara wanita dan laki-laki dalam rumah tangga akan mempengaruhi wanita dalam mengikuti kegiatan KBUW. Dengan menganalisa kegiatan KBUW, maka diharapkan dapat disusun suatu rencana untuk mencapai keberdayaan wanita dalam kegiatan KBUW.

Berdasarkan hal tersebut, maka alur kerangka pemikiran yang digunakan dalam kajian sebagaimana terdapat dalam Gambar 2.


(41)

KK

Images.exe Images.exe

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Analisis Gender Terhadap Kelembagaan Koperasi Bina Usaha Wanita (KBUW)

Keterangan :

Garis Pengaruh Garis tidak Pengaruh

1. Analisis Harvard

 Pembagian Peran di dalam rumah tangga

 Pembagian Peran di dalam organisasi KBUW

2. Analisis Pemberdayaan Longwe

 Kesejahteraan  Akses

 Kesadaran Kritis  Partisipasi

 Kontrol PenguatanStrategi

Organisasi KBUW dan Penguatan sasaran program (wanita)

Koperasi Wanita Bina Usaha / KBUW Program

P2WKSS

Eksternal :

 Budaya Patriarki

 Nilai Budaya Lokal

Kondisi KBUW :

 Pengambilan keputusan

penggunaan pinjaman ditangan suami

 Kurangnya pelatihan koperasi bagi pengurus

 Wanita kurang aktif dalam kegiatan KBUW

 Kurangnya tanggung jawab angggota dalam pembayaran iuran anggota dan pinjaman

 Anggapan dana hibah

 Kepengurusan KBUW tidak

komplit  Keberdayaan wanita dalam kegiatan KBUW Wanita (Internal):  Pengetahuan

 Keterampilan Usaha

 Peran Reproduktif

Kemiskinan

2


(42)

METODE KAJIAN

Batas-batas Kajian

Kajian difokuskan terhadap anggota KBUW, yaitu bagaimana pencapaian aspek pemberdayaan kaum wanita di dalam mengikuti kegiatan KBUW yang menggunakan lima dimensi analisis Pemberdayaan Longwe. Selain itu terlebih dahulu dilakukan analisis Harvard untuk menganalisis pembagian peran antara wanita dan laki-laki di dalam rumah tangga dan di dalam mengikuti kegiatan KBUW.

Strategi Kajian

Strategi kajian yang digunakan adalah studi kasus. Studi kasus dapat diperoleh informasi yang mendalam, menyeluruh, rinci dan hasilnya mudah dipahami, sehingga bisa mengungkap pola hubungan/pengaruh dan dapat mengungkap pola-pola yang bersifat khas tentang berbagai kondisi sosial yang ada di lokasi penelitian. Menurut Yin (2003), Studi Kasus adalah studi aras mikro terbaik, dalam arti dapat menangkap realitas sosial secara holistik dan mendalam. Alat analisis yang digunakan untuk melakukan kajian yaitu analisis Pemberdayaan Longwe yang menggunakan lima dimensi, yaitu ”kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi dan kontrol”. Sebelum itu terlebih dahulu digunakan analisis Harvard untuk melihat bagaimana pembagian peran/kerja antara laki-laki dan wanita di dalam rumah tangga maupun di dalam mengikuti kegiatan KBUW.

Beberapa hal yang menjadi alasan melakukan kajian terhadap Program P2WKSS khususnya KBUW karena program tersebut merupakan program pemberdayaan khusus untuk wanita, sehingga dengan menggunakan analisis Pemberdayaan Longwe akan terlihat tingkat pencapaian aspek pemberdayaan wanita di dalam mengikuti program tersebut. Alasan selanjutnya adalah kondisi lapangan tempat kajian merupakan daerah perkampungan yang memiliki nilai dan budaya yang kuat, sehingga sangat mempengaruhi wanita di dalam mengikuti kegiatan KBUW. Selain itu nilai dan budaya tersebut merupakan salah satu modal sosial yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keberlanjutan KBUW.


(43)

Tempat dan Waktu Kajian

Kajian dilaksanakan di RW 06 dan 07 Kelurahan Cipageran kecamatan Cimahi Utara Kota Cimahi yang merupakan tempat pelaksanaan Program P2WKSS. Pelaksanaan kajian dilaksanakan dari bulan Juni 2006 sampai dengan bulan September 2006, sedangkan seminar dan ujian akhir dilaksanakan pada akhir bulan Oktober 2006. Berikut jadual pelaksanaan kajian pengembangan masyarakat di Kelurahan Cipageran Kecamatan Cimahi Utara Kota Cimahi.

Tabel 1. Jadual Pelaksanaan Kajian Pengembangan Masyarakat di Kelurahan Cipageran Tahun 2006

No Kegiatan Tahun

2005

Tahun 2006

11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1. Praktek Lapangan I 2. Praktek Lapangan II 3. Penyusunan Proposal

Kajian 4. Kolokium

5. Pengumpulan Data 6. Pengolahan, Analisis

Data Penulisan

Pelaporan

7. Seminar dan Ujian 8. Penggadaan Laporan

Penentuan Responden dan Informan

Responden penelitian adalah wanita dan laki-laki yang menjadi anggota KBUW sebanyak 14 orang dengan kriteria sebagiai berikut :

1. Pengurus dua kelompok KBUW.

2. Anggota KBUW (wanita) yang menjalankan usaha. 3. Anggota KBUW (laki-laki) yang menjalankan usaha.

Informan adalah pihak-pihak yang terkait dengan Program P2WKSS, yaitu 1. Aparat Kelurahan Kel Cipageran

2. Penanggung Jawab Program (BPMKB dan Dinas Perekonomian dan Koperasi Kota Cimahi)


(44)

3. Tokoh Masyarakat (Ketua Penggerak PKK Kel Cipageran) Adapun data responden sebagaimana tercantum dalam Tabel 2.

Tabel 2. Data Responden Penelitian di Kel. Cipageran Tahun 2006

No. Responden Jabatan Umur Jenis

Kelamin

Keterangan A. KBUW Teratai Merah

(RW 7) Is / Responden 1 Hs / Responden 2

D / Responden 3 Mh / Responden 4

Yt / Responden 5 Ag / Responden 6 On / Responden 7

Ketua Sekretaris Bendahara Anggota Anggota Anggota Anggota 32 45 27 35 28 47 52 P L P P P L L Membuat Kerupuk Pertukangan/ Meubeul Buruh Pabrik Pedagang Ketupat Sayur Pedagang Bakso Pedagang Sayuran Pedagang Cendol B. KBUW Kaca Piring

(RW 06) Ny. Nd/Responden 8 N/Responden 9 Im/Responden 10 L/Responden 11 Ad/Responden 12 Ns/Reseponden 13 Yn/Responden 14 Ketua Sekretaris Bendahara Anggota Anggota Anggota Anggota 37 42 31 30 32 40 31 P L P P P P P Makanan Ringan Wiraswasta Membuat Makanan Ringan Membuat Makanan Ringan Pedagang Pakaian Suami Pedagang Sayuran Suami berjualan di


(45)

Metoda Pengumpulan Data dan Analisis Data Pengumpulan Data

Sumber-sumber data yang digunakan untuk pengumpulan data dalam kajian ini, adalah sebagai berikut :

1. Data Primer

Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara dengan responden dan informan, yaitu anggota KBUW, perangkat kelurahan, tokoh masyarakat dan penanggung jawab program, yaitu BPMKB Kota Cimahi.

2. Data Sekuder

Pengumpulan data dilakukan berdasarkan dokumen-dokumen pemerintah, seperti monografi kelurahan, profil kelurahan, Pedoman Umum Pelaksanaan Program P2WKSS dan Laporan Pelaksanaan Kegiatan.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam kajian adalah :

1. Studi Arsip/Dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan mempelajari laporan atau catatan yang relevan dengan masalah kajian dari Kantor Kelurahan, Kantor BPMKB, Laporan Pelaksanaan Kegiatan atau Pedoman Umum Pelaksanaan Program P2WKSS.

2. Wawancara mendalam yaitu suatu teknik pengumpulan data primer dengan cara mengajukan langsung pertanyaan-pertanyaan kepada responden untuk memperoleh informasi mengenai pengalaman menjadi anggota, manfaat dan kendala dalam mengikuti kegiatan KBUW. Wawancara dengan informan yaitu aparat kelurahan, tokoh masyarakat dan BPMKB sebagai penanggung jawab kegiatan. Teknik wawancara mendalam dilakukan dengan dua cara, yaitu wawancara perorangan dan kelompok. Wawancara perorangan dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai keterlibatan mereka menjadi anggota KBUW, sedangkan wawancara kelompok dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi kelembagaan KBUW.

3. Pengamatan langsung yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung di lapangan terhadap kondisi, situasi dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan wanita dalam mengikuti kegiatan-kegiatan KBUW.

4. FGD, yaitu suatu proses diskusi untuk membahas suatu permasalahan tertentu dan dipandu oleh seorang fasilitator. Permasalahan yang didiskusikan adalah


(46)

permasalahan KBUW yang diikuti oleh pengurus dan anggota KBUW yang menjadi responden serta informan yaitu BPMKB, aparat kelurahan dan tokoh masyarakat. Adapun kegiatan yang dilakukan adalah menyusun strategi serta perencanaan program berdasarkan analisis Harvard dan Pemberdayaan Longwe.

Rincian informan dan cara pengumpulan data sebagaimana tercantum dalam Tabel 3.

Tabel. 3. Teknik Pengumpulan Data di Kelurahan Cipageran Tahun 2005

No Jenis Informasi Sumber Data Metode Pengumpulan Data

Wawancara Observasi Dokumentasi FGD

1. 2. 3. 4. 5. 5. 6.

1. Kesejahteraan antara

wanita dan laki-laki di

dalam mengikuti kegiatan KBUW - Pengurus - Anggota    

2. Akses antara wanita dan laki-laki di dalam

mengikuti kegiatan KWBU - Pengurus - Anggota    

3. Kesadaran kritis antara wanita dan laki-laki di

dalam mengikuti kegiatan KBUW - Pengurus - Anggota    

4. Partisipasi antara wanita dan laki-laki di dalam

mengikuti kegiatan KBUW - Pengurus - Anggota    

5. Kontrol antara wanita dan laki-laki di dalam kegiatan KWBU - Pengurus - Anggota     6. faktor-faktor /permasalahan yang mempengaruhi kegiatan KBUW - Lurah - BPMKB - Pengurus - Tokoh Masyarakat - Anggota            

7. Menyusun strategi dan perencanaan program berdasarkan analisis Harvard dan Permberdayaan Longwe - Lurah - BPMKB - Pengurus dan

Anggota - Tokoh Masyarakat                    

8. Pembagian peran/kerja antara wanita dan laki-kali di dalam rumah tangga dan KBUW

- Pengurus - Anggota      


(47)

Teknik Analisa Data

Data yang dikumpulkan dari sumber data (informan) akan dianalisis secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk deskriptif analitis serta sebagai penunjang ditampilkan dalam bentuk tabel maupun grafik .

Tahapan-tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Matthew & Michael (dalam Patilima H 2005 : 98), sebagai berikut :

1. Reduksi Data

Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan dan transformasi data yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi data merupakan bagian dari analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data sehingga dapat ditarik kesimpulan dan diverifikasi.

Data yang telah terkumpul dikelompokkan sesuai dengan keperluan kajian sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan kajian.

2. Penyajian Data

Merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

Data yang terkumpul disajikan dalam bentuk matrik, tabel atau gambar untuk memudahkan membaca hasil penelitian.

3. Kesimpulan dan Verifikasi

Kesimpulan akhir tergantung pada banyaknya kumpulan catatan lapangan, pengkodean, penyimpanan dan metode pencarian ulang yang digunakan, kecakapan peneliti dan tuntutan sponsor. Penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari suatu kegiatan dari konfigurasi yang utuh. Pembuktian kembali atau verifikasi dapat dilakukan untuk mencari pembenaran dan persetujuan sehingga validitas dapat tercapai. Kesimpulan yang diambil merupakan hubungan antara data yang terkumpul sebagai hasil penelitian.

Perancangan Strategi dan Penyusunan Program

Dalam perancangan strategi dan penyusunan program dilakukan secara partisipatif bersama masyarakat dengan menggunakan metode PRA(Participatory Rural Appraisal). Metode tersebut sesuai dengan kondisi kajian yang merupakan


(48)

suatu perkampungan, dimana nilai-nilai dan norma sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Teknik yang digunakan untuk menyusun strategi pemecahan masalah adalah FGD (Focus Group Discussion) yang melibatkan pengurus dan anggota KBUW, aparat kelurahan, tokoh masyarakat serta penanggung jawab Program P2WKSS.

Langkah-langkah kegiatan yang dilaksanakan dalam perancangan strategi dan penyusunan program antara lain :

1. Menganalisa pelaksanaan kegiatan KBUW mengenai pembagian kerja antara laki-laki dan wanita di dalam rumah tangga dan kelembagaan KBUW, menganalisa pencapaian aspek pemberdayaan dengan menggunakan kelima dimensi analisis Pemberdayaan Longwe, yaitu kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi dan kontrol.

2. Mengidentifikasi potensi, permasalahan, kekuatan dan kelemahan KBUW dengan alat Analisis Harvard dan Pemberdayaan Longwe.

3. Membuat kerangka prioritas dari permasalahan-permasalahan yang muncul supaya dimengerti peserta FGD dan menyajikan dalam bentuk tabel dan analisis pohon masalah.

4. Melakukan analisis data di dalam forum FGD secara bersama-sama dan menyusun pemecahan masalah dalam bentuk strategi.

5. Strategi dalam FGD didiskusikan kembali untuk direalisasikan dalam bentuk program kerja.

Dengan rancangan strategi dan program kerja diharapkan dapat menjadi acuan dalam mengatasi kendala-kendala dan mengembangkan kegiatan KBUW, sehingga bisa mencapai keberdayaan wanita dalam mengikuti kegiatan KBUW .


(49)

PETA SOSIAL KELURAHAN CIPAGERAN

Lokasi

Kelurahan Cipageran merupakan salah satu kelurahan yang berada di Kecamatan Cimahi Utara Kota Cimahi. Adapun orbitasi, jarak dan waktu tempuh dengan pusat-pusat pemerintahan baik ibu kota negara, propinsi maupun kota seperti tercantum dalam Tabel 4.

Tabel 4. Orbitasi, Jarak dan Waktu Tempuh di Kel. Cipageran Tahun 2005

No. Orbitasi Jarak Waktu Tempuh

1. Ibukota Kecamatan 4 Km 1,0 Jam

2. Ibukota Kota 3 Km 0,5 Jam

3. Ibukota Propinsi 15 Km 1,5 Jam 4. Ibukota Negara 220 Km 4,0 Jam Sumber : Data Monografi Kelurahan Cipageran, 2005

Berdasarkan Tabel 4, jarak dari kantor kelurahan ke pusat pemerintahan tidak terlalu jauh, maka kondisi tersebut memudahkan dalam melakukan kegiatan baik yang dilakukan perangkat kelurahan maupun masyarakat. Kondisi tersebut memudahkan masyarakat Kelurahan Cipageran dalam melakukan aktifitas maupun menerima arus informasi dan komunikasi.

Jalan protokoler untuk masuk ke wilayah kelurahan adalah Jl. Kolonel Masturi yang merupakan jalur alternatif antara Kab. Bandung (Lembang) dan Kota Cimahi. Sarana prasarana jalan yang menghubungkan antar wilayah dapat dilalui dengan mudah karena jalan sudah diaspal dan dapat dijangkau dengan kendaraan pribadi maupun umum, sehingga memudahkan keluar masuk wilayah Kelurahan Cipageran.

Secara geografis, Kelurahan Cipageran berbatasan dengan beberapa wilayah yang meliputi :

a. Sebelah Utara : Ds. Jambudipa (Kab. Bandung) b. Sebelah Selatan : Kel. Padasuka

c. Sebelah Barat : Ds. Tanimulya (Kab. Bandung) d. Sebelah Timur : Kel. Citeureup.


(50)

Berdasarkan wawancara dengan perangkat Kelurahan Cipageran, nama Cipageran bermula dari historis perjuangan kemerdekaan yang merupakan “pager” dalam melawan penjajah, maka oleh masyarakat diubah menjadi “Cipageran”. Sebelumnya Kelurahan Cipageran merupakan bagian dari wilayah Pemerintahan Kab. Bandung dan masih merupakan desa, kemudian pada tahun 1979 berubah menjadi kelurahan. Ketika Kota Cimahi berdiri pada tahun 2001, Kelurahan Cipageran termasuk bagian wilayah Kota Cimahi dan mengenai batas-batas wilayah sampai sekarang tidak ada perubahan. Penduduknya hampir seluruhnya berasal dari suku Sunda dengan perbandingan antara penduduk asli dan pendatang diperkirakan 75 : 25 persen.

Kelurahan Cipageran merupakan kelurahan yang paling luas di Kota Cimahi dengan luas wilayah 594,317 Ha dan ketinggian dari permukaan laut 850 M yang merupakan dataran tinggi, terdiri dari 29 RW dan 146 RT. Penggunaan area tanah di wilayah ini dapat dilihat dalam Tabel 5.

Tabel 5. Penggunaan Tanah di Kelurahan Cipageran Tahun 2005

No. Pengggunaan Tanah Luas (Ha) (%)

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Pemukiman Jalan

Sawah, Tanah Dan Ladang Bangunan Umum

Kuburan Lain-Lain

118, 265 9, 250 375, 422 54, 630 7, 330 29,420

19,89 1,55 63.16 9.19 1.23 4,95

J u m l a h 594,317 100

Sumber : Data Monografi Kelurahan Cipageran, 2005

Berdasarkan Tabel 5, area tanah yang paling luas adalah tanah tegalan, sawah dan ladang yang merupakan sumber daya lokal yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk. Berdasarkan informasi dari perangkat kelurahan bahwa tanah tersebut merupakan tanah tegalan yang baru bisa digarap pada waktu musim hujan, sedangkan pada waktu musim kemarau hanya ditanami dengan pohon-pohon yang bisa dipanen beberapa tahun kemudian. Kondisi sumber daya lokal


(51)

yang demikian berpengaruh pada keadaan ekonomi masyarakat, karena tanah tersebut tidak menghasilkan nilai ekonomi yang cukup bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Keadaan wilayah Kelurahan Cipageran, sebelah Utara merupakan daerah landai yang luas berupa tanah tegalan, sawah dan ladang dan berbatasan dengan wilayah Kec. Ngamprah dan Kec. Cisarua (Kab. Bandung). Kelurahan Cipageran merupakan sumber daya lokal yang paling luas di Kota Cimahi, namun pada saat ini tanah di daerah tersebut sudah diperjualbelikan, sekitar 50 persen sudah dijual kepada orang-orang yang berasal dari luar Kota Cimahi. Sementara itu masyarakat hanya sebagai penggarap atau menyewa lahan. Ketika pada musim panen, petani harus memberikan hasil panennya kepada pemilik lahan untuk membayar sewa lahan, sehingga petani hanya menerima sisa dari pembayaran utang tersebut. Hal ini mengakibatkan keadaan ekonomi masyarakat menjadi rendah. Sebelah Selatan wilayah Kelurahan Cipageran merupakan daerah pemukiman terdiri dari perkampungan penduduk biasa, perumahan BTN maupun real estate, sehingga merupakan daerah padat penduduk. Hubungan antara masyarakat lokal/asli maupun pendatang sudah saling berinteraksi dan saling membutuhkan, seperti penduduk perkampungan akan menjadi pembantu rumah tangga atau tukang bangunan di komplek perumahan.

Lokasi yang menjadi objek penelitian adalah RW 06 dan 07 dan terletak di sebelah Selatan kelurahan. Wilayah tersebut lebih dekat dijangkau dari Jl. Sangkuriang yang merupakan jalan alternatif menuju wilayah Kelurahan Cipageran. Sarana jalan menuju lokasi sudah diaspal meskipun jalannya sempit, namun dapat dijangkau dengan mudah baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Sarana komunikasi yaitu jaringan telepon belum ada, sementara komplek perumahan yang bersebelahan dengan lokasi penelitian sudah ada jaringan telepon.

Lokasi RW 06 dan RW 07 merupakan suatu perkampungan dengan keadaan penduduknya lebih padat dibandingkan dengan RW lain, sehingga menyebabkan daerah tersebut terlihat kumuh. Keadaan ini dipengaruhi pula oleh sumber daya lokal yang terbatas, yaitu berupa pekarangan yang tidak bisa dijadikan sumber ekonomi dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Pada akhirnya masyarakat yang


(52)

bermata pencaharian sebagai buruh tani mencari pekerjaan keluar daerah Kelurahan Cipageran dengan upah kerja berkisar Rp.15 Ribu - Rp. 20 Ribu.

Kependudukan

Penduduk Kelurahan Cipageran pada tahun 2005 berjumlah 30.666 orang, terdiri dari 15.369 jiwa laki-laki dan 15.297 jiwa perempuan. Komposisi penduduk menurut usia dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah Penduduk Kelurahan Cipageran Berdasarkan Usia Tahun 2005

No. Golongan Umur (Tahun)

P L Jumlah %

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

0 - 4 5 - 8 10 - 14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 + 1.545 1.438 2.170 1.542 1.100 1.340 1.210 822 885 874 942 714 715 1.530 1.460 2.173 1.543 1.104 1.340 1.223 821 884 886 950 714 735 3.072 2.898 4.343 3.085 2.204 2.689 2.433 1.643 1.769 1.760 1.892 1.428 1.450 10,02 9,45 14,16 10,06 7,19 8,77 7,93 5,35 5,77 5,74 6,17 4,66 4,73

J u m l a h 15.297 15.369 30.666 100

Sumber : Data Profil Kelurahan Cipageran , 2005

Apabila digambarkan dalam bentuk Piramida Penduduk, maka jumlah penduduk Kelurahan Cipageran berdasarkan golongan umur adalah sebagai berikut :


(53)

Berdasarkan Gambar 3, penduduk Kelurahan Cipageran merupakan penduduk muda, dimana sebagian besar penduduknya berada pada usia muda. Jumlah penduduk Kelurahan Cipageran yang termasuk penduduk golongan usia reproduksi yaitu usia 15 - 49 tahun, menunjukkan jumlah yang cukup besar yaitu 15.583 jiwa atau 50,81 persen, sehingga mempunyai peluang tinggi untuk menambah kelahiran. Hal ini secara jelas terlihat pada penduduk golongan umur 0 - 4 tahun cukup tinggi, yaitu 10,01 persen. Keadaan ini menyebabkan jumlah tanggungan keluarga cukup besar, sehingga mempengaruhi di dalam pemenuhan kebutuhan keluarga.

Rasio Jenis Kelamin penduduk Kelurahan Cipageran secara keseluruhan yaitu perbandingan antara banyaknya penduduk laki-laki dan wanita adalah 99,93%. Rasio Jenis kelamin tersebut mempengaruhi stuktur penduduk Kelurahan Cipageran. Besarnya tanggungan penduduk adalah perbandingan antara banyaknya orang yang tidak produktif (usia dibawah 15 tahun dan diatas 64 tahun) dengan banyaknya orang yang termasuk usia produktif (usia 15 - 64 tahun)

Kelompok Umur

(Tahun)

Jumlah Penduduk

(Jiwa) Perempuan

60 +

55-59

50-54

45-49

40-44

35-39

30-34

25-29

20-24

15-19

10-14

5-9

0-4

1500 1250 1000 750 500 250

2000 1750 250 500 750 1000 1250 1500 1750 2000

Gambar 3. Piramida Penduduk Kelurahan Cipageran Tahun 2005


(54)

adalah sebesar 62, artinya setiap 100 orang produktif menanggung 62 orang yang tidak produktif.

Penduduk usia kerja yaitu 15 - 64 tahun, menunjukkan jumlah yang cukup besar yaitu sebanyak 18.903 jiwa atau 61,64 persen dan jumlah angkatan kerja yang bekerja sebanyak 11,565 atau sekitar 49,75 persen, sehingga sekitar 50 persen penduduk adalah pengangguran. Hal ini berarti jumlah penduduk usia kerja hanya sebagian yang bekerja dan diantara yang bekerja adalah mempunyai pekerjaan yang tidak pasti, seperti buruh tani atau tukang bangunan, sedangkan yang lainnya adalah pengganguran. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab terjadinya masalah kemiskinan.

Pendidikan

Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Komposisi Penduduk Kel. Cipageran Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2005

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Persen 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Belum Sekolah Tidak Pernah Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD SLTP SLTA Akademi/Sarjana Sarjana 4.913 12 83 6.840 6.368 6.472 790 878 18,64 0,05 0,32 25,95 24,16 24,55 03,00 03,33

J u m l a h 26.356 100

Sumber : Data Monografi Kelurahan Cipageran, 2005

Di dalam Tabel 7 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk masih rendah yaitu jumlah penduduk yang menyelesaikan pendidikan SD (tidak melanjutkan pendidikan ke SLTP) masih tinggi yaitu 6.840 jiwa (25,95 persen). Hal ini mempengaruhi pada tingkat pengetahuan dan keterampilan penduduk,


(55)

sehingga mempengaruhi posisi suatu pekerjaan/mata pencaharian pokok penduduk, selanjutnya menentukan tingkat pendapatan dan keadaan ekonomi suatu keluarga.

Berdasarkan wawancara dengan perangkat kelurahan bahwa sebagian penduduk kurang memperhatikan pendidikan anak-anaknya, mereka cukup menyekolahkan anaknya sampai dengan tingkat SLTA. Para orang tua beranggapan bahwa mereka masih bisa memberi makan anak-anaknya dan dapat hidup seperti anak-anak yang lain. Keadaan tersebut mengakibatkan anak putus sekolah cukup tinggi, sehingga data jumlah anak putus sekolah pada bulan Oktober tahun 2005 sebanyak 58 orang. Selain itu berdasarkan wawancara dengan salah satu anggota masyarakat bahwa menyekolahkan anak sampai dengan tingkat SLTA sudah merupakan suatu peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Sistem Ekonomi

Mata pencaharian pokok penduduk Kelurahan Cipageran sebagaimana tercantum pada Tabel 8.

Tabel 8. Komposisi Penduduk Kelurahan Cipageran Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2005

No. Mata Pencaharian Jumlah Persen

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Peggawai Negeri Sipil A B R I

Pegawai Swasta(Buruh) Wiraswasta/Pedagang Petani Pertukangan Buruh Tani Pensiunan Jasa 1.534 345 4.657 3.678 98 156 139 864 104 13,25 2,98 40,23 31,77 0,84 1,34 1,20 7,46 0,89

J u m l a h 11.575 49,75


(1)

(2)

117

Photo 1. Kantor Kelurahan Cipageran

Photo 2. Kondisi kemiskinan di RW 06 dan 07


(3)

Photo 3. Posko Program P2WKSS


(4)

119

Photo 6. Wawancara dengan Responden Photo 5. Salah satu jenis usaha anggota KBUW


(5)

Photo 7. Wawancara dengan Pengurus KBUW


(6)

121

Photo 10 . Pelaksanaan FGD Photo 9. Pelaksanaan FGD