BAB III KONSEP TEORITIS PERJANJAIN KREDIT DAN HUBUNGANNYA DENGAN
KREDIT MACET
A. Pengertian Perjanjian Kredit
Istilah kredit berasal dari bahasa Latin creditus yang merupakan bentuk past participle dari kata credere, credo atau creditum, yang berarti to trust atau faith. Kata
trust itu sendiri berarti “kepercayaan”.
72
Dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditor dalam hubungan perkreditan dengan debitor mempunyai kepercayaan, bahwa
debitor dalam waktu dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama, dapat mengembalikan membayar kembali kredit yang bersangkutan.
73
Ditengah-tengah masyarakat umum istilah kredit sudah tidak asing lagi dan bahkan dapat dikatakan populer merakyat, sehingga dalam bahasa sehari-hari sudah
dicampurbaurkan begitu saja dengan istilah utang. Bahkan dalam dunia pendidikan dengan sistem kredit semester yang baru, istilah kredit sudah memiliki konotasi khusus
tersendiri dibandingkan asalnya.
74
Dalam bahasa sehari-hari kata kredit sering diartikan memperoleh barang dengan membayar cicilan atau angsuran dikemudian hari atau
memperoleh pinjaman uang yang pembayarannya dilakukan dikemudian hari dengan cicilan atau angsuran sesuai dengan perjanjian. Artinya kredit dapat berbentuk barang
atau berbentuk uang. Baik kredit berbentuk barang maupun kredit berbentuk uang dalam hal pembayaran dengan metode angsuran atau cicilan tertentu.
75
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kredit antara lain diartikan : 1.
Pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur;
72
Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 5
73
D. Gandaprawira, Perkembangan Hukum Perkreditan Nasional dan Internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 1992, hal. 1
74
Ibid.,
75
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Edisi Baru, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 72
2. Pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain;
Secara yuridis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menggunakan dua istilah berbeda,
namun mengandung makna yang sama untuk pengertian kredit. Kedua istilah itu, yaitu pertama kata “kredit”, istilah yang digunakan dalam bank konvensional dalam
menjalankan kegiatan usahanya, dan kedua kata “pembiayaan” berdasarkan prinsip syariah, istilah yang digunakan pada bank syariah. Penggunaan kedua istilah tersebut
tergantung kepada kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. Istilah kredit banyak dipakai dalam sistem perbankan konvensional berbasis
pasar bunga interest based, sedangkan dalam hukum perbankan syariah lebih dikenal dengan istilah pembiayaan financing yang berbasis pada keuntungan riil yang
diinginkan margin ataupun bagi hasil profit sharing Pengertian kredit disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yaitu :
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjaman meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Setelah membahas mengenai pengertian kredit, perlu juga dibahas mengenai apa itu pengertian perjanjian agar dapat dipahami secara jelas apakah sebenarnya yang
dimaksud dengan “perjanjian kredit”. Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah :
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
Perjanjian sendiri berbeda pengertiannya dengan perikatan. Perikatan sebagai terjemahan dari “verbintenis”, ysng merupakan pengambilalihan dari kata “obligation”
dalam Code Civil Prancis. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan, definisi
maupun arti istilah “perikatan”. Diawali dengan ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata yang menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik
karena undang-undang”, ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikhendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan yang secara sengaja
dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian berarti perikatan adalah hubungan hukum antara dua
atau lebih orang pihak dalam bidanglapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut.
76
Dari rumusan yang diberikan di atas dapat diketahui bahwa suatu perikatan, sekurangnya membawa serta di dalamnya empat unsur, yaitu
77
a. Bahwa perikatan itu adalah suatu hubungan hukum;
:
b. Hubungan hukum tersebut melibatkan dua atau lebih dua orang pihak;
c. Hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum
harta kekayaan; d.
Hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam perikatan;
Dari pengertian perikatan di atas, dapatlah diketahui bahwa perikatan adalah bagian dari perjanjian. Perikatan dapat lahir dan tercipta dengan adanya perjanjian dan juga
karena undang-undang itu sendiri.
76
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 17
77
Ibid.,
Menurut M. Yahya Harahap, “perjanjian mengandung pengertian, suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan
hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak yang lain untuk menunaikan prestasi”.
78
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, antara lain :
1 Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2 Cakap untuk membuat perjanjian;
3 Mengenai sesuatu hal tertentu;
4 Suatu sebab yang halal;
Syarat sepakat dan cakap bagi sahnya perjanjian, disebut sebagai syarat subyektif karena menyangkut orang atau pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian. Sedangkan
mengenai suatu hal tertentu dan sebab yang halal disebut sebagai syarat obyektif karena menyangkut obyek yang diperjanjikan oleh subyek-subyek yang membuat perjanjian.
Suatu syarat subyektif apabila tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan cancelingoleh salah satu pihak. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi
perjanjian batal demi hukum null and avoid.
79
Terkait dengan masalah perjanjian maka tidak terlepas dari prestasi, prestasi adalah sesuatu yang dapat dituntut, jadi dalam suatu perjanjian salah satu pihak
kreditorberpiutang menuntut prestasi pada pihak lainnya debitorberhutang. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata prestasi terbagi dalam tiga macam
80
a Prestasi untuk menyerahkan sesuatu prestasi ini terdapat dalam Pasal 1237
KUHPerdata; :
78
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 6
79
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, 1979, hal. 21
80
Marindra Prahandi Ferdianto, Perbuatan Melanggar Hukum atau Wanprestasi, Hukumonline.com, diakses pada Kamis, 29 Oktober 2015.
b Prestasi untuk melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu prestasi ini terdapat
dalam Pasal 1239 KUHPerdata; c
Prestasi untuk tidak melakukan atau tidak berbuat sesuatu prestasi ini terdapat dalam Pasal 1239 KUHPerdata
Apabila seseorang telah ditetapkan prestasinya sesuai dengan perjanjian yang dibuat, maka kewajiban pihak tersebut untuk melaksanakan atau melaksanakannya. Dan
apabila seseorang yang telah ditetapkan prestasinya sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat tapi tidak melaksanakan atau memenuhi prestasi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, maka orang itu dapat disebut telah melakukan wanprestasi, atau apabila debitor tidak melaksanakan kewajibannya maka ia telah dikatakan wanprestasi. Kata
wanprestasi dalam bahasa Indonesia berarti lalai, alpa atau ingkar janji. Wanprestasi dapat berupa :
1.1 Tidak melaksanakan apa yang dijanjikan;
1.2 Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana mestinya;
1.3 Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat;
1.4 Melakukan sesuatu hal yang menurut perjanjian itu dilarang;
Dari pengertian perjanjian di atas, dapatlah dinyatakan bahwa perjanjian kredit adalah hubungan antara kreditor dengan debitor yang obyeknya adalah penyediaan uang
untuk kemudian dilakukan penagihan dengan syarat-syarat tertentu dan jaminan- jaminan tertentu, dengan kata lain perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam
uang yang dilakukan oleh kreditor kepada debitor. Perjanjian kredit pada lembaga keuangan bank dapat disebut juga perjanjian kredit
bank. Pengaturan perjanjian kredit bank tidak ditentukan dalam KUHPerdata tetapi dalam Undang-Undang Perbankan Tahun 1992 maupun UU No. 10 Tahun 1998.
Meskipun tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi hal-hal yang tidak diatur secara rinci
oleh dua undang-undang di atas tetap tunduk pada peraturan yang ada di dalam KUHPerdata, contohnya adalah syarat-syarat sahnya suatu perjanjian kredit, harus tetap
mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata. Selain itu, perjanjian kredit bank juga berdasarkan pada asas konsensualisme, artinya mengikat setelah ada kesepakatan dari
pihak yang melakukan perjanjian. Dengan demikian perjanjian kredit ini tetap tunduk pada KUHPerdata khusunya pada Buku III KUHPerdata.
Volmar mengemukakan bahwa undang-undang membedakan perjanjian menjadi dua, yaitu perjanjian bernama tertentu dan perjanjian yang tidak mempunyai nama
tertentu. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang ditentukan undang-undang secara khusus, terdapat antara lain dalam Bab V sampai Bab XVIII Buku III KUHPerdata.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjiajn kredit bank di Indonesia termasuk perjanjian bernama.
Meskipun peraturan perbankan di Indonesia tidak mengharuskan bentuk perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis namun dalam prakteknya tiap perjanjian kredit dibuat
dalam bentuk tertulis yang berupa suatu surat akta. Bentuk akta ini dimaksudkan untuk membuktikan adanya perjanjian kredit dan juga kepastian hukum mengenai hak dan
kewajiban antara bank dengan debitornya. Peraturan perbankan di Indonesia juga tidak ada ketentuan yang mengharuskan
perjanjian dibuat dengan akta otentik atau dengan akta di bawah tangan. Dalam prakteknya di Bank Sumut Medan untuk perjanjian yang jumlah piutangnya besar
perjanjian kreditnya dibuat dengan akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris yang sering disebut juga akta notaris.
Didalam praktek, setiap bank telah menyediakan blanko formulir, model perjanjian kredit, yang isinya telah disiapkan terlebih dahulu standar form. Formulir
ini diberikan kepada setiap pemohon kredit. Isinya tidak dibicarakan terlebih dahulu
kepada pemohon. Kepada pemohon hanya dimintakan pendapatnya apakah dapat menerima syarat-syarat yang tersebut di dalam formulir itu atau tidak. Hal-hal yang
kosong belum diisi dalam blanko itu adalah hal-hal yang tidak mungkin diisi sebelumnya yaitu antara lain jumlah pinjaman, bunga, tujuan dan jangka waktu kredit.
81
Hal di atas menunjukkan bahwa perjanjian kredit di dalam praktek tumbuh sebagai perjanjian standard standard contract.
82
Dari pengertian yuridis kredit sebagaimana disebutkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998, diketahui bahwa pemberian kredit oleh bank didasarkan kesepakatan atau perjanjian pinjam-meminjam yang dilakukan antara bank dengan pihak lain nasabah
peminjam dana. Perjanjian pinjam-meminjam itu dibuat atas dasar kepercayaan bahwa nasabah peminjam dana dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, akan melunasi
atau mengembalikan pinjaman uang atau tagihan itu kepada bank disertai pembayaran sejumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan sebagai imbalan jasanya.
83
Apabila ditelusuri pengertian kredit itu lebih lanjut, maka dapat ditemukan unsur- unsur yang terkandung dalam makna perjanjian krredit, yakni
84
1. Kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak bank atas prestasi yang
diberikannya kepada nasabah peminjam dana yang akan dilunasinya sesuai dengan diperjanjikan pada waktu tertentu.
:
2. Waktu, yaitu adanya jangka waktu tertentu antara pemberian dan pelunassan
kreditnya, jangka waktu tersebut sebelumnya terlebih dahulu disetujui atau disepakati bersama antara para pihak bank dan nasabah peminjam dana.
81
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1991, hal 24
82
Ibid.,
83
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 267
84
Ibid.,
3. Prestassi dan kontraprestasi, yaitu adanya objek tertentu berupa prestasi dan
kontraprestasi pada saat tercapainya persetujuan atau kesepakatan pemberian kredit yang dituangkan dalam perjanjian kredit antara bank dan nasabah
peminjam dana, yaitu berupa uang atau tagihan yang diukur dengan uang dan bunga atau imbalan, atau bahkan tanpa imbalan bagi bank syariah.
4. Risiko, yaitu adanya risiko yang mungkin akan terjadi selama jangka waktu
antara pemberian dan pelunsan kredit tersebut, sehingga untuk mengamankan pemberian kredit dan menutup kemungkinan terjadinya wanpestasi dari nasabah
peminjam dana, diadakanlah pengikatan jaminan agunan. Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian fasilitas kredit menurut
Martono adalah sebagai berikut
85
a. Kepercayaan
:
Kepercayaan merupakan suatu keyakinan pemberi kredit bank bahwa kredit yang diberikan berupa uang atau jasa akan benar-benar diterima kembali di masa
tertentu di masa mendatang. b.
Kesepakatan Kesepakatan dituangkan dalam suatu perjanjian di mana masing-masing
pihak menandatangani hak dan kewajiban masing-masing. c.
Jangka waktu Setiap kredit yang diberikan pasti memiliki jangka waktu tertentu yang
mencakup masa pengembalian kredit yang disepakati. d.
Risiko Faktor risiko dapat disebabkan oleh dua hal :
85
Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Yogyakarta, Ekonisia, 2002, hal. 52
1 Faktor kerugian yang diakibatkan adanya unsur kesengajaan nasabah untuk
tidak membayar kreditnya padahal mampu. 2
Faktor kerugian yang ditimbulkan oleh unsur ketidaksengajaa nasabah sehingga mereka tidak mampu membayar kreditnya, misalnya akibat terjadi
musibah bencana alam.
B. Eksistensi Perjanjian Kredit