Pembahasan .1 Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Kanker Payudara di RSU Haji
52
Tabel 5. Nilai mean dan standar deviasi dimensi kesejahteraan psikologis n=37
No. Dimensi
Mean Total Standar Deviasi SD
1. Hubungan Positif Dengan Orang Lain
3.57 0.76
2 Tujuan Dan Makna Hidup
3.29 0.66
3. Otonomi
3.18 1.02
4. Pertumbuhan Pribadi
3.06 0.78
5. Penguasaan Lingkungan
3.03 0.84
6. Penerimaan Diri
2.84 0.87
5.2 Pembahasan 5.2.1 Kesejahteraan Psikologis Pada Penderita Kanker Payudara di RSU Haji
Adam Malik Medan Penelitian ini melibatkan 37 orang responden penderita kanker payudara
yang mendapatkan pengobatan di RSUP Haji Adam Malik Medan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki
tingkat kesejahteraan psikologis baik dengan persentase 73 dan terdapat 10 responden dengan kesejahteraan psikologis cukup dengan persentase 27. Hal ini
berarti bahwa dari keseluruhan responden memiliki tingkat kesejahteraan psikologis cukup baik dimana dimensi otonomi, penguasaan lingkungan,
pertumbuhan pribadi, hubungan positif dengan orang lain, tujuan dan makna hidup dan dimensi penerimaan diri terhadap penyakit yang diderita oleh
responden yaitu kanker payudara masih bernilai positif yaitu responden penderita kanker payudara menjalankan aktivitas dengan keadaan mental yang positif dan
semangat yang positif terhadap penyakit yang diderita. Hal ini didukung pernyataan Bradburn 1969 dalam Ryff Keyes 1995, Kesejahteraan Psikologis
Psychological well being merujuk pada perasaan seseorang berkenaan dengan segala aktifitas yang dilakukan oleh individu yang berlangsung setiap hari dimana
dalam proses tersebut kemungkinan mengalami fluktuasi pikiran dan perasaan
Universitas Sumatera Utara
53
yang dimulai dari kondisi mental negatif sampai pada kondisi mental positif, misalnya dari trauma sampai penerimaan hidup. Kesejahteraan psikologis
individu dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan juga dukungan sosial Ryff, 1989.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kurang lebih dua pertiga responden berada pada rentang usia dewasa akhir 35,1 dan lansia awal
35,1. Menurut Santrock 2002, pada usia individu memasuki dunia logis dan mencoba mencari penyelesaian masalahnya dengan memikirkannya terlebih
dahulu secara teoritis. Ryff 1989 mengatakan individu yang berada dalam usia dewasa akhir memiliki skor kesejahteraan psikologis yang lebih rendah dalam
dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi; individu yang berada dalam usia dewasa madya memiliki skor kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dalam
dimensi penguasaan lingkungan, sementara individu yang berada dalam usia dewasa awal memiliki skor yang lebih rendah dalam dimensi otonomi dan
penguasaan lingkungan dan memiliki skor psychological well-being yang lebih tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi. Dimensi penerimaan diri dan dimensi
hubungan positif dengan orang lain tidak memperlihatkan adanya perbedaan seiring dengan pertambahan usia. Springer et al 2010, dalam penelitiannya
tentang does pschological well being change with age?, menyatakan bahwa perbedaan usia tidak menunjukkan perbedaan dimensi kesejahteraan psikologis
yang signifikan. Hal ini sesuai dengan penelitian Hasson et al 2014 tentang Hope and social support utilisation among different age groups of women with
breast cancer and their spouses mengatakan bahwa pasien yang lebih tua memiliki tingkat depresi yang lebih rendah.
Universitas Sumatera Utara
54
Seluruh responden, yaitu sebanyak 37 responden 100 sudah menikah. Hasil penelitian McKenry 2002 tentang the relationship between marriage and
psychological well being mengatakan ada efek yang kuat dari status perkawinan pada kesejahteraan psikologis, yaitu dukungan dalam perspektif perlindungan.
Sesuai dengan penelitian Hasson et al 2010 tentang Women with advanced breast cancer and their spouses: diversity of support and psychological distress
bahwa bagi pasien, dukungan keluarga yang diterima merupakan sumber dukungan yang paling penting serta mampu melindungi dari tekanan psikologis.
Jenis kelamin memiliki peran dalam tingkat kesejahteraan psikologis. Dalam penelitian ini seluruh responden 100 adalah wanita. Menurut Wood,
Rhodes, dan Whelan 1989 dalam penelitiannya mengatakan bahwa wanita memiliki kesejahteraan psikologis dan kepuasan hidup yang lebih baik daripada
pria. Penelitian dikalangan mahasiswa Middle East Technical University oleh Gurel, menunjukkan kesejahteraan psikologis perempuan lebih tinggi daripada
laki-laki. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi tingkat kesejahteraan psikologis
psychological well being. Notoadmojo 2003 menyatakan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin banyak informasi yang di dapat
sehingga semakin tinggi pengetahuannya. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa mayoritas responden 81 memiliki pendidikan yang memadai yaitu SMP
hingga sampai perguruan tinggi, hanya 6 orang responden 16,2 yang berpendidikan SD dan 2,7 tidak bersekolah. Hasil penelitian ini sesuai dengan
pendapat Ryff dan Singer 1996 yang mengemukakan bahwa perbedaan kelas sosial ekonomi turut mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu, bahwa
Universitas Sumatera Utara
55
pada individu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi. Hal ini juga dijelaskan oleh Grossi dkk
2012 yang menyatakan tingkat pendidikan turut mempengaruhi kesejahteraan psikologis, karena ketika individu menempuh pendidikan pada level atau
tingkatan yang lebih tinggi, individu akan mempunyai informasi yang lebih baik. Sehingga individu akan memiliki kesadaran yang lebih baik dalam membuat suatu
pilihan, sehingga berdampak pada munculnya kesejahteraan psikologis psychological well being.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa lebih dari setengah responden 64,9 adalah ibu rumah tangga tidak bekerja. Mirowsky dan Ross
1989 menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis seseorang dapat dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kehidupan masa kecil, serta
kesehatan fisik. Ibu rumah tangga menunjukkan dampak psikologis berupa ketidakberdayaan yang diakibatkan karena tidak memiliki kesibukan sehingga
seringkali memikirkan penyakit yang dideritanya Fratiwi, 2014.
5.2.2 Dimensi Kesejahteraan Psikologis Dari hasil penelitian yang terdapat pada Tabel 5, dilihat bahwa dari setiap
dimensi yang terdapat dalam kesejahteraan psikologis memiliki nilai rataan yang berbeda – beda. Nilai rataan yang paling tinggi dari semua dimensi kesejahteraan
psikologis adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain mean 3,57 dan standard deviasinya0,76 dan yang paling rendah adalah dimensi penerimaan diri
yaitu mean 2,84 standard deviasinya 0,87. Sedangkan dimensi tujuan dan makna hidup memiliki nilai rataan 3,29 dengan standard deviasi 0,66, nilai rataan
Universitas Sumatera Utara
56
dimensi otonomi yaitu 3,18 SD = 1,02, nilai rataan penguasaan lingkungan yaitu 3,03 dengan standard deviasinya 0,84 dan pertumbuhan pribadi memiliki nilai
rataan 3,06 SD = 0,78. Dalam hal ini, dimensi hubungan positif dengan orang lain pada keseluruhan responden memiliki nilai yang baik dibandingkan dengan
dimensi kesejahteraan psikologis yang lain, yaitu semua responden masih mampu dengan baik menjalin hubungan yang baik dengan orang lain di sekitarnya yang
bertujuan positif bagi kesejahteraan psikologis dalam menghadapi situasi yang sedang dialami responden. Hal ini didukung penyataan Sugianto 2000 yang
menyatakan bahwa individu yang tinggi dalam dimensi ini ditandai dengan mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dari orang lain.
Selain itu, individu tersebut juga memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, serta memahami prinsip memberi
dan menerima dalam hubungan antarpribadi Campton, 2005. Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain,
menunjukkan individu hanya mempunyai sedikit hubungan yang dekat dan saling percaya dengan orang lain, merasa kesulitan untuk bersikap hangat, terbuka, dan
memperhatikan orang lain, merasa terasing dan frustasi dalam hubungan interpersonal, tidak bersedia menyesuaikan diri atau mempertahankan hubungan
yang penting dengan orang lain. Dimensi penerimaan diri memiliki pengertian bahwa individu memiliki
sikap yang positif dan merupakan cerminan dari perasaan puas terhadap diri sendiri, dengan kualitas-kualitas dan bakat-bakat diri serta pengakuan akan
keterbatasan yang ada pada diri tujuan dan arah hidupnya Chaplin, 2004. Dalam penelitian terdapat nilai rataan dimensi penerimaan diri yang paling rendah
Universitas Sumatera Utara
57
mean=2,84, SD=0,87, yang memiliki arti bahwa para responden masih belum memiliki penilaian positif terhadap kualitas hidup dan belum mampu bersikap
positif atau menerima diri dalam kehidupan yang sedang dijalani. Hal ini didukung dengan pernyataan Campton 2005 yang menyatakan bahwa individu
yang menilai positif diri sendiri adalah individu yang memahami dan menerima berbagai aspek diri termasuk didalamnya kualitas baik maupun buruk, dapat
mengaktualisasikan diri, berfungsi optimal dan bersikap positif terhadap kehidupan yang dijalaninya. keyakinan dan kepercayaan diri yang cukup untuk
dapat memberi arti kehidupan demi pencapaian masa depan. Akan tetapi, nilai yang rendah pada dimensi penerimaan diri bukan berarti bahwa semua responden
tidak dapat mengakui keterbatasan yang ada pada dirinya melainkan para responden masih belum memiliki semangat yang optimal dalam menerima
keadaan dirinya. Pada dimensi tujuan dan makna yang memiliki nilai mean 3,29 dan
standard deviasi 0,66. Dimensi tujuan dan makna hidup memiliki pengertian individu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya. Dalam
penelitian ini, responden memiliki keyakinan dan kepercayaan diri yang cukup untuk dapat memberi arti kehidupan demi pencapaian masa depan. Ryff 1995
mengatakan individu yang tinggi dalam dimensi ini adalah individu yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasakan arti dalam hidup masa kini
maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup serta memiliki tujuan dan sasaran hidup. Sebaliknya individu yang rendah
dalam dimensi tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, arah dan cita-cita yang tidak jelas, tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di
Universitas Sumatera Utara
58
masa lalu, serta tidak mempunyai harapan atau kepercayaan yang memberi arti pada kehidupan.
Nilai yang dihasilkan pada dimensi otonomi adalah 3,18 dengan standard deviasi 0,84, yang berarti bahwa responden masih mampu dengan baik
menggunakan kebebasan untuk mengungkapkan pendapat tentang menghadapi tekanan dari lingkungan sekitar yang bertujuan positif bagi kesejahteraan
psikologis dalam menghadapi situasi yang sedang dialami responden. Hal ini didukung oleh pernyataan Dwipayama 2010 yang menyatakan bahwa individu
yang memiliki otonomi yang tinggi ditandai dengan bebas serta mampu untuk menentukan nasib sendiri self-determination dan mengatur perilaku diri sendiri,
kemampuan mandiri, mampu untuk melawan atau menghadapi tekanan sosial, mampu mengevaluasi diri sendiri, mampu mengambil keputusan tanpa adanya
campur tangan orang lain, dan mampu untuk mengatur tingkah laku. Dilanjut dengan penyataan Ryff 1995 yang menyatakan bahwa sebaliknya individu yang
rendah dalam dimensi otonomi akan sangat memperhatikan dan
mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, serta mudah terpengaruh
oleh tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu. Pada hasil penelitian kesejahteraan psikologis terhadap pasien kanker
payudara terdapat nilai yang hampir sama pada aspek dimensi kesejahteraan psikologis, yaitu dimensi penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi yaitu
mean 3,03 SD=0,84 pada dimensi penguasaan lingkungan dan 3,06 SD=0,78 pada dimensi pertumbuhan pribadi. Pertumbuhan pribadi yang dimaksud adalah
kemampuan individu memandang diri sebagai individu yang selalu tumbuh dan
Universitas Sumatera Utara
59
berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki dan hal ini berkaitan erat
dengan penguasaan lingkungan individu tersebut yang digambarkan dengan kemampuan individu untuk mengatur lingkungannya, dengan memanfaatkan
kesempatan yang ada di lingkungan. Pertumbuhan pribadi tidak akan dapat tercapai jika individu tersebut tidak dapat menciptakan lingkungan yang sesuai
dengan pribadinya. Jika salah satu dimensi tersebut memiliki nilai negatif maka individu atau responden akan sulit beradaptasi dan berkembang serta tidak
menyadari potensi yang dimiliki dan selalu memiliki nilai negatif dengan lingkungan sekitar, sehingga tidak tercapainya penerimaan diri. Hal ini didukung
oleh pernyataan Dwipayama 2010 yang menyatakan individu yang memiliki pertumbuhan pribadi rendah akan menunjukkan bahwa individu tidak merasakan
adanya kemajuan dan potensi diri dari waktu ke waktu, merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, serta merasa tidak mampu untuk mengembangkan
sikap atau tingkah laku baru. Dengan demikian, penerimaan diri yang rendah akan didukung oleh optimalnya pertumbuhan pribadi individu tersebut, sehingga
penerimaan diri respondendapat tercapai melalui peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu. Sebaliknya jika individu yang tinggi dalam
dimensi pertumbuhan pribadi ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sebagai
individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman- pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang
dimiliki dan dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan
Universitas Sumatera Utara
60
memiliki pengetahuan yang bertambah. Demikian juga halnya dengan penyataan Ryff 1995 bahwa penguasaan lingkungan digambarkan dengan kemampuan
individu untuk mengatur lingkungannya, dengan memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, menciptakan, dan mengontrol lingkungan sesuai dengan
kebutuhan. Individu yang tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Individu tersebut dapat
mengendalikan aktifitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan
kesempatan yang ada di lingkungan, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi.
Dari hasil penelitian, nilai mean dimensi penerimaan diri memiliki nilai yang paling rendah jika dibandingkan dengan dimensi lain yang berarti responden
masih belum bisa menerima keadaan dan kondisi kehidupan yang sedang dijalaninya, sehingga perlu dilakukan peningkatan pada dimensi ini agar
kesejahteraan psikologis dapat tercapai dengan optimal. Tetapi bukan berarti dimensi-dimensi lain bias diabaikan. Pada dimensi yang memiliki nilai tinggi
seperti hubugan positif dengan orang lain, tujuan dan makna hidup, otonomi, pertumbuhan pribadi serta penguasaan lingkungan harus dipertahankan agar tidak
mengalami penurunan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis yang
memiliki aspek 6 dimensi yaitu dimensi otonomi, dimensi penguasaan lingkungan, dimensi pertumbuhan pribadi, dimensi hubungan positif dengan
orang lain, dimensi tujuan dan makna hidup dan dimensi penerimaan diri saling berkaitan erat satu sama lain atau dengan kata lain salah satu aspek kesejahteraan
Universitas Sumatera Utara
61
psikologis tidak boleh terpisah atau berdiri sendiri. Kesejahteraan psikologis dapat tercapai apabila individu memiliki kebebasan memberikan pendapat tentang
tujuan dan makna hidup yang akan dicapai atau harapan yang dimiliki dalam pencapaian cita – cita hidup. Dalam pencapaian tujuan dan makna hidup
diperlukan pertumbuhan pribadi yang positif dan memandang dirinya selalu tumbuh dan berkembang dan individu tersebut mampu menguasai lingkungan
tanpa memiliki pikiran – pikiran negatif terhadap lingkungan sekitar atau menjalin hubungan positif dengan orang lain, sehingga individu tersebut dapat menerima
dirinya dan mengaktualisasikan diri, berfungsi optimal dan bersikap positif terhadap kehidupan yang dijalani.
Universitas Sumatera Utara
62