kerja kedua sistem antagonis tersebut Sutalaksana, 1979. Apabila sistem penggerak lebih kuat dari sistem penghambat, maka keadaan
orang tersebut ada dalam keadaan segar untuk bekerja. Sebaliknya, apabila sistem penghambat lebih kuat dari sistem penggerak maka orang akan mengalami kelelahan.
Itulah sebabnya, seseorang yang sedang lelah dapat melakukan aktivitas secara tiba- tiba apabila mengalami suatu peristiwa yang tidak terduga ketegangan emosi.
Demikian juga kerja yang monoton bisa menimbulkan kelelahan walaupun beban kerjanya tidak seberapa. Hal ini disebabkan karena sistem penghambat lebih kuat
daripada sistem penggerak Sutalaksana, 1979.
2.3.5 Akibat Kelelahan Kerja
Kelelahan dapat kita ketahui dari gejala-gejala atau perasaan-perasaan yang sering timbul seperti :
1. Perasaan berat di kepala, menjadi lelah seluruh tubuh, kaki terasa berat, menguap, pikiran kacau, mengantuk, mata berat, kaku dan canggung dalam
gerakan, tidak seimbang dalam berdiri dan merasa ingin berbaring. 2. Merasa susah berfikir, lelah berbicara, menjadi gugup, tidak dapat
berkonsentrasi, tidak mempunyai perhatian terhadap sesuatu, cenderung untuk lupa, kurang kepercayaan, cemas terhadap sesuatu, tidak dapat mengontrol
sikap dan tidak tekun dalam pekerjaan. 3. Merasa sakit kepala, kekakuan bahu, merasa nyeri di punggung, pernafasan
merasa tertekan, suara serak, merasa pening, spasme dari kelopak mata, tremor pada anggota badan dan kurang sehat badan Suma’mur, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Gejala-gejala yang termasuk kelompok 1 menunjukkan pelemahan kegiatan, kelompok 2 menunjukkan pelemahan motivasi dan kelompok 3 menunjukkan
kelelahan fisik akibat psikologis. Dalam studi efek kelelahan harus dipahami bahwa gejala umum dari
kelelahan kerja merupakan sebagai suatu hasil dari aktivitas yang panjang. Gejala kelelahan berikut merupakan gejala yang jelas dilihat dan dirasakan, yaitu
menurunnya perhatian, lamban dalam bergerak, gangguan persepsi, pikiran melemah, motivasi menurun, kinerja menurun, ketelitian menurun dan kesalahan meningkat
Grandjean,1985.
2.3.6 Pengukuran Kelelahan Kerja
Beberapa parameter yang digunakan untuk mengukur kelelahan kerja antara lain: Waktu reaksi Seluruh Tubuh atau Whole Body Reaction Tester WBRT, uji
ketuk jari Finger Taping Test, uji Flicker fusion, uji Critical Fusion, uji Bourdon Wiersma, skala kelelahan IFRC Industrial Fatique Rating Comite, skala Fatique
rating FR skala, Ekskresi Katikolamin, Stroop Test Suma’mur, 2009. Menurut Setyawati 2010, suatu instrumen yang dapat dipergunakan untuk
pengukuran kelelahan kerja secara ideal telah sejak lama diharapkan oleh para pemegang unit-unit kerja maupun oleh pihak-pihak yang menaruh perhatian terhadap
masalah kelelahan kerja. Pada tahun 1957 diutarakan oleh Pearson bahwa belum terdapat alat ukur yang dapat secara memadai untuk mengukur kelelahan, bahkan
oleh Broadbent tahun 1979 disebutkan bahwa penilaian perasaan kelelahan kerja hanya sebagian saja yang ada hubungan dengan pengukuran secara fisiologis. Pada
tahun 1995 oleh Grandjean masih dikemukakan bahwa sampai saat itu belum terdapat suatu cara pengukuran kelelahan fisiologis dan psikologis yang dapat dipakai secara
sempurna dalam setiap macam industri. Hampir semua ahli ergonomi mengakui kebenaran pendapat Grandjean ini. Kesenjangan ini masih dilontarkan oleh Phoon
Universitas Sumatera Utara
pada tahun 1988 bahwa belum terdapat suatu alat yang khusus untuk mengukur kelelahan kerja. Parameter-parameter yang pernah diungkapkan beberapa peneliti
untuk mengukur kelelahan kerja ada bermacam-macam antara lain adalah:
a. Pengukuran Waktu Reaksi