ANALISIS TENTANG PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP PELANGGARAN PASAL 2 UNDANG UNDANG DARURAT NOMOR 12 TAHUN 1951 YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI POLRESTA SURAKARTA

(1)

commit to user

ANALISIS TENTANG PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP PELANGGARAN PASAL 2 UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 12

TAHUN 1951 YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI POLRESTA SURAKARTA

(Studi Kasus Perkara No Pol. A/LP/1933/XII/2009/SPK.III)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

SISWANTO E.1104198

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA


(2)

commit to user

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

ANALISIS TENTANG PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP PELANGGARAN PASAL 2 UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 12

TAHUN 1951 YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI POLRESTA SURAKARTA

(Studi Kasus Perkara No Pol. A/LP/1933/XII/2009/SPK.III)

Disusun oleh : SISWANTO

E.1104198

Disetujui untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing

KRISTIYADI, S.H. M.Hum NIP. 19581225 198601 1 001


(3)

commit to user

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

ANALISIS TENTANG PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP PELANGGARAN PASAL 2 UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 12

TAHUN 1951 YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI POLRESTA SURAKARTA

(Studi Kasus Perkara No Pol. A/LP/1933/XII/2009/SPK.III)

Disusun oleh :

SISWANTO NIM. E.1104198

Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

pada :

Hari : Selasa

Tanggal : 18 Januari 2011

TIM PENGUJI

1. Edy Herdyanto, S.H.,M.H (……….) NIP : 19570629 198503 1 002

2. Bambang Santoso, S.H.,M.Hum (……….) NIP : 19620209 198903 1 001

3. Kristiyadi, S.H.,M.Hum (……….) NIP : 19581225 198601 1 001

MENGETAHUI Dekan,

Mohammad Jamin, S.H. M.Hum NIP. 19610930 198601 1 001


(4)

commit to user

iv

M O T T O

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada

Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (Q.S Alam Nasyrah: 6-8)

“Berhenti berusaha adalah tidak lebih baik dari pada seorang pengecut”


(5)

commit to user

v

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan sebuah tulisan sederhana ini sebagai wujud syukur, cinta, dan terima kasih kepada :

Allah SWT, Atas segala karunia rahmat dan nikmat yang telah diberikan-Nya

Ibuku dan Bapakku, Trima kasih atas semua waktu dan semua kasih sayang yang Kau curahkan padaku.

Keluarga besarku dan saudaraku atas Keceriaan dan Semangat yang diberikan


(6)

commit to user

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan, pembawa terang di alam nyata dan sumber dari segala-Nya. Pemilik segala cinta yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia kepada kita. Dengan terselesainya Penulisan Hukum (Skripsi) dengan judul ”ANALISIS TENTANG PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP PELANGGARAN PASAL 2 UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 12 TAHUN 1951 YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI POLRESTA SURAKARTA (Studi Kasus Perkara No Pol. A/LP/1933/XII/2009/SPK.III)”.

Penulisan hukum ini dimaksudkan untuk melengkapi salah satu persyaratan untuk menempuh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Juga menambah wawasan atau pengetahuan setiap pembaca karya ilmiah ini. Penulis menyadari bahwa, terselesainya penulisan hukum ini karena bantuan, bimbingan, petunjuk, dukungan moral dan spiritual dari berbagai pihak yang selalu diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini.

Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Syamsulhadi, dr. Sp., KJ. Selaku Rektor Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Mohammad. Jamin, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin dan kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Kristiyadi, S.H.,M.Hum, Selaku Dosen Hukum Acara Pidana, sekaligus sebagai dosen pembimbing penulisan skripsi ini yang telah menyediakan waktu dan pikiranya untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunya skripsi ini.

4. Bapak Edy Herdyanto, S.H.,M.H, Selaku Ketua Bagian Acara, atas nasehat yang berguna bagi penulis selama belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.


(7)

commit to user

vii

5. Bapak Bambang Santoso, S.H.,M.Hum, Selaku Dosen Hukum Acara Pidana, atas nasehat yang berguna bagi penulis selama belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan ilmu kepada penulis, sehingga dapat menjadi bekal dalam penulisan skripsi ini.

7. Kompol Nana Sudjana selaku Kapolresta Surakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Polresta Surakarta.

8. Brigadir Herawan Prasetyo Budi, SH. selaku Penyidik Pembantu yang telah memberikan bimbingan, bantuan, waktu, tenaga, pikiran dan pelayanan terbaiknya, dalam memberikan informasi yang penulis butuhkan, sehingga dapat mempermudah dalam penulisan skripsi ini.

9. AKP Sri Wahyuni selaku Kanit PPA yang telah meluangkan waktu dan kesempatan kepada penulis untuk membimbing dan memberikan informasi yang penulis butuhkan demi penyusunan skripsi ini.

10. Kedua orang tuaku yang telah mendidik, mengorbankan semuanya demi anak-anaknya, doa, cinta, kasih sayang dan ridho kalian menjadi kekuatan dan bekal dalam menjalankan kehidupan ini.

11. Keluarga besarku, terima kasih atas perhatian, nasehat, dukungan, doa, dan pengorbanannya selama ini.

12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan penulisan hukum ini, dan teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini belum sempurna, kritik dan saran membangun atas penulisan hukum ini senantiasa penulis harapkan demi perbaikan dan kemajuan penulis di masa datang. Penulis berharap penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi siapa saja yang membacanya.

Surakarta, Januari 2011


(8)

commit to user

viii

DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

ABSTRAK ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Metode Penelitian... 6

1. Jenis Penelitian ... 6

2. Sifat Penelitian ... 6

3. Lokasi Penelitian ... 7

4. Data dan Sumber Data ... 7

5. Metode Pengumpulan Data... 8

6. Metode Analisis Data ... 9

F. Sistematika Skripsi... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori... 12

1. Tinjauan tentang Penyelidikan dan Penyidikan ... 12

a. Penyelidikan ... 12


(9)

commit to user

ix

c. Beberapa Upaya yang Dimiliki Penyidik dalam

Penyidikan ... 15

d. Hubungan antara Penyelidikan dan Penyidikan ... 17

e. Pejabat Penyidik ... 17

f. Kepangkatan Penyidik ... 19

g. Alasan-alasan Diadakannya Penyidikan ... 19

h. Tindakan Penyidikan ... 12

i. Tinjauan Tentang Penghentian Penyidikan ... 21

2. Tinjauan tentang Anak ... 25

a. Pengertian Anak ... 25

b. Pertanggungjawaban Pidana Anak ... 29

c. Tersangka Anak ... 34

3. Tinjauan tentang Undang-undang Darurat Nomor 12Tahun 1951... 36

B. Kerangka Pemikiran ... 39

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penyidikan Terhadap Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Anak di Polresta Surakarta dalam Perkara No Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III ... 41

B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Penghentian Penyidikan terhadap Pelanggaran Pasal 2 Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 yang Dilakukan Anak Kasus Perkara No Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III... 56

BAB IV PENUTUP A. Simpulan ... 59

B. Saran-saran ... 60 DAFTAR PUSTAKA


(10)

commit to user

x

DAFTAR GAMBAR

Hal. 1. Teknik Analisis Data ... 9 2. Kerangka Berpikir ... 39


(11)

commit to user

xi ABSTRAK

SISWANTO. E. 1104198. ANALISIS TENTANG PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP PELANGGARAN PASAL 2 UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 12 TAHUN 1951 YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI POLRESTA SURAKARTA (Studi Kasus Perkara No Pol. A/LP/1933/XII/2009/SPK.III). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Penulisan Hukum (Skripsi). 2011.

Penulisan Hukum ini bertujuan mengetahui pelaksanaan penyidikan dan penghentian penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak di Polresta Surakarta dalam perkara No Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III serta faktor-faktor penyebabnya.

Penelitian Hukum ini merupakan penelitian hukum empiris bersifat deskriptif. Lokasi penelitian di Polresta Surakarta. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu melalui wawancara dan penelitian kepustakaan baik berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen, internet dan sebagainya. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif dengan model interaktif.

Hasil pengujian terhadap dua permasalahan diketahui bahwa, Pertama, pelaksanaan penyidikan, terlebih dulu dilakukan penyelidikan guna menentukan kebenaran terhadap tindak pidana yang terjadi. Penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana didasarkan pada UU No. 3 Tahun 1997 dan KUHAP. Dalam kasus yang diangkat dalam penelitian ini telah melanggar Pasal 2 Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 yaitu menyimpan, memiliki dan membawa senjata tajam jenis Pisau pemotong daging. Dengan demikian polisi telah menemukan bukti permulaan yang cukup untuk dilanjutkan dengan tindakan penyidikan. Kedua, faktor yang menyebabkan penghentian penyidikan yaitu Faktor yang menyebabkan penghentian penyidikan yaitu meskipun tersangka kedapatan bukti yang sah, akan tetapi barang bukti yang berupa senjata tajam jenis pisau pemotong daging tersebut belum pernah dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Menurut penulis, sebenarnya perbuatan membawa senjata tajam jenis pisau pemotong daging tersebut merupakan suatu tindak pidana, akan tetapi dalam hal ini polisi menggunakan diskresi yaitu menyangkut kebijaksanaan untuk pengambilan suatu keputusan pada situasi dan kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi seseorang.


(12)

commit to user

xii ABSTRACT

SISWANTO. E. 1104198. ANALYSIS OF INVESTIGATION AND TERMINATION OF INVESTIGATION ON VIOLATION OF ARTICLE 2 EMERGENCY ACT NUMBER 12 YEAR 1951 WHICH IS DONE BY CHILDREN IN POLRESTA SURAKARTA (Case study of Pol. Number A/LP/1933/XII/2009/SPL.III). FACULTY OF LAW SEBELAS MARET UNIVERSITY, Law Writing (Thesis). 2011.

This Law Writing has a purpose to know the carrying out of investigation and termination of investigation on crime is which done by children in Polresta Surakarta in case Pol. Number A/LP/1933/XII/2009/SPL.III and the cause of this.

This Law Research is an empiric and descriptive law research. The Location of research is in Polresta Surakarta. Data collection technique which is used is by interview and literature research of books, legislation act rules, document, internet and so on. Analysis of data is used qualitative data analysis with interactive model.

The results on two problems to be known that, Firstly, the carrying out of investigation, there is investigation conducted to determine the validity of related crime. Investigation on children which is accused in crime is based on UU No.3 Year 1997 and KUHAP. In the case which is taken in this research has been violated article 2 emergency act number 12 year 1951 that is, keeping, having and carrying a kind of blade which is butcher knife.So the police founded the adequate first prove to follow up to investigation. Secondly, the factor causing the termination of investigation is although the suspected have been proven, but the object of evidence which of the sharp knife for cutting meal never used to doing a crime.In my opinion, the act carry on the sharp knife for cutting meal is the crime but in these case the police consider.


(13)

commit to user

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Laju pertumbuhan penduduk yang pesat yang tidak sebanding dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi mengakibatkan banyaknya pengangguran. Sulitnya mencari pekerjaan dan meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat mengakibatkan penurunan kualitas hidup masyarakat, peningkatan jumlah anak putus sekolah, hal-hal tersebut mendorong munculnya berbagai tindak kriminalitas.

Terlebih adanya indikasi kurang efektif dan efisiennya penanggulangan tindak pidana terutama tindak pidana-tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak. Dari survei awal yang dilakukan penulis di wilayah Polresta Surakarta bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak cenderung meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Data sementara menunjukkan tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan berbagai aktivitasnya menunjukkan perubahan yang cukup berarti pada 2006 jumlah anak yang melakukan tindak pidana sebanyak 58 orang, 2007 sebanyak 87 orang, tahun 2007 mencapai 117 orang.

Jumlah anak-anak yang melakukan aktivitas di jalan cenderung meningkat dengan pesat, indikasi tersebut terlihat dengan jelas dengan meningkatnya aktivitas anak-anak dijalanan dengan bermacam-macam varian, mengemis, mengamen di “Traffic Light”, meminta-minta, menjual plastik di pasar dan lain-lain. Data Komisi Perlindungan Anak di Kota Surakarta sepanjang 2008 terdapat 31 kasus anak yang berarti ada penurunan dari 2007. Sedangkan di 2009 ada 28 kasus anak berhadapan dengan hukum dengan ditambah 12 kasus yang belum terselesaikan di 2008 dan 39,9 % di antaranya berakhir di penjara, sedangkan sisanya dikembalikan kepada orang


(14)

commit to user

tua atau walinya untuk dibimbing dan dibina (Data Komisi Perlindungan Anak di Kota Surakarta, 2010).

Salah satu perkara yang melibatkan anak-anak tersebut adalah yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu hasil pemeriksaan terhadap seorang laki-laki WAHYU ARIANTA als KENCHU dalam perkara tindak pidana Menyimpan, memiliki dan membawa senjata tajam jenis Pisau pemotong daging, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Darurat No. 12 Tahun 1951 yang dirumuskan:

Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-, steek-, of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

Hal-hal tersebut dapat memicu terjadinya tindak kriminal karena kurangnya pembinaan, pengawasan dari orang tua, wali, maupun pengasuh. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika, diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka di masa depan.

Semua jenis kejahatan atau tindak pidana untuk mengungkapnya perlu dilakukan penyidikan, baik yang pelakunya orang dewasa maupun masih tergolong anak. Dalam proses penyidikan kemungkinan tidak dapat ditemukan bukti-bukti yang kuat dan meyakinkan bahwa tersangka melakukan tindak pidana, maka demi hukum tersangka, baik itu orang dewasa maupun masih


(15)

commit to user

tergolong anak harus dibebaskan. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 109 ayat 2 KUHAP yang menegaskan adanya pemberian wewenang kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan yang sedang berjalan. Undang-undang telah menyebutkan secara limiatif alasan-alasan yang dapat dipergunakan penyidik sebagai dasar penghentian penyidikan. Penyebutan atau penggarisan alasan-alasan tersebut adalah penting, guna menghindari kecenderungan negatif pada diri penyidik. Dengan penggarisan ini, undang-undang mengharapkan supaya di dalam mempergunakan wewenang penghentian penyidikan, penyidik mengujikannya kepada alasan-alasan yang telah ditentukan. Tidak semaunya akan memberikan landasan perujukan bagi pihak yang merasa keberatan atas sah tidaknya penghentian penyidikan menurut hukum.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan pengertian yang tersendiri mengenai penghentian penyidikan. Dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP dijelaskan tentang alasan penghentian penyidikan atau penuntutan, berikut kutipan pasal tersebut

”Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan penyidik dihentikan demi hukum, maka penyelidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya” (Pasal 109 Ayat 2 KUHAP).

Dengan begitu undang-undang hanya menyebutkan tentang batasan alasan yang dapat dipergunakan penyidik sebagai dasar penghentian penyidikan. Menurut M Yahya Harahap (2000: 147-149) dari pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa alasan penghentian penyidikan terdiri dari:

a) Tidak diperoleh bukti yang cukup

Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan ke depan sidang pengadilan.


(16)

commit to user

b) Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana

Apabila hasil dari pemeriksaan dan penyidikan, penyidik berpendapat apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan pelanggaran atau kejahatan, dalam hal ini berwenang menghentikan penyidikan. Dan suatu keharusan bagi penyidik untuk menghentikan pemeriksaan penyidikan.

c) Penghentian penyidikan demi hukum

Penghentian atas dasar ini pada pokoknya sesuai dengan alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hapusnya hak menjalankan pidana yang diatur dalam Bab VIII KUHP, sebagaimana dalam dirumuskan dalam ketentuan Pasal 76, 77, 78, dan seterusnya.

Mencermati maraknya tanggapan masyarakat mengenai anak yang melakukan tindak pidana, sehingga diundangkan undang-undang yang memberikan proteksi dan perlindungan bagi anak yaitu Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan anak memiliki kaitan dengan permasalahan yang komplek dan tidak bisa diselesaikan hanya sebatas secara perseorangan, tetapi harus ditangani oleh semua pihak secara bersama-sama. Di dalam undang-undang ini diatur tentang hukum pidana anak yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dalam undang-undang ini mengatur pula tentang perlindungan hak-hak anak yang menjadi tersangka dalam tindak pidana, karena peradilan pidana untuk anak bukanlah semata sebagai penghukum, tetapi untuk perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak serta mencegah pengulangan tindakan dengan menggunakan pengadilan yang konstruktif. Dalam hal anak yang melakukan tindak pidana terdapat kebijakan kepolisian tersendiri dalam menanganinya, karena anak masih menjadi tanggung jawab orang tua dalam hal bimbingan dan binaan. Sehingga anak yang melakukan pidana yang diperkirakan tidak berat dan tidak merugikan negara, maka dapat dilakukan penghentian penyidikan dengan berbagai alasan dan pertimbangan.

Dalam hubungannya dengan prosedur penyidikan dan penghentian penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak, maka judul


(17)

commit to user

dalam Skripsi ini adalah ANALISIS TENTANG PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP PELANGGARAN PASAL 2 UNDANG-UNDANG DARURAT NO 12 TAHUN 1951 YANG DILAKUKAN ANAK (Studi Kasus Perkara No Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III) B. Batasan dan Rumusan Masalah

Suatu penelitian diperlukan ketegasan mengenai obyek, materi, metode dan tujuan penelitian dalam suatu pembatasan masalah untuk membimbing peneliti mengumpulkan data dan menganalisis data, sehingga diperoleh kesimpulan yang relevan dengan tujuan penelitian. Penelitian ini dibatasi pada penyelesaian penyidikan dan penghentian penyidikan atas perkara tindakan pidana yang dilakukan oleh anak.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak di Polresta Surakarta dalam perkara No Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III?

2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan penghentian penyidikan terhadap pelanggaran Pasal 2 Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 yang dilakukan anak dalam perkara No Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Objektif

a. Untuk mengetahui pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak di Polresta Surakarta dalam perkara No Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan penghentian penyidikan terhadap pelanggaran Pasal 2 Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 yang dilakukan anak dalam perkara No Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III.


(18)

commit to user 2. Tujuan Subyektif

Sebagai bahan untuk menyusun skripsi guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Hasil penelitian ini dimaksudkan sebagai bahan masukan pemikiran pada Polresta Surakarta.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis

a. Memberikan penjelasan kepada semua pihak tentang penyidikan dan penghentian penyidikan terhadap pelanggaran Pasal 2 Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 yang dilakukan anak dalam perkara No Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III di Polresta Surakarta.

b. Memberikan penjelasan kepada semua pihak tentang alasan mendasar penghentian penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

2. Manfaat teoritis

Dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya kesadaran dan kepatuhan terhadap pentingnya melaksanakan tertib hukum, kewajiban, kepatuhan dan kesadaran hukum di bidang lalu lintas. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian berikutnya yang sama atau hampir sama.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum empiris atau sosiologis. Penelitian hukum sosiologis/empiris mengungkapkan hukum yang hidup (law in action) dalam masyarakat melalui perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam memperoleh data dari data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan, baik yang


(19)

commit to user

dilakukan melalui pengamatan, wawancara ataupun penyebaran kuesioner (Soerjono Soekanto, 1984).

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum deskriptif, penelitian deskriptif adalah ”penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gajala lainya. Dalam hal ini yaitu termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Maksud dari penelitian deskriptif adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori lama, atau didalam kerangka menyusun teori baru” ( Soerjono Soekanto, 2005 : 10)

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Surakarta tepatnya pada Polresta Surakarta, Pemilihan lokasi ini dipertimbangkan karena di Polresta Surakarta terdapat data cukup lengkap termasuk kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Selain itu pula pihak Polresta Surakarta telah memberikan ijin kepada penulis, untuk mengumpulkan data guna menyusun skripsi ini.

4. Data dan Sumber Data a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah nara sumber yang diperoleh secara langsung di lapangan. Dalam hal ini sumber data primernya atau nara sumber adalah pihak yang terkait secara langsung dengan permasalahan yang diteliti dan dapat memberikan sejumlah data atau keterangan. Sumber data penelitian ini adalah anggota penyidik Polresta Surakarta dan petugas Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Surakarta.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah sejumlah data yang meliputi keterangan yang diperoleh melalui studi


(20)

commit to user

kepustakaan. Dalam hal ini meliputi buku-buku, berbagai macam peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini terdapat materi penelitian yang dijadikan pokok pembahasan dan menentukan identifikasi data. Adapun materi penelitian ini meliputi :

1) Bahan Hukum Primer

Adapun bahan hukum primer penelitian ini adalah sebagai berikut : a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

c) Undang-undang Darurat No 12 Tahun 1951 tentang Mengubah

Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen (Stbl. 1948

Nomor 17) dan Undang-undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948

d) Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

e) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI b. Bahan Hukum Sekunder

Adalah bahan hukum yang berkaitan tentang penyidikan dan penghentian penyidikan atas perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dalam perkara No Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III yang ditangani oleh Polresta Surakarta yang dapat berupa berkas pemeriksaan, Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP).

c. Bahan Hukum Tertier

Adalah bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yakni kamus hukum, kamus besar bahasa Indonesia.

5. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini dipergunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :


(21)

commit to user a. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan digunakan untuk mendapatkan data primer, yakni dengan mengadakan penelitian langsung dilapangan terhadap gejala-gejala dan pencatatan secara sistematik. Adapun teknik ini dengan menggunakan teknik wawancara, yakni teknik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan wawancara yang terarah kepada pelaku dan saksi perkara tindak pidana yang dilakukan anak dan juga pada pihak penyidik Polresta Surakarta, kemudian mencatat jawaban yang diberikan, baik lisan maupun tulisan, berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dibuat peneliti.

b. Studi Kepustakaan (Library Research)

Disamping itu dalam penelitian ini juga diperlukan data sekunder yakni data yang didapat dengan cara mempelajari buku-buku referensi perpustakaan, yakni berupa dokumentasi dan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, namun bahannya memiliki relevansi kuat dengan masalah yang penulis teliti saat ini. 6. Metode Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Pengertian analisis kualitatif adalah cara pemilihan yang menghasilkan data-data deskriptif analisis, yakni “apa yang dinyatakan responden secara tertulis atau lisan dan juga perilaku nyata yang diteliti dan dipelajari secara utuh” (Soerjono Soerkanto, 1984: 30).

Penulis memperoleh data-data dari responden secara tertulis maupun lisan, kemudian dikumpulkan. Untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Langkah berikutnya dicari hubungannya dengan data yang ada dan disusun secara logis, sistematis dan yuridis.


(22)

commit to user

Gambar 1. Teknik Analisis Data (HB. Sutopo, 2000 : 91-96)

F. Sistematika Skripsi

Dalam penulisan laporan penelitian dalam bentuk skripsi akan digunakan sistimatika skripsi sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini akan disajikan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II. LANDASAN TEORI

Dalam bab landasan teori ini akan disajikan beberapa teori yang dijadikan acuan dalam penelitian ini diantaranya pengertian penyidikan, alasan-alasan diadakannya penyidikan, tindakan penyidikan, penghentian penyidikan, pengertian anak, tersangka anak

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Dalam bab ini akan dibahas tentang hasil penelitian diantaranya tentang pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak di Polresta Surakarta dalam perkara No Pol.

Pengumpulan Data

Kesimpulan atau Verifikasi

Sajian Data Reduksi


(23)

commit to user

A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III. Faktor-faktor yang menyebabkan penghentian penyidikan terhadap pelanggaran Pasal 2 Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 yang dilakukan anak kasus perkara No Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III.

BAB IV PENUTUP

Bab terakhir dalam penelitian ini adalah berisi simpulan dan beberapa saran.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(24)

commit to user

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Penyelidikan dan Penyidikan a. Penyelidikan

Istilah penyelidikan telah dikenal dalam Undang-undang No 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, namun tidak dijelaskan artinya. Definisi mengenai penyelidikan dijelaskan oleh Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Undang-undang Hukum Acara Pidana, Pasal (5): Yang dimaksud dengan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan, penyelidikan berfungsi untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang sesungguhnya telah terjadi dan bertugas membuat berita acara serta laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan. Istilah penyidikan dipakai sebagai istilah yuridis atau hukum pada tahun 2002 yaitu sejak dimuat dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara.

b. Tinjauan tentang Penyidikan

Dalam skripsi ini dikemukakan pengertian-pengertian penyidikan secara gramatikal serta secara yuridis. Secara gramatikal dalam kamus besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka cetakan kedua tahun 1989 halaman 837 dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik yang diatur oleh undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana. Asal kata penyidikan adalah sidik yang berarti periksa, menyidik, menyelidik atau mengamat-amati. Secara yuridis dalam Pasal 1 butir (2) KUHAP dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam


(25)

undang-commit to user

undang ini untuk mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Pengertian penyidikan menurut para ahli hukum menyatakan bahwa penyidikan adalah suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsproring (Belanda), investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia). Menurut De Pinto sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengat kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum (Andi Hamzah, 1996).

Menurut UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 1 butir (2) menentukan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya.

Pekerjaan penyidikan dimaksudkan sebagai suatu persiapan kearah pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam taraf penyidikan diharapkan segala kegiatan untuk memperoleh jawaban sementara atas pertanyaan apakah telah terjadi suatu perbuatan pidana, dan jika demikian siapa pelakunya, dimana dan dalam keadaan bagaimana perbuatan pidana itu dilakukan. Apabila dalam penyidikan ini didapat hasil yang diharapkan dapat memberi jawaban atas pertanyaan tersebut di atas maka tindakan dapat diteruskan dalam ujud penyidikan lanjutan. Penyidikan yang baik yang hasilnya telah diuji dengan hukum pembuktian menurut undang-undang, akan sangat membantu pada berhasilnya pekerjaan penuntutan. Polisi dengan segala kelengkapannya penyidikan dan pengusutannya diharapkan dapat memperlancar tugas penyelesaian pengajuan perkara pidana ke pengadilan yang akan dilakukan oleh kejaksaan.

Tugas penyidikan dan tugas penuntutan dalam suatu proses penyelesaian perkara pada hakekatnya juga menggambarkan bahwa tugas


(26)

commit to user

penyidikan adalah tidak lain daripada tindakan persiapan tugas penuntutan (Soehardi, 1993).

Penyidikan dapat berupa pemanggilan, pemeriksaan, penyitaan, maupun penahanan orang, yang kesemuanya erat hubunganya dengan hak asasi seseorang. Memang tidak dapat disangkal lagi, bahwa penyidikan itu bersifat inquisiator, dalam pemeriksaan tidak dilakukan di muka umum sebagaimana dalam sidang pengadilan. Sehubungan dengan sifat

inquisitoir dalam penyidikan ini, perlu adanya aturan-aturan untuk

menjaga agar jangan sampai timbul ekses-ekses selama pemeriksaan dalam penyidikan.

Penyidikan mencakup penyelidikan tindak pidana atau pengaduan, memanggil, dan memeriksa saksi-saksi termasuk merubah status penahanan tersangka, menggeledah, menyita, memeriksa surat yang dalam keadaan tertentu dapat meminta keterangan dari ahli, membuat resume hasil penyidikan dan memberitahukan penyidikan kepada penuntut umum.

Sebelum dilakukan kegiatan penyidikan akan dilakukan penyelidikan, KUHAP memberi pengertian penyelidikan sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menentukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini. Tugas utama dari penyelidik adalah penerimaan laporan dan pengaturan serta menghentikan orang yang dicurigai untuk dilakukan pemeriksaan. Bermula dari pengertian penyelidikan sebagaimana digariskan pada Pasal 1 angka 5 KUHAP tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penyelidikan adalah tindakan yang dilakukan oleh pejabat penyelidik dalam rangka mempersiapkan suatu penyelidikan terhadap suatu tindak pidana.(Harun 1991)

Hal ini dilatarbelakangi bahwa tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana menampilkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut melakukan penyidikan dengan konsekuensi menggunakan upaya paksa, perlu


(27)

commit to user

ditentukan terlebih dahulu berdasarkan data atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi tersebut benar merupakan suatu tindak pidana dan dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan. Oleh karena itu M. Yahya Harahap dalam Harun (1991) mengatakan bahwa penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan, akan tetapi penyelidikan bukanlah suatu tindakan atau fungsi yang berdiri sendiri terpisah dari penyidikan.

Semua tindakan yang dilakukan dalam rangka proses penyidikan di atas dibuat secara tertulis yang untuk selanjutnya diberkaskan dalam satu bendel berkas. Selanjutnya apabila penyidikan dianggap sudah selesai barulah berkas perkara dikirimkan kepada penuntut umum, berikut tersangka dan barang bukti. Jika oleh penuntut umum dianggap telah cukup maka tugas dan wewenang penyidik telah selesai, Sedangkan jika menurut penuntut umum masih terdapat kekurangan, maka penyidik harus melengkapi kekurangan tersebut.

c. Beberapa Upaya yang Dimiliki Penyidik dalam Penyidikan

Dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai penyidik diberi kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut :

1) Penangkapan

Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Polisi sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pelaksanaan tugas penangkapan sebagaimana dimaksud dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara yang dipersangkakan. Tembusan surat perintah


(28)

commit to user

penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. Sedangkan dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik. Penangkapan dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari, setelah habis waktu 1 hari (1x24 Jam) maka tersangka wajib dilepaskan atau dilakukan penahanan. Masa penangkapan tersebut nantinya dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.

2) Penahanan

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Polisi sebagai penyidik berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Sedangkan untuk kepentingan penuntutan penahanan juga dapat dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dapat diperpanjang


(29)

commit to user

untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan daerah hukumnya.

3) Pengeledahan

Pengeledahan terdiri dari pengeldahan rumah dan Pengeledahan Badan. Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP, sedangkan Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang didup keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita.

4) Penyitaan.

Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

d. Hubungan antara Penyelidikan dan Penyidikan

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan (Pasal 1 butir 5). Dengan demikian fungsi penyelidikan dilaksanakan sebelum dilakukan penyidikan, yang bertugas untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang telah terjadi dan bertugas membuat berita acara serta laporan yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan.

e. Pejabat Penyidik

Penyidik menurut UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP pada Pasal 1 ayat (1) adalah Pejabat Polisi negara Republik Indonesia atau Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, maka yang melakukan tugas sebagai penyidik adalah:


(30)

commit to user 1) Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. 2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

Penyidik pejabat polisi negara tersebut diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, yang dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada pejabat polisi lain. Sedangkan penyidik yang berasal dari Pejabat Pegawai Negeri Sipil diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul Departemen yang membawahi pegawai tersebut. Wewenang tersebut dapat dilimpahkan pula oleh Menteri Kehakiman. Sebelum pengangkatan Menteri Kehakiman harus terlebih dahulu meminta pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Andi Hamzah, 1996).

Pejabat polisi merupakan penyidik utama di dalam perkara- perkara Pidana disamping penyidik dari Pejabat Pegawai Negeri Sipil, hal ini telah diatur pada UU No. 8 Tahun 1981 Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b. Dalam pada itu, untuk mendukung tugas Kepolisian sebagai penyidik, maka diatur pula di dalam KUHAP kewajiban dan wewenang Pejabat Polisi dalam kegiatan penyidikan. Hal ini dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara.

Dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP, karena kewajibannya penyidik meiliki wewenang:

1) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindeak pidana;

2) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

3) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; 5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

7) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

8) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

9) Mengadakan penghentian penyidikan;


(31)

commit to user f. Kepangkatan Penyidik

Berdasarkan Bab II Pasal 2 Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur tentang Syarat Kepangkatan dan Pengangkatan Penyidik yang merumuskan bahwa penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan 11/b) atau yang disamakan dengan itu. Dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya adalah penyidik.

Penyidik pembantu adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan 11/a) atau yang disamakan dengan itu.

g. Alasan-Alasan Diadakannya Penyidikan

Bila terjadi peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana, alat negara atau penegak hukum (penyidik) wajib melakukan penyidikan. Dalam melakukan tugas tersebut hukum acara pidana memberikan wewenang kepada mereka untuk melakukan tindakan-tindakan yang pada hakikatnya merupakan pengurangan terhadp hak azasi tersangka/terdakwa sebagai manusia. Tujuan penyidikan adalah untuk menemukan siapa yang telah melakukan tindak pidana dan mencari pembuktian kesalahan yang telah dilakukannya.

Untuk mencapai maksud tertentu maka penyidik dalam menghimpun keterangan-keterangan sehubungan dengan fakta-fakta atau peristiwa tertentu mengenai :

1) Faktor tentang suatu tindak pidana; 2) Identitas suatu tindak pidana;


(32)

commit to user 4) Waktu terjadinya tindak pidana;

5) Apa yang menjadi motif tujuan serta maksud mengadakan tindak pidana;

6) Identitas pelaku tindak pidana (Bawengan, 1977 : 54).

Penyidikan dilakukan setelah terjadinya tindak pidana, tujuan utamanya adalah untuk :

1) Mengetahui tindakan apa yang telah dilakukan. 2) Kapan tindak pidana itu dilakukan

3) Di mana tindak pidana itu dilakukan 4) Dengan apa tindak pidana itu dilakukan 5) Bagaimana tindak pidana itu dilakukan 6) Mengapa tindak pidana itu dilakukan 7) Siapa pelakunya.

h. Tindakan Penyidikan

1) Penanganan dan pengolahan tempat kejadian perkara (TKP)

Penanganan tempat kejadian perkara (TKP) adalah tindakan penyidik atau penyidik pembantu yang dilakukan di TKP, yang menyelenggarakan kegiatan dan tindakan kepolisian yang dilakukan di TKP, terdiri dari: tindakan pertama, dan pengolahan TKP.

2) Pencarian dan pengumpulan barang bukti

Pengumpulan dan pengambilan barang bukti dilakukan dilakukan dengan cara yang benar disesuaikan dengan bentuk atau macam barang bukti yang dapat berupa benda padat, cair dan gas.

3) Penindakan

Penindakan setiap tindakan hukum yang dilakukan terhadap orang maupun benda yang ada hubunganya dengan tindak pidana yang terjadi. Beberapa tindakan yang dilakukan proses penyidikan dapat berupa pemanggilan tersangka dan saksi, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

4) Pemeriksaan

Pemeriksaan adalah kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan, dan keidentikan tersangka dan atau saksi dan atau b arang bukti maupun


(33)

commit to user

tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam tindak pidana tersebut menjadi jelas dan dituangkan di dalam berita acara pemeriksaan. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara interview, intergrasi, konfrontasi, rekonstruksi, dan sebagainya.

5) Penyelesaian dan penyerahan b erkas perkara

Para penyidik yang melaksanakan seluruh rangkaian proses penyidikan kemudian menuangkan hasil penyidikan tersebut ke dalam berita acara pemeriksaan (BAP) (Zulkarnaen, 2006:31-45).

i. Tinjauan tentang Penghentian Penyidikan

Untuk menegakkan prinsip penegakan hukum yang cepat, tepat, biaya ringan dan sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Sebab apabila penyidik sudah berkesimpulan bahwa berdasar hasil penyelidikan dan penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka di muka persidangan, untuk apa penyidik harus berlarut-larut menangani dan memeriksa si tersangka. Lebih banik penyidik secara resmi menyatakan penghentian pemeriksaan penyidikan, agar dengan demikian segera tercipta kepastian hukum baik dari bagi penyidik itu sendiri terutama bagi tersangka dan masyarakat.

Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka apabila diajukan ke depan sidang pengadilan. Atas dasar kesimpulan ketidakcukupan bukti inilah penyidik berwewenang menghentikan penyidikan. Apabila ditinjau dari satu segi, pemberian wewenang ini akan membina sikap mental dari penyidik untuk tidak secara serampangan mengajukan begitu saja segala hasil penyidikan yang telah dilakukannya. Penyidik diharapkan akan lebih selektif mengajukan setiap kasus yang diperiksa, apakah cukup bukti atau tidak sebelum perkara dilimpahkan ke tangan penuntut umum untuk diteruskan ke pengadilan sekalipun. Ada atau tidak ada bukti, penyidik tidak peduli, sekali tindak pidana diperiksa, ajukan terus ke pihak penuntut umum untuk diteruskan ke pengadilan sekalipun sering sekali dijumpai tidak ada bukti


(34)

commit to user

yang dapat diperpegangi. Penyidik tidak mungkin untuk menyidik dan memeriksa suatu tindak pidana yang tidak pernah dihentikan penyidikannya atas alasan tidak cukup bukti. Penghentian penyidikan atas alasan tidak cukup bukti, sama sekali tidak membawa akibat hapusnya wewenang penyidik untuk menyidik dan memeriksa kembali kasus tersebut. Apabila ternyata di kemudian hari penyidik dapat mengumpulkan bukti-bukti yang cukup dan memadai untuk menuntut tersangka, penyidikan dapat dimulai lagi. Penyelidikan dapat dimulai lagi karena ditinjau dari segi hukum formil, penghentian penyidikan tidak termasuk kategori “nebis ini idem”. Sebab penghentian penyidikan bukan termasuk ruang lingkup putusan peradilan, penyidik baru bertarap kebijaksanaan yang diambil pada tarap penyidikan.

1) Alasan Penghentian Penyidikan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan pengertian yang tersendiri mengenai penghentian penyidikan. Dalam Pasal 109 Ayat 2 KUHAP dijelaskan tentang alasan penghentian penyidikan atau penuntutan, berikut kutipan pasal tersebut ”Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan penyidik dihentikan demi hukum, maka penyelidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya”. (Pasal 109 Ayat 2 KUHAP)

Dengan begitu undang-undang hanya menyebutkan tentang batasan alasan yang dapat dipergunakan penyidik sebagai dasar penghentian penyidikan. Menurut M Yahya Harahap (2000: 147-149) dari pasal tersebut dapat dijelaskan bah wa alasan p enghentian penyidikan terdiri dari:

a. Tidak diperoleh bukti yang cukup

Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak


(35)

commit to user

memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan ke depan sidang pengadilan.

Bukti yang tidak cukup berarti barang bukti yang tidak memenuhi kualitas dan tingkat kepercayaan yang memadai. Sedangkan bukti cukup yang diperoleh harus memenuhi kwalitas dan mempunyai tingkat kepercayaan yang memadai, untuk itu harus selalu memperhatikan empat unsur (Hari Sasangka, 2005: 12):

1) Relevan, Bukti harus mempunyai hubungan dengan permasalahan yang sedang diperiksa.

2) Kompeten, Bukti diperoleh dari sumber yang independen yang dapat dipercaya.

3) Cukup, Bukti yang dikumpulkan dinilai cukup memadai berdasarkan pertimbangan profesional untuk mendukung kesimpulan pemeriksa.

4) Material, Bukti harus mempunyai nilai yang cukup berarti dalam mempengarui tingkat pertimbangan informasi yang bersangkutan.

b. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana Apabila hasil dari pemeriksaan dan penyidikan, penyidik berpendapat apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan pelanggaran atau kejahatan, dalam hal ini berwenang menghentikan penyidikan. Dan suatu keharusan bagi penyidik untuk menghentikan pemeriksaan penyidikan.

c. Penghentian penyidikan demi hukum

Penghentian atas dasar ini pada pokoknya sesuai dengan alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hapusnya hak menjalankan pidana yang diatur dalam Bab VIII KUHP, sebagaimana dalam dirumuskan dalam ketentuan Pasal 76, 77, 78, dan seterusnya, antara lain:


(36)

commit to user

1) Nebis in idem

Seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang yan g sama, terhadap mana atas perbuatan itu orang yang bersangkutan telah pernah diadili dan telah diputus perkaranya oleh hakim atau pengadilan yang berwenang untuk itu di Indonesia, serta putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

2) Tersangka meninggal dunia

Dengan meninggalnya tersangka, dengan sendirinya penyidikan harus dihentikan. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yanng berlaku universal pada abad modern, yakni kesalahan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang bersangkutan.

3) Kedaluwarsa

Apabila telah dipenuhi tenggang waktu penuntutan seperti yang diatur Pasal 78 KUHP, dengan sendirinya menurut hukum penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tidak boleh lagi dilakukan. Tenggang waktu itu, menurut KUHP:

a) Lewat masa satu tahun terhadap sekalian pelanggaran dan bagi kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan.

b) Lewat masa 6 tahun bagi tindak pidana yang dapat dihukum dengan pidana denda, kurungan atau penjara, yang tidak lebih dari hukuman penjara selama tiga tahun.

c) Lewat tenggang waktu 12 tahun bagi semua kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lebih dari 3 tahun.

d) Lewat 18 tahun bagi semua kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman pidana mati atau penjara seumur hidup. e) Atau bagi orang yang pada waktu melakukan tindak pidana


(37)

commit to user

yang disebut pada poin 1 sampai 4, dikurangi sehingga menjadi sepertiganya.

2) Prosedur penghentian penyidikan

Prosedur penghentian penyidikan adalah dengan mengeluarkan Surat Penetapan Penghentian Penyidikan (SP3). Surat tersebut harus diberitahukan kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya (Pasal 109 Ayat (3) KUHAP. Prosedur tersebut merupakan senjata ampuh bagi penyidik untuk membantah penghentian penyidikan di dalam sidang praperadilan. Penyidik beralasan bahwa belum mengeluarkan surat penetapan penghentian penyidikan (SP3). Menurut Hari Sasangka penghentian penyidikan sudah terjadi secara material (semu) apabila penyidikan telah berlangsung lama, tanpa jelas kapan akan dilimpahkan ke penuntut umum (Hari Sasangka, 2007: 220)

2. Tinjauan tentang Anak a. Pengertian Anak

Pengertian anak menurut Hassan (1983: 518) adalah muda-mudi/ remaja yang masih dianggap anak-anak, yang masih memerlukan bimbingan dari orang tua/keluarga serta masih harus belajar banyak baik melalui pendidikan orang tua maupun menimba pengalaman-pengalaman dalam kehidupan bermasyarakat.

Pengertian anak-anak/remaja berdasarkan pendapat masyarakat secara umum adalah mereka yang masih berusia antara 13 (tiga belas) sampai dengan 15 (lima belas) tahun dan belum kawin, umumnya masih tinggal bersama orang tua (Ruslan, 2004 : 2354).

Sedangkan pengertian anak yang belum dewasa menurut udang-undang adalah sebagai berikut :

Menurut KUH Perdata pasal 330, menerangkan bahwa yang dikategorikan belum dewasa adalah bagi mereka yang belum genap


(38)

commit to user

berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin (Subekti, 1983 : 93).

Menurut Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang Pokok Perkawinan makna dewasa tersirat dalam pasal 7 yakni “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas ) tahun dan wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

Pengertian Anak menurut Pasal 1 sub 2 UU No. 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Anak adalah Seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh ssatu) tahun dan belum kawin. Pengertian Anak menurut Pasal 1 sub 1 UU No. 2 tahun 1988 Tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak yang Mempunyai Masalah, Anak adalah Anak yang antara lain tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar, anak yang tidak mampu, anak yang mengalami masalah kelakuan, dan anak cacat.

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan definisi tentang anak sebagai berikut : setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum pernah menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan batasan mengenai siapa yang dimaksud dengan anak yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dengan demikian pengertian menurut kedua peraturan ini luas sekali, karena termasuk anak dalam kandunganpun diakui sebagai seorang anak. Tentunya jika kepentingan hukum itu menghendaki.

Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Dalam pasal 1 angka (1) merumuskan bahwa anak dalam perkara anak nakal adalah orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Pengertian anak dalam Konvensi Hak Anak diartikan sebagai :


(39)

commit to user

below the age eighteen years, under the law applicable to the child;

majority is attained earlier”. (Yang dimaksud dalam Konvensi ini, adalah

setiap orang yang berusia di bawah delapan belas tahun, kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak, ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal). Dengan demikian batasan usia dewasa menurut Konvensi Hak-Hak Anak adalah 18 tahun dengan pengecualian bahwa kedewasaan tersebut dicapai lebih cepat.

Dari segi lain seperti agama maupun segi adat pada umumnya yang disebutkan sudah dewasa adalah mereka yang jika wanita sudah pernah haid dan jika laki-laki sudah pernah mengeluarkan sperma dalam keadaan tidak sadar. (Hassan, 1983: 519)

Sedemikian banyaknya pendapat-pendapat yang saling berbeda-beda satu sama lain, adalah suatu bukti bahwa betapa pentingnya untuk memahami pengertian tentang anak-anak / remaja. Hal ini sangat berkaitan erat nantinya dengan proses peradilan atau penanggulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja. Dari uraian tersebut penulis dapat menarik suatu pengertian bahwa anak adalah seorang yang belum mencapai umur delapan belas tahun dan belum pernah kawin jadi walaupun anak belum mencapai usia delapan belas tahun tetapi sudah menikah maka sudah dapat dikategorikan dewasa.

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-undang dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa entang Hak-hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.


(40)

commit to user

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial. Untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai oleh karena itu terhadap anak yang melakukan tindak pidana diperlukan pengadilan anak secara khusus.

Meskipun Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak masih memerlukan suatu undang-undang mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Orang tua, keluarga dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangan secara optimal dan terarah.

Undang-undang ini menegaskan bahwa pertangung jawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental,


(41)

commit to user

spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tungguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai leh akhlak mulia dan nilai Pancasila, sertaberkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.

Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut : non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan dan penghargaan terhadap pendapat anak.

Indonesia, sudah memiliki sederet aturan untuk melindungi, mensejahterakan dan memenuhi hak-hak anak. Indonesia telah mengesahkan Undang-undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Seharusnya sudah dapat menjadi rujukan dalam pengambilan kebijakan terhadap perlindungan anak. Indonesia mengesahkan undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

b. Pertanggungjawaban Pidana Anak

Berbicara mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana bagi anak pelaku tindak pidana, tentunya ini terkait dengan batas usia minimal seorang anak untuk dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Untuk itu penting sekali diatur mengenai batas usia minimum bagi anak dalam perlindungan anak di bidang hukum pidana. Artinya kapan seorang anak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya tersebut. United Nation Departemen of Public Information (1984: 4) mengatakan bahwa :

“Usia minimum pertanggungjawaban kriminal berbeda secara luas oleh karena sejarah dan budaya. Pendekatan modem akan mempertimbangkan apakah seorang anak dapat berbuat sesuai dengan komponen-komponen moral dan psikologis dari


(42)

commit to user

pertanggungjawaban kriminal; artinya apakah seorang anak berdasarkan atas kejernihan pikiran dan pemahaman individu dapat dianggap bertanggungjawab jawab atas perilaku yang pada dasarnya anti sosial. Jika usia pertanggungjawaban kriminal ditetapkan terlalu rendah atau jika tidak ada batas usia yang lebih rendah sama sekali, pengertian tanggungjawab tidak akan memiliki arti. Pada umumnya terdapat suatu hubungan yang dekat antara pengertian tanggungjawab terhadap perilaku kriminalitas atau yang melanggar hukum pidana dengan hak-hak serta tanggungjawab sosial lainnya.

Beijing Rules tidak menyebutkan secara pasti tentang kapan

seorang anak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Pengaturan mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana seorang anak pelaku tindak pidana diatur dalam Rule 4.1 : in those legal systems recognising the concept of the age of criminal responsibility for juveniles , the beginning og the age shall not be fixed at too low an age level, bearing in

mind the facta of emotional, mental and intelectual maturi. (dalam sistem

hukum yang mengakui konsep batas usia pertanggungjawaban pidana untuk anak pelaku tindak pidana, permulaan batas usia pertanggungjawaban itu janganlah ditetapkan terlalu rendah, dengan menyangkut faktor kematangan emosional anak, mental dan intelektualitas anak. Dengan demikian Beijing Rules ini memberikan kebebasan bagi tiap-tiap Negara untuk menentukan sendiri mengenai batas usia pertanggungjawaban seorang anak yang dapat dipertanggungjawabkan, namun harus melihat kenyataan emosional dari anak, mental dan pikirannya tersebut. Dalam commentary rule 2.2 Beijing Rules ini disebutkan bahwa batas usia anak adalah usia 7 sampai 18 tahun, artinya mulai usia 7 tahun seorang anak itu dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya namun tidak lebih dari 18 tahun.

Batas usia pertanggungjawaban pidana bagi anak dalam Undang- Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah mulai 8 tahun sampai dengan 18 tahun. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 1, yang mengatur mengenai batas usia minimum bagi anak pelaku tindak pidana adalah 8 tahun. Batas usia minimum ini menunjukkan bahwa mulai


(43)

commit to user

kapan seorang anak pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Sedangkan usia 18 tahun menunjukkan batas usia maksimumnya, artinya perkara anak tersebut akan disidangkan pada Pengadilan anak atau Pengadilan dewasa.

Dalam Peraturan PBB lainnya yaitu United Nations Rules for The

Protection of Juveniles Deprived of Their Liberty disebutkan bahwa : a

juvenile is every person under the age of 18. The age limit below which it should not be permitted to deprive a child of his or her liberty should be

determined by law; (Seorang anak adalah seseorang yang berusia di bawah

18 tahun.

Batas usia di bawah mana tidak diijinkan untuk menghilangkan kebebasan seorang anak harus ditentukan oleh Undang-Undang). Jadi terhadap seorang anak yang umurnya kurang dari 18 tahun sebetulnya tidak dapat dijatuhi hukuman pidana perampasan kemerdekaan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia dalam Pasal 45 dikatakan bahwa :

“Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum berumur enam belas tahun, maka Hakim dapat menentukan: Memerintahkan yang bersalah supaya dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya tanpa dijatuhi pidana apapun atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada Pemerintah tanpa pidana apapun yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut dalam pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, 541 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan salah karena kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana”.

Dengan demikian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak diatur tentang batasan umur seorang anak pelaku tindak pidana mulai dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Mengenai kepastian tentang hal ini tidak disebutkan dalam pasal 45 tersebut. Semuanya diserahkan kepada keyakinan Hakim.


(44)

commit to user

Terkait dengan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut menurut pendapat SR. Sianturi (1996: 157): bahwa sistem pertanggungjawaban pidana anak yang dianut oleh KUHP (yang berlaku sekarang ini) adalah sistem pertanggungjawaban yang menyatakan bahwa semua anak (berusia 1 tahun sampai dengan 16 tahun), anak yang jiwanya sehat, dianggap mampu bertanggungjawab dan dituntut.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai batas usia anak, akan tetapi dalam Pasal 153 ayat (5) memberi wewenang kepada Hakim untuk melarang "anak yang belum mencapai usia 17 tahun" untuk menghadiri sidang. Sedangkan Pasal 171 a menentukan bahwa anak yang belum berusia 15 tahun dan belum pernah kawin dapat memberi keterangan tanpa sumpah. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur juga mengenai batas usia pertanggungjawaban anak pelaku tindak pidana yaitu, pada Pasal 113 disebutkan bahwa :

(1) Anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan.

(2) Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur antara 12 (dua belas) tahun dan 18 (delapan belas) tahun yang melakukan tindak pidana.

Ketentuan ini mengatur tentang batas umur minimum untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana bagi seorang anak yang melakukan tindak pidana. Penentuan batas usia 12 (dua belas) tahun didasarkan pada pertimbangan psikologis yaitu kematangan emosional, intelektual dan mental anak. Seorang anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan karena itu penyelesaian kasusnya harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan lainnya. ini Adanya batasan umur 12 -18 tahun bagi pelaku tindak pidana anak ini, memberi konsekuensi bahwa untuk seorang anak pelaku tindak pidana yang berumur kurang dari 12 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini memberikan kemajuan tersendiri dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, yaitu dengan tidak menetapkan batas usia yang terlalu rendah bagi anak pelaku tindak pidana untuk mempertanggungjawabkan


(45)

commit to user

perbuatannya. Dengan demikian menurut konsep KUHP, yang menjadi subjek hukum adalah anak yang berumur 12 tahun sampai 18 tahun, yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya.

Menurut Rupert Cross (1953: 129), yang dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang berumur kurang dari 14 tahun; seorang remaja adalah setiap orang yang berumur 14 tahun tetapi belum mencapai umur 17 tahun (a child is any person under the age of fourteen years; a young person is any person who has attained the age of fourteen years but has

not attained the age of seventeen years).

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam pasal 4 menyebutkan bahwa : Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin. Paulus Hadisuprapto (2008: 10) mengemukakan : “Batasan usia terhadap seorang anak yang dapat dipertanggung-jawabkan terhadap perbuatannya tersebut tidak ada keseragaman. Hal ini juga dijumpai dalam perumusan batasan tentang pertanggungjawaban pidana anak di berbagai negara. Di Amerika Serikat, 27 negara bagian menentukan batas umur antara 8 – 18 tahun, sementara 6 negara bagian menentukan batas umur antara 8 – 17 tahun, ada pula negara bagian lain yang menentukan batas umur antara 8 – 16 tahun. Sementara itu, Inggris menentukan batas umur antara 12 – 16 tahun. Sebagian besar negara bagian Australia menentukan batas umur antara 8 – 16 tahun.

Dari apa yang dikemukakan di atas mengenai batas usia pertanggungjawabkan pidana bagi anak pelaku tindak pidana ini memang tidak ada keseragaman. Hal ini tergantung dari masing-masing negara dalam melihat kematangan mental, intelektual dan emosional seorang anak yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun semuanya sudah mengacu dan sesuai dengan ketentuan yang diamanatkan oleh The Beijing Rules, bahwa batasan usia seorang anak yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya diserahkan kepada masing-masing negara dengan mempertimbangkan keadaan emosional, mental dan pikirannya. Begitu juga dengan peraturan di Indonesia yaitu adanya Undang-Undang No. 3


(46)

commit to user

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah mengacu pada The Beijing

Rules dalam menentukan batasan usia seorang anak yang dapat

dipertanggungjawabkan, walaupun masih ada kekurangannya. c. Tersangka Anak

Anak yang melakukan tindak pidana menurut defenisi hukum Nasional adalah ”orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. ”Anak Nakal” Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Anak yang melakukan tindak pidana atau dalam praktek sehari-hari di pengadilan disebut sebagai anak yang sedang berhadapan dengan hukum, harus diperlakukan secara manusiawi, didampingi, disediakan sarana dan prasarana khusus, sanksi yang diberikan kepada anak sesuai dengan prinsip kepentingan terbaik anak, hubungan keluarga tetap dipertahankan artinya anak yang berhadapan dengan hukum kalau bisa tidak ditahan/dipenjarakan kalaupun dipenjarakan/ditahan, ia dimasukkan dalam ruang tahanan khusus anak dan tidak bersama orang dewasa.

Untuk menjamin Perlindungan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum ditetapkan sebagai kelompok anak yang membutuhkan ”Perlindungan Khusus”. Menurut Undang-undang Perlindungan Anak Pasal 64 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Bentuk perlindungan khusus tersebut meliputi :

1) perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;

2) penyediaan petugas pendamping khusus bagi anak sejak dini; 3) penyediaan sarana dan prasarana khusus;

4) penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak; 5) pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak

yang berhadapan dengan hukum;

6) pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga

7) perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.


(47)

commit to user

Persoalan hukum tidak hanya menimpa orang-orang dewasa. Anak-anak juga seringkali terbentur dengan persoalan hukum. Dan seperti halnya orang dewasa, anak-anak juga berhak mendapat perlindungan secara hukum. Perlindungan hukum ini tidak hanya diberikan kepada anak yang menjadi korban dalam suatu maasalah hukum, tapi juga kepada anak-anak yang menjadi pelakunya

Berdasarkan penjelasan Pasal 10 undang-undang no 14 tahun 1970 peradilan anak itu berada di bawah peradilan umum, yang diatur secara istimewa dan undang-undang pengadilan anak hanyalan masalah acara sidangnya yang berbeda dengan acara siding bagi orang dewasa. Pengadilan anak ada pada badan peradilan umum (Pasal 2 UU No. 3 tahun 1997).

Undang-undang pengadilan anak dalam Pasal-Pasalnya mengaut beberapa asas yang membedakannya dengan siding pidana untuk orang dewasa. Adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut :

a. Pembatasan umum (Pasal 1 butir 1 jo Pasal 4 ayat (1))

Adapun orang yang dapat disidangkan dalam acara pengadilan anak ditentukan secara limitative, yaitu minimum berumur 8 (delapan) tahun dan maksumum 18 (delapan belas tahun) dan belum pernah kawin

b. Ruang lingkup masalah di batasi (Pasal 1 ayat 2), masalah yang dapat diperiksa dalam siding pengadilan anak hanyalah terbatas menyangkur perkara anak nakal.

c. Ditangani pejbat khusus (Pasal 1 ayat 5, 6, dan 7)

Undang-undang no 3 tahun 1997 menentukan perakra anak nakal harus ditangani oleh pejbat-pejabat khusus seperti :

1) di tingkat penyidikan oleh penyidik anak 2) di tingkat penuntutan oleh penutut umum

3) di pengadilan oleh hakim anak, hakim banding anak, & hakim kasasi anak.

d. Peran pembimbing kemasyarakatan (Pasal 1 ayat 11) Undang-undang pengadilan anak mengakui peranan dari


(1)

commit to user

manusia, sesuai dengan kondisinya yang masih tergolong anak. Walaupun kondisi pelaku saat di tanggkap masih dalam keadaan mabuk berat, tetapi penyidik tetap memberikan perlakukan yang baik dan manusiawi, tanpa ada tekanan dan paksaan. Tersangka anak ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat martabat diri harus dinilai sebagai subyek, bukan sebagai obyek. Yang diperiksa bukan pelaku tetapi perbuatan yang dilakukannyalah yang menjadi obyek pemeriksaan.

b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini

Dalam penanganan kasus perkara No Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III ini tersangka juga ditawarkan jasa penasehat hukum, tetapi tersangka tidak memakai jasa penasehat hukum tersebut.

c. Penyediaan sarana dan prasarana khusus

Dalam pelaksanaan penyidikan pada umumnya dilakukan di tempat penyidikan umum, tetapi khusus penanganan anak atau perempuan baik korban atau tersangka dilakukan di Ruang Pelayanan Khusus. Ruang pemeriksaan ini dipergunakan untuk pemeriksaan baik pelaku maupun korban pidana adalah perempuan maupun anak. Demikian halnya dalam penanganan perkara No Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III juga dilakukan pemeriksaan atau penyidikan di RPK Polresta Surakarta.

d. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orangtua atau keluarga, dan

Dalam hal pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga, di Polrestas Surakarta khususnya dalam penanganan kasus anak, selalu melibatkan keluarga atau orang tua pelaku. Hal ini dilakukan guna membantu mempermudah memperjalas duduk perkara sehingga dapat cepat segera teratasi.


(2)

commit to user

e. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

Meskipun Undang-undang Perlindungan Anak belum

tersosialisasi ke seluruh kalangan, kesadaran masyarakat untuk memenuhi hak-hak anak cukup tinggi. Masyarakat tidak rela jika identitas anaknya yang berhadapan dengan hukum diungkap di media massa, karena sadar akan menimbulkan dampak negatif bagi anak-anak. Demikian halnya Polresta Surakarta juga memberikan perlindungan terhadap persangka anak dari pemberitaan identitas media massa ataupun labelisasi.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam hal perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, pihak Polresta Surakarta telah memenuhi ketentuan Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 64 Ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Penghentian Penyidikan terhadap Pelanggaran Pasal 2 Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 yang Dilakukan Anak Kasus Perkara No Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III

Menurut undang-undang, penyidikan oleh kepolisian dapat dihentikan. Faktor-faktor yang menjadi penyebab penghentian penyidikan secara umum antara lain:

1. Tidak diperoleh bukti yang cukup.

Artinya penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan ke depan pengadilan. Atas dasar inilah kemudian penyidik berwenang menghentikan penyidikan.


(3)

commit to user

2. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana.

Apabila dari hasil penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berkesimpulan bahwa apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan yang melanggar hukum atau tindak kejahatan maka penyidik berwenang menghentikan penyidikan.

3. Penghentian penyidikan demi hukum.

Penghentian atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya sesuai dengan alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana. a. Asas nebis in idem. Yaitu seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua

kalinya atas dasar perbuatan yang sama, dimana atas perbuatan itu telah diputus oleh pengadilan yang berwenang untuk itu dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Apabila tersangkanya meninggal dunia.

c. Karena kadaluarsa. Tenggang waktu itu, menurut KUHP:

1) Lewat masa satu tahun terhadap sekalian pelanggaran dan bagi kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan.

2) Lewat masa 6 tahun bagi tindak pidana yang dapat dihukum dengan pidana denda, kurungan atau penjara, yang tidak lebih dari hukuman penjara selama tiga tahun.

3) Lewat tenggang waktu 12 tahun bagi semua kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lebih dari 3 tahun.

4) Lewat 18 tahun bagi semua kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman pidana mati atau penjara seumur hidup.

5) Atau bagi orang yang pada waktu melakukan tindak pidana belum mencapai umur 18 tahun, tenggang waktu kadaluarsa yang disebut pada poin 1 sampai 4, dikurangi sehingga menjadi sepertiganya. Adapun dalam kasus Sdr. WAHYU ARIANTA als KENCHU yang telah dilakukan pemeriksaan terhadap tersangka dan hasil pemeriksaan kedapatan menyimpan, memiliki dan membawa senjata tajam jenis Pisau


(4)

commit to user

pemotong daging, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Darurat No. 12 Tahun 1951, sehubungan dengan Laporan Polisi No. Pol: A/LP/1933/XII/SPK.III, tanggal 23 Desember 2009. Dan tersangka menerangkan bahwa senjata tajam jenis pisau pemotong daging dan rantai besi sepanjang kurang lebih 1,5 m tersebut adalah milik temannya bernama BIMO dan dipergunakan untuk keamanan dirinya sendiri dan belum pernah menggunakan untuk kejahatan. Pada waktu membawa senjata tajam jenis pisau pemotong daging tersebut tidak dilengkapi dengan surat ijin membawa senjata tajam.

Berdasarkan keterangan di atas dengan berbagai pertimbangan dan faktor, melihat kondisi tersangka masih tergolong anak yang masih memerlukan bimbingan dan pengawasan orang tua. Berdasar kesepakatan dan pernyataan dari pihak tersangka dan keluarga, maka penyidik menyatakan menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti dan masih kategori anak.


(5)

commit to user

59 BAB IV PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan atas beberapa uraian yang telah penulisan berikan pada bab terdahulu, maka dapatlah ditarik suatu simpulan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan penyidikan, terlebih dulu dilakukan penyelidikan, untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Dengan diketahuinya bahwa telah terjadi suatu peristiwa tindak pidana berdasarkan laporan dari penyelidik, maka penyidik segera melakukan penyidikan guna mencari serta mengumpulkan barang bukti, yang dengan barang bukti itu membuat terang tentang suatu tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana didasarkan pada UU No. 3 Tahun 1997 dan KUHAP. Dalam kasus yang diangkat dalam penelitian ini telah melanggar Pasal 2 Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 yaitu menyimpan, memiliki dan membawa senjata tajam jenis Pisau pemotong daging. Dengan demikian polisi telah menemukan bukti permulaan yang cukup untuk dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.

2. Faktor yang menyebabkan penghentian penyidikan yaitu meskipun tersangka kedapatan bukti yang sah, akan tetapi barang bukti yang berupa senjata tajam jenis pisau pemotong daging tersebut belum pernah dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Menurut penulis, sebenarnya perbuatan membawa senjata tajam jenis pisau pemotong daging tersebut merupakan suatu tindak pidana, akan tetapi dalam hal ini polisi

menggunakan diskresi yaitu menyangkut kebijaksanaan untuk

pengambilan suatu keputusan pada situasi dan kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi seseorang.


(6)

commit to user

B. Saran

1. Bagi Polisi melakukan pemeriksaan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur, hendaknya Polisi sebagai penegak hukum melakukan pendekatan secara kekeluargaan dan anak selama dalam tahanan diberikan pengarahan dan bimbingan yang bermanfaat bagi anak dikemudian hari.

2. Bagi orang tua, setelah mengetahui anaknya berperkara dengan hukum hendaknya jangan langsung menyalahkan anak semata, akan tetapi mengintropeksi diri berkenaan dengan pembinaan keluarga sehingga nantinya menghasilkan jalan keluar yang terbaik bagi anak.

3. Masyarakat hendaknya turut berpartisipasi secara aktif untuk mendidik generasi muda, misalnya dengan jalan turut serta membantu pengembangan organisasi kepemudaan di daerah tempat tinggalnya. 4. Kepada anak yang telah atau sedang berperkara dengan hukum hendaknya

hal tersebut dijadikan pengalaman untuk melangkah dan menatap masa depan yang lebih baik dan hendaknya jangan malu-malu untuk tetap berpartisipasi dalam organisasi kepemudaan di daerah tempat tinggalnya.