commit to user 20
4 Waktu terjadinya tindak pidana; 5 Apa yang menjadi motif tujuan serta maksud mengadakan tindak
pidana; 6 Identitas pelaku tindak pidana Bawengan, 1977 : 54.
Penyidikan dilakukan setelah terjadinya tindak pidana, tujuan utamanya adalah untuk :
1 Mengetahui tindakan apa yang telah dilakukan. 2 Kapan tindak pidana itu dilakukan
3 Di mana tindak pidana itu dilakukan 4 Dengan apa tindak pidana itu dilakukan
5 Bagaimana tindak pidana itu dilakukan 6 Mengapa tindak pidana itu dilakukan
7 Siapa pelakunya.
h. Tindakan Penyidikan
1 Penanganan dan pengolahan tempat kejadian perkara TKP Penanganan tempat kejadian perkara TKP adalah tindakan penyidik
atau penyidik
pembantu yang
dilakukan di
TKP, yang
menyelenggarakan kegiatan dan tindakan kepolisian yang dilakukan di TKP, terdiri dari: tindakan pertama, dan pengolahan TKP.
2 Pencarian dan pengumpulan barang bukti Pengumpulan dan pengambilan barang bukti dilakukan dilakukan
dengan cara yang benar disesuaikan dengan bentuk atau macam barang bukti yang dapat berupa benda padat, cair dan gas.
3 Penindakan Penindakan setiap tindakan hukum yang dilakukan terhadap orang
maupun benda yang ada hubunganya dengan tindak pidana yang terjadi. Beberapa tindakan yang dilakukan proses penyidikan dapat berupa
pemanggilan tersangka
dan saksi,
penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan. 4 Pemeriksaan
Pemeriksaan adalah kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan, dan keidentikan tersangka dan atau saksi dan atau b arang bukti maupun
commit to user 21
tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam
tindak pidana tersebut menjadi jelas dan dituangkan di dalam berita acara pemeriksaan. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara
interview, intergrasi, konfrontasi, rekonstruksi, dan sebagainya. 5 Penyelesaian dan penyerahan b erkas perkara
Para penyidik yang melaksanakan seluruh rangkaian proses penyidikan kemudian menuangkan hasil penyidikan tersebut ke dalam berita acara
pemeriksaan BAP Zulkarnaen, 2006:31-45.
i. Tinjauan tentang Penghentian Penyidikan
Untuk menegakkan prinsip penegakan hukum yang cepat, tepat, biaya ringan dan sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam
kehidupan masyarakat. Sebab apabila penyidik sudah berkesimpulan bahwa berdasar hasil penyelidikan dan penyidikan tidak cukup bukti atau
alasan untuk menuntut tersangka di muka persidangan, untuk apa penyidik harus berlarut-larut menangani dan memeriksa si tersangka. Lebih banik
penyidik secara resmi menyatakan penghentian pemeriksaan penyidikan, agar dengan demikian segera tercipta kepastian hukum baik dari bagi
penyidik itu sendiri terutama bagi tersangka dan masyarakat. Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut
tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka apabila diajukan ke depan sidang
pengadilan. Atas dasar kesimpulan ketidakcukupan bukti inilah penyidik berwewenang menghentikan penyidikan. Apabila ditinjau dari satu segi,
pemberian wewenang ini akan membina sikap mental dari penyidik untuk tidak secara serampangan mengajukan begitu saja segala hasil penyidikan
yang telah dilakukannya. Penyidik diharapkan akan lebih selektif mengajukan setiap kasus yang diperiksa, apakah cukup bukti atau tidak
sebelum perkara dilimpahkan ke tangan penuntut umum untuk diteruskan ke pengadilan sekalipun. Ada atau tidak ada bukti, penyidik tidak peduli,
sekali tindak pidana diperiksa, ajukan terus ke pihak penuntut umum untuk diteruskan ke pengadilan sekalipun sering sekali dijumpai tidak ada bukti
commit to user 22
yang dapat diperpegangi. Penyidik tidak mungkin untuk menyidik dan memeriksa suatu tindak pidana yang tidak pernah dihentikan
penyidikannya atas alasan tidak cukup bukti. Penghentian penyidikan atas alasan tidak cukup bukti, sama sekali tidak membawa akibat hapusnya
wewenang penyidik untuk menyidik dan memeriksa kembali kasus tersebut. Apabila ternyata di kemudian hari penyidik dapat mengumpulkan
bukti-bukti yang cukup dan memadai untuk menuntut tersangka, penyidikan dapat dimulai lagi. Penyelidikan dapat dimulai lagi karena
ditinjau dari segi hukum formil, penghentian penyidikan tidak termasuk kategori “nebis ini idem”. Sebab penghentian penyidikan bukan termasuk
ruang lingkup putusan peradilan, penyidik baru bertarap kebijaksanaan yang diambil pada tarap penyidikan.
1 Alasan Penghentian Penyidikan Kitab
Undang-Undang Hukum
Acara Pidana
tidak memberikan pengertian yang tersendiri mengenai penghentian
penyidikan. Dalam Pasal 109 Ayat 2 KUHAP dijelaskan tentang alasan penghentian penyidikan atau penuntutan, berikut kutipan pasal
tersebut ”Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak
pidana atau penyidikan penyidik dihentikan demi hukum, maka penyelidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka
atau keluarganya”. Pasal 109 Ayat 2 KUHAP Dengan begitu undang-undang hanya menyebutkan tentang
batasan alasan yang dapat dipergunakan penyidik sebagai dasar penghentian penyidikan. Menurut M Yahya Harahap 2000: 147-149
dari pasal tersebut dapat dijelaskan bah wa alasan p enghentian penyidikan terdiri dari:
a. Tidak diperoleh bukti yang cukup Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk
menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak
commit to user 23
memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan ke depan sidang pengadilan.
Bukti yang tidak cukup berarti barang bukti yang tidak memenuhi kualitas dan tingkat kepercayaan yang memadai.
Sedangkan bukti cukup yang diperoleh harus memenuhi kwalitas dan mempunyai tingkat kepercayaan yang memadai, untuk itu
harus selalu memperhatikan empat unsur Hari Sasangka, 2005: 12:
1 Relevan, Bukti
harus mempunyai
hubungan dengan
permasalahan yang sedang diperiksa. 2 Kompeten, Bukti diperoleh dari sumber yang independen yang
dapat dipercaya. 3 Cukup, Bukti yang dikumpulkan dinilai cukup memadai
berdasarkan pertimbangan profesional untuk mendukung kesimpulan pemeriksa.
4 Material, Bukti harus mempunyai nilai yang cukup berarti dalam mempengarui tingkat pertimbangan informasi yang
bersangkutan. b. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana
Apabila hasil dari pemeriksaan dan penyidikan, penyidik berpendapat apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan
merupakan perbuatan pelanggaran atau kejahatan, dalam hal ini berwenang menghentikan penyidikan. Dan suatu keharusan bagi
penyidik untuk menghentikan pemeriksaan penyidikan. c. Penghentian penyidikan demi hukum
Penghentian atas dasar ini pada pokoknya sesuai dengan alasan- alasan hapusnya hak menuntut dan hapusnya hak menjalankan
pidana yang diatur dalam Bab VIII KUHP, sebagaimana dalam dirumuskan dalam ketentuan Pasal 76, 77, 78, dan seterusnya,
antara lain:
commit to user 24
1 Nebis in idem Seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya atas
dasar perbuatan yang yan g sama, terhadap mana atas perbuatan itu orang yang bersangkutan telah pernah diadili dan telah
diputus perkaranya oleh hakim atau pengadilan yang berwenang untuk itu di Indonesia, serta putusan itu telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. 2 Tersangka meninggal dunia
Dengan meninggalnya tersangka, dengan sendirinya penyidikan harus dihentikan. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yanng
berlaku universal pada abad modern, yakni kesalahan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah menjadi tanggung
jawab sepenuhnya dari pelaku yang bersangkutan. 3 Kedaluwarsa
Apabila telah dipenuhi tenggang waktu penuntutan seperti yang diatur Pasal 78 KUHP, dengan sendirinya menurut hukum
penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tidak boleh lagi dilakukan. Tenggang waktu itu, menurut KUHP:
a Lewat masa satu tahun terhadap sekalian pelanggaran dan bagi kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan.
b Lewat masa 6 tahun bagi tindak pidana yang dapat dihukum dengan pidana denda, kurungan atau penjara, yang tidak lebih
dari hukuman penjara selama tiga tahun. c Lewat tenggang waktu 12 tahun bagi semua kejahatan yang
diancam dengan hukuman penjara lebih dari 3 tahun. d Lewat 18 tahun bagi semua kejahatan yang dapat diancam
dengan hukuman pidana mati atau penjara seumur hidup. e Atau bagi orang yang pada waktu melakukan tindak pidana
belum mencapai umur 18 tahun, tenggang waktu kadaluarsa
commit to user 25
yang disebut pada poin 1 sampai 4, dikurangi sehingga menjadi sepertiganya.
2 Prosedur penghentian penyidikan Prosedur penghentian penyidikan adalah dengan mengeluarkan
Surat Penetapan Penghentian Penyidikan SP3. Surat tersebut harus diberitahukan kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya
Pasal 109 Ayat 3 KUHAP. Prosedur tersebut merupakan senjata ampuh bagi penyidik untuk membantah penghentian penyidikan di
dalam sidang praperadilan. Penyidik beralasan bahwa belum mengeluarkan surat penetapan penghentian penyidikan SP3.
Menurut Hari Sasangka penghentian penyidikan sudah terjadi secara material semu apabila penyidikan telah berlangsung lama, tanpa
jelas kapan akan dilimpahkan ke penuntut umum Hari Sasangka, 2007: 220
2. Tinjauan tentang Anak a. Pengertian Anak
Pengertian anak menurut Hassan 1983: 518 adalah muda-mudi remaja yang masih dianggap anak-anak, yang masih memerlukan
bimbingan dari orang tuakeluarga serta masih harus belajar banyak baik melalui pendidikan orang tua maupun menimba pengalaman-pengalaman
dalam kehidupan bermasyarakat. Pengertian anak-anakremaja berdasarkan pendapat masyarakat
secara umum adalah mereka yang masih berusia antara 13 tiga belas sampai dengan 15 lima belas tahun dan belum kawin, umumnya masih
tinggal bersama orang tua Ruslan, 2004 : 2354. Sedangkan pengertian anak yang belum dewasa menurut udang-
undang adalah sebagai berikut : Menurut KUH Perdata pasal 330, menerangkan bahwa yang
dikategorikan belum dewasa adalah bagi mereka yang belum genap
commit to user 26
berusia 21 dua puluh satu tahun dan belum pernah kawin Subekti, 1983 : 93.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Undang- Undang Pokok Perkawinan makna dewasa tersirat dalam pasal 7 yakni
“perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan wanita mencapai umur 16 enam belas tahun.
Pengertian Anak menurut Pasal 1 sub 2 UU No. 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Anak adalah Seorang yang belum mencapai
umur 21 dua puluh ssatu tahun dan belum kawin. Pengertian Anak menurut Pasal 1 sub 1 UU No. 2 tahun 1988 Tentang Usaha Kesejahteraan
Anak Bagi Anak yang Mempunyai Masalah, Anak adalah Anak yang antara lain tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar, anak
yang tidak mampu, anak yang mengalami masalah kelakuan, dan anak cacat.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan definisi tentang anak sebagai berikut : setiap manusia yang
berusia di bawah 18 tahun dan belum pernah menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Sedangkan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan batasan mengenai siapa yang dimaksud dengan anak yaitu
seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dengan demikian pengertian menurut kedua
peraturan ini luas sekali, karena termasuk anak dalam kandunganpun diakui sebagai seorang anak. Tentunya jika kepentingan hukum itu menghendaki.
Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Dalam pasal 1 angka 1 merumuskan bahwa anak dalam perkara
anak nakal adalah orang yang telah mencapai umur 8 delapan tahun tetapi belum mencapai umur 18 delapan belas tahun dan belum pernah
kawin. Pengertian anak dalam Konvensi Hak Anak diartikan sebagai :
“For purpose of present Convention, a child means every human being
commit to user 27
below the age eighteen years, under the law applicable to the child; majority is attained earlier”. Yang dimaksud dalam Konvensi ini, adalah
setiap orang yang berusia di bawah delapan belas tahun, kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak, ditentukan bahwa
usia dewasa dicapai lebih awal. Dengan demikian batasan usia dewasa menurut Konvensi Hak-Hak Anak adalah 18 tahun dengan pengecualian
bahwa kedewasaan tersebut dicapai lebih cepat. Dari segi lain seperti agama maupun segi adat pada umumnya yang
disebutkan sudah dewasa adalah mereka yang jika wanita sudah pernah haid dan jika laki-laki sudah pernah mengeluarkan sperma dalam keadaan
tidak sadar. Hassan, 1983: 519 Sedemikian banyaknya pendapat-pendapat yang saling berbeda-
beda satu sama lain, adalah suatu bukti bahwa betapa pentingnya untuk memahami pengertian tentang anak-anak remaja. Hal ini sangat berkaitan
erat nantinya dengan proses peradilan atau penanggulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja. Dari uraian tersebut penulis
dapat menarik suatu pengertian bahwa anak adalah seorang yang belum mencapai umur delapan belas tahun dan belum pernah kawin jadi
walaupun anak belum mencapai usia delapan belas tahun tetapi sudah menikah maka sudah dapat dikategorikan dewasa.
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat,
martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam
Undang-undang dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa entang Hak-hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak
adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang,
berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
commit to user 28
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan
bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial. Untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak
diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai oleh karena itu
terhadap anak yang melakukan tindak pidana diperlukan pengadilan anak secara khusus.
Meskipun Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan
kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak masih
memerlukan suatu undang-undang mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut.
Dengan demikian, pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya
merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Orang tua, keluarga dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang
dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab
menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangan secara optimal dan terarah.
Undang-undang ini menegaskan bahwa pertangung jawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian
kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak- hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah
guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental,
commit to user 29
spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang
potensial, tungguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai leh akhlak mulia dan nilai Pancasila, sertaberkemauan keras menjaga kesatuan dan
persatuan bangsa dan negara. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin,
yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan
komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut : non
diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan dan penghargaan terhadap
pendapat anak. Indonesia, sudah memiliki sederet aturan untuk melindungi,
mensejahterakan dan memenuhi hak-hak anak. Indonesia telah mengesahkan Undang-undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
Anak. Seharusnya sudah dapat menjadi rujukan dalam pengambilan kebijakan terhadap perlindungan anak. Indonesia mengesahkan undang-
undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
b. Pertanggungjawaban Pidana Anak
Berbicara mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana bagi anak pelaku tindak pidana, tentunya ini terkait dengan batas usia minimal
seorang anak untuk dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Untuk itu penting sekali diatur mengenai batas usia minimum bagi anak
dalam perlindungan anak di bidang hukum pidana. Artinya kapan seorang anak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya tersebut. United
Nation Departemen of Public Information 1984: 4 mengatakan bahwa : “Usia minimum pertanggungjawaban kriminal berbeda secara luas
oleh karena sejarah dan budaya. Pendekatan modem akan mempertimbangkan apakah seorang anak dapat berbuat sesuai
dengan
komponen-komponen moral
dan psikologis
dari
commit to user 30
pertanggungjawaban kriminal; artinya apakah seorang anak berdasarkan atas kejernihan pikiran dan pemahaman individu dapat
dianggap bertanggungjawab jawab atas perilaku yang pada dasarnya anti sosial. Jika usia pertanggungjawaban kriminal
ditetapkan terlalu rendah atau jika tidak ada batas usia yang lebih rendah sama sekali, pengertian tanggungjawab tidak akan memiliki
arti. Pada umumnya terdapat suatu hubungan yang dekat antara pengertian tanggungjawab terhadap perilaku kriminalitas atau yang
melanggar hukum pidana dengan hak-hak serta tanggungjawab sosial lainnya.
Beijing Rules tidak menyebutkan secara pasti tentang kapan
seorang anak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Pengaturan mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana seorang anak pelaku
tindak pidana diatur dalam Rule 4.1 : in those legal systems recognising the concept of the age of criminal responsibility for juveniles , the
beginning og the age shall not be fixed at too low an age level, bearing in mind the facta of emotional, mental and intelectual maturi. dalam sistem
hukum yang mengakui konsep batas usia pertanggungjawaban pidana untuk
anak pelaku
tindak pidana,
permulaan batas
usia pertanggungjawaban itu janganlah ditetapkan terlalu rendah, dengan
menyangkut faktor kematangan emosional anak, mental dan intelektualitas anak. Dengan demikian Beijing Rules ini memberikan kebebasan bagi
tiap-tiap Negara untuk menentukan sendiri mengenai batas usia pertanggungjawaban seorang anak yang dapat dipertanggungjawabkan,
namun harus melihat kenyataan emosional dari anak, mental dan pikirannya tersebut. Dalam commentary rule 2.2 Beijing Rules ini
disebutkan bahwa batas usia anak adalah usia 7 sampai 18 tahun, artinya mulai usia 7 tahun seorang anak itu dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya namun tidak lebih dari 18 tahun. Batas usia pertanggungjawaban pidana bagi anak dalam Undang-
Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah mulai 8 tahun sampai dengan 18 tahun. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 1,
yang mengatur mengenai batas usia minimum bagi anak pelaku tindak pidana adalah 8 tahun. Batas usia minimum ini menunjukkan bahwa mulai
commit to user 31
kapan seorang anak pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Sedangkan usia 18 tahun menunjukkan batas usia
maksimumnya, artinya perkara anak tersebut akan disidangkan pada Pengadilan anak atau Pengadilan dewasa.
Dalam Peraturan PBB lainnya yaitu United Nations Rules for The Protection of Juveniles Deprived of Their Liberty disebutkan bahwa : a
juvenile is every person under the age of 18. The age limit below which it should not be permitted to deprive a child of his or her liberty should be
determined by law; Seorang anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.
Batas usia di bawah mana tidak diijinkan untuk menghilangkan kebebasan seorang anak harus ditentukan oleh Undang-Undang. Jadi
terhadap seorang anak yang umurnya kurang dari 18 tahun sebetulnya tidak dapat dijatuhi hukuman pidana perampasan kemerdekaan, kecuali
ditentukan lain oleh peraturan. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia dalam Pasal 45 dikatakan bahwa :
“Dalam menuntut orang yang belum cukup umur minderjarig karena melakukan perbuatan sebelum berumur enam belas tahun,
maka Hakim dapat menentukan: Memerintahkan yang bersalah supaya dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau
pemeliharanya tanpa dijatuhi pidana apapun atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada Pemerintah tanpa pidana
apapun yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut dalam pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503,
505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, 541 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan salah karena kejahatan atau salah satu
pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana”.
Dengan demikian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak diatur tentang batasan umur seorang anak pelaku tindak pidana mulai
dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Mengenai kepastian tentang hal ini tidak disebutkan dalam pasal 45 tersebut. Semuanya
diserahkan kepada keyakinan Hakim.
commit to user 32
Terkait dengan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut menurut pendapat SR. Sianturi 1996: 157: bahwa sistem
pertanggungjawaban pidana anak yang dianut oleh KUHP yang berlaku sekarang ini adalah sistem pertanggungjawaban yang menyatakan bahwa
semua anak berusia 1 tahun sampai dengan 16 tahun, anak yang jiwanya sehat, dianggap mampu bertanggungjawab dan dituntut.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai batas usia anak, akan tetapi dalam
Pasal 153 ayat 5 memberi wewenang kepada Hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17 tahun untuk menghadiri sidang.
Sedangkan Pasal 171 a menentukan bahwa anak yang belum berusia 15 tahun dan belum pernah kawin dapat memberi keterangan tanpa sumpah.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur juga mengenai batas usia pertanggungjawaban anak pelaku tindak pidana yaitu,
pada Pasal 113 disebutkan bahwa : 1 Anak yang belum mencapai umur 12 dua belas tahun melakukan
tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan. 2 Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur
antara 12 dua belas tahun dan 18 delapan belas tahun yang melakukan tindak pidana.
Ketentuan ini mengatur tentang batas umur minimum untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana bagi seorang anak yang melakukan
tindak pidana. Penentuan batas usia 12 dua belas tahun didasarkan pada pertimbangan psikologis yaitu kematangan emosional, intelektual dan
mental anak. Seorang anak di bawah umur 12 dua belas tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan karena itu penyelesaian
kasusnya harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan lainnya. ini Adanya batasan umur 12 -18 tahun bagi pelaku tindak pidana anak ini,
memberi konsekuensi bahwa untuk seorang anak pelaku tindak pidana yang berumur kurang dari 12 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Hal ini memberikan kemajuan tersendiri dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, yaitu dengan tidak menetapkan batas usia yang terlalu
rendah bagi anak pelaku tindak pidana untuk mempertanggungjawabkan
commit to user 33
perbuatannya. Dengan demikian menurut konsep KUHP, yang menjadi subjek hukum adalah anak yang berumur 12 tahun sampai 18 tahun, yang
dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya. Menurut Rupert Cross 1953: 129, yang dimaksud dengan anak
adalah setiap orang yang berumur kurang dari 14 tahun; seorang remaja adalah setiap orang yang berumur 14 tahun tetapi belum mencapai umur
17 tahun a child is any person under the age of fourteen years; a young person is any person who has attained the age of fourteen years but has
not attained the age of seventeen years. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
dalam pasal 4 menyebutkan bahwa : Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak sekurang-kurangnya 8 delapan tahun tetapi
belum mencapai 18 delapan belas tahun dan belum kawin. Paulus Hadisuprapto 2008: 10 mengemukakan : “Batasan usia terhadap seorang
anak yang dapat dipertanggung-jawabkan terhadap perbuatannya tersebut tidak ada keseragaman. Hal ini juga dijumpai dalam perumusan batasan
tentang pertanggungjawaban pidana anak di berbagai negara. Di Amerika Serikat, 27 negara bagian menentukan batas umur antara 8 – 18 tahun,
sementara 6 negara bagian menentukan batas umur antara 8 – 17 tahun, ada pula negara bagian lain yang menentukan batas umur antara 8 – 16
tahun. Sementara itu, Inggris menentukan batas umur antara 12 – 16 tahun. Sebagian besar negara bagian Australia menentukan batas umur antara 8 –
16 tahun. Dari apa yang dikemukakan di atas mengenai batas usia
pertanggungjawabkan pidana bagi anak pelaku tindak pidana ini memang tidak ada keseragaman. Hal ini tergantung dari masing-masing negara
dalam melihat kematangan mental, intelektual dan emosional seorang anak yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun semuanya sudah mengacu dan
sesuai dengan ketentuan yang diamanatkan oleh The Beijing Rules, bahwa batasan usia seorang anak yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap
perbuatannya diserahkan
kepada masing-masing
negara dengan
mempertimbangkan keadaan emosional, mental dan pikirannya. Begitu juga dengan peraturan di Indonesia yaitu adanya Undang-Undang No. 3
commit to user 34
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah mengacu pada The Beijing Rules dalam menentukan batasan usia seorang anak yang dapat
dipertanggungjawabkan, walaupun masih ada kekurangannya.
c. Tersangka Anak