I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang
Budidaya perikanan merupakan sektor yang masih terus berkembang sampai saat ini. Menurut Anonimous 2007b, luas usaha perikanan budidaya di
kolam air tawar meningkat secara nyata yaitu 99.740 Ha pada tahun 2004 menjadi 107.785 Ha pada tahun 2005. Sektor ini mengemban tugas yang berat
untuk tetap mempertahankan dan atau meningkatkan produktivitasnya ditengah kondisi yang semakin sulit untuk melakukan ekstensifikasi. Hal tersebut terjadi
karena lahan budidaya perikanan di daratan semakin sempit akibat berkompetisi dengan manusia dan bahan pangan lainnya. Sebenarnya masih terdapat potensi
untuk melakukan ekstensifikasi budidaya perikanan di daratan diantaranya adalah dengan memanfaatkan lahan gambut.
Lahan gambut di Indonesia diperkirakan mempunyai luas 20 juta Ha yang tersebar di beberapa pulau di Indonesia, yaitu pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan,
Sulawesi, Papua dan kepulauan Maluku Soekardi dan Hidayat 1988 dalam Noor
2001. Lahan gambut tersebut belum banyak dimanfaatkan untuk perikanan dikarenakan memiliki sifat yang khas diantaranya adalah keasaman yang tinggi,
warna airnya hitam dan kandungan oksigennya rendah. Kendala yang paling utama dalam pengembangan usaha perikanan dikawasan tersebut adalah
keasaman airnya. Selain permasalahan sempitnya lahan, sektor budidaya perikanan juga
menghadapi ancaman perairan asam yang dikhawatirkan semakin meningkat akibat dari hujan asam dan juga perubahan iklim global
global climate change Wikipedia 2009. Berbagai daerah dilaporkan sudah mengalami hujan asam,
diantaranya di Taiwan, hujan asam yang melanda perkotaan mempunyai kisaran pH 4,06-4,57 dan di pedesaan adalah 4,5-5,24 Chen dan Chen 2002.
Dalam upaya pemanfaatan perairan asam dari lahan gambut maupun upaya antisipasi perairan yang memiliki pH rendah karena hujan asam, maka
dunia perikanan terutama budidaya perikanan perlu melakukan studi untuk mengkaji spesies ataupun strain-strain komoditas yang tahan terhadap kondisi
asam. Indonesia memiliki spesies budidaya perikanan yang potensial untuk
dipelihara pada perairan asam. Salah satu dari spesies tersebut adalah udang galah dimana berdasarkan penelitian Chen dan Chen 2002 udang galah
memiliki nilai LC50 pada pH 4,08 dalam waktu 96 jam. Sehingga dengan demikian diharapkan udang galah mampu menjadi komoditas yang dapat
dikembangkan di perairan asam. Perbedaan strain pada satu spesies mempunyai hubungan dengan ketahanan pada lingkungan hidupnya Wanasuria
2008. Saat ini berbagai strain udang galah di Indonesia sedang dikaji dan dikembangkan keunggulannya. Sebagai contoh, strain Jawa dari sungai Citarik
dikenali sebagai udang galah yang mempunyai tingkat kelangsungan hidup larva yang tinggi, atau strain Sulawesi dari sungai Jeneberang yang dikenali sebagai
udang galah yang tingkat pertumbuhannya rendah Ali 2009. Dengan dimilikinya berbagai strain udang galah di Indonesia, maka diharapkan peluang untuk
menjadikannya komoditas unggulan di perairan asam menjadi lebih besar. Selain potensinya untuk dipelihara di perairan asam, udang galah juga
merupakan komoditas unggulan. Udang galah menjadi udang air tawar utama pada skala kecil maupun
skala besar karena kecepatan tumbuh, ukuran yang besar, kualitas daging yang baik dan pola makan yang omnivora pemakan segala. Budidaya udang galah
banyak ditemukan di China, India, Thailand, Vietnam, Bangladesh, Malaysia dan Taiwan. Juga ditemukan di Ekuador Nandlal dan Pickering 2005. Menurut
Anonimous 2005 untuk industri pembekuan, udang galah diperoleh dari impor senilai 47,304 miliar rupiah dan dari pasar dalam negeri senilai 246,161 miliar
rupiah. Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut diatas maka perlu dilakukan penelitian yang dapat mengevaluasi daya tahan berbagai strain unggul
yang dapat dibudidayakan di perairan asam.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi derajat kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang galah strain Sulawesi, Jawa dan Jenerik yang
hidup pada perairan asam.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Udang Galah