Syarat-syarat Bagi Yang Melakukan Hadhanah

anak di masa yang akan datang dan apabila tidak berhati-hati dalam merawatnya, ditakutkan anak bisa lebih mudah terpengaruh terhadap perbuatan yang bisa mencelakakan baik itu jasmani dan rohaninya. Dari dasar hukum yang disebutkan diatas, baik itu secara hukum Islam maupun hukum Positif mengenai pemeliharaan anak, dapat disimpulkan bahwa dari kedua hukum tersebut,telah jelas menyatakan pemeliharaan anak hukumnya bersifat wajib. Adanya sifat wajib disini ialah baik orang tuanya dalam ikatan perkawinan maupun bercerai, mereka tetap harus merawat, melidungi, menjaga anak- anaknya sebaik mungkin tanpa menghilangkan hak anak tersebut.

C. Syarat-syarat Bagi Yang Melakukan Hadhanah

Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh atau mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan anak. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan bapak secara bersamaan berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinannya, akan tetapi jika suami dan istri bercerai dan keduanya berpisah maka sebagai kedua orang tua tetap berkewajiban memelihara anaknya sendiri-sendiri. 50 50 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, h. 328 Sebagaimana diterangkan di dalam kitab Kifayatul ahyar, mengenai syarat-syarat bagi yang melakukan hadhanah, yaitu terdapat tujuh macam di antaranya: “syarat-syarat bagi orang yang akan melakukan tugas hadhanah ada tujuh macam: berakal sehat, merdeka, beragama Islam, sederhana, amanah, dan tidak bersuami baru, bermukim di daerah tertentu, apabila kurang dari satu di antara syarat-syarat tersebut, gugurlah hak hadhanah dari tangan ibu. ” Mengingat adanya syarat-syarat bagi pengasuh anak maka hal tersebut menjadi kepentingan anak, mengenai syarat secara jelasnya ialah, sebagai berikut: 52 1. Mukallaf sudah baligh berakal, karena orang yang belum baligh, orang-orang yang kurang akal dan yang mempunyai sifat-sifat yang dapat membahayakan si anak. 53 Oleh sebab itu seorang ibu yang mendapat gangguan jiwa atau ingatannya tidak layak melakukan hadhanah. Ahmad bin Hanbal menambahkan agar yang melakukan hadhanah tidak mengidap penyakit menular. 54 51 Abu Bakar Taqinuddin Syafi’i, Kifayatul Ahyar, Juz.1, Damaskus: Darul Khair, 1994, h. 447 52 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2010, h. 172 53 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, h. 134 54 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, h. 172 2. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik mahdhun anak yang diasuhnya dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar. 3. Mempunyai sifat amanah, maka dengan itu dapat lebih menjamin pemeliharaan anak, karena orang yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan contoh yang baik kepada anak yang diasuh, oleh karena itu ia tidak layak melakukan tugas ini. 4. Tidak terikat dengan perkawinan dengan laki-laki yang lain, apabila pengasuh itu adalah wanita atau ibu kandungnya, sesuai dengan sabda Rasulullah kepada seorang wanita yang anaknya akan diambil oleh bekas suaminya: “…Engkau lebih berhak terhadap anakmu itu selama engkau belum menikah lagi. ”HR. Abu Dawud Apabila ibunya yang menikah dengan laki-laki yang ada hubungan mahram dengan anak maka ia tetap mempunyai hak tersebut, mengingat terhadap kemaslahatan anak yang diasuhnya. Apabila kemaslahatan si anak diduga akan terjaga, sekalipun ibunya telah menikah dengan laki-laki yang bukan mahram si anak, maka pengasuh tetap mempunyai haknya. 56 55 Abu Dawud Sulaiman bin Al- Asy’ats bin Ishaq, Sunan Abu Dawud, Juz 2, Hadis 2276, Bairut: Maktaba Al-Ashriyah, h. 283 56 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 134-135 5. Seseorang yang melakukan hadhanah harus beragama Islam. Karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Apabila anak diasuh oleh orang yang bukan Islam dikhawatirkan anak akan mengikuti agamanya. 57 Akan tetapi jika terjadinya perceraian yang di akibatkan seorang istri atau ibu si anak pindah agama murtad, yang di satu sisi seorang ibu lebih berhak atas pemeliharaan anak tersebut. Maka hal ini yang menjadi problematika di kalangan ulama fiqih karena adanya perbedaan pendapat mengenai boleh atau tidaknya hak asuh bagi ibu yang murtad. Tetapi apabila seorang ibu melalaikan kewajibannya dan berkelakuan buruk yang menimbulkan dampak negatif pada anak, maka hak asuh tersebut menjadi gugur serta penghalang untuk mendapatkan hak asuh anak. Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai syarat seseorang yang mengasuh beragama Islam. Bahwa kalangan dari ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah tidak mensyaratkan orang yang memelihara anak harus beragama Islam, akan tetapi jika non-muslim itu kitabiyah atau ghairu kitabiyah boleh menjadi hadhanah baik ia ibu sendiri maupun orang lain. 58 Oleh sebab itu mengenai masalah agama yang dianut oleh pengasuh tidak menjadi syarat apakah pengasuh itu 57 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, h. 329 58 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Penerjemah Abdul Hayyie al- Kattani, dkk: Penyunting Budi Permadi, Cet. 1, h. 67 seorang yang beragama Islam atau tidak, karena kasih sayangnya seorang ibu kepada anaknya tidak akan terpengaruh karena perbedaan agamanya dan agama anak itu, kecuali anak dikhawatirkan akan terpengaruh dengan perilaku agama yang berlainan dengan anak atau memakan makanan yang haram menurut hukum Islam. 59 Akan tetapi bagi seorang yang beragama Islam menerapkan sikap yang sangat tegas dalam menghadapi kemurtadan, khususnya bila para pelakunya menyatakan kemurtadan diri mereka dan menjadi pengaruh kepada orang lain untuk melakukan kemurtadan. Karena sesungguhnya mereka merupakan bahaya yang sangat serius yang akan menghancurkan dasar-dasar aqidah. 60 Sebagaimana yang dijelaskan dalam Hadis Nabi Saw diriwayatkan oleh Abu Hurairah. ra: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannnya penganut yahudi, nasrani, atau majusi ”. HR. Bukhari Muslim Hadis diatas menerangkan bahwa bayi yang dilahirkan itu dalam keadaan suci dan bersih, seperti sehelai kertas putih. Jika digoresi dengan tinta hitam, dia menjadi hitam dan jika ditulisi dengan 59 Zakariya Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-anak Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1977, h. 59 60 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, Penerjemah khairul amru harahap, faisal saleh, jilid 3, cet. 2, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007, h. 672-673 61 Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari, Kitab Shahih Al-Bukhari, No. 1385, Juz. 9, Cet. 1, Damaskus: Daru Tukin Nujjati, h. 100 tinta merah, dia akan menjadi merah. Maksudnya ialah, apabila akhlak dan kepribadian anak itu amat tergantung kepada rawatan, asuhan dan didikan ibu dan bapaknya. Ibu dan bapaknya lah yang me-Yahudi-kan anaknya atau me-Nasrani-kan atau me-Majusi-kannya. 62 Sehingga menunjukkan bahwa kemurnian agama anak tidak akan aman jika orang tua yang mengasuhnya kafir, karena ruang lingkup hadhanah meliputi pendidikan agama anak. 63 Oleh karena itu pemeliharaan anak dari salah satu orang tuanya yang bukan Muslim dipandang tidak berhak mengasuh anak karena kekafirannya yang sudah tentu akan langsung berpengaruh terhadap anaknya. 64 sebagaimana diterangkan dalam firman Allah surat An-Nissa ayat 141 mejelaskan: “…dan Allah sekali-kali tidak akan memeberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang- orang yang beriman”. QS. An-Nissa: 141 Mengenai adanya perbedaan pendapat para ulama dalam pengasuhan yang diterangkan diatas, maka dari berpengaruhnya akidah dan agama anak disinilah yang menjadi bahaya terbesar yang akan dialami si anak, apabila ada kewenangan bagi orang yang non-muslim untuk mengasuh anaknya. 62 A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1994, Cet. 1, h. 220 63 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, Penerjemah khairul amru harahap, faisal saleh, jilid 3, cet. 2, h. 673 64 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 201 6. Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil. 65 Sedangkan dalam ketentuan Perundang-undangan di Indonesia sendiri tidak terlihat adanya syarat-syarat untuk melakukan hadhanah, tetapi lebih melihat kepada tanggung jawab serta kewajiban seorang ibu dan bapaknya terhadap anaknya baik dalam ikatan perkawinan maupun terjadinya perceraian. Karena tidak adanya ketentuan tersebut, sehingga tidak memberikan pengaturan secara tegas mengenai kriteria sebagai pengasuh anak. Hal ini berbeda dengan aturan fikih yang menetapkan bahwa seorang pengasuh harus memenuhi beberapa kriteria, sebagaimana yang telah disebutkan diatas jika ia ingin mendapatkan hak asuhnya. 66 Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh mahdhun itu adalah: 67 1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri. 65 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, h. 329 66 Arskal Salim. dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan, Jakarta: PUSKUMHAM, 2009, h. 69 67 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, h. 329 2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapa pun. Apabila kedua orang tua dari anak tersebut masih lengkap dan memenuhi syarat, maka yang paling berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih memiliki rasa kasih sayang dibandingkan dengan ayah, sedangkan dalam usia anak yang sangat muda itu lebih dibutuhkan kasih sayang, dan apabila anak berada dalam asuhan seorang ibu maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada dibawah tanggung jawab si ayah, dari hal ini sudah merupakan pendapat yang disepakati para ulama. 68 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam KHI juga sudah menjelaskan sama halnya dengan keterangan di atas bahwa seorang ibu lebih berhak atas anaknya yang masih kecil untuk dipeliharanya dan diatur dalam pasal 105 KHI yang menyatakan: Dalam hal terjadinya perceraian: 1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah ha ibunya; 2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; 3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. 68 Ibid., h. 329 Adapun yang dimaksud dalam pasal tersebut bahwa ibu mendapatkan prioritas utama untuk mengasuhnya selama anak belum mumayyiz. Apabila anak yang sudah mumayyiz maka anak disuruh memilih kepada siapa di antara ayah dan ibunya, dia akan ikut. 69 Dan tampak jelas dengan ketentuan pasal tersebut dalam hal tanggung jawab seorang ayah kepada anaknya tidak dapat gugur, walaupun ia sudah bercerai dengan istrinya atau ia sudah kawin lagi. 70

D. Pihak-pihak Yang Berhak Atas Hadhanah

Dokumen yang terkait

Jatuhnya Hak Hadhanah Kepada Orang Tua Laki-Laki Karena Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama. (Studi Pada Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1521/Pdt.G/2011/PA.Mdn)

1 59 103

Analisis Hadhanah Pada Putusan Hadhanah Di Pengadilan Agama Medan (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan Tahun 2010-2012)

2 91 165

Analisis Yuridis Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 65/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST)

1 81 151

Perceraian akibat suami riddah: analisis koperatif putusan penagdilan agama bogor perkara Nomor 49/Pdt.G/2010/PA.BGR. dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara Nomor 378/Pdt.G/2009/PA.JP

0 3 62

Cerai gugat akibat suami terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Perkara Nomor 770/Pdt.G/2010

0 4 118

Hak Waris Anak Murtad (Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara Nomor: 84/Pdt.P/2012/PA.JU)

1 18 0

Murtad sebagai Penghalang Hadhanah

0 14 206

BAB II KARAKTER HADHANAH PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN DARI TAHUN 2010-2012 1. Perceraian Dan Akibat Hukum Terhadap Anak a. Perceraian - Analisis Hadhanah Pada Putusan Hadhanah Di Pengadilan Agama Medan (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan Tahun 20

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang - Analisis Hadhanah Pada Putusan Hadhanah Di Pengadilan Agama Medan (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan Tahun 2010-2012)

0 1 32

Analisis Hadhanah Pada Putusan Hadhanah Di Pengadilan Agama Medan (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan Tahun 2010-2012)

0 2 14