Cerai gugat akibat suami terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Perkara Nomor 770/Pdt.G/2010

(1)

CERAI GUGAT AKIBAT SUAMI TERKENA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)

(Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Perkara Nomor 770/Pdt.G/2010/PA JS)

Oleh:

Ari Amigar 106044201456

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H/2011 M


(2)

(3)

(4)

KATA PENGANTAR















Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Sebagai suri teladan yang sempurna bagi kita semua.

Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis. Sebagai tanda syukur atas terselesaikannya penulisan skripsi yang berjudul CERAI GUGAT AKIBAT SUAMI TERKENA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK), (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Perkara Nomor 770/Pdt.G/2010/PA JS)” Maka penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Ketua Jurusan Akhwal Syakhshiyyah sekaligus pembimbing dalam penulisan skripsi ini, yang telah meluangkan waktu dan tenaga serta dengan sabar memberikan petunjuk, motivasi dan bimbingan kepada penulis.


(5)

3. Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Yang telah memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang menjadi referensi dalam penulisan skripsi.

4. Secara khusus penulis juga mengucapkan terimakasih yang mendalam kepada kedua orang tua penulis yang tercinta, ayahanda dan ibunda yang senantiasa membimbing dan memotivasi penulis dengan tulus, serta selalu mendoakan penulis agar penulis selalu sukses dalam segala hal. Semua yang telah mereka berikan tidak akan dapat tergantikan dengan apapun di dunia ini.

5. Adik-adik tercinta, serta keluarga besar yang telah memberikan motivasi dan juga semangat, serta memberikan saran-saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Sahabat dan teman seperjuangan di Administrasi Keperdataan Islam angkatan 2006, khususnya kepada Irpan, Ahmad Musyawa Ismail, Ubaidillah, Cahyana, Ahmad Fauzi, Ahmad Sauqy, Azhar, Wahyu, Hadi Zulkarnaen, yang telah banyak berkorban membangkitkan semangat penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Muzdalifah, SHI. yang telah memberikan motivasi dan juga menghilangkan kepenatan dan memberikan motivasi kepada penulis dengan semua canda dan perhatiannya.


(6)

8. Tak terlupakan pula terimakasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini yang penulis tidak bias sebutkan satu per satu.

Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT. Kesempurnaan haya milik Allah SWT mudah-mudahan semua yang telah penulis lakukan mendapat Ridha Allah SWT, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.

Jakarta, 17 Maret 2011


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI. ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metode Penelitian... 8

E. Studi Review ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II PERCERAIAN ... 15

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian ... 15

B. Faktor-Faktor Terjadinya Perceraian ... 24

C. Akibat perceraian ... 31

D. Prosedur Perceraian ... 40

BAB III HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI DAN ISTRI ... 47

A. Hak dan Kewajiban Bersama Suami dan Istri... 47

B. Hak dan Kewajiban Suami Terhadap Istri ... 52

C. Hak dan Kewajiban Istri Terhadap Suami ... 56

BAB IV PROFIL PENGADILAN AGAMA DAN PUTUSAN PERKARA NOMOR 770/Pdt.G/2010 ... 60


(8)

A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan ... 60

B. Duduknya Perkara ... 66

C. Pertimbangan Hukum dan Analisis Hakim ... 73

D. Analisis Penulis ... 80

BAB V PENUTUP ... 90

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 95

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 98 1. Surat Permohonan Data dan Wawancara

2. Surat Pengesahan Ujian Proposal 3. Surat Keterangan Observasi 4. Pedoman Dan Hasil Wawancara


(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena manusia adalah makhluk sosial dimana yang satu dengan yang lainnya saling bergantung untuk kelangsungan kehidupan itu sendiri, tentunya dengan didasari aturan-aturan atau Undang-Undang yang berlaku di dalam masyarakat Indonesia.

Yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan hukum Islam memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan sosial. Aspek agama menetapkan keabsahan perkawinan, sedangkan aspek formal adalah menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan di KUA.2

Perkawinan adalah suatu bentuk ibadah yang harus dijaga kesucian oleh kedua belah pihak baik suami ataupun istri agar tercapainya tujuan dari perkawinan

1

Neng Djubaedah, dkk, Hukum Pekawinan Islam di Indonesia: (Jakarta: PT. Mecca Mitra Utama, 2005), h.56.

2


(10)

itu sendiri, yaitu melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan penyambung cita-cita3, membentuk keluarga yang bahagia kekal selamanya serta dapat mengembangkan dan memenuhi ketentraman jiwa dikarenakan perkawinan yang harmonis dan didasari syari’at Islam. Terwujudnya tujuan perkawinan tersebut sudah barang tentu sangat tergantung pada maksimalisasi peran dan tanggung jawab masing-masing pihak, istri dan suami.4

Apabila terlaksana akad perkawinan yang sah, maka mulai saat itu antara kedua calon mempelai sudah terikat dalam ikatan perkawinan dan telah resmi hidup sebagai suami istri5. Keduanya di haruskan untuk menjaga dan mencapai tujuan-tujuan dari perkawinan.

Agar tercapainya rumah tangga yang baik hendaklah individu-individu dalam rumah tangga yang pada pokoknya terdiri dari suami dan istri harus pula saling menunaikan hak dan kewajiban masing-masing. Hak dan kewajiban suami dan istri itu memegang peranan yang penting dalam suatu rumah tangga. Apabila masing-masing pihak tidak dapat saling menjaga dan memeliharanya maka dapat di tunggu saat kehancuran dari perkawinan.6

3

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan: (Jakarta: PT Bulan Bintang 2004), h.12.

4

Amirudin Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2004), h.179

5

Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan: (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya 1989), h.7.

6


(11)

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kenyataan hidup yang terdapat dalam masyarakat kehidupan berjalan dinamis, tidak lepas dari perselisihan antara anggota tersebut terlebih antara suami dan istri. Kenyataan hidup seperti itu membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan kesinambungan hidup bersama suami dan istri bukan sesuatu hal yang mudah untuk dilaksanakan, sehingga dalam banyak rumah tangga tidak berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan dalam perkawinan.

Perkara hak dan kewajiban suami dan istri sangat banyak menimbulkan masalah ditengah-tengah rumah tangga. Secara umum masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan berumah tangga itu berkaitan banyak faktor, salah satu faktornya adalah masalah kurangnya kebutuhan untuk hidup dalam rumah tangga.

Setelah terjadinya akad nikah yang sah yang dilakukan oleh suami dan istri, menyebabkan istri telah terikat dengan hak-hak suaminya dan telah haram untuk dikawini oleh orang lain. Ikatan tersebut menyebabkan istri tidak dapat mencari nafkah secara maksimal untuk dirinya sendiri, karena itu istri berhak mendapatkan nafkah dari orang yang mengikatnya, yaitu suaminya.7

Nafkah menurut bahasa adalah mengeluarkan atau melepaskan.8 Nafkah merupakan kebutuhan pokok yang sangat penting bagi kehidupan rumah tangga yang diberikan oleh suami kepada istri berupa pakaian, tempat tinggal, makanan, sebagai salah satu untuk mewujudkan keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri.

7

Kamal Muchtar,Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, h.131.

8


(12)

Islam mewajibkan laki-laki sebagai seorang suami untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya, namun hal itu tidak dapat menghilangkan kewajiban perempuan sebagai seorang istri yang secara moral adalah untuk membantu suaminya mencari nafkah, sebagai nafkah tambahan. Karena dalam kehidupan yang nyata banyak laki-laki (suami) yang penghasilanya tidak memenuhi tuntutan kehidupan pokok sehari-hari dalam rumah tangga. Sering kali hal ini memicu terjadinya perselisihan antara suami dan istri, karena hak istri tidak dapat dipenuhi oleh suami.

Namun roda kehidupan ekonomi seseorang memang berputar, dalam mencari nafkah suami tidak serta-merta mendapatkan jalan yang mudah untuk mencari nafkah bagi keluarganya, terkadang yang dahulunya telah mendapatkan perkerjaan yang sesuai dengan kemampuan suami dan cukup untuk membiayai kebutuhan hidup keluarga, tiba-tiba terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pihak perusahan dimana suami berkerja, hal ini akan menyulut konflik dalam keluarga karena setelah terkena Pemutusan Hubugan Kerja (PHK) secara otomatis kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga menjadi tidak tercukupi. Seperti pada kasus yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Suami tidak lagi dapat memberikan nafkah kepada keluarga karena telah terkena pemutusan hubungan kerja oleh pihak perusahan, dan suami hanya menunggu perkerjaan yang sama seperti yang dulu, dikarenakan si suami tidak mempunyai keahlian yang lain, suami telah mencoba bekerja kembali namun hanya satu tahun dikarenakan perkejaannya tidak sesuai dengan kemampuan suami, dan penghasilan dari suami tidak mencukupi kebutuhan


(13)

keluarga. Sehingga istri mencari perkerjaan dengan berdagang untuk memenuhi kebutuhan keluarga akan tetapi suami tidak menghargai usaha dari si istri. Sehingga si istri melayangkan surat guagatan cerai, dan diputuskan bercerai oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Dari penjelasan di atas penulis tergugah untuk meneliti kasus perkara dengan alasan suami tidak mampu memberikan kebutuhan hidup keluarga dikarenakan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai penyebab terjadinya perceraian. Maka dari itu penulis mengambil objek penelitian di Pengadilan Agama yang menangani kasus perceraian bagi orang-orang yang beragam Islam. Di khususkan pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan karena sebagai Pengadilan agama yang memutuskan perkara nomor 770/Pdt.G/2010/ PA JS.

Dari latar belakang di atas penulis mengambil skripsi dengan judul Cerai Gugat Akibat Suami Terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor 770/Pdt.G/2010/PA JS) B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian skripsi ini lebih terarah. Maka penulis membatasi lingkup permasalahan yang berkenaan dengan kewajiban suami untuk memberikan nafkah keluarga menurut aturan yang berlaku di Indonesia(KHI dan Undang-Undang Perkawinan). Karena peraturan tersebut menjadi acuan hukum khususnya yang berkenaan dengan tangung jawab suami terhadap istri namun pada


(14)

kasus ini suami melalaikan kewajibannya sebagai seorang suami dikarenakan suami terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

2. Perumusan Masalah

Dalam al-Quran, Hadist, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan, menjelaskan dengan detail tentang kewajiban suami dalam keluarga, tetapi dalam kenyataanya banyak suami yang tidak melaksanakan kewajiabanya dengan banyak alasan khusunya karena tidak mempunyai keahlian perkerjaan atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja, sehingga suami melalaikan kewajibanya sebagai seorang suami.

Dari rumusan masalah di atas maka penulis dapat merinci dan mengambil point-piont yang harus di bahas dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.

a. Apakah akibat terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat menjadi alasan perceraian ?

b. Apa pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memutuskan perkara nomor 770/Pdt.g/2010/PAJS ?

c. Bagaiamana kewajiban suami dan istri setelah terjadinya perceraian akibat suami terkena Pemutusan Hubungan Kerja ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari skripsi ini adalah untuk menjawab beberapa permasalahan sebagai berikut :


(15)

a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI).

b. Untuk mengetahui boleh atau tidak melakukan perceraian dengan alasan terkena Pemutusan Hubungan Kerja.

c. Dapat memberi pemahaman yang lebih dalam memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban sebagai seorang suami.

d. Dapat mengetahui landasan-landasan hukum para hakim dalam memutuskan perkara perceraian khususnya putusan nomor 770/Pdt.G/2010/ PA JS.

e. Dapat mengetahui tentang arti perkawinan dan perceraian menurut aturan hukum yang berlaku.

f. Dapat mengetahui prosedur-prosedur perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

2. Manfaat Penelitian

a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI).

b. Memberikan wawasan kepada penulis dalam rangka meningkatkan kecerdasan pemikiran dalam menganalisis permasalahan yang ada. c. Memberikan pengetahuan bagi para akademisi, dengan disusunnya


(16)

d. Sumbang sih kepada masyarakat umum dalam memberikan pemahaman tentang hak dan kewajiban seorang suami agar terciptanya hubungan keluarga yang harmonis.

e. Memberikan pelajaran bagi calon hakim dalam menerapkan peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang ditempuh oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian a. Kualitatif

Jenis penelitin kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif : ucapan atau tulisan dan prilaku yang dapat di amati dari orang-orang (subjek) itu sendiri.9

b. Penelitian Kepustakaan

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode ini, dengan cara pengkajian dari buku-buku yang mengacu dan berhubungan dengan pembahasan skripsi ini yang di analisa data-datanya.

c. Penelitian Lapangan

9

Arief furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif : suatu pendekatan fenomologis terhadap ilmu-ilmu sosial : (Surabaya: Usaha Nasional 1992), h 21-22.


(17)

Penelitian ini adalah dengan cara mengumpulkan data-data lapangan10 yang berkaitan dengan judul skripsi ini, dalam hal ini adalah pencarian data-data di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

2. Jenis data

a. Data Primer yaitu bahan-bahan yang dapat dijadikan rujukan dalam penelitian yakni buku-buku hukum atau yang berkaitan dengan masalah penelitian ini, dan lampiran putusan yang di keluarkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

b. Data Sekunder yaitu dapat berupa hasil wawancara dengan hakim yang memutuskan perkara nomor 770/Pdt.G/2010/ PA JS.

c. Data Tertier yaitu data yang didapat dari kamus dan jurnal hukum dan lain-lainya.

3. Objek Penelitian

Objek Penelitian atau yang menjadi titik perhatian dalam penelitian ini adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai alasan pengajuan perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan nomor putusan 770/Pdt.G/2010/PA JS.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal teknik pengumpulan data penulis akan menggunakan teknik studi kepustakaan/studi dokumen (decumentary study)11, yakni menelusuri

10

Suharsimin Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Pendek: (Jakarta: Bhineka Cipta 1998), h 234.


(18)

buku dan literatur yang terkait dengan permasalahan, selain pengumpulan data menggunkan study kepustakaan penulis juga akan menggunakan teknik wawancara dengan hakim yang terkait dengan permasalahan.12

5. Teknik analisis data

Teknik analisa data dalam penulisan ini yaitu dengan cara penulis manganalisi putusan hakim nomor 770/Pdt.G/2010/ PA JS melalui buku-buku hukum, undang-undang dan wawancara dengan hakim, teknin analisis ini akan dilakukan dengan memaparkan semua hasil data-data yang diperoleh dan yang sudah dikumpulkan dan dianalisa oleh penulis dengan bentuk deskriptif dengan menggunakan bahasa baku dan bahasa penulis sendiri.

6. Teknik Penulisan Skripsi

Teknik Penulisan Skripsi ini penuis berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syari’ah dan Hukum, cet ke-1 tahun 2007. Dan menggunakan deskripstif analisis lalu selanjutnya dibuat kesimpulan atas permasalahan yang diteliti oleh penulis.

11

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metide Penelitian Hukum: (jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2004), h.61.

12


(19)

E. Studi Riview

Sebelum menetukan judul proposal skripsi penulis melakukan review studi terdahulu, dalam hal ini peneliti meringkas skripsi yang ada kaitan dengan permaslahan judul skripsi penulis, adapun penelitian tersebut adalah :

1. Judul Skripsi : Cerai Gugat Akibat Suami Tidak Bisa Menjadi Pemimpin Keluarga

Dalam penulisan skripsi ini menjelaskan bahwa penyebab terjadinya perceraian adalah suami tidak bisa menjadi pemimipin keluarga, dalam hal ini suami tidak dapat memberikan cantoh yang baik bagi keluarga, seperti tidak pernah melakukan ibadah sholat lima waktu dan percaya dengan hal-hal yang ghaib. Disamping itu pula suami sering mengeluarkan kata-kata kasar kepada istri apabila terjadi pertengkaran. Berawal dari masalah inilah si istri mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya.

2. Judul Skripsi : Ketidak Sanggupan Suami Dalam Melunasi Hutang Istri Sebagai Sebab Pengajuan Perceraian.

Skripsi ini berisi bahwa latar belakang yang menjadi penyebab terjadinya perceraian dikarenakan suami tidak dapat melunasi hutang istri. Pada awalnya si istri berniat untuk membantu suaminya memberikan nahkah tambahan dengan cara melisingkan BPKB kendaran untuk melancarkan usaha suami nya tetapi si suami tidak mengetahui hal ini, berniat membantu dan mendapatkan keuntungan yang besar ternyata dalam perjalannya usaha suami tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan siistri, bukannya mendapatkan keuntungan malah mendapat kerugian. Berawal dari


(20)

masalah ini suami tidak dapat melunasi hutang siistri sehingga istri menggugat suami, maka terjadilah perceraian.

3. Judul Skripsi : Penyelesaian Perceraian Suami Selingkuh

Sebab terjadinya perceraian dalam skripsi ini dikarenakan suami selingkuh, alasan suami selingkuh dan mengajukan thalak kepada istri dikarenakan tidak ada lagi rasa percaya istri kepada suami, disamping itu siistri mempunyai sifat yang keras dan sangat egois. Pada mulanya, suami mengajukan perceraian kepada istri untuk pertama kalinya, tetapi hakim Pengadilan agama tidak menerima permohonan perceraian karena tidak cukup alasan untuk mengajukan perceraian disamping itu siistri pun tidak mau untuk diceraikan. Lalu pada permohonan perceraian untuk yang kedua kalinya, hakim Pengadilan Agama baru memutuskan Perceraian dan dijatuhkannya thalak kepada istri, karena alasan-alasan suami sudah dapat dijadikan alasan perceraian dan istri pun menerima karena siistri sudah tidak sanggup lagi menerima perlakuan dan tindakan suami.

Dari tiga tinjauan riview atau kajian terdahulu yang sudah dibahas di atas maka penulis akan lebih mengkhusukan judul skripsi penulis yakni : “Cerai Gugat

Akibat Suami Terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)” (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor 770/Pdt.G/2010/PA JS). Oleh sebab itu penulis dapat lebih terkonsentrasi secara mendalam mengenai permasalahan yang terjadi antara pasangan suami-istri yang dilatar belakangi karena suami mendapat Pemutusan Hubungan Kerja.


(21)

Maka disini terlihat ada perbedaan dalam pembahasan judul yang sudah dibahas oleh para penulis terdahulu, karena dalam ketiga karya yang terdahulu, berbeda permasalah yang melatar belakangi terjadinya perceraian serta putusan yang akan dianalisi oleh penulis. Disamping itu didalam karya ketiga penulis itu membahas judul yang tidak spesifik, maka untuk lebih mengkhususkan kembali maka penulis mengajukan judul yang sudah tertera. Dan mohon izinkan penulis diberikan kesempatan untuk membahas dan meneliti dari judul yang sudah penulis tetapkan. F. Sistematika Penulisan

Sistematika penyusunan penelitian ini ialah berformat kerangkat teori out line dalam bentuk bab dan sub bab, secara ringkas terurai dalam penjelesan berikut :

BAB PERTAMA : Berisi pendahuluan yang memuat Latar Belakang Masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan maanfaat penelitian, metode penelitian, studi riview, serta Sistematika Penulisan.

BAB KEDUA : Berisi Kajian Teoritis Tentang Perceraian, membahas tentang Pengertian dan Hukum perceraian, Faktor-Faktor terjadinya Perceraian, Prosedur Percerian, Akibat Perceraian.

BAB KETIGA : Berisi Kajian Teorotis Tentang Hak Dan Kewajiban Suami Istri, membahas Hak dan Kewajiban Bersama Suami Istri, Hak Dan Kewajiban Suami Terhadap Istri, Hak Dan Kewajiban Istri Terhadap Suami.


(22)

BAB KEEMPAT : Berisi Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan Dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan, membahas tentang sejarah, Duduk Perkara Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Pertimbangan Hukum Hakim, dan Analisis Penulis.

BAB KELIMA : Penutup, yang berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran, penulis juga melampirkan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang dianggap penting.


(23)

BAB II PERCERAIAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Kata perceraian atau thalak dalam bahasa Arab berasal dari ﻼﻄ - ﻄﻴ - ﻄ yang bermakna melepaskan atau menguraikan tali pengikat, baik tali pengikat itu bersifat konkret seperti tali pengikat kuda dan unta maupun bersifat abstrak seperti tali pengikat perkawinan.13 Dalam kamus Arab Indonesia Al-Munawir, cerai adalah terjemahan dari bahasa arab ”thalaqa” yang secara bahasa artinya melepaskan ikatan14.

Sedangkan menurut istilah, thalaq adalah melepaskan ikatan perkawinan atau menghilangkan ikatan pernikahan pada saat itu juga (melalui thalaq Ba’in) atau pada masa mendatang setelah iddah (melalui thalaq Raj’i) dengan ucapan tertentu. dalam kamus istilah agama, thalaq adalah melepaskan ikatan dengan kata-kata jelas atau sarih, atau dengan kata-kata sindiran atau kinayah.15Selanjutnya mazhab Syafe’i mendefinisikan Thalaq sebagai pelepasan akad nikah dengan lafal Thalaq atau semakna dengan lafal itu. Sedangkan madzhab Maliki mendefinisikan thalaq sebagai

13

Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Di Jakarta,Ilmu Fiqih (Jakarta : Departemen Agama, 1985), Cet.ke-2, h.226

14

Ahmad Warsan Munawir, Al-Munawir : Kamus Arab Indonesia, (Surabaya : Pustaka Progresif, 1997) Cet. ke-14, h.207

15


(24)

suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.16

Pada Ensklopedi Islam di Indonesia diartikan sebagai pemutusan ikatan perkawinan yang dilakukan oleh suami-istri secara sepihak dengan menggunakan

kata Thalaq atau seumpamanya.

As-Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Al-Sunah memberi definisi thalaq sebagai berikut:

ﻴجْ ّ ا ع ا ءا ْا جْ ّ ا ﻄْبا ح

17

“Thalaq ialah melepas tali perkawinan dengan mengakhiri hubungan suami istri.” Menurut H.A Fuad Said mendefinisikan perceraian adalah putus hubungan perkawinan antara suami dan istri.18Dari definisi-definisi yang telah dijabarkan, maka dapatlah dipahami bahwa thalaq adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah ikatan perkawinan istri tidak halal lagi bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal thalaq ba’in, sedangkan dalam arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan adalah berkurang hak thalaq bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah thalaq menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dan dua menjadi satu menjadi hilang hak thalaq itu, yaitu terjadi dalam thalaq raj’i.19

16

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. “Thalaq” Ensiklopedia Islam (Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), Cet. Ke-4, h.53

17

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunah, kitab at-Thalaq, bab Tarif, (Dar al-Fikr ; Beirut Libanon), h. 206

18

H.A Fuad Said, perceraian dalam hokum Islam, (Jakarta : al-Husna), h.1

19

Sri Mulyati, Relasi Suami Istri Dalam Islam, PSW, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta : 2004, Hal 16-17


(25)

Putus ikatan perkawinan bisa diartikan juga salah seorang diantara keduanya meninggal dunia, antara pria dan wanita sudah bercerai, dan salah seorang diantara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal. Berdasarkan semua itu, dapat berarti ikatan suami-istri sudah putus dan/atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang wanita yang diikat oleh tali perkawinan.20

Jadi dari bebapa pengertian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa thalaq merupakan pemutus hubungan suami dan istri serta hilanglah pula hak dan kewajiban sebagai suami istri. Meskipun dalam pengucapan thalaq menggunakan lafal-lafal tertentu, namun penekananya dimaksudkan bertujuan yang sama yaitu untuk berpisahnya hubungan suami istri, dalam arti kata putusnya hubungan perkawinan.

2. Dasar Hukum Perceraian

Perkawinan ialah ikatan lahir batin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, perkawinan perkawinan dalam ajaran Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga pasal dua (2) Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakanya

20


(26)

merupakan ibadah.21 Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakanya. Kerena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinahan.

Akad perkawinan bukanlah perkara perdata semata, melainkan iktan suci yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah, karena itu Syari’at Islam menjadikan pertalian ikatan suami-istri dalam ikatan perkawinan sebagai pertalian yang suci dan kokoh, firman Allah SWT dalam Q.S an-Nissa (4): 21









































.

ﺀاﺳ ا

/

:

Artinya ;

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.”(QS An-Nissa 4:21)

Oleh sebab itu suami-istri wajib hubungan tali pengikat perkawinan dan tidak sepantasnya pasangan suami istri berusaha merusak dan memutuskan tali perkawinan tersebut dan perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera dapat terwujud.22

Apabila kita melihat besarnya tuntutan mencegah perceraian dalam kondisi tertentu dengan unsur kesengajaan atau ada maksud lain dari perceraian tersebut,

21

Zainudin Ali, Hukum Perdata Di Indonesia, h. 7 22

H.Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta : Kencana, 2006), h.206


(27)

maka peceraian merupakan perbuatan terlarang dan dosa. Misalnya, apabila dengan perceraian itu dapat merusak kehidupan agama dan kehormatan wanita. Bertolak dari sini, sudah seharusnya bagi siapa saja yang melakukan perceraian terlebih dahulu harus benar-benar mempertimbangkan baik dari segi cara, waktu maupun resiko yang akan ditimbulkannya sebelumnya berani memutuskan untuk bercerai, agar perceraian tersebut menjadi perceraian yang baik.23 Seringkali perceraian terjadi tanpa adanya alasan yang kuat, hal inilah yang menjadi alasan lahirnya Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, selain itu juga untuk mewujudkan suatu perkawinan yang bahagia, kekal dan sejahtera sesuai dengan salah satu prinsip yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang perkawinan yaitu mempersulit terjadinya perceraian.24 Dalam hal perceraian agama Islam telah mengatur sedemekian rupa dengan menurunkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadist-Hadist Nabi yang berkenaan dengan perceraian tersebut dan dapat dijadkan dasr hukum serta aturan sendiri. Diantaranya yaitu Q.S at-Thalaq (65) : 1

















































































































































ﻼﻄ ا

/

:

23

Ali Husain Muhammad Makki Al-Amili, Perceraian Salah Siapa?, (Jakarta : Lentera 2001), h.37

24


(28)

Artinya ;

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (Q.S At-Thalaq(65) : 1)

Selanjutnya dalam Q.S al-Baqarah (2) : 228







































































































































ﺓ ب ا

/

:

Artinya;

”Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S al-Baqarah(2) : 228)

Dilanjutkan dalam Q.S al-Baqarah (2) : 229
























































































(29)





























































ﺓ ب ا

/

:

Artinya :

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara

yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S al-Baqarah(2) : 229)

Demikian pula disebutkan Q.S al-Baqarah (2) : 230



































































































ﺓ ب ا

/

:

Artinya;

“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Q.S al-Baqarah(2) : 230)


(30)

Dan dilajutkan pula dalam Q.S al-Baqarah (2) : 231



















































































































































































ﺓ ب ا

/

:

Artinya;

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah

serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S

al-Baqarah(2) : 231)

Seterusnya dijelaskan dalam Q.S al-Baqarah (2) : 232

































































































































ﺓ ب ا

/

:

Artinya;

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S al-Baqarah(2) : 232)


(31)

Namun demikian pada dasarnya hukum perceraian atau thalaq adalah sesuatu yang tidak disenangi yang dalam istilah ushul fiqh disebut makruh. Berdasarkan hadist nabi:

هاْ ﺳ ا ا ْع ها يض ع ْبا ع

م ﺳ ْﻴ ع ها ى ص

:

ا حْا ضغْبأ

ْع

ها

ا ﻄ ا

.

د د ْ با ا

,

ج ام ْبا

,

م احْا ححص

,

اﺳْ م اح ْ با حج

25

Artinya:

“Dari ibnu Umar semoga Allah SWT meridhoi keduanya berkata: Rasulullah SAW bersabda: perbuatan halal yang dibenci oleh Allah SWT ialah Thalaq”.

(HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Hakim, serta dikuatkan oleh Hatim)

Selain itu hadist nabi lain yang menjadi dasar hukum perceraian adalah

ا ْبع ا ث ح بْﻴش ىبأ ْب ْ ب بأ ا ثد

عفا ْ ع ا ْﻴبع ْ ع سي ْد ْب

ع ْبا ع

ع ف ضئاح ى ى أ ْما ْ ط ا

ا ﺳ

-م ﺳ ﻴ ع ها ى ص

ا ف

د

ا ْعجا ﻴْف ْ م

ْﻄ مث ضﻴح مث ْﻄ ى ح

ءاش ْ مث

ا ف ا سْمأ ءاش ْ ا عماجي ْ أ ْب ا ط

مأ ى ا ﺓ عْا

)

جام ْبا ا

(

Artinnya:

25

Muhammad ibnu Yazid, Sunan Ibnu Majah, (Beirut, Darul fiqr). Juz 1, h. 650 26


(32)

“Sesungguhnya, Ia (Abdullah Ibnu Umar) telah menthalaq istrinya, sedang istrinya dalam keadaan haid, pada masa Rasulullah SAW, Umar lalu bertanya

kepada Rasulullah SAW, Beliau bersabda: “Suruhlah agar merujuk istrinya itu.

Kemudian hendaklah ia menahan istrinya itu hingga suci, kemudian haid, kemudian suci, kemudian sesudah itu jika ia mau ia boleh memegang (tetap menggaulinya) istrinya sesudah itu dan jika ia mau, ia boleh menthalaqnya diwaktu suci dan belum dicampuri, yang demikian itulah iddah yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk menthalaq istri-istri.” (HR.Ibnu Majah)

Demikian dari ayat al-Qur’an dan hadist yang telah disebutkan diatas para ulama sepakat membolehkan Thalaq. Ini melihat bahwa bisa saja sebuah rumah tangga mengalami masalah yang dapat menimbulkan keretakan hubungan suami-istri sehingga rumah tangga tidak akan berjalan harmonis dan melenceng dari tujuan perkawinan itu sendiri, apalagi menimbulkan rasa sakit diantara suami dan istri seperti pertengkaran yang terus menerus, dilanjutkanya pun pernikahan tersebut akan menimbulkan kemadharatan yang sangat serius. Perceraian adalah satu-satunya jalan untuk dapat menghindari dan mengilangkan hal-hal yang negatif.

B. FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA PERCERAIAN

Suatu perkawinan dimaksud untuk mewujudkan kehidupan suami istri yang harmonis dalam rangkan membina dan membentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia sepanjang masa, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam membina rumah tangga selalu saja ada masalah yang timbul sehingga dapat menimbulkan keretakan dalam rumah tangga itu sendiri, segala persoalan yang dihadapi harus diselesaikan atau diputuskan dengan musyawarah.27

27

Ash-Shabbagh, Mahmud. Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Solo : CV. Pustaka Mantiq, 1993), cet.ke-5, h. 140


(33)

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 38 disebutkan ada 3 (tiga) hal yang menjadi faktor putusnya perkawinan, yaitu:

(1) Karena Kematian; (2) Karena perceraian; (3) Karena Putusan Hakim. 1. Karena Kematian

Putusnya perkawinan karena kematian tidak menimbulkan banyak persoalan, karena dengan sendirinya ikatan perkawinan menjadi putus. Apabila pihak suami istri yang masih hidup ingin menikah lagi maka boleh saja asalkan telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Hukum Islam.28

2. Karena Perceraian

Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan, sebagaimana ketentuan dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perceraian pasal 39 ayat 1, yaitu: “perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak dapat mendamaikan kedua belah pihak”.

Dalam pasal 39 diatas diterangkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan, pasal ini dimaksudkan untuk untuk mengatur thalaq pada perkawinan, dan hal ini sesuai dengan prinsip yang terdapat dalam Undang-Undang perkawinan prinsip tersubut tercantum pada pasal 4 huruf e sebagai berikut : “Karena

28

Lili Rasidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung Ramaja Rosdakarya, 1991), h.194


(34)

tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian.29

3. Karena putusan Pengadilan

Perceraian yang terjadi karena putusan Pengadilan merupakan perceraian yang terjadi diluar kehendak suami istri yang apabila majlis hakim berpendapat atau menilai perkawinan keduanya tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan. Bentuk putusan ini dapat berupa fasakh (pembatalan perkawinan).30

Fasakh perkawinan adalah sesuatu yang merusak akad (perkawinan) dan bukan merupakan Thalaq, fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada waktu akad nikah atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan dapat membatalkan kelangsungan perkawinan.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 39 ayat (2) dijelaskan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan untuk menyatakan bahwa pasangan tersebut sudah tidak dapat lagi hidup rukun sebagai suami istri, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasa 116 menjelaskan faktor-faktor yang dapat menjadi alasan terjadinya perceraian, yaitu:

1. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

29

Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : bulan bintang, 1975), h.55-56

30

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), h.95


(35)

Perkara perceraian dengan alasan zina, pada umumnya lebih banyak menggunakan istilah “selingkuh atau menyeleweng”, secara umum zina bagi orang yang terikat perkawinan adalah hubungan kelamin yang dilakukan oleh suami atau istri dengan seseorang (pihak ketiga). Perbuatan ini sudah jelas akan menimbulkan perselisihan dan pertengkaran antara suami dan istri yang sulit untuk diselesaikan, apabila salah satunya telah berbuat dan saling menuduh satu sama lain berbuat zina, maka cara penyelesaiannya dengan cara memaparkan bukti-bukti serta data-data yang konkrit dan jelas dalam mengajukan perceraian dengan alasan zina, bukan hanya sekedar gosip atau omongan orang luar saja yang ingin menghancurkan rumah tangga kita. Dengan cara itu mungkin juga bisa mencegah terjadinya perceraian.31

2. Salah satu pihak meniggalkan Pihak lain (suami atau istri) selama 2 (dua) tahun berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuanya.

Perceraian dengan alasan ini adalah untuk menjaga dan melindungi pihak yang ditinggalkan, hal ini terkait dengan kewajiban memberi nafkah baik lahir maupun bathin, apabila salah satu pihak meninggalkan pihak lain tanpa adanya izin dalam waktu yang lama maka akan dikhawatirkan tidak adanya pemenuhan kewajiban yang harus diberikan kepada pasangannya. Sehingga bila yang ditinggalkan kemudian tidak sangup, maka dapat mengajukan alasan ini untuk menjadi dasar diajukanya gugatan perceraian di Pengadilan.32

31


(36)

3. Salah satu pihak mendapatkan hukum penjara 5 (lima) tahun atau hukum yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

Didalam pasal 23 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang Pekawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan “gugatan perceraian karena salah seorang suami istri mendapat hukuman penjara (5) tahun atau

hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud pasal 19 huruf c maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti, penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap”. Pasal tersebut diatas menunjukan bahwa salinan putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap langsung dianggap mempunyai kekuatan pembuktian yang menentukan atau mempunyai kekuatan pembuktian yang memaksa. Hal ini juga hampir sama dengan point 2 untuk dapat menjadi dasar pengajuan perceraian, dikarenakan jika salah satu pihak sedang menjalani hukum 5 (lima) tahun atau lebih, berarti yang bersangkutan tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai suami atau istri dan tidak terpenuhinya kebutuhan lahir dan bathin.33

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada pasal 6 menjelaskan bahwa kekerasan fisik

32

Ibid., h.208

33

Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama, (Jakarta : Intermasa, 1991), h.326


(37)

adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.34 Selanjutnya pada Undang-Undang PKDRT No 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap kekerasan yang mengakibatkan luka fisik, psikis, seksual dan ekonomi yang terjadi dalam ruang lingkup domestik yakni relasi antara orang-orang yang berbeda dalam hubungan keluarga, perkawinan maupun hubungan kerja dilingkung domestik dan pasangan dalam hubungan intim secara sosial maupun seksual. Menurut M.Yahya Harahap yang dimaksud dengan kekejaman tidak hanya bersifat fisik, melainkan terhadap mental seperti penghinaan, caci maki, selalu marah akibat cemburu yang berlebihan dan berkata yang tidak pantas, kekejaman seperti ini pada dasarnya sama dengan penderitaan bathin yang dapat menganggu pikiran dan jiwa.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

Cacat badan adalah cacat jasmani atau rohani yng tidak dapat dihilangkan sekalipun dapat disembuhkan tetapi dalam waktu yang cukup lama, sehingga dengan kondisi yang demikian tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri. Untuk dapat mengajukan dengan alasan seperti ini seharusnya dilampirkan dengan bukti-bukti yang kuat, seperti surat keterangan dari dokter yang menyatakan bahwa (suami

34

Undang-Undang nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 6


(38)

atau istri) mengalami cacat badan atau penyakit yang sukar untuk disembuhkan dan tidak dapat menjalankan kewajibannya.35

6. Antara suami istri trus menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran dan tidak ada tidak harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Alasan seperti ini sering dijadikan sebagai landasan hukum bagi para hakim, karena banyak sebab-sebab terjadinya perselisihan diluar alasan-alasan yang termuat dalam pasal 116 KHI dan masih bersifat umum. Tidak ada kehidupan rumah tangga yang harmonis dan rukun apabila dipenuhi dengan perselisihan dan pertengkaran, apabila hal ini berlangsung terus-menerus akan menimbulkan dampak yang buruk bagi kehidupan rumah tangga atau pun para pihak (suami atau istri), maka diperbolehkan untuk mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan. Dan dijelaskan lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 134 bahwa ; “gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruh (f), dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami ataupun istri tersebut.”

7. Suami melanggar taklik thalak

Sighat taklik thalaq atau perjanjian perkawinan pada umumnya dibacakan pada saat akad perkawinan yang dibacakan oleh mempelai pria. Biasanya pelanggaran taklik thalaq adalah suami dengan sengaja meninggalkan istri tanpa

35


(39)

memberikan nafkah atau suami melakukan tindak kekerasan kepada istri. Maka oleh sebab itu istri memiliki hak untuk memohonkan penjatuhan thalaq pada dirinya kepada Pengadilan Agama yang berwenang.36

8. Peralihan agama/murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Perkawinan yang diakui oleh hukum perkawinan di Indonesian adalah perkawinan yang dilakukan oleh pria dan wanita yang seagama. Orang yang murtad yaitu orang yang keluar dari agama Islam baik memeluk agama Yahudi, Nasrani atau yang lain atau sama sekali tidak beragama, maka haram bagi diri istrinya yang masih beragama Islam.37 Jika dalam rumah tangga salah satu pihak murtad atau berpindah agama, maka salah satu pihak dapat mengajukan perceraian, dan apabila perkawinan tersebut dipaksakan, dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakrukunan.38 Dan hal ini pula dapat dimaksudkan untuk melindungi agama suami atau istri sehingga tidak terjerumus pada keyakinan hidup yang sesat.

C. AKIBAT PERCERAIAN

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berusaha semaksimal mungkin adanya perceraian dapat dikendalikan dan menekan angka perceraian kepada titik yang paling rendah. Banyak sosiologi mengemukakan bahwa

36

M.Thalib, Penyebab Perceraian dan Penanggulangannya, (Bandung : Irsyad Baitus Salam, 1997), Cet. Ke-1 h.179

37

Ibid., h,.179

38


(40)

berhasil atau tidaknya suatu masyarakat sangat ditentukan oleh masalah perkawinan yang merupakan salah satu faktor yang paling vital diantara beberapa faktor yang lain. Apabila dalam rumah tangga baik dengan sendirinya masyarakat akan baik pula, karena rumah tangga adalah merupakan masyarakat terkecil.39

Akibat yang timbul dari perceraian yang telah dijatuhi oleh Pengadilan Agama tidak serta merta dapat dikatakan persoalan itu selesai, tetapi ada akibat-akibat yang akan timbul setelah perceraian, baik akibat-akibat terhadap hubungan mantan suami dengan mantan istri ataupun akibat terhadap hak asuh anak, serta masalah harta bersama yang telah didapatkan oleh suami dan istri selama menjalin hubungan perkawinan.

Untuk lebih jelasnya penulis akan mencoba menjelaskan akibat hukum dari perceraian yaitu di antaranya, apabila suami telah menthalak istrinya maka timbulah beberapa hukum bagi masing-masing pasangan, yaitu hukum wajibnya masa iddah bagi istri, suami diwajibkan memberikan nafkah iddah kepada istri, hukum disunatkanya suami memberikan mut’ah kepada mantan istri, dan hukum rujuk bagi suami kepada istri yang dicerainya.40Bagi istri yang dicerai, maka ia wajib menjalani masa iddahnya tergantung keadaan istri tersebut. Dalam Kompilasi Hukum Islam masa iddah diatur dalam pasal 153 sampai 155 yaitu;

39

Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan: (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya 1989), h. 1

40

Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid,Terjamaah Imam Ghazali Said Dan Ahmad Zaidun.


(41)

1. Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. 2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:

a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;

b. Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari; c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam

keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;

d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul

4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami

5. Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid.


(42)

6. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.41

Apabila isteri bertalak raj`I kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pada pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya. Dan waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li`an berlaku iddah talak hal ini disebutkan dalam pasal 153 Kompilasi Hukum Islam.42

Selama dalam masa iddah istri berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal dari suaminya, suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya yang dithalak raj’i dan istri yang dithalak dalam keadaan hamil, disebutkan dalam pasal 149 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi ;

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

a. Memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;

b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;

41

Departemen R.I Kompilasi Hukum Islam (Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan agama Islam, 1998), h. 67

42


(43)

c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al dukhul;

d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.43

Hukum lain yang timbul dari adanya thalak adalah hukum mut’ah. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa pemberian untuk menyenangkan hati istri (mut’ah) tidak diwajibkan untuk setiap istri yang dicerai.44

Akibat hukum lain yang timbul dari suatu perceraian adalah dalam hal anak-anak yang menyusui kepada ibunya, apabila terjadi perceraian maka ibunya tetap berhak untuk menyusui dan memelihara anak itu, kemudian ayahnya juga tetap berkewajiban untuk memberi nafkah pemeliharaan dan pendidikan anaknya dari bayi hingga dewasa dan dapat mandiri. Kompilasi Hukum Islam menyatakan dalam pasal 156 terkait dengan akibat perceraian terhadap anak yaitu;

1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

a. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu b. Ayah;

c. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

43

Departemen R.I Kompilasi Hukum Islam (Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan agama Islam, 1998), h. 66

44

Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid,Terjamaah Imam Ghazali Said Dan Ahmad Zaidun.


(44)

e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu. f. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;

3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;

4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);

5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (1),(2),(3), dan (4);

6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Sedangkan dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan telah mengatur masalah yang dimuat dalam pasal 41 yaitu;

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;


(45)

2. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Sedang mengenai hubungan suami istri , bagi pasangan yang telah bercerai maka haram bagi mereka untuk melakukan hubungan suami istri 45, selain itu mantan suami juga berkewajiban untuk memberikan mut’ah yang pantas kepada mantan istri, mut’ah yang diberikan oleh mantan suaminya dapat berupa barang ataupun uang.

Mengenai harta bersama, agama Islam tidak mengenalnya ada percampuran antara kekayaan suami istri yang telah ada sebelum pernikahan. Harta tersebut tetap menjadi milik masing-masing pihak selama mereka tidak menentukan lain. Apabila selama perkawinan mereka memperoleh harta maka harta tersebut dinamakan harta Syirkah. Harta Syirkah yaitu harta yang milik bersama suami istri, oleh karena itu dalam Islam, ada harta suami istri yang telah dicampur dan ada juga harta yang tidak dicampur. Harta yang bercampur yang didapatkan selama perkawinan karena usaha bersama suami istri dan menjadi milik bersama dari suami istri dan dipergunakan untuk kepentingan bersama. Kemudian apabila perkawinan putus baik karena

45


(46)

perceraian atau salah satu pihak meninggal dunia, maka harta tersebut dibagi dua antara suami dan istri.46

Masalah yang berhubungan dengan harta kekayaan suami istri diatur dalam Kompilasi Hukum Islam secara merinci yang terdiri dari pasal 85, 91 sampai dengan pasal 97 dan didalam pasal 35, 36, dan 37 ditambah dengan pasal 65 ayat (1) huruf b dan c undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan :“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.

Ketentuan pasal ini mengakui adanya harta bersama dalam satu ikatan perkawinan. Segala kekayaan yang diperoleh suami istri semenjak dilakukanya pernikahan, dengan sendirinya menjadi harta bersama. Disebutkan dalam pasal 85 Kompilasi Hukum Islam : “Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.”

Adapun bentuk-bentuk harta bersama seperti disebukan dalam pasal 91 ayat (1) sampai dengan ayat (4) Kompilasi Hukum Islam :

1. Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.

2. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat- surat berharga.

3. Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.

46


(47)

4. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Jika terjadi perceraian maka terhadap harta bersama ini, suami istri ini dapat bertindak atau melakukan perbuatan hukum atas persetujuan dari kedua belah pihak. Sebagaimana tertuang dalam pasal 37 undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut aturanya masing-masing”. Dalam Kompilasai Hukum Islam lebih tegas dijelaskan dalam pasal 88 yang menyatakan bahwa, “apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama”.

Sedangkan suami yang memiliki istri lebih dari seorang, dalam hal harta bersama diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 65 ayat (1) huruf a, b, dan c yang menyebutkan :

a. Suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada semua istri dan anaknya;

b. Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi; c. Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak

perkawinannya masing-masing.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, mengenai harta bersama atau harta kekayaan dalam perkawinan memandang bahwa harta bersama tetap memungkinkan adanya harta milik masing-masing, hal ini sesuai dengan kesepakatan bersama yang


(48)

terjadi antara suami dan istri, disebutkan dalam pasal 94 ayat (1) dan (2) yang menyatakan :

1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.

2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.

Kemudian pasal 97 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan ; “janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.47

Dari berbagai penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pasal-pasal tersebut menunjukan bahwa perceraian tidak bisa dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, secara semena-mena karena banyak sekali tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh keduannya, terutama bekas suami kepada mantan istrinya setelah terjadinya perceraian, dengan harapan agar pasal-pasal yang telah disebutkan diatas dapat menjadi pedoman untuk dapat mewujudkan perceraian yang baik dan tidak merugikan salah satu pihak, kalau memang peceraian harus terjadi.

D. Prosedur Perceraian

Pemeriksaan sengketa perkawinan dan perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah Pengadilan berusaha dan tidak berhasil

47


(49)

mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian terbagi dua, yaitu cerai thalak dan cerai gugat. Yang dimaksud cerai thalak adalah perceraian yang terjadi karena thalak suami kepada istri. Sedangkan yang dimaksud cerai gugat adalah wanita yang meminta kepada suaminya untuk melepas dirinya dari ikatan pernikahan48.

Awal surat gugatan atau permohonan yang telah dibuat dan ditanda tangani diajukan kepanitra Pengadilan Agama (surat gugatan diajukan kepada sub kepananitraan gugatan sedangkan permohonan pada sub kepanitraan permohonan). Sebelum perkara terdaftar di kepanitraan, panitra melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap kelangkapan berkas perkara (penelitian terhadap bentuk dari isi gugatan permohonan). Misalnya dalam membuat surat gugatan, kepanitraan dibolehkan memberikan arahan kepada penggugat, apabila surat gugatan yang dibuat penggugat tidak sesuai. Apabila terjadi kesalahan dalam gugatan atau permohonan maka tidak boleh didaftarkan sebelum petitum dan positanya jelas, seperti ada petitum namun tidak didukung oleh posita berarti gugatan atau permohonanya dianggap tidak jelas.49 Jika hal tersebut terjadi maka gugatan atau permohonan tersebut terlebih dahulu harus di perbaiki, panitra sebagai pihak yang mempunyai otoritas dalam meneliti berkas gugatan atau permohonan sebaliknya melakukan penelitian tersebut disertai dengan membuat resume tersebut diarahkan kepada Ketua

48

Syamhudi,Kholid Al-Khulu',” Gugatan Cerai Dalam Islam”, artikel diakses pada 17 maret 2007 dari http://www.almanhaj.or.id/

49

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2003), cet. Ke-4, h.76


(50)

Pengadilan Agama, dengan disertai saran misalnya berbunyi “syarat-syarat cukup siap untuk disidangkan”.50

Kemudian penggugat atau pemohon menuju meja I (satu) untuk menaksir besarnya biaya perkara dan menulisnya pada Surat Kuasa Untuk Menbayar (SKUM), biaya perkara dibebankan kepada penggugat atau pemohon sesuai dengan pasal 89 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, ayat (1) yang Berbunyi ; ”Biaya dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon”.

Besarnya biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan pasal 13 Rbg/pasal 128 Ayat (1) HIR/ pasal 90 Ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan agama, yang meliputi:

1. Biaya kepanitraan dan biaya matrai

2. Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah 3. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain

4. Biaya panggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah Pengadilan yang berkenaan dengan perkara tersebut.

Ketentuan diatas tidak berlaku bagi yang tidak mampu dan dizinkan untuk mengajukan gugatan secara prodeo (Cuma-Cuma). Ketidakmampuanya dapat dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Kelurahan atau Kepala Desa setempat yang dilegalisir oleh Camat. Setelah itu, penggugat atau Pemohon

50

Raihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), ed.ke-2, cet. Ke-8, h.129


(51)

menghadap kemeja II dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) yang telah dibayar. Setelah selesai, kemudian surat gugatan/permohonan tersebut dimasukan dalam map berkas acara, kemudian menyerahkan kepada wakil panitra untuk disampaikan kepada ketua Pengadilan melalui panitra.51

Setelah terdaftar, gugatan diberi nomor perkara kemudian diajukan kepada Ketua Pengadilan, setelah ketua Pengadilan menerima gugatan maka Ketua Pengadilan menunjuk Hakim yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut. Pada prinsipnya pemeriksaan dalam persidangan dilakukan oleh hakim maka Ketua Pengadilan menunjuk seorang hakim sebagai ketua majlis dan dibantu oleh kedua hakim anggota.52

Setelah itu hakim yang bersangkutan dengan surat ketetapanya dapat menetapkan hari, tanggal serta jam, kapan perkara itu akan disidangkan, ketua majlis memerintahkan memanggil kedua belah pihak agar mengadiri persidangan. Untuk membantu majlis hakim dalam menyelesaikan perkara, maka ditunjuk seorang atau lebih panitra sidang dalam hal ini panitra, wakil panitra, panitra muda dan panitra pengganti.53

51

M.Fauzan, Pokok-Pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), cet. Ke-2, h.14

52

R. Soeroso, Praktek Hukum Acara Perdata: Tata Cara Dan Proses Persidangan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), cet. Ke-6, h.39

53


(52)

Pemanggilan para pihak harus dilakukan secara resmi dan patut, adapun tatacara pemanggilan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut;

a. Dilakukan oleh jurusita atau juru sita pengganti diserahkan kepad pribadi yang di panggil ditempat tinggalnya;

b. Apabila tidak ditemukan maka surat penggilan tersebut diserahkan kepada Kepala Desa dimana ia tinggal;

c. Apabila salah seorang telah meninggal dunia maka disampaikan kepada ahli warisnya;

d. Setelah melakukan pemanggilan maka jurusita harus menyerahkan risalah (tanda bukti bahwa para pihak telah dipanggil) kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan;

e. Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang perkara dimulai.54

Sedangkan proses pemeriksaan perkara didepan sidang dilakukan melalui tahap-tahap dan hukum acara perdata sebagaimana yang telah tertera dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 54 :

“Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini”.

54

R.Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara Dan Proses Persidangan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004) cet. Ke-6, h.40


(53)

Setelah hakim membuka sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum, dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan tentang keadaan para pihak, ini bersifat pemberitahuan (cecking) identitas para pihak apakah para pihak sudah mengerti mengapa mereka dipanggil untuk mengahadiri sidang. Pada upaya perdamaian, inisiatif perdamaian dapat timbul dari hakim, penggugat ataupun tergugat. Hakim harus bersungguh-sungguh untuk mendamaikan para pihak, apabila ternyata upaya perdamaian tidak berhasil, maka sidang dilakukan tertutup untuk umum dilanjutkan ketahap pemeriksaan diawali membaca surat gugatan.55

Selanjutya pada tahap dari tergugat pihak tergugat diberikan kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingan terhadap penggugat melalui hakim. Pada tahap replik penggugat kembali menegaskan isi gugatannya yang dilakukan oleh tergugat dan juga mempertahankan diri atas sanggahan-sanggahan yang disangkal tergugat, kemudian pada tahap duplik tergugat dapat menjelaskan kembali jawabanya yang disangkal oleh penggugat.56

Tahap replik duplik dapat diulang-ulang sampai hakim dapat memandang cukup, kemudian dilanjutkan dengan pembuktian. Pada tahap pembuktian, penggugat dan tergugat mengajukan semua alat-alat bukti yang dimiliki untuk mendukung jawabannya (sanggahan), masing-masing pihak berhak menilai alat bukti lawanya. Kemudian tahap kesimpulan, masing-masing pihak mengajukan pendapat akhir

55

R,Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, h.41-42

56


(54)

tentang hasil pemeriksaan. Kemudian pada tahap putusan, hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara tersebut dan menyimpulkan dalam putusan dan putusan hakim adalah untuk mengakhiri sengketa atau perkara.57

57


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)