Sumber Hukum Perdagangan Internasional

B. Sumber Hukum Perdagangan Internasional

1. Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional adalah salah satu sumber hukum yang terpenting. Secara umum, perjanjian internasional terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu perjanjian multilateral, regional dan bilateral.

multilateral adalah kesepakatan tertulis yang mengikat lebih dari dua pihak (negara) dan tunduk pada aturan hukum internasional. 3 Beberapa perjanjian internasional membentuk suatu pengaturan perdagangan yang sifatnya umum di antara para pihak. Ada juga perjanjian internasional yang memberikan kekuasaan tertentu di bidang perdagangan atau keuangan kepada suatu organisasi internasional. Perjanjian internasional kadang kala juga berupaya mencari suatu pengaturan yang seragam guna mempercepat transaksi perdagangan.

Perjanjian regional adalah kesepakatan-kesepakatan di bidang perdagangan internasional yang dibuat oleh negara-negara yang tergolong atau berada dalam suatu regional tertentu. Di Asia Tenggara misalnya, perjanjian-perjanjian seperti ini adalah perjanjian pembentukan AFTA.

Suatu perjanjian adalah bilateral manakala perjanjian tersebut hanya mengikat hanya dua subyek hukum internasional

Lihat lebih lanjut dalam uraian di bawah ini. 3 Pengaturan mengenai perjanjian internasional terdapat dalam Konvensi

Wina tentang Hukum Perjanjian tahun 1969 (the Vienna Convention on the Law of Treaties of 1969). Pengertian perjanjian termuat dalam Pasal 2 (1) (1) Konvensi: “treaty” means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instrumetns and whatever its particular designation; ….

(negara atau organisasi internasional). Termasuk dalam kelompok perjanjian ini adalah perjanjian penghindaraan pajak berganda. 4

Dalam perjanjian persahabatan bilateral, kedua negara memberikan beberapa preferensi atau perlakuan khusus tertentu berkaitan dengan kegiata ekspor-impor kedua negara. Perjanjian ini bisanya disebut juga dengan nama FCN-Treaties (Friendship,

Navigation and Commerce). 5

a. Daya Mengikat Perjanjian (Perdagangan) Internasional

internasional mengikat berdasarkan kesepakatan para pihak yang membuatnya. Karena itu, sebagaimana halnya perjanjian internasional pada umumnya, perjanjian perdagangan internasional pun hanya akan mengikat suatu negara apabila negara tersebut sepakat untuk menandatangani atau meratifikasinya.

Suatu perjanjian

perdagangan

Manakala suatu negara telah meratifikasinya, maka adalah kewajiban negara tersebut untuk mengundangkannya ke dalam aturan hukum

yang telah diratifikasi tersebut kemudian menjadi bagian dari hukum nasional negara tersebut.

Kadangkala perjanjian internasional membolehkan suatu negara untuk tidak menerapkan atau mengecualikan beberapa pengaturan atau pasal dari perjanjian internasional. Atau sebaliknya, suatu perjanjian internaisonal tidak mengijinkan adanya pensyaratan ini. GATT atau Perjanjian WTO misalnya tidak menghendaki adanya pensyaratan ini. Artinya, GATT dan Perjanjian WTO mensyaratkan pemberlakuan keseluruhan pasal-pasalnya.

Salah satu cara lainnya bagi suatu negara untuk terikat kepada suatu perjanjian internasional adalah melalui penundukan

Hans Van Houtte, , The Law of International Trade, London: Sweet and Maxwell, 1995, hlm. 3. 5 Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 3. Untuk kumpulan perjanjian-perjanjian

internasional (Konvensi, Protokol, dll., dalam hukum perdagangan internasional), lihat: Indira Carr and Richard Kidner, Statutes and Convention on International Trade Law, London: Cavendish, 1993, hlm. 263-446).

secara diam-diam. Artinya, tanpa mengikatkan diri secara tegas melalui penandatanganan dan ratifikasi (yang biasanya instrumen ratifikasi tersebut didepositkan kepada suatu badan yang berwenang, misalnya Sekjen PBB), suatu negara dapat saja mengikatkan dirinya dengan cara mengadopsi muatan suatu perjanjian internasional ke dalam hukum nasionalnya.

Biasanya penundukan secara diam-diam dilakukan antara lain karena negara tersebut tidak mau secara tegas terikat terhadap suatu perjanjian internasional. Misalnya, RI tidak meratifikasi Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. Tetapi dalam UU Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, sebagian besar muatannya sama dengan Konvensi Win 1969 tersebut.

Tetapi perlu pula diingat bahwa penundukan diri secara diam-diam ini tidak akan berlaku apabila perjanjian internasional tersebut secara tegas mensyaratkan demikian. Atau, apabila muatan perjanjian internasional tersebut memberikan hak-hak (konsesi) tertentu kepada suatu negara anggotanya, dan tidak kepada non- anggota. Negara-negara non-anggota yang berupaya secara diam-diam untuk menundukan dirinya kepada aturan tersebut karenanya tidak akan efektif.

GATT, Misalnya, adalah suatu kesepakatan umum di bidang perdagangan dan tarif. Siapa saja yang menjadi anggota harus terlebih dahulu bernegosiasi dengan negara-negara anggota GATT mengenai konsesi-konsesi yang akan diberikannya sebelum ia dapat memanfaatkan ke-38 pasal GATT.

b. Isi Perjanjian

Dari muatan yang terkandung di dalamnya, perjanjian perdagangan internasional pada umumnya memuat hal-hal berikut:

1) liberalisasi perdagangan Perjanjian yang memuat liberalisasi perdagangan adalah

meliberalisasi perdagangan. Dalam hal ini, negara-negara anggota suatu perjanjian internasional berupaya menanggalkan berbagai rintangan pengaturan atau kebijakan (negara) yang dapat meliberalisasi perdagangan. Dalam hal ini, negara-negara anggota suatu perjanjian internasional berupaya menanggalkan berbagai rintangan pengaturan atau kebijakan (negara) yang dapat

2) Integrasi ekonomi Perjanjian seperti ini berkembang belum begitu lama.

Negara-negara anggota dalam suatu perjanjian internasional berupaya mencapai suatu integrasi ekonomi melalui pencapaian kesatuan kepabeanan (customs union), suatu kawasan perdagangan bebas (free trade zone), atau bahkan suatu kesatuan ekonomi (economic union). Perjanjian seperti ini biasanya memberi kewenangan kepada suatu organisasi internasional guna mencapai tujuan integrasi ekonomi ini.

3) Harmonisasi Hukum Tujuan utama harmonisasi hukum hanya berupaya mencari

keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai sistem hukum yang ada (yang akan

diharmonisasikan). 6

4) Unifikasi Hukum Dalam unifikasi hukum, penyeragaman mencakup penghapusan

dan penggantian suatu sistem hukum dengan sistem hukum yang baru. 7 Contohnya adalah pemberlakuan Perjanjian TRIPS/WTO.

Dengan diperkenalkannya substansi bidang-bidang perjanjian TRIPS/WTO yang mencakup ketentuan mengenai hak cipta, merek dagang, indikasi geografis, disain industri, paten, dll., meletakkan kewajiban kepada negara anggota untuk membuat aturan- aturan HAKI nasionalnya yang sesuai dengan substansi perjanjian TRIPS/WTO.

5) Model Hukum dan Legal Guide Pembentukan Model Hukum dan Legal Guide sebenarnyat idak

terlepas dari upaya harmonisasi di atas. Bentuk hukum seperti ini biasanya ditempuh karena didasari sulitnya bidang hukum yang akan

Lihat Bab I di atas. 7 Lihat Bab I di atas.

disepakati atau diatur. Karena itu mereka membuat Model Hukum ini yang sifatnya tidak mengikat. Pembuat atau perancang Model Hukum berharap, meski namanya model hukum atau legal guide, negara- negara dapat mengacu muatan aturan-aturan model hukum atau legal guide ini ke dalam hukum nasionalnya.

Dengan (semakin) banyaknya negara yang mengadopsi model hukum atau legal guide ini, akhirnya diharapkan akan tercipta keseragaman atau harmonisasi di bidang muatan model hukum atau legal guide tersebut.

Contoh terkenal Model Hukum seperti ini adalah UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration tahun 1985. Model Hukum 1985 ini memuat aturan-aturan model (acuan) bagi negara-negara

mengundangkan peraturan perundangannya di bidang arbitrase komersial internasional. Dengan diadopsinya model hukum arbitrase ini diharapkan akan tercipta pengaturan arbitrase yang bersifat universal. Artinya, diharapkan aturan-aturan UU arbitrase suatu negara sedikit banyak tidak akan berbeda dengan aturan UU arbitrase negara lainnya.

Legal guide yang cukup terkenal adalah UNCITRAL Legal Guide on Drawing Up International Contracts for the Construction of

Industrial Works 1988. Legal Guide 1988 bertujuan terciptanya keseragaman pengaturan klausul-klausul dalam menyusun kontrak di bidang konstruksi.

c. Standar Internasional

Standar internasional adalh norma-norma yang disyaratkan untuk ada di dalam perjanjian internasional, yang merupakan syarat penting di dalam tata ekonomi internasional, serta syarat suatu negara untuk berpartisipasi di dalam transaksi ekonomi internasional. Syarat-syarat dasar tersebut adalah: i. Minimum-

standard or equitable treatment; ii. Most-favoured nation clause;

iii. Equal Treatment; dan iv. Preferential Treatment.

ad. i. Minimum-standard atau equitable treatment Minimum-standard atau equitable treatment adalah norma atau

aturan dasar yang semua negara harus taati untuk dapat turut serta dalam transaksi-transaksi perdagangan internasional. 8 Contoh standar minimum ini antara lain tampak dalam perjanjian- perjanjian di bidang perlindungan hak kekayaan intelektual. Misalnya Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works. Konvensi ini meletakkan persyaratan standar minimum mengenai perlindungan hukum bagi karya cipta dan karya

seni. 9

ad. ii. Most-Favoured Nation Clause Klausul Most-Favoured Nation (MFN) adalah klausul yang

mensyaratkan perlakun non-diskriminasi dari suatu negara terhadap negara lainnya. Perlakuan ini diberikan karena masing-masing negara terikat dalam suatu perjanjian internasional. Berdasarkan klausul ini salah satu negara yang memberikan perlakuan khusus atau preferensi kepada suatu negara, maka perlakuan tersebut harus juga diberikan kepada negara-negara lainnya yang tergabung

dalam suatu perjanjian. 10

Han Van Houtte, op.cit., hlm. 6. 9 RI meratifikasi Konvensi Bern melalui UU Nomor 18 tahun 1997 (Lembaran

Negara No 35 tahun 1977). Mengenai Konvensi Bern ini, lihat lebih lanjut: Anthony

Long, International Intellectual Property Law, The Hague: Kluwer, 1997, hlm. 241). 10 Han Van Houtte, op.cit., hlm. 6.

D’Amato dan

Doris Estelle

Peran klausul ini penting. Klausul ini menurut Houtte, memberikan suatu derajat perlakuan sama (equitable treatment) dalam hubungan ekonomi internasional. Dengan klausul ini,

hubungan-hubungan perdagangan internasional dapat berkembang. 11 Menurut Houtte, klausul MFN biasanya diikuti oleh dua sifat

cukup penting, yaitu: (a) reciprocal (timbal balik), artinya pemberian MFN ini

diberikan dan disyaratkan oleh masing-masing negara. Jadi sifatnya timbal balik; dan

(b) unconditional (tidak bersyarat), artinya negara anggota lainnya dalam suatu perjanjain berhak atas perlakuan- perlakuan khusus yang diberikan kepada negara ketiga. 12

Ad. iii. Equal treatment Equal treatment (perlakuan sama) adalah klausul lainnya

yang juga disyaratkan harus ada dalam perjanjian-perjanjian internasional. Menurut klausul ini, negara-negara peserta dalam suatu perjanjian disyaratkan utuk memberikan perlakuan yang sama satu sama lain. Klausul ini karena itu menyatakan bahwa warga negara dari suatu negara anggota harus juga diperlakukan sama halnya seperti warga negara di negara anggota lainnya.

Klausul seperti ini hingga sekarang ini jarang ditemukan dalam praktek perjanjian antar negara. 13 Memang, sulit untuk menemukan klausul ini dalam praktik. Suatu negara bagaimana pun juga memiliki kewajiban utama kepada negaranya daripada kepada warga negara asing. Adalah kewajiban suatu negara untuk mensejahterakan warga negaranya (daripada mensejahterakan warga negara anggota lain yang berada di dalam wilayahnya).

Namun demikian klausul ini tampak nyata dalam kesepakatan- kesepakatan hukum internasional di bidang penyelesaian sengketa,

Han Van Houtte, op.cit., hlm. 7. 12 Han Van Houtte, op.cit., hlm. 8.

13 Han Van Houtte, op.cit., hlm. 8.

misalnya arbitrase internasional. Misalnya pasal 18 UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration. Pasal 18 ini yang berada di bawah judul ‘Equal Treatment of Parties’, menyebutkan: “The parties shall be treated with equality and each party shall be given a full opportunity of presenting his case.”

Pasal 18 ini menggambarkan prinsip universal mengenai perlakuan sama di depan hukum. Pasal ini mensyaratkan perlakuan sama terhadap para pihak yang bersengketa. Mereka pun harus diberi kesempatan yang sama untuk membela perkaranya di hadapan badan arbitrase. Dalam berbagai sistem hukum di dunia, tidak ada ketentuan yang dapat mengenyampingkan prinsip ini.

Ad. iv. Preferential Treatment Prinsip ini sebenarnya adalah pengecualian terhadap prinsip

non-diskriminasi. Prinsip ini biasanya diterapkan di antara negara-negara yang memiliki hubungan politis atau ekonomis. Berdasarkan prinsip ini suatu negara dapat saja memberikan perlakuan

khusus

yang

lebih menguntungkan

(preferential treatment) kepada suatu negara daripada kepada negara lainnya. 14

Biasanya perlakuan demikian diberikan kepada negara-negara yang sedang berkembang atau miskin. Perlakuan berbeda dan khusus biasa juga diberikan kepada negara-negara yang memiliki keterkaitan sejarah sebelumnya. Misalnya, negara-negara eks jajahan atau eks-koloninya.

d. Resolusi-resolusi Organisasi Internasional

Dewasa ini berbagai organisasi internasional acap kali pula mengeluarkan keputusan-keputusan berupa resolusi-resolusi yang sifatnya tidaklah mengikat. Daya mengikat resolusi-resolusi seperti ini biasanya disebut juga sebagai soft-law. Karena memang negara-negara pesertanya tidak menginginkan keputusan-keputusan

Han Van Houtte, op.cit., hlm. 8.

yang dibuat oleh organisasi internasional tidak mengikat mereka secara hukum.

Tetapi resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh organisasi internasional kadang kala juga mengikat. Salah satu contoh instrumen terkenal yang dipandang soft-law oleh negara-negara (maju) tetapi ternyata daya berlakunya sangat luas adalah Piagam Hak-hak dan Kewajiban Ekonomi Negara-negara (Charter on the Economic Rights and Duties of States atau CERDS). Sepertiga bagian (11 pasal) dari dari keseluruhan pasal Piagam ini mengatur mengenai perdagangan internasional.

Meskipun CERDS bersifat soft law, namun jiwa dan nilai- nilai hukum yang terdapat di dalamnya berpengaruh cukup luas terhadap aturan-aturan atau perjanjian-perjanjian internasional

yang lahir kemudian. 15

Lihat lebih lanjut, Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2003.

2. Hukum Kebiasaan Internasional

Sebagai suatu sumber hukum, hukum kebiasaan perdagangan merupakan sumber hukum yang dapat dianggap sebagai sumber hukum yang pertama-tama lahir dalam hukum perdagangan internasional. Dari awal perkembangannya, yang disebut dengan hukum perdagangan internasional justru lahir dari adanya praktek-praktek para pedagang yang dilakukan berulang-ulang sedemikian rupa sehingga kebiasaan yang berulang-ulang dengan waktu yang relatif lama

tersebut menjadi mengikat. 16

Dalam studi hukum perdagangan internasional, sumber hukum ini disebut juga sebagai lex mercatoria atau hukum para pedagang (the law of the merchants). Istilah ini logis karena memang para pedagang-lah yang mula-mula ‘menciptakan’ aturan hukum yang berlaku bagi mereka untuk transaksi-transaksi dagang mereka. Contoh (lembaga hukum) yang mula-mula para pedagang lakukan dan

kembangkan adalah barter 17 dan counter-trade.

Suatu kebiasaan tidak selamanya menjadi mengikat dan karenanya menjadi hukum. Suatu praktek kebiasaan untuk menjadi mengikat harus memenuhi syarat-syarat berikut:

(1) Suatu praktek yang berulang-ulang dilakukan dan diikuti oleh lebih dari dua pihak (praktek negara); dan

(2) Praktek ini diterima sebagai mengikat (opnio iuris sive necessitatis).

Ketentuan Lex Mercatoria dapat ditemukan antara lain di dalam kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dan dituangkan dalam

Tetapi, bandingkan dengan pendapat sarjana yang menyatakan bahwa hukum kebiasaan internasional hanya memiliki peran yang terbatas (misalnya Zamora atau Heutte, dalam Hans van Houtte, op.cit., hlm. 10). Houtte berpendapat bahwa “… international customary law has a role (albeit a limited one) to play in international and finance law”. Penulis sependapat dengan Booysen yang berpendapat bahwa: “Because of the frequency of contact between states in international trade, customary law is and should be very relevant.” (Hercules Booysen, op.cit., hlm. 58).

17 Michelle Sanson, Essential International Trade Law, Sydney: Cavendish, 2002, hlm. 6.

kontrak-kontrak perdagangan internasional, misalnya berupa klausul-klausul kontrak standar (baku), atau kontrak-kontrak di bidang pengangkutan (maritim).

Kontrak-kontrak atau klausul kontrak perdagangan yang biasanya dirancang oleh asosiasi atau organisasi perdagangan tertentu (misalnya oleh ICC, FIDIC, dll) dan diikuti oleh anggota dari organisasi atau asosiasi tersebut.

Kebiasaan-kebiasaan perdagangan memiliki peran yang sangat penting di dalam sesuatu transaksi perdagangan internasional. Misalnya, kebiasaan tersebut terkodifikasi dalam kontrak konstruksi atau pengiriman barang, fob, cif, dll.

Masalah utama yang menjadi ganjalan bagi pemberlakuan lex mercatoria ini adalah masih disangsikannya kekuatan mengikatnya. Seperti dapat dimaklumi, bagi para pedagang atau pelaku perdagangan, daya atau kekuatan mengikat lex mercatoria tidaklah sulit bagi mereka. Mereka secara sukarelah menaati dan melaksanakan serta memandangnya mengikat karena merekalah yang menciptakannya.

Kekuatan mengikat karena kebiasaan praktek perdagangan ini sebenarnya juga diakui oleh berbagai hukum nasional. Tidaklah sulit menemukan hukum nasional mengakui kekuatan hukum adanya praktek kebiasaan ini. Hukum Indonesia misalnya mengakui praktek kebiasaan ini. Pasal 1339 tentang akibat suatu perjanjian misalnya menyatakan:

“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.” (Huruf miring oleh penulis).

Bunyi pasal di atas secara tegas mengakui kebiasaan. Tetapi khusus untuk kebiasaan internasional, banyak negara yang mengambil jarak. Bahkan untuk kebiasaan dagang internasional seperti ini, pengadilan tidak jarang masih mempertanyakan keabsahannya.

Pendirian ini antara lain disebabkan karena kebiasaan perdagangan internasional, meskipun terkodifikasi oleh upaya lembaga-lembaga internasional seperti ICC atau Kamar Dagang Internasional, UNCITRAL, dll., bukanlah bersifat perjanjian internasional. Aturan-aturan internasional yang dibuat oleh ICC menurut badan pengadilan dapat digolongkan soft-law. Aturannya tidak mengikat. Misalnya, ICC merumuskan UCP 500 untuk Letter of Credit. UCP 500 tidak mensyaratkan ratifikasi oleh negara-negara

untuk mengikat. 18 Karena sifatnya itu pula, UCP tidak pernah meletakkan kewajiban bagi negara untuk terikat terhadapnya. 19

Hal ini logis saja karena ICC adalah lembaga yang anggotanya adalah swasta, bukan negara. Lihat pula: Clive Schmitthoff, op.cit., hlm. 27. 19 Di negara-negara sedang berkembang yang pengadilannya masih kental

menganut aliran positif hukum, kerap kali memandang bahwa setiap aturan yang tidak dibuat sesuai dengan konstitusi, misalnya melalui proses pengundangan suatu ketentuan secara formal, misalnya melalui pengumuman di lembaran negara, bukanlah hukum dan karenanya tidak mengikat. Uraian lebih lanjut mengenai lex mercatoria lihat: Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali pers, cet. 3., 2003.

3. Prinsip-prinsip Hukum Umum

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum umum belum ada pengertian yang diterima luas. Peran sumber hukum ini biasanya diyakini lahir baik dari sistem hukum nasional maupun hukum internasional.

Sumber hukum ini akan mulai berfungsi manakala hukum perjanjian (internasional) dan hukum kebiasaan internasional tidak memberi jawaban atas sesuatu persoalan. Karena itu prinsip- prinsip hukum umum ini dipandang sebagai sumber hukum penting

dalam upaya mengembangkan hukum, 20 termasuk sudah barang tentu hukum perdagangan internasional.

Beberapa contoh dari prinsip-prinsip hukum umum ini antara lain adalah prinsip itikad baik, prinsip pacta sunt servanda, dan prinsip ganti rugi. 21 Ketiga prinsip ini terdapat dan diakui dalam hampir semua sistem hukum di dunia, 22 dan terdapat pula dalam hukum (perdagangan) internasional.

Hercules Booysen, International Trade Law on Goods and Services, Pretoria: Interlegal, 1999, hlm 58. 21 Sanson, op.cit., hlm. 6.

22 Sanson, op.cit., hlm. 6.

4. Putusan-putusan Badan Pengadilan dan Doktrin

Sumber hukum ke-4 ini tampaknya memiliki fungsi dan peran pelengkap seperti halnya prinsip-prinsip hukum umum. Sumber hukum ini akan memainkan perannya apabila sumber-sumber hukum terdahulu tidak memberi kepastian atau jawaban atas suatu persoalan hukum (di bidang perdagangan internasional).

hukum perdagangan internasional tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat seperti yang dikenal dalam sistem hukum Common Law (Anglo Saxon). Statusnya sedikit banyak sama seperti yang kita kenal dalam sistem hukum kontinental (Civil Law). Bahwa putusan pengadilan sebelumnya hanya untuk dipertimbangkan. Jadi ada semacam ‘kewajiban’ yang tidak mengikat bagi badan-badan pengadilan untuk mempertimbangkan putusan-putusan pengadilan sebelumnya (dalam sengketa yang terkait dengan perdagangan internasional).

Sifat putusan pengadilan ini ditegaskan dalam sengketa Japan-Taxes on Alcoholic Beverages yang diputus oleh Badan

Penyelesaian Sengketa (DSB atau Dispute Settlement Body) WTO. Dalam tahap banding di DSB, Badan Banding (Appellate Body) antara lain menyatakan:

“Adopted panel reports ... are often considered by subsequent panels. They create legitimate expectations among WTO members, and, therefore, should be taken into

account where they are relevant to any dispute.” 23 [Huruf miring oleh penulis].

Begitu pula dengan doktrin, yaitu pendapat-pendapat atau tulisan-tulisan sarjana terkemuka (dalam hal ini di bidang hukum perdagangan internasional). Peran dan fungsinya cukup penting dalam menjelaskan sesuatu hukum perdagangan internasional. Bahkan

doktrin dapat pula digunakan untuk menemukan hukum. 24 Doktrin ini penting manakala sumber-sumber hukum sebelumnya ternyata juga

Japan - Taxes on Alocholic Beverages, [WT/DS8, 10,11/AB/R, 4 October 1996, hlm. 15; terkutip dalam Booysen, op.cit., hlm. 61. 24 Hercules Booysen, op.cit., hlm. 62.

tidak jelas atau tidak mengatur sama sekali mengenai suatu hal di

bidang perdagangan internasional. 25

Michelle Sanson, op.cit., hlm. 7.

5. Kontrak

Sumber hukum perdagangan internasional yang sebenarnya merupakan sumber utama dan terpenting adalah perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh para pedagang sendiri. Seperti kita dapat pahami, kontrak tersebut adalah ‘undang-undang’ bagi para

pihak yang membuatnya. 26

Dapat pula kita sadari bahwa para pelaku perdagangan (pedagang)

hukum perdagangan internasional dalam melakukan transaksi-transaksi perdagangan internasional, mereka menuangkannya dalam perjanjian-perjanjian tertulis (kontrak). Karena itu, kontrak adalah sangat esensial. Karena itu kontrak berperan sebagai sumber hukum yang perlu dan terlebih dahulu mereka jadikan acuan penting dalam melaksanakan hak dan kewajiban mereka dalam perdagangan internasional.

Dalam hukum kontrak, kita mengenal penghormatan dan pengakuan terhadap prinsip konsensus dan kebebasan para pihak (party autonomy). Syarat-syarat perdagangan dan hak serta kewajiban para pihak seluruhnya diserahkan kepada para pihak dan hukum menghormati kesepakatan ini yang tertuang dalam perjanjian.

Meskipun kebebasan para pihak sangatlah esensial, namun kebebasan tersebut ada batas-batasnya. Ia tunduk pada berbagai pembatasan yang melingkupinya. Pertama, pembatasan yang utama adalah bahwa kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, dan dalam taraf tertentu, dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan kesopanan.

Pembatasan kedua adalah status dari kontrak itu sendiri. Kontrak dalam perdagangan internasional tidak lain adalah kontrak nasional yang ada unsur asingnya. 27 Artinya, kontrak tersebut,

Cf., Alinea pasal 1 Pasal 1338 KUH Perdata: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

27 Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1976 (Gautama menyatakan bahwa kontrak dengan orang asing adalah kontrak

yang terdapat unsur asing atau foreign element).

meskipun di bidang perdagangan internasional, sedikit banyak tunduk dan dibatasi oleh hukum nasional (suatu negara tertentu). 28

Ketiga, menurut Sanson, pembatasan lain yang juga penting dan mengikat para pihak adalah kesepakatan-kesepakatan atau ‘kebiasaan’ dagang yang sebelumnya dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan. Daya mengikat kesepakatan-kesepakatan sebelumnya ini meskipun tidak tertulis tetapi mengikat ini, digambarkannya sebagai berikut:

“In addition to the contractual terms agreed by the parties, the course of past dealings between traders may result in terms becoming part of an agreement between them. These past dealings, or trade ‘usages’ between the parties, may apply to the contractual relationship despite their not

being incorporated into it in written form.” 29

Michelle Sanson, op.cit., hlm. 7. 29 Michelle Sanson, op.cit., hlm. 7; lihat pula Hans van Houtte,

op.cit., hlm. 12 (Houtte menekankan bukan kontrak yang dibuat oleh para pedagang, tetapi kontrak-kontrak negara (state contracts).

6. Hukum Nasional

Signifikansi hukum nasional sebagai sumber hukum dalam hukum perdagangan internasional tampak dalam uraian mengenai kontrak sebagai sumber hukum perdagangan internasional di atas. Peran hukum nasional ini antara lain akan mulai lahir manakala timbul sengketa sebagai pelaksanaan dari kontrak. Dalam hal demikian ini maka pengadilan (badan arbitrase) pertama-tama akan melihat klausul pilihan hukum dalam kontrak untuk menentukan hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikan sengketanya.

Peran hukum nasional sebenarnya sangatlah luas dari sekedar mengatur kontrak dagang internasional. Peran signifikan dari hukum nasional lahir dari adanya jurisdiksi (kewenangan) negara. Kewenangan ini sifatnya mutlak dan eksklusif. Artinya, apabila tidak ada pengecualian lain, maka kekuasaan itu tidak dapat diganggu gugat.

Jurisdiksi atau kewenangan tersebut adalah kewenangan suatu negara untuk mengatur segala (a) peristiwa hukum, (b) subyek hukum, dan (c) benda yang berada di dalam wilayahnya. Kewenangan mengatur ini mencakup membuat hukum (nasional) baik yang sifatnya hukum publik maupun hukum perdata (privat).

Kewenangan atas peristiwa hukum di sini dapat berupa transaksi jual beli dagang internasional, atau transaksi dagang internasional. Dalam hal ini maka hukum nasional yang dibuat suatu negara dapat mencakup hukum perpajakan, kepabeanan, ketenaga-kerjaan, persaingan sehat, perlindungan konsumen, kesehatan, perlindungan HAKI (intellectual property rights), hingga perizinan ekspor-impor suatu produk.

Kewenangan atas subyek hukum (pelaku atau stake-holders) dalam perdagangan internasional, mencakup kewenangan negara dalam membuat dan meletakkan syarat-syarat (dan izin) berdirinya suatu perusahaan, bentuk-bentuk perusahaan beserta syarat-syaratnya, hingga pengaturan pengakhiran perusahaan (dalam hal perusahaan pailit, dsb).

Kewenangan suatu negara untuk mengatur atas suatu benda yang berada di dalam wilayahnya mencakup pengaturan obyek-obyek apa saja yang dapat atau tidak dapat untuk diperjual-belikan. Termasuk di dalamnya adalah larangan untuk masuknya produk-produk yang dianggap membahayakan moral, kesehatan manusia, tanaman, lingkungan, produk tiruan, dll.