Pelaksanaan Putusan Sengketa Dagang

F. Pelaksanaan Putusan Sengketa Dagang

1. Pengantar

Masalah pelaksanaan putusan penyelesaian sengketa (khususnya yang dibuat di luar negeri) hingga kini masih menjadi suatu masalah yang tidak mudah. Hal ini disebabkan karena pihak yang kalah di dalam suatu sengketa tidak jarang merasa keberatan melaksanakan putusan tersebut. Bersamaan dengan itu, pengadilan di dalam negeri tersebut yang diharapkan dapat membantu proses pelaksanaan putusan ternyata kurang memberikan respon yang konstruktif.

Masalah ini pula yang saat ini menjadi ciri utama kelemahan dari putusan-putusan penyelesaian sengketa oleh badan-badan penyelesaian sengketa asing. Inti masalahnya adalah dilaksanakan

sutau putusan mencerminkan efektivitas suatu putusan. 57 Dalam bagian ini, uraian akan melihat secara singkat pelaksanaan putusan dari masing-masing cara penyelesaian sengketa, yaitu putusan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase asing dan pengadilan (asing).

2. Pelaksanaan Putusan APS

alternatif penyelesaian sengketa (APS) memiliki risiko yang cukup tinggi dalam hal pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan yang dikeluarkan. Pelaksanaan putusan melalui APS lebih banyak bergantung kepada itikad baik para pihaknya. Hal ini semata-mata karena sifat putusannya yang sejak awal dilandasi oleh asas konsensuil.

Masalahnya akan menjadi lebih sulit apabila putusan APS tersebut dibuat di luar negeri. Upaya pihak yang menang yang berupaya agar putusan APS dapat dilaksanakan semakin sangat bergantung kepada itikad baik ini. Tidak ada kepastian hukum kapan dan apakah pihak yang kalah mau melaksanakan putusan APS tersebut.

Hans Van Houtte, The Law of International Trade, London: Sweet and Maxwell, 1995, p. 369.

3. Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Asing)

Pelaksanaan putusan arbitrase asing sudah menjadi isu yang lama. Masalah ini pula yang menjadi kelemahan utama dari cara penyelesaian melalui pengadilan atau hakim partikelir ini. Seperti telah disebut di muka, umumnya yang menjadi kendala dalam masalah ini adalah pelaksanaan (eksekusi) putusan oleh pihak yang kalah.

mengurangi dan memperbaiki kelemahan ini telah lama dilakukan, yaitu sejak tahun 1927. Waktu itu masyarakat internasional mengeluarkan Konvensi Jenewa tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase. Konvensi ini kemudian direvisi oleh Konvensi New York 1958.

Upaya masyarakat internasional

dalam

Sebenarnya timbulnya masalah ini merupakan refleksi dari konvensi-konvensi internasional pada umumnya, termasuk Konvensi New York 1958 ini. Masalahnya adalah konvensi internasional seperti ini tidak mengatur peraturan-peraturan yang detail. Ia hanya mengatur hal-hal pokoknya saja. Dalam lingkup nasional, Konvensi internasional ini ibarat Undang-undang Pokok yang pelaksanaannya dijabarkan oleh Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan seterusnya (implementing legislation-nya).

Kalau di dalam lingkup nasional ada hierarki pengaturan yang jelas, sebaliknya dalam lingkup internasional tidak ada. Masin- masing negara memiliki cara melaksanakan implementing legislation- nya. Keadaan demikian jelas menambah ruwetnya masalah pelaksanaan

suatu putusan arbitrase asing. 58

Konvensi New York 1958 (Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards) ditandatangani 10 Juni 1958 di kota New York. Konvensi New York mulai berlaku pada 2 Juni 1959. Konvensi ini hanya mensyaratkan tiga ratifikasi agar

Lihat hasil penelitian yang dilakukan oleh Karl Heinz Boockstiegel yang menyimpulkan sebagai berikut: “if we now turn to the enforcement of arbitration awards ... the information collected shows many variations between national laws. (Karl Heinz Bockstiegel, Arbitration and State Enterprises, KlUwer Law and Taxation Publishers, 1989, h1m. 50).

berlaku. Selanjutnya Konvensi akan berlaku tiga bulan sejak jumlah

ratifikasi ketiga terpenuhi. 59

Konvensi mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 (lima) prinsip berikut di bawah ini: (1) Konvensi ini menerapkan prinsip pengakuan dan pelaksanaan

putusan arbitrase luar negeri dan menempatkan putusan tersebut pada kedudukan yang sama dengan putusan peradilan nasional.

(2) Konvensi ini mengakui prinsip putusan arbitrase yang mengikat tanpa perlu dicantumkan dalam putusannya. (3) Konvensi ini menghindari proses pelaksanaan ganda (double enforcement process). (4) Konvensi New York mensyaratkan penyederhanaan dokumentasi yang diberikan oleh pihak yang mencari pengakuan dan pelaksanaan putusan. Dalam hal ini Konvensi hanya mensyaratkan dua dokumen saja untuk dapat melaksanakan suatu putusan, yaitu: (a) Dokumen putusan atau salinannya yang sah dan (b) dokumen perjanjian

arbitrase atau salinannya yang sah (pasal IV). 60

(5) Konvensi New York lebih lengkap dan komprehensif daripada hukum nasional pada umumnya. Konvensi New York di samping mengatur pelaksanaan, juga mengatur pengakuan (recognition) terhadap

suatu putusan arbirase asing. 61

Indonesia adalah anggota Konvensi New York dengan aksesi melalui Keputusan Presiden No. 34 tahun 1981, 5 Agustus 1981. Aksesi ini didaftar di Sekretaris Jenderal PBB 7 Oktober 1981.

Lihat, pasal XII Konvensi. 60 Rene David berpendapat bahwa pasal ini memberi keuntungan kepada pihak

yang menang di dalam memohon eksekusi karena ia cukup menunjukkan dua dokumen

Arbitration in International Trade, Netherlands: Kluwer, 1985, h1m. 96). 61 Samir Saleh, "The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards in the States of the Arab Middle East", dalam Julian DM Lew, (ed)., Contemporary Problems in International Arbitration, Netherlands: Martinus Nijhoff Publ., 1986, h1m. 344.

tersebut

kepada

Pengadilan

(Rene

David,

3. Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Masalah pelaksanaan putusan pengadilan juga masih menjadi masalah yang cukup serius. Pengadilan adalah refleksi kedaulatan negara dalam mengadili sesuatu sengketa. Putusan pengadilan karenanya tidak secara otomatis dapat dilaksanakan di wilayah kedaulatan negara lain.

Untuk supaya putusan tersebut dapat dilaksanakan di suatu negara lain, ada dua kemungkinan berikut: (1) menyidangkan kembali kasus tersebut dari awal sebagai suatu

sengketa baru di pengadilan tersebut (di mana putusan dimintakan pelaksanaannya);

(2) pelaksanaan putusan pengadilan di suatu negara dapat dilaksanakan apabila negara-negara yang terkait (ke-dua negara, dimana pelaksanaa putusan dimintakan) terikat baik apda suatu perjanjian bilateral atau perjanjian multilateral mengenai pelaksanaan putusan pengadilan di bidang sengketa- sengketa dagang (padanan kata asingnya yaitu sengketa-sengketa komersial).

Untuk hal yang pertama, sudah barang tentu sulit. Prosesnya jadi panjang dan berlarut-larut. Belum lagi pertimbangan biaya yang akan dikeluarkan untuk proses tersebut. Biasanya proses berperkara di pengadilan di luar negeri tidaklah murah. Belum lagi timbul ketidak-pastian apakah putusannya akan sama dengan putusan yang dikeluarkan oleh badan peradilan sebelumnya.

Untuk hal yang kedua, adalah alternatif yang cukup layak. Sayangnya,

baru berupa perjanjian bilateral dan regional di Eropa Barat. Perjanjian bilateral dapat ditemukan di antara negara-negara Eropa Barat dalam hal pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan secara

Hans Van Houtte, op. cit., p. 356. (Biasanya perjanjian bilateral ini memuat hal-hal yang tidak tercakup dalam Perjanjian Regional mengenai

a. Konvensi Brussel 1968

Perjanjian regional di Eropa Barat mengenai pelaksanaan putusan pengadilan ini adalah the Convention on Jurisdiction and

the Enforcement of Judgment in Civil and Commercial Matters (Konvensi Brussel), 27 september 1968. Konvensi Brussel ini beranggotakan Belgia, Belanda, Luxembourg, Perancis, Jerman, dan Italia). Selanjutnya negara-negara yang bergabung adalah Inggris, Irlandia, dan Denmark (1978), Spanyol dan Portugal (26 Mei 1989).

Konvensi Brussel bertujuan: (1) mengatur jurisdiksi pengadilan di negara-negara anggotanya; (2) memperkenalkan

untuk pengakuan dan pelaksanaan putusan; dan (3) mengatur pengakuan terhadap dokumen-dokumen otentik dari

prosedur

sederhana

negara-negara anggotanya. 63

b. Konvensi Lugano 1988

Konvensi kedua yaitu the Convention on Jurisdiction and the Enforcement of Judgment in Civil and Commercial Matters (Konvensi

Lugano) ditandatangani di Lugano, 16 September 1988. Negara anggota Konvensi ini adalah 12 negara Masyarakat Eropa dan 6 negara anggota European Free Trade Area (EFTA) yaitu Finlandia, Islandia, Norwegia, Austria, Swedia dan Swis.

Tujuan Konvensi ini adalah sama dengan Konvensi Brussel, yaitu mendorong pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan di antara negara anggotanya. Fungsi ini umumnya berkaitan dengan hal-

hal yang tidak diatur dalam Konvensi Brussel. 64

masalah pelaksanaan putusan dagang oleh pengadilan di antara negara- negara anggota Konvensi Brussel dan Konvensi Lugano, lihat infra).

63 Hans Van Houtte, op. cit., p. 355. 64 Hans Van Houtte, op. cit., p. 356 (menurut Houtte, hal lain yang membedakannya adalah bahwa Konvensi Lugano tidak memberikan jaminan

penafsiran yang seragam dibandingkan dengan Konvensi Brussel. Houtte, op.cit., hlm. 356).