Hubungan Internasional

4. Hubungan Internasional

a. Pengertian Hubungan Internasional

Hubungan Internasional merupakan satu kesatuan disiplin, dan memiliki ruang lingkup serta konsep-konsep dasar. Menurut Soeprapto (1997) terdapat dua sebab yang mendorong lahirnya Ilmu Hubungan Internasional. Kedua sebab tersebut adalah :

1) Adanya minat yang besar terhadap fenomena yang ada setelah Perang Dunia I selesai. Fenomena tersebut banyak menarik perhatian negara- negara.

2) Perang Dunia I telah banyak menelan korban manusia serta kerusakan- kerusakan materil. Melihat akibat dari Perang Dunia I tersebut timbul kesadaran tentang pentingnya kebutuhan untuk mencegah peperangan dan terselenggaranya ketertiban dunia.

Hubungan internasional atau hubungan antarbangsa merupakan interaksi manusia antarbangsa baik secara individu maupun kelompok, dilakukan baik secara langsung maupun secara tidak langsung dan dapat berupa persahabatan, persengketaan, permusuhan ataupun peperangan. Menurut Kusuma Atmaja, hubungan dan kerjasama antar bangsa muncul karena tidak meratanya pembagian kekayaan alam dan perkembangan industri di seluruh dunia sehingga terjadi saling ketergantungan antara bangsa dan negara yang berbeda. Karena hubungan dan kerjasama ini terjadi terus menerus, sangatlah penting untuk memelihara dan mengaturnya sehingga bermanfaat dalam pengaturan khusus sehingga tumbuh rasa persahabatan dan saling pengertian antarbangsa di dunia.

Hubungan antarbangsa sudah lama terjadi dan hubungan tersebut berlangsung dalam suatu masyarakat yang disebut dengan masyarakat antarbangsa. Hubungan yang semula dalam bentuk primitif kemudian Hubungan antarbangsa sudah lama terjadi dan hubungan tersebut berlangsung dalam suatu masyarakat yang disebut dengan masyarakat antarbangsa. Hubungan yang semula dalam bentuk primitif kemudian

Secara sederhana pengertian hubungan internasional dipahami sebagai interaksi yang terjadi antar aktor-aktor tertentu, yaitu interaksi telah melampaui batas yurisdiksi nasional sebuah negara. Pada dasarnya tujuan utama studi hubungan internasional adalah mempelajari perilaku internasional, yaitu perilaku aktor, negara maupun non negara, di dalam arena transaksi internasional, perilaku tersebut bisa berwujud perang, kerjasama, pembentukan aliansi, interaksi dalam organisasi internasional dan

Hubungan internasional pada dasarnya merupakan studi mengenai interaksi antar aktor, baik negara maupun aktor non-negara, yang berlangsung di dalam sistem internasional dan hubungan yang dijalin dapat berbentuk hubungan ekonomi, sosial budaya, maupun politik, yang memiliki konsekuensi-konsekuensi penting bagi aktor-aktor lainnya diluar unit politiknya.

Menurut T. May Rudy (1993) hubungan internasional dapat disimpulkan sebagai berikut: Hubungan Internasional adalah hubungan yang mencakup berbagai

macam hubungan atau interaksi yang melintasi batasbatas wilayah negara dan melibatkan pelaku-pelaku yang berbeda kewarganegaraan, berkaitan dengan segala bentuk kegiatan manusia. Hubungan ini dapat berlangsung baik secara kelompok maupun secara perorangan dari suatu bangsa atau negara, yang melakukan interaksi baik secara resmi maupun tidak resmi dengan kelompok atau perorangan dari bangsa atau negara lain (hlm. 3).

Ilmu Hubungan Internasional dapat dikaji menggunakan berbagai pendekatan. Hal itu dijelaskan T. May Rudy (1993), dalam kutipan berikut: Ilmu Hubungan Internasional dapat dikaji menggunakan berbagai pendekatan. Hal itu dijelaskan T. May Rudy (1993), dalam kutipan berikut:

Menurut Nasution (mengutip dari simpulan EH. Carr, 1965), munculnya hubungan internasional sebagai bidang studi sendiri adalah keinginan setiap negara untuk memahami sebab-sebab terjadinya konflik dan membina dunia lebih damai yang dilakukan sesudah Perang Dunia I. Sekitar tahun 1920 sampai 1930-an, studi hubungan internasional dipelajari melalui tiga jalur. Pertama, hubungan internasional dipelajari melalui penelaahan kejadian-kejadian yang sedang terjadi dan mencoba dibuat urutan kejadian. Sehingga setiap kesalahpahaman dan konflik antarbangsa bisa dihindari. Kedua, hubungan internasional dipelajari melalui studi tentang organisasi internasional. Ini didasarkan pada kesimpulan bahwa konflik bisa diselesaikan jika diciptakan suatu aturan atau tata tertib hukum yang didukung oleh organisasi seperti Liga Bangsa-Bangsa. Ketiga, studi hubungan internasional pada masa itu adalah sebuah analisa yang menitikberatkan pada ekonomi internasional (Nasution, 1984).

Paradigma realis, yang mendominasi teori hubungan internasional selama kurang lebih dua dasawarsa sesudah Perang Dunia II, merupakan wujud dari upaya mengembangkan pendekatan teoritis yang sekaligus bisa mendeskripsikan dan menjelaskan perilaku dalam hubungan internasional dan bisa memberikan kerangka preskriptif bagi para negarawan dalam membuat keputusan.

Menurut Nasution, ada beberapa pendekatan dalam hubungan internasional (mengutip dari simpulan Crayson Kirk), di antaranya: Menurut Nasution, ada beberapa pendekatan dalam hubungan internasional (mengutip dari simpulan Crayson Kirk), di antaranya:

2) Pendekatan legalistis, oleh para ahli hukum, mereka memandang aspek- aspek legal dari hubungan antar negara itu saja, tanpa berusaha mencari sebab-sebab kurangnya dan tidak sempurnanya tali-temali hukum dalam subjek ini,

3) Pendekatan ideal, oleh para idealis, lebih suka memandang sistem hubungan internasional yang lebih sempurna, yang akan didirikan daripada menyelidiki apa yang ada.

Kerja sama internasional adalah bentuk hubungan yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara lain yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan untuk kepentingan negara-negara di dunia. Kerja sama internasional, yang meliputi kerja sama di bidang politik, sosial, pertahanan keamanan, kebudayaan, dan ekonomi, berpedoman pada politik luar negeri masing-masing negara. Kerjasama akan dilakukan apabila manfaat yang diperoleh diperkirakan akan lebih besar daripada konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggungnya. Oleh sebab itu keberhasilan suatu kerjasama dapat diukur dari perbandingan besarnya manfaat yang dicapai terhadap konsekuensi yang ditanggung. Masalah kerjasama terletak pada pencapaian sasaran. Tujuan akhir yang kemudian dijabarkan ke dalam sasaran-sasaran kerjasama ditentukan oleh persamaan kepentingan yang fundamental dari masing-masing pihak yang melakukan kerjasama.

Menurut Koesnadi Kartasasmita (1997), menjelaskan pengertian kerjasama internasional yang dapat dipahami sebagai: Kerjasama dalam masyarakat internasional suatu keharusan sebagai

akibat terdapatnya hubungan interdepedensia dan bertambah kompleksnya hubungan manusia dalam masyarakat internasional. Kerjasama internasional terjadi karena national understanding serta mempunyai arah tujuan sama, keinginan yang didukung oleh kondisi internasional yang saling membutuhkan. Kerjasama itu didasari oleh kepentingan bersama diantara negaranegara, namun kepentingan itu tidak identik (hlm. 20).

dalam buku Hubungan Internasional Sistem Interaksi dan Perilaku, menggolongkan kerjasama internasional ke dalam empat bentuk yaitu:

1) Kerjasama Global Adanya keinginan yang kuat dari berbagai bangsa di dunia untuk bersatu dalam suatu wadah yang mampu mempersatukan cita-cita bersama merupakan dasar utama bagi kerjasama global. Sejarah kejasama global dapat ditelusuri kembali mulai dari dibentuknya kerjasama multilateral seperti yang diperlihatkan oleh perjanjian Westphalia tahun 1648 dan merupakan akar dari kerjasama global.

2) Kerjasama Regional Merupakan kerjasama antar negara yang secara geografis letaknya berdekatan. Kerjasama tersebut bisa berada dalam bidang pertahanan tetapi juga bisa di bidang lain seperti pertanian, hukum, kebudayaan, dan lain sebagainya.

3) Kerjasama Fungsional Permasalahan maupun metode kerjasamanya menjadi semakin komplek disebabkan oleh semakin banyaknya berbagai lembaga kerjasama yang ada. Walaupun kompleksitas dan banyak permasalahan yang dihadapi dalam kerjasama fungsional baik di bidang ekonomi maupun sosial, untuk pemecahannya diperlukan kesepakatan dan keputusan politik. Jadi, kerjasama fungsional tidak bisa dilepaskan dari power.

4) Kerjasama Ideologi Pengertian ideologi adalah alat dari suatu kelompok kepentingan untuk membenarkan tujuan dan perjuangan kekuasaan. Dalam hal perjuangan atau kerjasama ideologi batas-batas teritorial tidaklah relevan. Berbagai kelompok kepentingan berusaha mencapai tujannya dengan memanfaatkan berbagai kemungkinan yang terbuka di forum global.

Suatu kerjasama internasional bertemu berbagai macam kepentingan nasional dari berbagai negara dan bangsa yang tidak dapat dipenuhi di dalam negerinya sendiri. Dengan kata lain kerjasama dapat terbentuk karena Suatu kerjasama internasional bertemu berbagai macam kepentingan nasional dari berbagai negara dan bangsa yang tidak dapat dipenuhi di dalam negerinya sendiri. Dengan kata lain kerjasama dapat terbentuk karena

Berbagai jenis masalah nasional, regional, ataupun global yang bermunculan memerlukan perhatian dari berbagai pihak. Dalam sebagian besar kasus yang terjadi, pemerintah saling berhubungan dengan mangajukan alternatif pemecahan, perundingan atau pembicaraan mengenai masalah yang dihadapi, mengemukakan berbagai bukti teknis untuk menopang pemecahan masalah tertentu dan mengakhiri perundingan dengan membentuk suatu perjanjian atau saling pengertian yang memuaskan bagi semua pihak. Proses seperti ini biasa disebut kerjasama atau kooperasi.

Menurut K.J. Holsti (1987), ada beberapa alasan suatu negara melakukan kerjasama dengan negara lainnya:

1) Meningkatkan kesejahteraan ekonominya, melalui kerjasama dengan negara lainnya, negara tersebut dapat mengurangi biaya yang harus ditanggung dalam memproduksi suatu produk kebutuhan bagi rakyatnya karena keterbatasan yang dimiliki negara tersebut;

2) Meningkatkan efisiensi yang berkaitan dengan pengurangan biaya;

3) Adanya masalah-masalah yang mengancam keamanan bersama;

4) Mengurangi kerugian negatif yang diakibatkan oleh tindakan-tindakan individual negara yang member dampak terhadap negara lain.

Menurut Muhadi Sugiono (2006), ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam kerjasama internasional. Pertama, negara bukan lagi sebagai aktor eksklusif dalam politik internasional melainkan hanya bagian dari jaringan interaksi politik, militer, ekonomi dan kultural bersama-sama dengan aktor-aktor ekonomi dan masyarakat sipil. Kedua, kerjasama Menurut Muhadi Sugiono (2006), ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam kerjasama internasional. Pertama, negara bukan lagi sebagai aktor eksklusif dalam politik internasional melainkan hanya bagian dari jaringan interaksi politik, militer, ekonomi dan kultural bersama-sama dengan aktor-aktor ekonomi dan masyarakat sipil. Kedua, kerjasama

Kerjasama yang terbentuk pada akhirnya akan mengarah pada terciptanya interdependensi, organisasi internasional sebagai wadah kerjasama memainkan peran penting dengan kapasitasnya sebagai aktor non-negara. Tujuan akhir dari kerjasama yang terjalin ditentukan oleh persamaan kepentingan yang hakiki dari masing-masing pihak yang terlibat.

b. Pola Interaksi Hubungan Internasional

Pola interaksi hubungan internasional tidak dapat dipisahkan dengan segala bentuk interaksi yang berlangsung dalam pergaulan masyarakat internasional, baik oleh pelaku negara-negara maupun oleh pelaku-pelaku bukan negara. Konflik dan kompetisi merupakan hal-hal yang tidak mudah terhindarkan dalam interaksi hubungan internasional. Masalahnya adalah bagaimana menempuh langkah-langkah untuk membina upaya bersama guna mengurangi serta menghindari konflik yang berkepanjangan. Sumber konflik bisa terletak pada kelangkaan sumber-sumber daya serta egosentrisme masing-masing negara atau kesatuan sosial tertentu, yaitu aspirasi untuk terus menungkatkan kekuatan serta kedudukan dalam hubungan dengan negara-negara lain atau keastuan sosial lainnya (Holsti, 1987).

Dalam kajian hubungan internasional, konflik tidak selalu berarti perang atau langsung berada pada taraf setara perang, tetapi bisa berupa krisis hubungan diplomatik, protes, penolakan, tuduhan, tuntutan, peringatan, ancaman, tindakan balasan, serta pemboikotan produk. Timbulnya konflik bisa dipicu oleh sikap serta tindakan yang bernuansa permusuhan atau saling ketidakpercayaan yang bertalian dengan Dalam kajian hubungan internasional, konflik tidak selalu berarti perang atau langsung berada pada taraf setara perang, tetapi bisa berupa krisis hubungan diplomatik, protes, penolakan, tuduhan, tuntutan, peringatan, ancaman, tindakan balasan, serta pemboikotan produk. Timbulnya konflik bisa dipicu oleh sikap serta tindakan yang bernuansa permusuhan atau saling ketidakpercayaan yang bertalian dengan

Penjajahan suatu bangsa atas bangsa lain, ketergantungan suatu bangsa atas bangsa lain dan hubungan sama derajat. Ada tiga macam pola hubungan antar bangsa, yaitu:

1) Pola Penjajahan Penjajahan pada hakekatnya adalah penghisapan oleh suatu bangsa atas bangsa lain yang ditimbulkan oleh perkembangan paham kapitalis, negara penjajah membutuhkan bahan mentah bagi industrinya dan juga pasar bagi hasil industrinya. Inti dari penjajahan ini adalah penguasaan wilayah bangsa lain.

2) Pola Ketergantungan Umumnya terjadi pada negara-negara berkembang yang karena kekurangan modal dan tekhnologi untuk membangun negaranya, terpaksa mengandalkan bantuan negara-negara maju yang akhirnya mengakibatkan ketergantungan pada negara-negara maju tersebut. Pola hubungan ini dikenal sebagai neo-kolonialisme (penjajahan dalam bentuk baru).

3) Pola Hubungan Sama Derajat Pola hubungan ini sangat sulit diwujudkan, namun merupakan pola hubungan yang paling ideal karena berusaha mewujudkan kesejahteraan bersama yang menuntut penghormatan atas kodrat manusia sebagai makhluk yang sederajat tanpa memandang ideologi, bentuk negara ataupun sistem pemerintahannya.

Jung berusaha menggunakan pola hubungan sama sederajat untuk menyatukan Korea Selatan dan Korea Utara karena Kim Dae Jung ingin mewujudkan Korea yang sejahtera tanpa memandang ideologi, bentuk negara ataupun sistem pemerintahannya.

c. Konsep Polaritas dalam Sistem Hubungan Internasional

Polaritas merupakan salah satu cara bagaimana kekuasaan terbagi dalam sistem internasional. Konsep tentang polaritas muncul selama Perang Dingin, kekuasaan terbagi menjadi dua kutub besar, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Setelah Uni Soviet hancur pada tahun 1991, Amerika Serikat muncul sebagai negara adidaya. Polaritas menurut Tamba (2010) dibagi menjadi empat sistem, yaitu: unipolar, bipolar, tripolar, dan multipolar.

1) Unipolar Unipolar merupakan sistem kekuasaan dimana hanya ada satu negara adikuasa yang menjadi pusat kekuatan di dunia internasional (http://www.scribd.com/doc). Sistem ini dapat terbentuk jika terdapat negara atau kelompok negara yang mendominasi sistem serta adanya pembentukan pemerintahan dunia. Aturan-aturan dalam sistem unipolar menurut Tamba (2010) adalah kekuatan pusat memainkan peranan dominan dalam membentuk dan menjalankan aturan, kekuatan pusat memainkan peran kunci dalam penyelesaian perselisihan diantara unit dibawahnya, dan kekuatan pusat menentang usaha unit dibawahnya untuk menerima otonomi yang lebih besar, unit subordinat terutama jika berada diluar pengawasan mengurangi dan melepaskan diri dari kekuasaan kekuatan hegemoni.

2) Bipolar Bipolar adalah struktur sistem politik internasional yang ditandai kehadiran dua negara yang memiliki kekuatan relatif besar daripada negara-negara lainnya. Sistem bipolar ditandai dengan adanya 2) Bipolar Bipolar adalah struktur sistem politik internasional yang ditandai kehadiran dua negara yang memiliki kekuatan relatif besar daripada negara-negara lainnya. Sistem bipolar ditandai dengan adanya

3) Tripolar Sistem ini terjadi ketika negara mempunyai hubungan yang baik dengan dua negara lain yang mana pada akhirnya akan bermusuhan satu sama lain. Aturan-aturan dalam sistem ini adalah secara optimal mencoba mempunyai hubungan yang baik dengan kedua pemain lain atau minimal mencoba menghindari permusuhan diantara keduanya dan mencoba untuk mencegah kerjasama tertutup antara kedua pemain lain (http://wordpress.com/doc).

4) Multipolar Multipolar adalah sistem terdapat lebih dari dua negara yang memiliki pengaruh kuat terhadap ekonomi, militer maupun budaya di dunia internasional. Sistem multipolar lebih stabil dibandingkan dengan bipolar ataupun unipolar karena kekuatan-kekuatan dari berbagai negara bisa mengadakan aliansi sehingga satu sama lain tidak akan saling menyerang (Morgenthau, 2010). Aturan-aturan dalam sistem ini adalah menentang negara manapun yang mengancam kedudukannya, meningkatkan kekuatan setiap negara dengan cara diplomasi bila mungkin dan dengan perlawanan jika perlu, serta tidak menurunkan stabilitas sistem dengan penghancuran negara lain jika melalui perlawanan (http://wordpress.com/doc).

Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa Korea Selatan menggunakan konsep bipolar untuk mendekati Korea Utara. Hal ini dikarenakan kedua Korea merupakan negara besar yang memiliki ideologi berbeda. Upaya penggabungan Korea dimaksudkan agar tercipta Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa Korea Selatan menggunakan konsep bipolar untuk mendekati Korea Utara. Hal ini dikarenakan kedua Korea merupakan negara besar yang memiliki ideologi berbeda. Upaya penggabungan Korea dimaksudkan agar tercipta

d. Sarana Hubungan Internasional

Sarana hubungan internasional menurut Wayan Sudanya yang dikutip dari J. Frankel (2010) ada berbagai sarana yang dapat dipergunakan oleh negara-negara dalam melakukan hubungan internasional, yaitu: diplomasi, propaganda, hubungan ekonomi dan militer:

1) Diplomasi Diplomasi merupakan seluruh kegiatan untuk melaksanakan politik luar negeri suatu negara dalam hubungannya dengan bangsa dan negara lain. Diplomasi dapat bersifat bilateral (melibatkan dua negara) atau multilateral (melibatkan lebih dari dua negara). Instrumen diplomasi ada dua yaitu Departemen Luar Negeri yang berkedudukan di ibukota negara, merupakan pusat hubungan internasional dalam negara dan perwakilan diplomatik yang berkedudukan di ibukota negara penerima yang merupakan wakil dari negaranya. Dalam mewakili negara dan bangsanya, seorang diplomat memiliki tiga fungsi dasar yaitu sebagai lambang, sebagai wakil yuridis yang sah sesuai hukum internasional dan sebagai perwakilan politik. Tugas seorang diplomat dapat dibagi menjadi empat fase pokok diplomasi, yaitu: perwakilan (representation), perundingan (negotiation), laporan (reporting) dan perlindungan kepentingan bangsa, negara, dan warga negaranya di luar negeri.

2) Propaganda Propaganda adalah usaha sistematis untuk mempengaruhi pikiran, emosi dan tindakan suatu kelompok demi kepentingan masyarakat umum. Ada dua hal yang membedakan diplomasi dan propaganda:

a) Propaganda ditujukan kepada rakyat negara tersebut, bukan pemerintahnya.

propaganda.

3) Ekonomi Hubungan internasional melalui sarana ekonomi tidak mutlak dilakukan oleh pemerintah, swasta pun dapat berperan besar, baik selama masa damai maupun dalam situasi perang. Semua negara terlibat dalam hubungan ekonomi untuk mendapatkan barang yang tidak dapat diproduksinya sendiri. Keuntungan lainnya dari perdagangan internasional adalah diperolehnya suatu barang melalui sistem produksi yang paling efisien dan murah.

4) Kekuatan Militer dan Perang Berlawanan dengan ekonomi, bidang militer benar-benar dikuasai oleh pemerintah. Bidang militer sangat mempengaruhi diplomasi karena memiliki kekuatan militer yang tangguh akan menambah rasa percaya diri, sehingga bisa mengabaikan ancaman-ancaman dan tekanan lawan yang dapat mengganggu kepentingan nasionalnya. Kekuatan militer diperlihatkan dalam parade militer di hari-hari nasional untuk menggertak dan memperingatkan negara-negara lawan sehingga perang dapat dihindarkan.

e. Reunifikasi

Integrasi di dunia internasional bertambah pesat setelah Perang Dingin berakhir. Menurut Mochtar Masoed dalam bukunya, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin Dan Metodologi, integrasi didefinisikan sebagai proses aktor-aktor di beberapa wilayah nasional yang berbeda yang terdorong untuk memindahkan kesetiaan, harapan dan kegiatan politik aktor-aktor ke suatu pusat baru yang lembaga-lembaganya memiliki dan menuntut yurisdiksi atas negara-negara nasional yang ada sebelumnya (Masoed, 1994). Dapat ditambahkan pula bahwa dalam kaitannya dengan Perang Dingin, negara-negara yang mengalami pemisahan struktural seperti

integrasi, atau lebih tepatnya reunifikasi. Reunifikasi tidak jauh berbeda dengan integrasi. Reunifikasi merupakan salah satu aspek kehidupan bernegara, yaitu bersatunya kembali dua atau lebih unit politik dan segala aspeknya (secara menyeluruh). Reunifikasi adalah penyatuan negara terpisah atau unit politik lainnya di bawah kekuasaan yang sama. Integrasi dapat berlangsung sebagai fenomena internasional atau regional, yang dapat dilihat sebagai proses ataupun hasil yang merupakan refleksi dan semangat kerjasama antarnegara (http://id.wikipedia.org/wiki/Reunifikasi). Negara-negara yang mempunyai isu reunifikasi menurut Arianto (2009) biasanya adalah dua negara atau lebih yang terpecah setelah Perang Dunia II, terutama karena persaingan antara Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet

Keinginan untuk mengadakan reunifikasi disebabkan adanya rasa nasionalisme. Nasionalisme bisa menjadi kekuatan yang membangun (positive force) atau menjadi kekuatan yang merusak (destructive force). Sebagai kekuatan yang membangun nasionalisme dapat digunakan sebagai alat untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Nasionalisme dapat menjadi kekuatan yang berguna apabila menimbulkan makna identitas (sense of identity) dan rasa memiliki (sense of belonging) bagi individu. Nasionalisme bisa menjadi kekuatan yang merusak apabila suatu negara menganggap suatu peranan yang lebih tinggi bisa dicapai dengan mengorbankan wilayah dan kesejahteraan negara lain atau suatu kelompok etnis minoritas dengan merusak hak-hak yang dimilikinya (http://www.docstoc.com).

Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa keinginan Presiden Kim Dae Jung untuk menyatukan kembali Korea Selatan dan Korea Utara didasarkan pada rasa nasionalismenya yang tinggi terhadap Korea. Kim Dae Jung mempersatukan Korea karena ingin mengulang kejayaan Korea sebagai satu bangsa yang utuh masa nenek moyang, tanpa harus mengorbankan salah satu negara. Reunifikasi Korea diharapkan dapat Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa keinginan Presiden Kim Dae Jung untuk menyatukan kembali Korea Selatan dan Korea Utara didasarkan pada rasa nasionalismenya yang tinggi terhadap Korea. Kim Dae Jung mempersatukan Korea karena ingin mengulang kejayaan Korea sebagai satu bangsa yang utuh masa nenek moyang, tanpa harus mengorbankan salah satu negara. Reunifikasi Korea diharapkan dapat