TELAAH PUSTAKA
4. Need For Uniqueness dan Clothing Interest
Individu yang memiliki keinginan kuat untuk menjadi unik/tampil beda sering mengekspresikan individualitas mereka melalui personalisasi produk seperti pakaian dan aksesoris (Salomon, 2003). Dimensi dari clothing interest dan terdiri dari lima komponen atau dimensi: "penampilan fisik," "mencoba-coba penampilan," "kesadaran pada pakaian," "peningkatan keamanan pribadi," dan "peningkatan individualitas" (Gurel dan Gurel, 1979; Kaiser, 1998). Sifat dimensi ini menunjukkan bahwa orang tertarik pada pakaian karena mereka ingin terlihat berbeda dan mengekspresikan Individu yang memiliki keinginan kuat untuk menjadi unik/tampil beda sering mengekspresikan individualitas mereka melalui personalisasi produk seperti pakaian dan aksesoris (Salomon, 2003). Dimensi dari clothing interest dan terdiri dari lima komponen atau dimensi: "penampilan fisik," "mencoba-coba penampilan," "kesadaran pada pakaian," "peningkatan keamanan pribadi," dan "peningkatan individualitas" (Gurel dan Gurel, 1979; Kaiser, 1998). Sifat dimensi ini menunjukkan bahwa orang tertarik pada pakaian karena mereka ingin terlihat berbeda dan mengekspresikan
H3. Semakin tinggi need for uniqueness maka semakin tinggi
clothing interest
5. Clothing Interest dan Emotional Value
Beberapa produk tertentu dan merek memberikan pengalaman non-utilitarian yang menghasilkan nilai emosional yang berbeda bagi konsumen (Holbrook, 1986). Nilai emosional didefinisikan sebagai manfaat yang diperoleh dari perasaan atau afektif (yaitu kenikmatan atau kesenangan) yang dihasilkan dari suatu produk (Sweeney dan Soutar, 2001). Sebagai kategori produk yang menginduksi keterlibatan tinggi dan ketertarikan karena sifatnya simbolis dan hedonis, pakaian cenderung membangkitkan emosi konsumen melalui tahap seleksi dan penggunaannya (Kim et al., 2002). Berdasarkan uraian diatas, peneliti dapat mengusulkan hipotesis sebagai berikut: Beberapa produk tertentu dan merek memberikan pengalaman non-utilitarian yang menghasilkan nilai emosional yang berbeda bagi konsumen (Holbrook, 1986). Nilai emosional didefinisikan sebagai manfaat yang diperoleh dari perasaan atau afektif (yaitu kenikmatan atau kesenangan) yang dihasilkan dari suatu produk (Sweeney dan Soutar, 2001). Sebagai kategori produk yang menginduksi keterlibatan tinggi dan ketertarikan karena sifatnya simbolis dan hedonis, pakaian cenderung membangkitkan emosi konsumen melalui tahap seleksi dan penggunaannya (Kim et al., 2002). Berdasarkan uraian diatas, peneliti dapat mengusulkan hipotesis sebagai berikut:
6. Cloting Interest dan Perceived Quality
Salah satu bentuk persepsi konsumen tentang merek didasarkan pada kualitas (Doyle, 2001). Perceived quality didefinisikan sebagai penilaian subjektif konsumen tentang keunggulan keseluruhan merek atau superioritas (Yoo et al., 2000). Konsumen menggunakan sejumlah isyarat untuk menentukan kualitas merek termasuk harga, country of origin , kinerja, dan citra (Andaleeb, 1995; Dodds et al., 1991; Keller, 2001; Yoo et al., 2000). Sama halnya, Keller (2001) mendefinisikan penilaian merek sebagai pendapat pribadi konsumen tentang merek tersebut berdasarkan
bagaimana mereka mengkombinasikan kinerja dan asosiasi gambar termasuk persepsi kualitas (perceived quality ), kredibilitas, pertimbangan, dan keunggulan. Individu yang tertarik dalam pakaian cenderung untuk lebih memperhatikan sifat fisik dan fitur dari pakaian yang mencakup kualitas kain (Kaiser, 1998). Kualitas juga telah dikaitkan dengan nama merek (Batra et al., 2000; Maxwell, 2001). Berdasarkan uraian diatas, peneliti dapat mengusulkan hipotesis sebagai berikut:
H5. Semakin tinggi clothing interest maka semakin tinggi
perceived quality
Cloting interest mendorong individu untuk membeli berbagai gaya dan merek pakaian sebagai cara untuk mengekspresikan individualitas mereka (Goldsmith et al., 1999; Kaiser, 1998; Salomon dan Schopler, 1982). Individu yang menunjukkan cloting interest yang lebih tinggi biasanya menghabiskan sejumlah besar waktu, uang dan energi pada pemilihan pakaian untuk meningkatkan penampilan mereka (Kaiser, 1998). Karena orang tersebut terlibat dalam pakaian, mereka tidak dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kualitas dan nilai emosional dalam keputusan pembelian mereka dibandingkan dengan mereka yang memiliki cloting interest yang lebih rendah. Bahkan, Kaiser (1998) berpendapat bahwa individu dengan cloting interest yang lebih tinggi berusaha untuk bereksperimen dengan berbagai jenis pakaian dan dengan demikian bersedia untuk membeli berbagai merek pakaian. Berdasarkan uraian diatas, peneliti dapat mengusulkan hipotesis sebagai berikut:
H6. Semakin tinggi clothing interest maka semakin tinggi
purchase intention
8. Emotional Value dan Purchase Intention
Seorang konsumen tidak hanya mempertimbangkan aspek kualitas dari merek tertentu, tetapi mereka membeli sebuah merek jika
terhadap merek terkait dengan perasaan positif (misalnya rasa kebahagiaan dan kesenangan) menggunakan merek, yang meningkatkan keinginan konsumen untuk membeli kembali merek (Stauss dan Neuhaus, 1997; Yu dan Dean, 2001). Dengan kata lain, konsumen yang merasa baik dan senang dengan pembelian merek dapat kembali membeli merek bahkan ketika diberikan pilihan lain (Gobe, 2001). Respon emosi terhadap merek merupakan prediktor kuat untuk niat membeli (purchase intention) (Morris et al., 2002) dan menyumbang lebih dari dua kali lipat varians kognisi. Konsumen dibanjiri pesan komersial yang relatif terhadap merek, dan iklan yang membangkitkan respon emosional yang secara signifikan dapat mempengaruhi niat membeli (Morris et al., 2002). Berdasarkan uraian diatas, peneliti dapat mengusulkan hipotesis sebagai berikut:
H7. Semakin tinggi emotional value maka semakin tinggi
purchase intention
9. Perceived Quality dan Purchase Intention
Konsumen mungkin berniat untuk membeli merek tertentu karena mereka melihat merek menawarkan fitur yang tepat, kualitas, atau manfaat emosional. Perceived quality yang tinggi dapat menyebabkan konsumen untuk mengenali diferensiasi dan keunggulan
memilih merek tersebut dari merek pesaing (Mc Connell, 1968; Yoo et al ., 2000). Meskipun konsumen mungkin memiliki berbagai sikap terhadap merek, yang paling penting dalam hal niat membeli yaitu berkaitan dengan persepsi kualitas (perceived quality), terutama untuk merek asing (Hoyer dan Brown, 1990). Yoo et al. (2000) juga menemukan bahwa persepsi kualitas dari sebuah merek berhubungan positif dengan tingkat ekuitas merek, mendukung Zeithaml (1988) bahwa konsumen dengan persepsi kualitas tinggi akan mengendalikan konsumen untuk memilih merek tertentu. Berdasarkan uraian diatas, peneliti dapat mengusulkan hipotesis sebagai berikut:
H8. Semakin tinggi perceived quality maka semakin tinggi
purchase intention