ANALISIS UJI HIPOTESIS DAN PEMBAHASAN

E. ANALISIS UJI HIPOTESIS DAN PEMBAHASAN

1. Uji Hipotesis

Setelah kriteria goodness of fit model struktural yang diestimasi dapat terpenuhi, maka tahap selanjutnya adalah analisis terhadap hubungan-hubungan struktural model (pengujian hipotesis). Hubungan antar konstruk dalam hipotesis ditunjukkan oleh nilai regression weights. Tabel IV.9 menunjukkan nilai regression weights dari variabel-variabel yang diuji hubungan kausalitasnya.

Tabel IV.9 Regression Weights

Estimate S.E. C.R. P Label need for uniqueness <--- self concept

-.111 .169 -.656 .512 par_1 clothing interest

<--- self concept

**.492 .246 2.001 .045 par_2 clothing interest

<--- need for uniqueness

*.253 .134 1.889 .059 par_3 emotional value

<--- clothing interest

***.304 . 101 3.015 .003 par_4 perceived quality

<--- clothing interest

***.419 .106 3.955 *** par_6 purchase intention <--- clothing interest

***.421 .088 4.756 *** par_5 purchase intention <--- emotional value

-.077 .077 -1.004 .315 par_7 purchase intention <--- perceived quality

***.311 .079 3.918 *** par_8 emotional value

<--- perceived quality

***.474 .089 5.326 *** par_26 Sumber: data primer yang diolah, 2011

Keterangan:

*** sigifikan pada level 1%

** signifikan pada level 5% * signifikan pada level 10%

Pengujian hipotesis dilakukan dengan menganalisis tingkat signifikansi hubungan kausalitas antar konstruk dalam model yang didasarkan pada nilai C.R (z-hitung) lebih besar dari atau sama dengan nilai z-tabel (z-hitung ³ z-tabel). Pada jumlah responden lebih dari 120

1%= 2,56, (2) 5%= 1,96, (3) 10%= 1,645. Besarnya pengaruh masing-masing variable secara langsung (standardized direct effect) maupun tidak langsung (standardized indirect effect ) serta efek total (standardized total effect) tersaji pada tabel IV.10 di bawah ini.

Tabel IV.10 Efek Langsung, Efek Tidak Langsung dan Efek Total

Variabel

Efek Langsung

Efek Tidak Langsung

Efek Total

Self concept à Need for uniqueness

0.000 -0.073 Self concept à Clothing interest

-0.012 0.197 Need for uniqueness à Clothing interest

0.000 0.163 Clothing interest à Emotional value

0.171 0.432 Clothing interest à Perceived quality

0.000 0.378 Clothing interest àPurchase Intention

0.101 0.562 Emotional value à Purchase Intention

0.000 -0.098 Perceived quality à Purchase Intention

-0.044 0.334 Perceived quality à Emotional value

Sumber: data primer yang diolah, 2011

Dari tabel IV.10 di atas tentang besarnya pengaruh masing-masing variabel dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Variabel self concept memiliki efek langsung terhadap need for uniqueness sebesar -0,073.

b. Variabel self concept memiliki efek langsung terhadap clothing interest sebesar 0,209 dan efek tidak langsung sebesar -0,012, sehingga memiliki efek total sebesar 0,197.

clothing interest sebesar 0,163.

d. Variabel clothing interest memiliki efek langsung terhadap emotional value sebesar 0,261 dan efek tidak langsung sebesar 0,171, sehingga memiliki efek total sebesar 0,432.

e. Variabel clothing interest memiliki efek langsung terhadap perceived quality sebesar 0,378.

f. Variabel clothing interest memiliki efek langsung terhadap purchase intention sebesar 0,461 dan efek tidak langsung sebesar 0,101, sehingga memiliki efek total sebesar 0,562.

g. Variabel emotional value memiliki efek langsung terhadap purchase intention sebesar -0,098.

h. Variabel perceived quality memiliki efek langsung terhadap purchase intention sebesar 0,452.

i. Variabel perceived quality memiliki efek langsung terhadap emotional value sebesar 0,452

2. Pembahasan Hasil Penelitian

a. Pengaruh self concept pada need for uniqueness

Hasil pengujian mengindikasikan pengaruh yang tidak signifikan self concept pada need for uniqueness (β =-0,111; C.R=-

variabel yang penting untuk dipertimbangkan dalam membentuk need for uniqueness . Besarnya pengaruh langsung antara variabel self concept dengan need for uniquenees sebesar -0,073 dan tidak mempunyai pengaruh tidak langsung antara kedua variabel ini yang ditunjukan dengan nilai 0,000 (lihat Tabel IV.10). Hal ini menjelaskan bahwa konsumen remaja produk distro di Purwokerto yang mempunyai kepuasan terhadap penampilan atau kondisi dirinya cenderung tidak menginginkan untuk tampil berbeda dengan orang lain dalam hal penampilan mereka.

Ketidaksignifikanan ini menunjukkan adanya variabel lain yang melekat pada self concept dalam membentuk need for uniqueness yaitu perbedaan budaya (Bian, 2010). Perbedaan budaya ini dimungkinkan mempengaruhi ketidaksignifikan pengaruh self concept pada need for uniqueness. Perbedaan budaya antara budaya individualis (negara maju) dan kolektivitas (negara berkembang) mempengaruhi karakteristik konsumennya seperti keinginan untuk tambil beda (need for uniqueness), ekspresi diri dan sikap diri (Bian, 2010). Dengan demikian bisa dikatakan perbedaan budaya sebagai variabel intervening self concept pada need for uniqueness. Dugaan ini memerlukan studi lanjutan untuk menjelaskan peran budaya (culture) sebagai variabel intervening self concept pada need for uniqueness.

kecermatan dari pemasar dalam pembentukan need for uniqueness konsumen produk distro. Hal ini dikarenakan self concept bukan variabel yang dipertimbangkan penting untuk membentuk need for uniqueness, melainkan diperkirakan melalui variabel budaya (culture), sehingga melalui pemahaman ini diharapkan tidak terjadi pembiasan teori yang bersifat universal.

b. Pengaruh self concept pada clothing interest

Berdasarkan hasil pengujian mengindikasikan pengaruh positif dan signifikan self concept pada clothing interest (β=0,492; C.R=2,001; SE=0,246) (lihat Tabel IV.9). Hal ini menunjukkan semakin tinggi self concept, semakin tinggi pula clothing interest,

Dengan demikian menunjukkan bahwa hipotesis 2 didukung pada tingkat signifikansi α = 0,05 dan mempunyai pengaruh langsung

sebesar 0,209 dan pengaruh tidak langsung sebesar 0,012 (lihat tabel IV.10).

Konsumen remaja produk distro di Purwokerto yang mempunyai kepuasan terhadap penampilan atau kondisi dirinya cenderung tetap memiliki ketertarikan terhadap produk distro dalam memenuhi kepuasan terhadap penampilannya. Fenomena ini terjadi karena produk distro seperti pakaian sering dikomunikasikan sebagai makna simbolis bagi individu, sehingga meningkatkan self concept mereka (Goffman, 2007; Grubb dan Grathwohl, 1967). Bahkan, Konsumen remaja produk distro di Purwokerto yang mempunyai kepuasan terhadap penampilan atau kondisi dirinya cenderung tetap memiliki ketertarikan terhadap produk distro dalam memenuhi kepuasan terhadap penampilannya. Fenomena ini terjadi karena produk distro seperti pakaian sering dikomunikasikan sebagai makna simbolis bagi individu, sehingga meningkatkan self concept mereka (Goffman, 2007; Grubb dan Grathwohl, 1967). Bahkan,

Untuk meningkatkan interest diperlukan upaya-upaya untuk membangun self concept. Upaya-upaya yang dapat dilakukan meliputi membangun kecocokan dan kenyamanan konsumen pada produk serta produk yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen untuk tampil ideal.

Hasil temuan menunjukkan bahwa studi ini mendukung hipotesis yang menunjukkan pengaruh positif dan signifikan self concept pada clothing interest. Hal ini menunjukkan regularitas fenomena hubungan antara self concept dan clothing interest yang dikemukakan seperti studi terdahulu sesuai dengan temuan yang diperoleh (Kumar, Kim dan Pelton, 2008). Namun demikian, konsep ini masih memerlukan studi lanjutan dalam upaya meningkatkan validitas eksternal dari konsep tersebut, sehingga di masa mendatang dapat menggeneralisasi pada konteks yang luas.

c. Pengaruh need for uniqueness pada clothing interest

Hasil pengujian mengindikasikan pengaruh positif dan signifikan need for uniqueness pada clothing interest (β=0,253;

C.R=1,889; SE=0,246) (lihat Tabel IV.9). Dengan demikian menunjukkan bahwa hipotesis 3 didukung pa da tingkat signifikansi α

memiliki pengaruh tidak langsung (lihat Tabel IV.10). Hal ini menunjukkan semakin tinggi need for uniqueness, semakin tinggi pula clothing interest . Konsumen remaja produk distro di Purwokerto yang menginginkan keunikan dalam penampilan mereka cenderung tertarik pada produk distro untuk mengapresiasikan keinginan tersebut. Fenomena ini terjadi karena individu yang memiliki keinginan kuat untuk menjadi unik/tampil beda (need for uniqueness yang tinggi) sering mengekspresikan individualitas mereka melalui personalisasi produk seperti pakaian dan aksesoris (Salomon, 2003).

Dalam meningkatkan interest diperlukan upaya-upaya untuk membangun need for uniqueness. Upaya-upaya yang dapat dilakukan meliputi menciptakan produk yang unik/berbeda, menciptakan produk yang terbatas, membangun brand image yang baik serta pemasaran yang kreatif.

Hasil temuan menunjukkan bahwa studi ini mendukung hipotesis yang menunjukkan pengaruh positif dan signifikan need for uniqueness pada clothing interest. Hal ini menunjukkan regularitas fenomena hubungan antara need for uniqueness dan clothing interest yang dikemukakan seperti studi terdahulu sesuai dengan temuan yang diperoleh (Kumar, Kim dan Pelton, 2008). Namun demikian, konsep ini masih memerlukan studi lanjutan dalam upaya meningkatkan Hasil temuan menunjukkan bahwa studi ini mendukung hipotesis yang menunjukkan pengaruh positif dan signifikan need for uniqueness pada clothing interest. Hal ini menunjukkan regularitas fenomena hubungan antara need for uniqueness dan clothing interest yang dikemukakan seperti studi terdahulu sesuai dengan temuan yang diperoleh (Kumar, Kim dan Pelton, 2008). Namun demikian, konsep ini masih memerlukan studi lanjutan dalam upaya meningkatkan

d. Pengaruh clothing interest pada emotional value

Berdasarkan hasil pengujian mengindikasikan pengaruh positif dan signifikan clothing interest pada emotional value (β=0,304; C.R=3,015; SE=0,101) (lihat Tabel IV.9) dan memiliki pengaruh langsung sebesar 0,261 serta pengaruh tidak langsung sebesar 0,171

atau tidak mempunyai pengaruh tidak langsung (lihat Tabel IV.10). Hal ini menunjukkan semakin tinggi clothing interest, semakin tinggi pula emotional value. Ketertarikan konsumen remaja di Purwokerto pada pakaian dapat menimbulkan nilai emosional seperti kenyamanan dan rasa senang dalam menggunakan produk distro. Sehingga untuk meningkatkan emotional value diperlukan upaya-upaya untuk membangun clothing interest. Upaya-upaya yang dapat dilakukan meliputi penciptaan produk-produk yang modis/mengikuti tren dan pemasaran yang kreatif.

Fenomena terjadi dikarenakan kategori produk (produk distro) yang menginduksi keterlibatan tinggi dan ketertarikan karena sifatnya simbolis dan hedonis cenderung membangkitkan emosi konsumen melalui tahap seleksi dan penggunaannya (Kim et al., 2002)

Hasil temuan menunjukkan bahwa studi ini mendukung hipotesis 4 yang menunjukkan pengaruh positif dan signifikan clothing interest pada emotional value. Hal ini menunjukkan Hasil temuan menunjukkan bahwa studi ini mendukung hipotesis 4 yang menunjukkan pengaruh positif dan signifikan clothing interest pada emotional value. Hal ini menunjukkan

e. Pengaruh clothing interest pada perceived quality

Berdasarkan hasil pengujian mengindikasikan pengaruh positif dan signifikan clothing interest pada perceived quality (β=0,419;

C.R=3,955, SE=0,106) (lihat Tabel IV.9) dan mengindikasikan pengaruh langsung sebesar 0,378 tetapi tidak mengindikasikan adanya pengaruh tidak langsung (lihat Tabel IV.10). Hal ini menunjukkan semakin tinggi clothing interest, semakin tinggi pula perceived quality, sehingga untuk meningkatkan perceived quality diperlukan upaya- upaya untuk membangun clothing interest.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan meliputi pembangunan kepercayaan pada merek, pembangunan brand name yang baik dan pembangunan perpsepsi yang baik pada brand. Hasil temuan menunjukkan bahwa studi ini mendukung hipotesis 5 yang menunjukkan pengaruh positif dan signifikan clothing interest pada perceived quality . Dengan demikian konsumen remaja di Purwokerto yang memiliki ketertarikan pada pakaian (clothing) cenderung memiliki persepsi kualitas yang positif pada produk distro seperti Upaya-upaya yang dapat dilakukan meliputi pembangunan kepercayaan pada merek, pembangunan brand name yang baik dan pembangunan perpsepsi yang baik pada brand. Hasil temuan menunjukkan bahwa studi ini mendukung hipotesis 5 yang menunjukkan pengaruh positif dan signifikan clothing interest pada perceived quality . Dengan demikian konsumen remaja di Purwokerto yang memiliki ketertarikan pada pakaian (clothing) cenderung memiliki persepsi kualitas yang positif pada produk distro seperti

Regularitas fenomena hubungan antara clothing interest dan perceived quality yang dikemukakan seperti studi terdahulu sesuai dengan temuan yang diperoleh (Kumar, Kim dan Pelton, 2008). Namun demikian, konsep ini masih memerlukan studi lanjutan dalam upaya meningkatkan validitas eksternal dari konsep tersebut, sehingga di masa mendatang dapat menggeneralisasi pada konteks yang luas.

f. Pengaruh clothing interest pada purchase intention

Berdasarkan hasil pengujian mengindikasikan pengaruh positif dan signifikan clothing interest pada purchase intention (β=0,421; C.R=4,756, SE=0,088) (lihat Tabel IV.9) dan memiliki pengaruh langsung sebesar 0,461 serta pengaruh tidak langsung sebesar 0,101 (lihat Tabel IV.10). Hal ini menunjukkan semakin tinggi clothing

interest , semakin tinggi pula purchase intention, sehingga untuk meningkatkan purchase intention diperlukan upaya-upaya untuk membangun clothing interest. Upaya-upaya yang dapat dilakukan meliputi penciptaan berbagai macam style produk, pembangunan interest , semakin tinggi pula purchase intention, sehingga untuk meningkatkan purchase intention diperlukan upaya-upaya untuk membangun clothing interest. Upaya-upaya yang dapat dilakukan meliputi penciptaan berbagai macam style produk, pembangunan

Hasil temuan menunjukkan bahwa studi ini mendukung hipotesis 6 yang menunjukkan pengaruh positif dan signifikan clothing interest pada purchase intention. Hal ini menunjukkan regularitas fenomena hubungan antara clothing interest dan purchase intention yang dikemukakan seperti studi terdahulu sesuai dengan temuan yang diperoleh (Kumar, Kim dan Pelton, 2008). Namun demikian, konsep ini masih memerlukan studi lanjutan dalam upaya meningkatkan validitas eksternal dari konsep tersebut, sehingga di masa mendatang dapat menggeneralisasi pada konteks yang luas.

g. Pengaruh emotional value pada purchase intention

Hasil pengujian mengindikasikan pengaruh yang tidak signifikan emotional value pada purchase intention (β =-0,077; C.R=- -1,004; SE=0,077) (lihat Tabel IV.9) dan mempunyai pengaruh langsung sebesar -0,098 tetapi tidak mengindikasikan adanya pengaruh

tidak langsung (lihat Tabel IV.10). Dengan demikian hipotesis 7 tidak tidak langsung (lihat Tabel IV.10). Dengan demikian hipotesis 7 tidak

Ketidaksignifikanan ini menunjukkan adanya variabel lain yang melekat pada emotional value dalam membentuk purchase intention yaitu pengalaman (Van Dolen dan Ruyter, 2002), sehingga fenomena yang perlu dicermati adalah semakin positif pengalaman konsumen terhadap produk distro diperkirakan memperkuat purchase intention. Melalui pengalaman konsumen akan mengevaluasi kejadian yang telah dilakukan dan dialami (Van Dolen dan Ruyter, 2002), pengalaman yang positif akan berdampak positif pada purchase intention. Di satu sisi, pengalaman ini muncul dipengaruhi oleh emotional value dalam menggunakan produk distro. Dengan demikian bisa dikatakan pengalaman sebagai variabel intervening emotional value pada purchase intention . Namun, dugaan ini memerlukan studi lanjutan untuk menjelaskan pengaruh pengalaman sebagai variable intervening emotional value pada purchase intention (Van Dolen dan Ruyter, 2002). Ketidaksignifikanan hasil yang diperoleh mengindikasikan ketidakmampuan studi ini dalam mendukung regularitas pengaruh Ketidaksignifikanan ini menunjukkan adanya variabel lain yang melekat pada emotional value dalam membentuk purchase intention yaitu pengalaman (Van Dolen dan Ruyter, 2002), sehingga fenomena yang perlu dicermati adalah semakin positif pengalaman konsumen terhadap produk distro diperkirakan memperkuat purchase intention. Melalui pengalaman konsumen akan mengevaluasi kejadian yang telah dilakukan dan dialami (Van Dolen dan Ruyter, 2002), pengalaman yang positif akan berdampak positif pada purchase intention. Di satu sisi, pengalaman ini muncul dipengaruhi oleh emotional value dalam menggunakan produk distro. Dengan demikian bisa dikatakan pengalaman sebagai variabel intervening emotional value pada purchase intention . Namun, dugaan ini memerlukan studi lanjutan untuk menjelaskan pengaruh pengalaman sebagai variable intervening emotional value pada purchase intention (Van Dolen dan Ruyter, 2002). Ketidaksignifikanan hasil yang diperoleh mengindikasikan ketidakmampuan studi ini dalam mendukung regularitas pengaruh

Berdasarkan temuan studi ini diperlukan kecermatan dari pemasar dalam pembentukan emotional value konsumen produk distro. Hal ini dikarenakan emotional value bukan variabel yang dipertimbangkan penting untuk membentuk purchase intention, melainkan diperkirakan melalui variabel pengalaman, sehingga melalui pemahaman ini diharapkan tidak terjadi pembiasan teori yang bersifat universal.

h. Pengaruh perceived quality pada purchase intention

Berdasarkan hasil pengujian mengindikasikan pengaruh positif dan signifikan perceived quality pada purchase intention (β=0,311; C.R=3,918; SE=0,079) (lihat Tabel IV.9) dan mempunyai pengaruh langsung sebesar 0,378 serta pengaruh tidak langsung sebesar -0,044

(lihat Tabel IV.10). Hal ini menunjukkan semakin tinggi perceived quality , semakin tinggi pula purchase intention. Konsumen remaja di Purwokerto yang memiliki persepsi kualitas yang positif terhadap produk distro cenderung memiliki niat beli yang besar. Fenomena ini dapat terjadi karena perceived quality yang tinggi dapat menyebabkan konsumen untuk mengenali diferensiasi dan keunggulan merek tertentu dan dengan demikian mendorong mereka untuk memilih merek tersebut dari merek pesaing (Mc Connell, 1968; Yoo et al., 2000). Sehingga untuk meningkatkan purchase intention diperlukan (lihat Tabel IV.10). Hal ini menunjukkan semakin tinggi perceived quality , semakin tinggi pula purchase intention. Konsumen remaja di Purwokerto yang memiliki persepsi kualitas yang positif terhadap produk distro cenderung memiliki niat beli yang besar. Fenomena ini dapat terjadi karena perceived quality yang tinggi dapat menyebabkan konsumen untuk mengenali diferensiasi dan keunggulan merek tertentu dan dengan demikian mendorong mereka untuk memilih merek tersebut dari merek pesaing (Mc Connell, 1968; Yoo et al., 2000). Sehingga untuk meningkatkan purchase intention diperlukan

Hasil temuan menunjukkan bahwa studi ini mendukung hipotesis 8 yang menunjukkan pengaruh positif dan signifikan perceived quality pada purchase intention. Hal ini menunjukkan regularitas fenomena hubungan antara perceived quality dan purchase intention yang dikemukakan seperti studi terdahulu sesuai dengan temuan yang diperoleh (Kumar, Kim dan Pelton, 2008). Namun demikian, konsep ini masih memerlukan studi lanjutan dalam upaya meningkatkan validitas eksternal dari konsep tersebut, sehingga di masa mendatang dapat menggeneralisasi pada konteks yang luas.

i. Pengaruh perceived quality pada emotional value Berdasarkan hasil pengujian mengindikasikan pengaruh positif dan signifikan perceived quality pada emotional value (β=0,474; C.R=5,326; SE=0,089) (lihat Tabel IV.9) dan mempunyai pengaruh langsung sebesar 0,452 (lihat Tabel IV.10). Hal ini menunjukkan semakin tinggi perceived quality, semakin tinggi pula emotional value. Persepsi kualitas positif konsumen terhadap produk distro cenderung memiliki nilai emosional yang tinggi pula. Kualitas produk yang lebih tinggi tidak hanya akan meningkatkan nilai fungsional, tetapi penghargaan emosional konsumen dengan pengalaman yang lebih i. Pengaruh perceived quality pada emotional value Berdasarkan hasil pengujian mengindikasikan pengaruh positif dan signifikan perceived quality pada emotional value (β=0,474; C.R=5,326; SE=0,089) (lihat Tabel IV.9) dan mempunyai pengaruh langsung sebesar 0,452 (lihat Tabel IV.10). Hal ini menunjukkan semakin tinggi perceived quality, semakin tinggi pula emotional value. Persepsi kualitas positif konsumen terhadap produk distro cenderung memiliki nilai emosional yang tinggi pula. Kualitas produk yang lebih tinggi tidak hanya akan meningkatkan nilai fungsional, tetapi penghargaan emosional konsumen dengan pengalaman yang lebih

Hasil temuan menunjukkan bahwa studi ini mendukung hipotesis 9 yang merupakan hipotesis dari modifikasi model sebelumnya. Hal ini menunjukkan regularitas fenomena hubungan antara perceived quality dan emotional yang dikemukakan seperti studi terdahulu sesuai dengan temuan yang diperoleh (Lee et al., 2006). Namun demikian, konsep ini masih memerlukan studi lanjutan dalam upaya meningkatkan validitas eksternal dari konsep tersebut, sehingga di masa mendatang dapat menggeneralisasi pada konteks yang luas.