Tinjauan Umum tentang Penafsiran Hukum

g. Tinjauan Umum tentang Penafsiran Hukum

Penafsiran (interpretasi) menurut Soedjono Dirjosisworo yang dikutip oleh Ishaq (2008:254) adalah “menentukan arti atau makna suatu

R. Soeroso dalam buku Ishaq (2008:254) menjelaskan bahwa penafsiran atau interpretasi ialah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta dimaksud oleh pembuatan undang-undang.

Tujuan perbuatan penafsiran undang-undang itu sendiri selalu untuk menentukan arti sebenarnya dari putusan kehendak pembuat undang-undang, yaitu seperti tertulis di dalam rumusan dari ketentuan pidana di dalam undang-undang. hakim berkewajiban untuk menafsirkan ketentuan pidana dengan setepat-tepatnya, yakni apa yang sebenarnya dimaksud dengan rumusan mengenai ketentuan pidana tersebut.

Dalam praktik penggunaan undang-undang sehari-hari, tidak selalu ditemukan pengertian dari suatu istilah terdapat dalam suatu perumusan undang-undang yang sedang dihadapi. Akan tetapi, bagaimanapun juga harus ditemukan tafsir atau pengertiannya. Adapun mengenai macam- macam penafsiran antara lain:

1) Penafsiran menurut tata bahasa (grammatical interpretative), yaitu memberikan arti kepada suatu istilah atau perkataan sesuai dengan tata bahasa;

2) Penafsiran secara sistematis, yaitu apabila suatu istilah atau perkataan dicantumkan dua kali dalam satu pasal, atau pada undang-undang, maka pengertiannya harus sama pula;

3) Penafsiran mempertentangkan (argentums acontrario), yaitu menemukan kebalikan dari pengertian suatu istilah yang sedang dihadapi;

4) Penafsiran memperluas (extensieve interpretative), yaitu memperluas pengertian dari suatu istilah berbeda dengan pengertiannya yang digunakan sehari-hari. Contohnya aliran listrik ditafsirkan sebagai benda;

5) Penafsiran mempersempit (restrictieve interpretative), yaitu mempersempit pengertian dari suatu istilah. contoh Kerugian 5) Penafsiran mempersempit (restrictieve interpretative), yaitu mempersempit pengertian dari suatu istilah. contoh Kerugian

6) Penafsiran historis (rects/wets-istoris), yaitu mempelajari sejarah yang berkaitan atau mempelajari pembuatan undang-undang yang bersangkutan akan ditemukan pengertian dari suatu istilah sedang dihadapi. Contoh: Seseorang yang melanggar hukum atau melakukan tindak pidana dihukum denda Rp 250,00 denda sebesar itu jika ditetapkan saat ini jelas tidak sesuai, maka harus ditafsirkan sesuai dengan keadaan harga saat ini;

7) Penafsiran theologies, yaitu mencari tujuan atau maksud dari suatu peraturan undang-undang. Misalnya tujuan dari pembentukan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), Undang-undang No 16 Pnps Tahun 1963, ialah untuk mempercepat proses penyelesaian suatu perkara khusus;

8) Penafsiran logis, yaitu mencari pengertian dari suatu istilah atau ketentuan berdasarkan hal-hal yang masuk di akal. Cara ini tidak banyak dipergunakan;

9) Penafsiran analogi, yaitu memperluas pengertian atau cakupan dari ketentuan undang-undang.

10) Penafsiran komparatif, yaitu penafsiran dengan cara membandingkan dengan penjelasan berdasarkan perbandingan hukum, agar dapat ditemukan kejelasan suatu ketentuan undang-undang;

11) Penafsiran futuristis, yaitu penafsiran dengan penjelasan undang- undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum, yaitu rancangan undang-undang (Ishaq, 2008:255-256).

Sedangkan menurut Soedjono Dirdjosisworo (2005:157), beberapa macam penafsiran hukum yang lazim diterapkan yaitu:

1) Penafsiran gramatikal atau konteks, dengan cara mempelajari dan menggunakan hubungan kalimat;

2) Penafsiran sistematis, konteks, dengan cara mempelajari sistem dan rumusan undang-undang, yang meliputi:

a) Penalaran analogi dan penalaran a kontrario. Penggunaan a kontrario yaitu memastikan sesuatu yang tidak disebut oleh pasal undang-undang secara kebalikan. Sedangkan analogi berarti pengluasan berlakunya kaidah undang-undang;

b) Penafsiran ekstensif dan restriktif (bentuk-bentuk yang lemah yang terdahulu secara logis tak ada perbedaan);

c) Penghalusan hukum atau rechsverfijning atau pengkhususan berlakunya undang-undang.

3) Penafsiran historis dengan cara mempelajari:

a) Sejarah hukum, konteks, perkembangan yang telah lalu dari hukum tertentu seperti KUHP dan BW;

b) Sejarah undang-undang, konteks, penjelasan-penjelasan dari pembentuk undang-undang pada pembentukan undang-undang yang bersangkutan.

4) Penafsiran teleologis, konteks, dengan cara pergaulan sosial.

Menurut Soeroso (2007:97) bahwa penafsiran hukum dapat dilakukan dengan cara:

1) Dalam pengertian subjektif dan objektif Penggunaan cara penafsiran secara subjektif apabila ditafsirkan seperti yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang, sedangkan pengertian objektif digunakan apabila penafsirannya lepas dari pendapat pembuat undang-undang dan sesuai dengan adat bahasa sendiri;

2) Dalam pengertian sempit dan luas Dalam pengertian sempit (restriktif) yakni apabila dalil yang ditafsirkan diberi pengertian yang sangat dibatasi sedangkan dalam pengertian secara luas (ekstensif) yaitu apabila dalil yang ditafsirkan

Selanjutnya menurut Soeroso (2007:98), dilihat dari sumbernya penafsiran hukum dapat bersifat:

1) Otentik, ialah penafsiran seperti yang diberikan oleh pembuat undang- undang seperti yang dilampirkan pada undang-undang sebagai penjelasan. Penafsiran otentik mengikat umum;

2) Doktrinair atau ilmiah, ialah penafsiran yang didapat dalam buku-buku dan lain-lain hasil karya para ahli. Hakim tidak terikat karena penafsiran ini hanya mempunyai nilai teoritis;

3) Hakim, penafsiran yang bersumber pada pendapat dan pertimbangan hakim dalam peradilan yang hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan berlaku bagi kasus-kasus tertentu (Pasal 1917 ayat (1) KUHPerdata).

Dalam penulisan hukum ini, penulis akan menggunakan penafsiran gramatikal atau konteks, penafsiran hukum sistematis, dan penafsiran analitik. Penggunaan penafsiran hukum gramatikal atau konteks dalam penulisan ini dengan alasan bahwa penulisan hukum ini perlu menggunakan penafsiran menurut tata bahasa atau kata-kata dalam peraturan perundang-undangan yang relevan dengan penulisan hukum ini. Penafsiran gramatikal ini digunakan dengan mempelajari dan menggunakan hubungan kalimat yang terdapat ada pasal-pasal yang diperlukan untuk penulisan ini baik dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 beserta peraturan pelaksanaannya seperti pasal yang berkaitan dengan sahnya suatu perkawinan atau pencatatan perkawinan di Indonesia, selain itu pada Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan seperti pada pasal yang mengatur mengenai kehamilan diluar cara alami. Penafsiran secara gramatikal juga akan digunakan dalam memelajari tata bahasa pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai pengaturan tentang hukum warisnya.

Sedangkan penafsiran hukum secara sistematis digunakan apabila suatu istilah atau perkataan dicantumkan dua kali dalam satu pasal atau Sedangkan penafsiran hukum secara sistematis digunakan apabila suatu istilah atau perkataan dicantumkan dua kali dalam satu pasal atau

Penafsiran selanjutnya yang digunakan dalam penulisan hukum ini yaitu penafsiran analogi dengan cara memperluas pengertian atau cakupan dari ketentuan undang-undang. Penafsiran analogi ini diterapkan dengan cara memperluas pengertian dan maksud dari anak sah yang diatur dalam Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan pada Pasal 42 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perluasan pengertian dan cakupan dari anak sah tersebut selanjutnya dihubungakan dengan pengaturan mengenai anak dengan proses bayi tabung atau kehamilan diluar cara alami yang termuat dalam Pasal 127 Undang- Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Sifat penulisan hukum ini bersifat doktinair dimana penafsiran yang dilakukan menggunakan buku- buku dan literatur lain hasil karya para ahli sehingga penafsiran ini mempunyai penafsiran teoritis.