Tinjauan Umum Hukum Waris di Indonesia

c. Tinjauan Umum Hukum Waris di Indonesia

Di Indonesia, belum ada hukum waris nasional. Masih berlaku tiga hukum waris, yaitu hukum waris perdata, hukum waris Islam dan hukum waris adat. Berlakunya hukum waris masih tergantung pada hukum waris mana yang berlaku bagi yang meninggal dunia. Jika yang meninggal dunia atau pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia maka yang berlaku adalah hukum waris adat, sedangkan jika pewaris termasuk golongan Eropa atau Timur Asing Cina, berlaku hukum waris Barat. Jika pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia yang beragama Islam maka mempergunakan peraturan hukum waris berdasarkan hukum waris Islam. Jika pewaris termasuk golongan penduduk Timur Asing Arab atau India, maka berlaku hukum adat masing-masing penduduk Timur Asing Arab maupun India (Eman Suparman, 1991:7).

Dalam penulisan hukum ini, penulis akan meneliti tentang anak dengan proses bayi tabung sebagai ahli waris dalam perspektif hukum perdata sehingga pembahasan terfokus pada hukum waris berdasarkan Hukum Perdata di Indonesia. Hukum waris ini merupakan bagian dari hukum perdata dimana menurut Salim HS dalam buku yang dikutip oleh Titik Triwulan Tutik (2006:212) bahwa:

Hukum Perdata pada dasarnya merupakan keseluruhan kaidah- kaidah hukum (baik tertulis/tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan subjek hukum yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.

Menurut Idris Ramulya yang dikutip oleh Eman Suparman (1991:1), bahwa: Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata

secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana kepengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban

Istilah waris sendiri berarti “orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah meninggal” (Eman Suparman, 1991:2). Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya (Effendi Perangin, 2005:3).

Definisi hukum waris menurut Pitlo yang dikutip oleh Eman Suparman (1991:21): Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum

mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai peminahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga. Kekayaan yang dimaksud dalam rumusan Pitlo adalah mengenai

sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva. Pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi tiga persyaratan, yaitu:

1) ada seseorang yang meninggal dunia;

2) ada orang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;

3) ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris (Eman Suparman, 1991:21).

Berdasarkan Pasal 830 disebutkan bahwa “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Terdapat dua cara untuk mendapat suatu pewarisan menurut Undang-Undang yaitu:

1) Secara ab intestato (ahli waris menurut Undang-Undang);

2) Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat dalam Pasal 899).

Dalam penulisan ini penulis akan membahas tentang ahli waris mengenai anak sebagai ahli waris ab intestato atau ahli waris menurut Undang-Undang. Ahli waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdiri atas 4 (empat) golongan, yaitu:

1) Golongan pertama Ahli waris golongan pertama terdiri dari suami atau istri yang hidup terlama ditambah anak atau anak-anak serta sekalian keturunan anak-anak. Ahli waris golongan pertama diatur dalam 852, 852 a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketentuan di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata mengenai anak hanya mengatur tentang anak sah, anak yang disahkan dan anak luar kawin yang diakui. Tentang anak luar kawin diatur dalam Pasal 863 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Akan tetapi dalam hal ini tidak ada pengaturan mengenai anak dengan proses bayi tabung.

2) Golongan kedua Ahli waris golongan kedua terdiri atas ayah dan ibu yang masih hidup, ayah atau ibu yang salah satunya telah meninggal dan saudara serta keturunan saudara. Ahli waris golongan kedua ini diatur dalam Pasal 854, 855, 856, dan 857 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

3) Golongan ketiga Ahli waris golongan ketiga terdiri atas kakek nenek garis ibu dan kakek nenek garis ayah. Menurut Pasal 853 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jika yang meninggal dunia tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri maupun saudara, maka harta warisan dikloving (dibagi dua), satu bagian untuk sekalian keluarga sedarah dalam garis bapak lurus keatas dan satu bagian lainnya untuk sekalian keluarga sedarah dalam garis ibu lurus keatas.

4) Golongan keempat Ahli waris golongan keempat terdiri atas sanak keluarga pewaris dalam garis menyimpang sampai derajat keenam dan derajat ketujuh karena penggantian tempat (Anisitus Amanat, 2001:7).